Alia dan Alvan masih duduk di kursi masing-masing. Alvan masih memasang wajah masam, kesal dengan apa yang Alia lakukan. Kedudukannya sebagai seorang suami sudah tak berarti apa pun di mata Alia. Lelaki dengan tubuh atletis itu menyilangkan kedua tangan di dada. Matanya masih awas menatap tajam Alia. "Kemana perginya Alia yang penurut dan mudah dibodohi?" batin Alvan bingung. Alia justru tersenyum menyeringai melihat kemarahan suaminya. Namun rasa marah itu belum sebanding dengan apa yang wanita itu rasakan. Tangan Alia asyik memainkan benda pipih berwarna hitam itu. [Posisi?]Satu pesan dikirim ke nomor ponsel Rizal. Tak butuh waktu lama pesan itu sudah menjadi centang dua berwarna biru. [Menunggu kedatangan kamu, cepat kemari! ]Alia tersenyum lebar setelah membaca pesan yang dikirimkan sang kakak. Ia tak sabar melihat ekspresi Alvan saat mendapatkan kejutan darinya. "Ayo Mas, ada rapat!" Alvan hanya melirik tapi enggan mengangkat tubuhnya. Ia justru menyilangkan kaki denganny
Mas Alvan terdiam, wajahnya merah padam menunjukkan amarah yang berusaha ia tahan. Mana berani dia memakiku di depan bang Rizal, bisa habis Mas Alvan nanti. Rapat hari ini telah usai. Para karyawan yang mengikuti rapat telah kembali ke ruangan masing-masing.Kini tinggal aku, bang Rizal dan Mas Alvan yang masih ada di ruang meeting. "Kenapa kamu tega padaku, Al?" tanya Mas Alvan dengan wajah mengiba. Aku hanya diam sambil terus mengamati ekspresi wajah Mas Alvan yang seketika berubah. Kemana wajah angkuh dan penuh kemarahan tadi?"Tega? Tega mana dengan orang yang mengambil uang milik perusahaan untuk keluarganya?" Kutatap tajam Mas Alvan. Lelaki dengan tubuh atletis itu justru membuang pandang ke arah lain. Seolah ucapanku tak ada artinya. "Silahkan kamu kembali ke tempat kerja. Pekerjaan sudah menantimu, Alvan!" Bang Rizal menatap tajam ke arah suamiku. Tanpa permisi dia berlalu begitu saja. Astagfirullah.. Beristigfar dalam hati melihat kelakuan Mas Alvan. Kalau tidak ingat sia
Aku lajukan kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang. Kepalaku berdenyut memikirkan laporan penjualan dari ibu Kartika. Harga barang turun dari ketetapan dulu. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa Mas Alvan tak memberitahuku. Ah, dia mana bisa dipercaya."Mia." Sekertarisku menoleh. Wajahnya sedikit gugup saat mata kami saling bertemu. Mia tak lagi sama seperti dulu. Keceriaannya hilang, dia selalu gugup saat beradu pandang denganku. Bukan Mia yang selalu bercerita panjang lebar. Bahkan kita sudah seperti sahabat bukan lagi atasan dan bawahan. Namun sekarang dia menjaga jarak denganku. Seperti ada tembok pembatas diantara kami. "I-iya Bu.""Tak usah terlalu formal, bukankah dulu kamu selalu memanggilku Mbak saat tak ada orang lain. Kita masih bersahabat bukan?" Mia justru memainkan ujung kemejanya. Terlihat jelas jika ia tengah gugup. "I-iya Bu.""Kalau tak ada orang panggil saja Mbak, tak usah Bu. Terlalu formal.""I-iya Bu, eh... Mbak."Lagi dan lagi Mia membuang pandangan saat ma
Wajah Mia menjadi pucat pasi. Keringat dingin masih membasahi dahinya. Aku justru tersenyum melihat ketakutan di wajah cantik itu. Apa aku kejam tersenyum di atas penderitaan dan ketakutan orang lain. Ah, tentu tidak! Jahat jika yang ku tertawakan orang baik."Turunkan saya di sini, Bu!" "Tidak, tidak akan!""Saya akan laporan Bu Alia ke kantor polisi!" ancamnya. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. "Atas tuduhan apa, Mia?" Ku lirik wanita itu, senyum menyeringai tergambar jelas di wajahku. "Justru kamu akan ku tuntut balik atas tuduhan penggelapan uang perusahaan." Mia semakin gugup dengan ucapanku. Wanita berambut panjang itu akhirnya memilih diam. Diamnya justru memperjelas jika dia salah satu komplotan Mas Alvan. Kami berhenti di sebuah apartemen mewah di kota ini. Seseorang sudah menunggu di luar. Senyum merekah tergambar jelas di wajah penuh kharisma itu. Aku dan Mia berjalan mendekatinya. Sesekali ku lirik Mia. Wanita dengan rambut panjang itu tengah mencuri pada pada
Kriiingg.... Ponsel di atas meja berbunyi nyaring. Bang Rizal segera mengambil benda pipih itu dan menempelkan di telinga kanan. "Bagus, ikuti dia terus! Jangan sampai lepas!"Siapa yang sedang menelepon Bang Rizal? "Kenapa lihat seperti itu? Baru tahu kalau abangmu ini tampan memesona?" Aku mencebik. Bisa-bisanya dia besar kepala disaat yang tidak tepat. "Kalau abang memesona, kenapa masih jomblo sampai saat ini?" Bang Rizal diam, lelaki itu justru mengalihkan pandangan. Apa aku salah bicara? Seingatku Bang Rizal tak pernah menceritakan tentang wanita yang ia sukai.Bahkan ia tak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Apa tak ada wanita yang menyukainya? Ah, rasanya tak mungkin. Bang Rizal tampan, perhatian dan beruang. Tak ada wanita yang mampu menolak pesonanya. "Alia salah bicara ya, Bang?" "Tak, kamu benar, abang ini jomblo karatan. Hahaha ...." Bang Rizal tertawa, tapi terkesan di paksakan. Pasti ada alasan kakakku tak juga menikah. Mungkin rasa trauma atas kegagalan cin
Duduk di meja makan yang besar seorang diri. Tak ada suami yang menemani. Mas Alvan memang tak pulang semalam. Aku tahu dia kemana, tentu ke rumah istri barunya. Dulu aku tak pernah curiga jika dia izin untuk menginap ke rumah orang tuanya. Kini aku tahu semua itu hanya alasan untuk menemani gundiknya. Sebuah rumah akan terasa sepi tanpa kehadiran anak. Namun sekarang aku justru bersyukur. Setidaknya tak ada yang membuatku terasa berat untuk meninggalkan Mas Alvan karena tak ada anak di antara kami. Meja makan telah tertata beraneka lauk dan sayur. Ingin makan tapi tak berselera jika sendirian. Rasanya tak enak jika makan seorang diri. "Bik Sum!" teriakku sedikit keras. Bik Sumati sering dipanggil bik Ati atau Bik Sum memang mengalami sedikit gangguan pendengaran. Kalau tidak teriak beliau tak akan mendengarnya. Wanita paruh baya itu segera berlari ke arahku. Langkah Bik Sum memang masih kuat hanya pendengarannya saja yang berkurang. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Bik Sum mengel
Kutarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Menetralisir emosi yang hampir meledak karena kedatangan tamu tak di undang. Pagi-pagi duo ular sudah membuat masalah. Ya Tuhan, apa salahku hingga mendapatkan mertua seperti itu? Ku bawa piring yang masih berisi makanan ke wastafel. Nafsu makanku hilang karena kedatangan ibu dan anak tak tahu malu itu. "Masakan bibik tidak enak ya, Bu? Kok makanannya tidak di habiskan?"Aku menjadi tak enak hati karena masakan bik Sum tak ku habiskan. "Em, bukan begitu bik. Masakan bik Sum selalu enak. Tapi karena ada ular betina jadi tak nafsu makan."Bik Sum mengernyitkan dahi, terlihat ia bingung dengan ucapanku. Aku sih bicara yang tidak-tidak pada orang tua. Jelas bik Sum tak mengerti."Ular betina siapa Bu?" Benar kan, bik Sum bingung dengan perkataan ku. Tapi tak mungkin jika aku bilang ibu dan Saya-lah ular betina itu. "Bukan apa-apa, bik. Tak usah di bahas lagi." "Apa ibu dan non Sasya?" Aku hanya tersenyum melihat tingkah lugu a
Sudah dua hari Mas Alvan tak menampakkan batang hidungnya. Entah di kantor maupun di rumah. Dia seakan sengaja menghilang paska di turunkan jabatan menjadi Office Boy. Rumah terasa damai karena tak ada parasit di dalamnya. Ketiadaannya tak membuatku khawatir dan mengirimkan pesan sekedar bertanya keadaannya. Bagiku tak ada gunanya basa-basi bertanya, jika kenyataan aku tahu dimana ia sekarang berada. Ya, dimana lagi kalau bukan di rumah istri keduannya, Mega. Mega adalah istri kedua Mas Alvan yang dinikahi secara siri. Nama Mega sendiri sangat familiar bagiku. Tapi siapa dia? Satu tanda tanya besar yang hingga kini belum ku temukan jawabannya. Bang Rizal memang sudah menyelidiki asal usul istri siri Mas Alvan. Mega lahir di kota kembang. Dia dibesarkan di sebuah panti asuhan di kota Bandung. Ibunya meninggal saat ia berusia enam tahun. Dan sejak saat itu Mega tinggal di panti asuhan. Mengenai siapa ayah kandungnya, Bang Rizal belum mendapatkan informasi. Karena Mega lahir dari seb