Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sepasang pengantin berbalut baju dengan warna senada tampak serasi, berdiri menyambut kedatangan para tamu. Begitu juga kedua keluarga mempelai membersamai. Di atas pelaminan bertuliskan nama keduanya. Hendra dan Laila.Tidak ketinggalan dekorasi cantik beserta musik gambus mengiringi acara resepsi tersebut. Dan yang paling menjadi sorotan adalah hantaran dari mempelai lelaki, memenuhi bagian depan pelaminan."Selamat Mbak, Mas.""SAMAWA ya!"Silih berganti tamu memberikan doa terbaik. Pengantin wanita berparas ayu tersebut menyunggingkan senyum terpaksa, tidak seperti pengantin pria yang menyunggingkan senyum manis, penuh dengan ketulusan.Di hati Laila masih belum rela melepas masa gadisnya pada lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Sedikit Laila mencuri pandang ke arah sang suami.'Ganteng sih, cuma udah tua!' gumam Laila dalam hati.Setelah antrian tamu habis, Hendra duduk kembali di kursi pengantin. Orang tua Hendra dan paman Laila pun turut meninggalkan pelaminan karena merasa
Doni naik di atas panggung berniat menyanyikan sebuah lagu, sebagai kata perpisahan. Lagu milik Judika berjudul Aku Yang Tersakiti mengalun indah mewakili perasaannya. Para tamu undangan terhanyut mendengar suara merdu milik Doni. Namun, lain lagi dengan Laila, wanita itu menunduk dalam merasa bersalah telah meninggalkan mantan pacarnya hanya demi masa depan yang baik.Laila memejamkan mata meresapi setiap lirik yang terucap dari bibir Doni. Memori kenangan bersama mereka berputar seiring lirik lagu dinyanyikan. Gadis itu menyesalkan perjodohan yang dilakukan sang paman dan mengutuk kehidupannya yang jauh dari kata layak. 'Sakit sekali Tuhan.' Laila menekan dada pelan.Disisi lain Hendra bercengkrama bersama sahabatnya tidak memperhatikan Laila.Ya, tidak lama setelah Doni turun dari prlaminan beberapa teman Hendra datang, termasuk Saka sahabat yang menjadi mak comblang. Mereka membuat riuh di atas pelaminan hingga Hendra tidak menyadari jika Doni di atas panggung dan bernyanyi."Eh
Pesta telah usai, tamu telah kembali ke rumah masing-masing, meninggalkan rumah yang menjadi tempat berlangsungnya acara. Begitu juga tenda sudah dibuka dan dibersihkan. Hanya tinggal keluarga inti saja.Lelaki yang baru saja menyandang setatus suami itu duduk termenung sembari melihat langit bertabur bintang. Harusnya Malam ini menjadi malam penuh makna dan bersejarah bagi sepasang suami istri, untuk lebih mengenal satu salam lain. Namun, sayang sekali itu tidak terjadi. Hendra memijit pelipis yang terasa pening, lalu menyugar rambut dengan kasar. Kata-kata kasar yang terucap dari mulut Laila masih terngiang-ngiang."Semua sok perduli. Padahal kalian mau menyudutkan aku! Keluar!" teriak Laila seperti orang kesetanan.Tadi setelah selimut dibuka paksa, Laila mengamuk hingga kamar pengantin yang sudah penuh dengan hiasan rusak tidak berbentuk. Bu Tari dan beberapa saudara pun sampai datang menghampiri karena suara Laila kuat sekali.Pada akhirnya di sinilah Hendra menepi guna menenan
"Eggak usah Buk, udah nggak selera mau makan. Tapi, kayaknya teh ini aja, deh." Laila mengambil teh yang berada di atas nampan, lalu mencobanya. "Tehnya terlalu manis Buk, bisa gemuk nanti aku," ujar Laila tanpa rasa bersalah diiringi kekehan kecil. Kemudian dia meletakkan gelas di atas nampan sedikit kasar. sedari tadi wanita itu sudah merasa kesal. "Ah, maafkan Ibuk belum tau selera kamu," ucap Bu Tari sembari menundukkan kepala.Laila menggenggam tangan Bu Tari."Kalau mau apa-apa izin aku dulu ya, Buk. Aku memang nggak biasa makan itu semua. Lebih baik nasi itu Ibuk kasih ke kucing, pasti kucing itu langsung gendut. Aku nggak mau jadi kayak gitu." Laila terkekeh pelan.Ucapan lembut yang keluar dari mulut Laila sangat menusuk hati wanita paruh bayah yang berada di hadapannya.Sungguh Bu Tari merasa tersinggung, tetapi untuk marah tidak bisa. Sudah terlanjur sayang pada sang menantu. Bu Tari menghirup oksigen dalam-dalam guna mengurangi sesak di dada."Kalau gitu Ibuk ke bawah du
Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya."La, tolong!" Kembali Hendra memohon."Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti
"Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya."Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja.""Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran."Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita it