Pintu bercat coklat itu terbuka lebar saat terdobrak dari luar membuat tidur penghuni di dalam kamar terusik. Seorang pria dengan setelan jas pernikahan yang terlihat kusut memasuki kamar dengan raut wajah penuh amarah.
“Rhea!”Wanita yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang, mengerjapkan mata saat mendengar suara gaduh nan berisik. Dengan kepala masih terasa pening, ia berusaha meraih kesadaran mendengar suara sang suami terus berteriak memanggil namanya. “Rhea!”Wanita tersebut bangun menegakkan punggungnya dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah suami yang baru menikahinya semalam tampak berang diselimuti aura kehitaman yang seolah menguar. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara parau. “Ada apa?! Kau masih bertanya ada apa?! Kau tidur dengan pria lain dan masih berani bertanya?!” teriak Rylan. Pria yang menikahi Kamarhea Violyn, wanita yang saat ini seolah masih belum menyadari apa yang terjadi. “Apa mak–” suara Rhea menggantung saat ia menoleh ke samping dan mendapati seorang pria berbaring menyamping membelakanginya. Matanya seketika melebar dengan jantung yang seolah hendak meloncat keluar. Terlebih saat menyadari bahwa ia sama sekali tak mengenakan sehelai benang di mana gaun pengantinnya semalam telah teronggok di lantai bersama pakaian dalamnya. Tangan Rhea yang gemetar terangkat menutup mulut saat bayangan apa yang terjadi semalam terlintas. Semalam ia mabuk, tapi ia masih sadar saat pria yang ia kira Rylan Joe, suaminya, menyentuh setiap jengkal tubuhnya dan menikmati malam pertama yang panjang. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang salah di sini? Rhea berusaha kembali mengingat. Semalam adalah hari bahagianya, menikah dengan Rylan, kekasih yang telah satu tahun menjalin kasih dengannya. Acara diadakan di ballroom salah satu hotel di Bali di mana ia dan Rylan hanya mengundang rekan kerja dan teman terdekat. Seperti acara pernikahan pada umumnya, setelah acara selesai dilanjutkan dengan acara jamuan bersama teman-temannya. Ia yang tak bisa minum terpaksa menghabiskan dua gelas kecil alkohol karena paksaan mereka. Alhasil ia mabuk dan tak bisa melanjutkan acara. Akhirnya Rylan menyarankannya untuk beristirahat lebih dulu ke kamar yang telah ia pesan sebelumnya sementara ia sendiri kembali berkumpul bersama teman-temannya. Dan saat seseorang menyentuh tubuhnya, ia kira itu adalah Rylan yang telah kembali setelah jamuan selesai. Tapi bagaimana bisa yang tidur dengannya adalah pria lain? Terlebih ia sama sekali tak mengenal pria itu sama sekali. Apa ia salah kamar? Tapi tidak, Rylan lah yang membawanya ke kamar itu.Rhea menatap Rylan dengan raut kehancuran yang tercetak jelas di wajah. Bibirnya bergetar, sama bergetar hebat dengan tubuhnya sekarang. “I– ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku–”“Apa maksudmu tak seperti yang kupikirkan! Dengan keadaanmu sekarang kau masih berusaha mengelak?! Aku tak menyangka kau benar-benar menjijikan!” teriak Rylan dengan menunjuk Rhea juga pria yang saat ini masih terbaring seolah tak terusik. Merasa benar-benar muak, Rylan menghampiri pria tersebut dan melayangkan tamparan guna membangunkannya. “Hei! Bangun kau sialan?!” teriaknya.Mata pria tersebut terbuka kemudian bangun menegakkan punggungnya dengan memegangi pipinya yang terasa panas. Rylan menarik tangan pria tersebut hingga ia berdiri dan menunjukkan tubuhnya yang juga tanpa sehelai kain. “Kau pasti memang selingkuhannya kan?!” teriaknya tepat di depan wajah pria itu kemudian hendak kembali melayangkan pukulan. Namun dengan cepat pria tersebut menahan kepalan tangan Rylan dan menatapnya dengan raut wajah yang dingin dan datar. “Sayang sekali istrimu yang sengaja naik ke atas ranjangku dan menggodaku,” ucapnya dengan suara tegas dan dingin. Dihempasnya kasar tangan Rylan hingga membuatnya jatuh terduduk di atas dinginnya lantai. Setelah itu tanpa mengatakan apapun ia mengambil pakaiannya yang teronggok di lantai kemudian melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Rylan dan Rhea yang tampak begitu shock.Suara Rhea tercekat di tenggorokan saat mendengar penuturan pria yang kini menutup pintu kamar mandi dengan keras. Tidak mungkin, rasanya benar-benar tidak mungkin. Bagaimana mungkin ia melakukannya? Tidak, meski ingatannya samar tapi ia yakin bukan ia yang sengaja mendatangi ranjang pria itu. Rylan bangkit berdiri menatap Rhea dengan raut wajah semakin terbakar benci. “Detik ini juga aku menceraikanmu!” Dunia Rhea seakan runtuh bersamaan dengan teriakan Rylan mengumandangkan kata perceraian. Bahkan mereka belum mengecap manisnya pernikahan, tapi dalam sekejap mata semuanya hancur berantakan. Air mata Rhea yang sedari tadi telah jatuh kini kian tak terbendung. Ia tak dapat berpikir lagi, tak memikirkan siapa pria yang saat ini ada di kamar mandi dan mengambil malam pertamanya. Tak dapat berpikir lagi apalagi yang terjadi setelah ini karena yang ia pikirkan adalah ucapan Rylan.Melihat Rylan berbalik dan hendak pergi meninggalkannya, Rhea segera bangkit dari ranjang dan menahan kaki Rylan. Ia duduk bersimpuh dengan kedua tangan memegang kuat kaki Rylan. “Tidak, tidak, kumohon jangan. Percayalah padaku aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Kumohon jangan mengatakan kata itu di saat kita baru menikah semalam, Rylan. Kumohon,” raung Rhea dengan air mata yang seakan mampu membanjiri lantai. Ia mencintai Rylan, sangat, tak mungkin baginya berpisah dengan pria yang ia cintai dengan cara seperti ini. Apalagi pernikahan mereka baru berjalan dalam hitungan jam.“Lepaskan! Kau benar-benar sampah! Menjijikan! Lepaskan tangan menjijikanmu dariku, murahan!” teriak Rylan dengan berusaha menarik kakinya. Tangisan Rhea semakin keras dan nyaring terdengar memenuhi kamar di mana ia tetap berusaha menahan kaki Rylan yang berusaha menendang agar kukuhan tangannya terlepas. “Tidak! Tidak! Aku minta maaf, tapi sungguh, kumohon percayalah padaku. Aku mohon! Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!” Tepat di saat itu dua orang pria memasuki kamar dengan membawa kamera di tangan. Tak menyiakan kesempatan, mereka segera mengambil gambar tak peduli tubuh Rhea tak terlindungi selimut dengan sempurna. Mereka adalah wartawan yang hendak meliput momen pernikahan Rhea dan Rylan. Rhea adalah seorang model sekaligus selebgram. Meski wajahnya tak banyak muncul di tv namun namanya cukup terkenal di dunia maya. “Hentikan!” Seorang wanita yang tak lain adalah asisten sekaligus sahabat Rhea datang dan berusaha menahan wartawan mengambil gambar. Ia berusaha mendorong wartawan itu agar segera keluar. “Hentikan! Hentikan! Aku bisa menuntut kalian ke kantor polisi!” teriaknya hingga suaranya nyaris habis. Sementara Rhea seolah tak peduli, ia tak peduli meski tubuhnya hanya terlindungi selimut yang tak sempurna menutupi seluruh bagian tubuhnya. Ia masih berusaha menahan kaki Rylan dan berharap Rylan memberinya kesempatan. “Argh! Lepaskan aku sialan!” teriak Rylan dan dengan terpaksa mendorong bahu Rhea agar melepaskannya. Rhea terdorong hingga kepalanya membentur nakas kecil di samping ranjang. Setelahnya Rylan segera pergi meninggalkan Rhea yang terus memanggil namanya.Hampir dua minggu berlalu sejak Rhea mendapat mangga muda kala itu. Saat ini ia berdiri di atas timbangan digital yang mana menunjukkan berat badanya yang bertambah. Hela nafas panjang lolos dari mulut seraya turun dari benda berbentuk persegi itu. Padahal baru beberapa minggu, tapi berat badannya sudah mulai bertambah. Bahkan ia yakin, berat badannya akan terus naik melihat nafsu makannya yang tak dapat dikendalikan. Rhea berjalan menuju kulkas dan mengambil sepiring potongan buah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu kala mulai memasukkan potongan melon ke dalam mulut. Membawa piring berisi potongan melon dan pepaya, ia duduk menikmati camilan siangnya. Entah hanya perasannya saja atau memang suatu kebetulan? Setiap kali ia menginginkan sesuatu, apa yang diinginkannya seolah datang dengan sendirinya. Seperti saat ia menginginkan mangga muda kemarin, brownies pelangi, dan beberapa makanan lainnya. Yang paling membuatnya terus memikirkannya adalah saat ia menginginkan kue rangi yang sekaran
“Tunggu lah di sini,” perintah Damian. Damian sengaja menghentikan mobilnya saat melihat toko buah. Membuka sabuk pengamannya, ia segera turun dari mobil. Sementara Rhea tetap duduk dan mengarah pandangannya pada Damian yang bertanya pada si penjual buah di seberang jalan. Tok! Tok!Rhea begitu terkejut mendengar ketukan pada kaca mobil. Menoleh, ia dapat melihat seorang anak berdiri di luar. Memakai masker yang sebelumnya ia buka, ia menurunkan kaca. “Iya? Ada yang bisa kakak bantu?” tanyanya.“Kakak mau beli mangga muda?” kata bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahu itu seraya mengangkat satu kantong plastik transparan berisi mangga muda.Seketika mata Rhea berbinar. “Wah, benarkah? Tentu saja!” ucapnya seraya meminta mangga itu dari bocah itu. Kemudian ia segera mengambil uang dan diberikannya pada si bocah. “Ini terlalu banyak, Kak,” kata bocah itu menolak uang Rhea senilai seratus ribu.“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya,” ucap Rhea dengan senyuman m
Rhea begitu terkejut, tepat saat ia membuka pintu, sudah ada Damian yang berdiri di hadapannya.Sebelah alis Damian terlihat meninggi “Mau ke mana?” tanyanya karena mendapati Rhea telah lengkap dengan atribut penyamarannya. Topi hitam, kacamata hitam serta masker yang menutupi wajah ayunya. Dan jangan lupakan hoodie yang dipakainya yang juga berwarna hitam.“Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Bukannya menjawab, Rhea justru bertanya pada Damian. Pasalnya harusnya Damian sudah pergi dari sana.“Ponselku tertinggal. Sepertinya di ruang tamu tadi,” jawab Damian dengan senyum kecil yang mengembang.Hela nafas panjang terdengar lolos dari mulut Rhea, ia pun berbalik memasuki apartemennya untuk mengambilkan ponsel Damian. Dan benar saja, ponsel pria itu berada di atas meja. “Terima kasih,” ucap Damian saat Rhea mengembalikan ponselnya. “Jadi, kau mau ke mana?” tanyanya kemudian.“Ingin mencari udara segar.” Rhea sempat berpikir mengurungkan niatnya karena ketahuan Damia
Rhea mengerjap dan merasakan kedua matanya yang pedas dan sembab. Membuka kedua matanya sempurna, kesadaran pun diraihnya. Tepat di saat itu Damian membuka pintu kamar dengan senyuman tercipta. “Sudah bangun?” Rhea bangun menegakkan punggungnya, menyeret bokongnya dan bersandar kepala ranjang. “Kua masih di sini?” Damian yang telah berdiri di sisi ranjang hanya mengangguk. “Mana mungkin aku meninggalkanmu di rumah sendiri dengan keadaanmu seperti ini?” ucapnya seraya mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Rhea berusaha mengingat-ingat kemudian senyum kecutnya pun tercipta. Ia ingat jika sebelumnya melampiaskan seluruh perasaanya pada Damian sampai dirinya tertidur. Seingatnya mereka bicara di ruang tamu, tapi melihat di mana dirinya sekarang, sudah jelas Damian pasti menggendongnya. Sekarang saat mengingatnya, dia benar-benar malu. “Maaf, kau harus mendengar keluh kesahku. Kuharap kau melupakannya,” ucapnya. “Dan maaf, aku berat,” lanjutnya kemudian. “Kenapa aku harus melakukannya
Hening. Tak ada yang membuka suara setelah Rhea mengatakan keinginannya pada Damian. Tak dapat dipungkiri bahwa ia menyimpan dendam. Bukan hanya pada Rylan, tapi juga pada Lucy. Dia juga berniat membalas apa yang mereka lakukan, sayangnya niatnya terhalang keadaannya yang berbadan dua. Walau tak menginginkan kehadiran calon bayi dalam perutnya namun ia sama sekali tak berpikir untuk menggugurkannya. Dan ia khawatir, jika niat balas dendamnya akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan kecil yang saat ini tengah proses bertumbuh dalam rahim. Tiba-tiba Rhea berbalik dan berusaha menahan air mata yang terasa mulai menggenang. Hanya teringat apa yang Rylan dan Lucy lakukan membuat emosinya kembali ke udara. Akhir-akhir ini sejak dinyatakan hamil, emosinya memang menjadi labil. Rhea menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali berbalik menatap Damian. “Maaf, lupakan,” ucapnya dengan berusaha menekan emosi jiwa.“Baiklah.” Namun dengan mantap Damian menjawab.
Rhea membuka pintu saat ia hendak keluar untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan kecut dan berniat membelinya. Dan kini ia telah rapi dengan penyamaranya. Masker untuk menyembunyikan wajahnya dan topi hitam untuk menyembunyikan helai mahkotanya. Namun langkahnya seketika terhenti saat mendapati sebuah bingkisan di depan pintu apartemennya berisikan beberapa kotak susu untuk ibu hamil dan vitamin. Rhea menatap bingkisan itu kemudian mengedarkan pandangan melihat siapa yang meninggalkan bingkisan tersebut namun ia tak mendapati seorang pun. Pikiran buruk pun tiba-tiba menyerang, ia takut jika yang mengirimkan bingkisan itu adalah stalker yang mengetahui keberadaannya dan itu berarti juga tahu bahwa ia tengah hamil sekarang. Ia pun segera menutup pintu dan membiarkan bingkisan itu tetap berada di luar. Rhea berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Saat denting ponsel tanda pesan masuk terdengar ia pun sampai terjingkat karena kaget dan ketakutan. Mengambil pon