Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.
“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.
“Kamu lucu kalau panik.”
Blush.
Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.
“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.
“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.
Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.
“Kamu udah lama temenan sama Edwin?” tanya Kevin di sela-sela kegiatan makannya.
“Eum, berapa lama ya? Sejak SMP kelas dua pokoknya.” Fibi mengingat kembali awal pertemuannya dengan Edwin yang cukup lucu.
Saat itu hari ketiga masuk sekolah setelah libur semester. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sedang ada parade ekstrakurikuler untuk anak-anak baru. Fibi yang baru saja selesai dengan penampilan singkatnya dengan tim teater segera berlari keluar lapangan, bersamaan dengan tim basket dan para pemandu sorak memasuki lapangan. Entah bagaimana, tiba-tiba saja sebuah bola basket melayang mengenai punggung Fibi yang hampir sampai di samping lapangan.
Bagian lucunya adalah karena bola itu, Fibi jatuh tertelungkup mengenai Edwin yang tengah duduk di depannya. Kepala keduanya terbentur cukup keras sampai mereka sama-sama berteriak kesakitan. Kejadian itu memicu tawa di sekitar mereka. Sedangkan Fibi dan Edwin justru sibuk mengusap-usap dahi mereka yang kemerahan.
Sejak saat itu, teman-teman Edwin selalu menggoda Fibi setiap kali mereka tidak sengaja bertemu. Hingga tiba-tiba saja, Edwin datang menemuinya dan bilang kalau salah satu temannya menyukai Fibi. Edwin membantu temannya mendekati Fibi sampai akhirnya jadian. Selama proses pendekatan itu, Fibi justru merasa sangat nyaman mengobrol dengan Edwin, begitu pun sebaliknya. Sampai Fibi jadian dengan temannya, Edwin pun setia menjadi teman curhat Fibi. Mereka menjadi semakin dekat seiring berjalannya waktu. Bahkan saat Fibi putus, pertemanan Fibi dan Edwin masih berlanjut hingga saat ini.
Fibi tersenyum tipis saat kembali mengingat setiap momennya bersama Edwin. Tiba-tiba, ponsel Kevin berbunyi.
“Sudah sampai? Masuk aja. Aku di meja nomor 15,” ucap Kevin sambil matanya menatap ke arah pintu masuk. Fibi sedikit mengernyit heran. Siapa yang mau datang?
Kevin melambai pada seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan itu tampak sangat elegan dan cantik. Fibi menyipitkan matanya, dia seperti mengenal perempuan itu. Semakin dekat, Fibi akhirnya ingat. Perempuan itu, Sarah Anjali, seorang model yang cukup terkenal.
Mata Fibi membelalak saat Sarah dan Kevin saling bertukar kecupan di pipi. Keduanya saling melempar senyum manis, yang membuat Fibi berpikir keduanya memiliki hubungan spesial.
“Tidak mungkin mereka pacaran, kan?” batin Fibi.
Fibi melihat bagaimana Kevin memperlakukan Sarah. Sangat manis dan lembut. Kevin menarik kursi kosong di antara mereka, lalu mempersilakan Sarah duduk.
“Halo! Fibi kan? Kamu masih ingat saya?” ucap Sarah begitu menyadari keberadaan Fibi.
Fibi mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja Fibi ingat. Selain model yang cukup terkenal, Sarah adalah klien pertama Fibi. Saat itu baik Sarah maupun Fibi masih sama-sama merintis karir.
“Kamu ingat nggak kalau lusa kita ada pemotretan sama brand pakaian olahraga?” tanya Kevin yang dijawab anggukan oleh Fibi.
“Nah, Sarah ini modelnya. Waktu saya bilang kalau MUA-nya kamu, dia langsung excited bilang kalau kenal sama kamu. Jadi ya sudah, sekalian aja saya ajak dia ketemu kamu,” ucap Kevin yang menjawab rasa penasaran Fibi atas alasan kenapa Sarah di sini.
“Senang ketemu kamu lagi, Fibi. Saya nggak pernah lupa nama kamu karena unik.” Sarah tersenyum riang, seakan sudah sangat lama menunggu pertemuan ini.
“Senang juga ketemu sama Mbak lagi. Saya juga nggak pernah lupa sama klien pertama saya,” balas Fibi sambil tersenyum. Rasanya masih sangat aneh. Tadinya, Fibi pikir malam ini hanya antara dia dan Kevin. Namun kali ini? Jujur saja, Fibi sedikit kecewa.
“Kalau sama Fibi, aku percaya deh, Vin. Waktu pertama kali dirias sama dia aja aku udah puas banget. Dia bisa menyesuaikan wajah dan riasan kliennya. Apalagi sekarang ya? Pasti jauh lebih bagus hasilnya. Pinter kamu pilih partner,” ucap Sarah sambil menepuk tangan Kevin.
“Aku emang selalu suka kerja sama Fibi. Selalu memuaskan hasilnya.”
Sedari tadi, Fibi memperhatikan gesture Sarah dan Kevin. Keduanya tampak dekat. Kevin yang biasanya bersikap formal, jadi tampak lebih santai dengan Sarah. Bahkan cara mereka berbicara sangat manis satu sama lain. Membuat pemikiran Fibi tentang keduanya pacaran semakin kuat.
“Oh iya, kamu mau pesan apa? Biar aku panggilkan pelayannya ya?” ucap Kevin sembari memencet tombol yang tadi diberikan Dhea.
“Wahh, canggih. Aku sering dengar kafe ini, tapi baru pertama kali ke sini. Di sini sering rame dan full kan? Kok kamu bisa dapat tempat? Apalagi ini malam minggu.”
“Orang dalam,” jawab Kevin sambil melirik pada Fibi.
“Ada yang bisa saya bantu?” ucap Dhea yang sudah datang sebelum Sarah sempat bicara lagi.
“Kamu mau pesan apa jadinya?” tanya Kevin.
“Salad aja deh. Aku lagi diet. Minumnya air putih aja ya, Mbak,” ucap Sarah pada Dhea.
“Baik, mohon ditunggu pesanannya.”
“Fibi, kamu kenal sama yang punya kafe ini? Atau jangan-jangan, kamu yang punya?” tanya Sarah begitu Dhea pergi.
“Kafe ini punya sahabatku, Mbak. Tiap malam minggu aku selalu ke sini. Kadang sendiri dan ikut bantu-bantu. Kadang sama tanteku. Aku udah minta sisain tempat sama dia kemarin,” jawab Fibi.
“Sahabatmu cewek?” tanya Sarah lagi.
“Cowok, Mbak. Namanya Edwin. Itu dia orangnya,” ucap Fibi sambil menunjuk Edwin yang ada di belakang kasir.
“Ganteng, Fib. Sahabat apa sahabat?” goda Sarah. Fibi tertawa pelan. Godaan seperti ini sudah sangat sering dia dengar ketika mengenalkan Edwin pada temannya.
“Sahabat kok, Mbak.”
“Masa sih? Agak kurang percaya yaaa.”
Fibi menyesap minumannya, lalu berkata, “Mbak bukan orang pertama yang bilang gitu.”
“Karena memang sangat jarang ada persahabatan antara cewek dan cowok. Yang awalnya cuma kenalan biasa aja bisa jadian, apalagi sahabatan lama. Aku yang awalnya cuma rekan kerja sama Kevin aja bisa jadian,” ucap Sarah sambil menatap Kevin dengan senyum manisnya. Mendengar ucapan Sarah, seketika hati Fibi retak. Runtuh sudah harapannya memiliki Kevin. Tidak mungkin dia bersaing dengan Sarah yang nyaris sempurna, kan?
“Emang cuma sahabatan kok, Mbak. Kebetulan aku sama Edwin cocoknya jadi sahabat aja. Nggak lebih,” jawab Fibi sambil mengontrol nyeri hatinya. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Fibi sudah lama menyukai Kevin. Bisa dibilang, Fibi jatuh cinta pada pandangan pertama. Sosok Kevin yang tampan, tegas, ramah, dan mengayomi membuat Fibi menaruh hati padanya. Di tambah saat kenal lebih dekat, Kevin benar-benar memperlakukan Fibi dengan baik. Sikapnya yang hangat dan perhatian membuat Fibi semakin jatuh hati.
“Aku ke toilet sebentar ya,” pamit Fibi. Dia tak tahan lagi melihat Kevin dan Sarah yang tampak mesra. Tadinya, Fibi biasa saja. Namun begitu mendengar fakta mereka pacaran, setiap gerakan mereka jadi tampak memuakkan di mata Fibi.
“Udah selesai kencannya?”
Begitu Fibi keluar, dia melihat Edwin sudah menunggunya di depan pintu toilet. Fibi yang tadinya berusaha baik-baik saja, kini tampak seakan ingin menangis di hadapan Edwin.
“Mau pulang,” ucap Fibi dengan suara serak menahan tangis. Edwin mendekat lalu menepuk kepala Fibi pelan.
“Balik ke meja sana! Jangan nangis dulu!” ucap Edwin. Fibi menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Dia mencoba mengontrol emosinya. Tidak mungkin dia menangis sekarang. Bisa-bisa Kevin dan Sarah akan kebingungan.
“Sana!” ucap Edwin sambil mendorong pelan Fibi.
“Maaf ya lama,” ucap Fibi begitu sampai di meja. Kevin dan Sarah mengangguk untuk menanggapi.
Keduanya kembali mengobrol asyik, sedangkan Fibi memilih untuk diam dan mendengarkan. Sesekali dia menjawab saat ditanya. Fibi mengaduk spaghettinya tanpa selera. Nafsu makannya sudah hilang sejak tahu Kevin pacaran dengan Sarah.
“Permisi, maaf mengganggu.”
Fibi mendongak menatap Edwin yang tiba-tiba muncul di sana.
“Maaf mengganggu waktu kalian, tapi sepertinya saya harus membawa Fibi pulang.” Edwin menatap Fibi, lalu berkata, “Dicariin Tante Anya, katanya penting!”
“Yah, sayang banget kamu pulang duluan, Fib,” ucap Sarah dengan wajah kecewanya.
“Maaf ya, Mbak, Mas. Tanteku kayaknya butuh bantuan. Aku pulang duluan ya? Sampai jumpa lusa!” Fibi mengambil tasnya lalu melambai pada mereka. Baru tiga langkah, dia tiba-tiba berhenti.
“Spaghetti gue?”
“Lagi patah hati masih sempet-sempetnya mikir makanan lo! Nanti gue bungkus, ayo!” Edwin menarik tangan Fibi keluar dari kafe.
Keduanya menaiki motor Edwin. Entah mau ke mana, yang jelas Fibi ingin menjauh dari Kevin dan Sarah. Hatinya sakit, tapi hubungan Kevin dan Sarah memang tampak masuk akal untuknya. Seorang model terkenal dan fotografer terkenal. Keduanya sepertinya ditakdirkan bersama. Sedangkan dirinya? Hanya seorang MUA yang bahkan tidak bisa dibilang terkenal.
“Nangis aja, nggak usah ditahan!” ucap Edwin. Fibi mengeratkan pelukannya sambil menyenderkan kepalanya di punggung Edwin. Untung saja, dia punya Edwin. Sahabat yang selalu ada di hari baik ataupun buruknya.
“Makasih selalu ada di setiap momen patah hati gue,” ucap Fibi sebelum akhirnya menangis sesenggukan.
“Tante harus berangkat sekarang. Nanti kamu sarapan sama Ed, ya!” ucap Tante Anya setelah selesai membasuh wajah Fibi dan membantu gadis itu menggosok gigi. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, jadi dia harus segera berangkat kerja. “Emang Ed nggak ke kafe?” tanya Fibi sambil pelan-pelan bergerak untuk menyender di kasur. Perutnya masih terasa perih dan badannya juga masih lemas, jadi dia bergerak pelan-pelan.“Ya kali Edwin ke kafe setelah lihat kamu hampir sekarat kemarin. Bentar lagi dia juga pasti ke sini,” ucap Tante Anya. Wanita itu lalu pergi keluar kamar Fibi untuk mengambil tasnya.“Tante berangkat ya, Fib! Kamu jangan rewel sama Edwin!” peringat Tante Anya.“Ih, aku bukan anak kecil,” gumam Fibi yang tentu saja tidak terdengar oleh Tante Anya karena wanita itu sudah pergi.Fibi mengambil ponselnya. Ada banyak pesan dari Kevin yang menunjukkan kekhawatiran laki-laki itu. Senyumnya seketika mengembang. Gadis itu membaca satu persatu pesan dari Kevin dengan senyum yang tak
Untuk menghargai Kevin, Fibi tetap memakan bingsu yang dipesan laki-laki itu. Namun dia hanya memakan potongan esnya saja.“Kamu nggak suka bingsu ya?” tanya Kevin yang menyadari kalau sejak tadi Fibi seperti terpaksa memakan bingsu-nya.“Suka kok, Mas,” jawab Fibi.“Kamu nggak pinter bohong, Fib. Nggak suka ya?”Fibi tersenyum kikuk.“Sebenarnya, aku nggak bisa makan mangga, Mas.” Fibi pun akhirnya jujur pada Kevin. Mendengar ucapan Fibi, wajah Kevin pun seketika tampak merasa bersalah.“Kenapa kamu nggak bilang? Ya sudah jangan makan lagi!” ucap Kevin sambil menjauhkan mangkok bingsu dari Fibi.“Nggak enak. Mas Kevin kelihatan excited banget buat ngenalin aku makanan enak di sini,” ucap Fibi.“Jangan gitu lagi, Fib. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak suka atau nggak bisa makan sesuatu yang aku belikan. Kamu bilang aja, jangan ngerasa nggak enakan.” Kevin menatap lekat pada Fibi, seolah memberi peringatan pada gadis itu agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.“Jadi seka
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu