Nirmala bangkit dan mengusap matanya. Ia merasa sudah cukup untuk menangisi semuanya. Ada hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan ketimbang meratapi hal ini. "Kak, untuk beberapa hari bisakah aku menitipkan Kania pada kakak?" tanya Nirmala.
"Silakan, Kakak tidak keberatan. Apa rencanamu?" tanya Kak Nilam.
"Rasanya aku harus mengumpulkan banyak bukti setelah itu aku harus membicarakannya dengan Mas Heru. Aku tidak ingin gegabah. Aku harus benar-benar bisa membuktikan kalau memang Mas Heru sudah mengkhianatiku. Dan, aku rasa Kania sebaiknya tidak tinggal denganku."
Nirmala berusaha kuat menghadapi semua yang menimpanya. Ia akan melewatinya dengan segala yang ia bisa lakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti dari kecurigaannya.
"Kakak dukung kamu, ingat jangan emosi. Kamu harus tetap tenang dan dulukan logikamu. Jangan lupa pikirkan, Kakak khawatir ada yang salah darimu hingga suamimu berkhianat. Dan jangan lupa berdoa memohon petunjuk pada Tuhan."
Nasihat Kak Nilam, membuat Nirmala meneteskan air bening di kedua matanya. Nirmala berusaha tersenyum pada Kakaknya itu.
"Oh, iya. Satu lagi, mohon jangan beri tahu Ibu soal ini. Jika Mas Heru benar berselingkuh, maka aku akan datang pada orang tua Mas Heru bukan pada Ibu. Mereka harus tahu kelakuan anaknya itu," tutur Nirmala
"Memang seharusnya demikian. Jika ada yang berbeda dengan pasangan kita, maka kita harus pergi dan bercerita pada orang tua pasangan kita bukan pada orang tua kita. Kakak salut sama kamu, di tengah kalut dan emosi kamu tetap bisa berpikir positif. Semoga semua kecurigaanmu tidak terbukti."
Nirmala mengaminkan doa yang dihaturkan oleh Nilam, mereka berpelukan. Nilam mengusap kelopak mata adik kesayangannya itu.
"Tante, Om Heru menuju rumah."
Tiba-tiba suara Lukman mengejutkan Nirmala dan Nilam. Sikap Nirmala pun menjadi semakin tak karuan, dia bingung harus bagaimana.
"Tenang, kamu tenang ya. Lukman, antar Tante Nirmala pulang pake jalan cepat yang biasa suka kamu gunakan kalau ke rumah Tante Nirmala, ya."
***
Nirmala menghela napas lega. Ia jauh lebih dulu sampai di rumah, sengaja ia menggunakan pintu belakang berjaga agar tak kepergok oleh Heru. Lukman sudah pulang kembali, sambil menunggu Heru tiba, Nirmala mencoba mencari alasan yang tepat tentang keberadaan Kania.
Suara deru kendaraan Heru sudah dapat ia dengar. Bergegas Nirmala menyambut kedatangan suaminya itu. Nirmala mencoba menampilkan senyum termanisnya, mengabaikan rasa hancur yang tengah menggores jiwanya. Ia simpan luka itu rapat-rapat. Ia hidangkan suasana yang tetap hangat di tengah bekunya pikiran.
"Tumben sudah pulang Mas?" tanya Nirmala seraya mengulurkan tangannya dan meraih tangan suaminya.
"Iya, kebetulan ada tugas keluar kantor jadi daripada balik lagi ke kantor mending langsung pulang saja. Kangen sama kamu dan Kania."
Heru mencolek dagu istrinya. Nirmala menahan dirinya untuk tidak menghindar, meski jiwa meronta ingin menolak segala perlakuan suaminya itu. Nlirmala bertahan dengan segala kepura-puraannya.
"Kok sepi, Kania tidur?" tanya Heru.
"Nggak, dia di rumah Kak Nilam. Tadi sepulang dari kantor Mas, aku dan Kania mampir ke rumah Kak Nilam. Eh, pas dia nggak mau ikut pulang kebetulan Kak Nilam juga masih kangen sama ponakannya itu." jelas Nirmala.
"Ke kantor? Tadi kamu ke kantor Mas?" Heru nampak terlihat terkejut dan mendadak gusar. Apalagi ketika Nirmala merespons pertanyaannya dengan mengangguk.
"Sayangnya, Pak Satpam bilang kamu lagi ada meeting di luar. Ya, aku pulang deh ke rumah Kak Nilam dan makan masakan aku yang niatnya buat makan siang Mas."
Nirmala tertawa kecil, wajah Heru sudah berisi darah lagi setelah hampir pucat pasi. Embusan napas Heru juga terdengar menandakan ketenangan. Ia berhasil membuat Heru percaya jika dirinya sama sekali tak menaruh curiga pada suaminya itu.
Nirmala membatin, 'Maaf Mas, jika kamu berbohong aku pun akan melawanmu dengan kebohongan. Tersenyumlah Mas, sebelum akhirnya kamu akan menangisi kebohongan yang sudah kamu ciptakan. Semuanya akan terbongkar dengan indah.'
Suasana sudah begitu ramai, Bu Wati senang akhirnya Sarah akan segera resmi menikah kembali dengan Heru, perjalanan panjang dan tak mudah sudah dilewati Sarah. Penantian dan kesabaran Sarah akhirnya berbuah manis, sempat ragu tapi akhirnya Sarah mantap kembali menerima Heru dalam hidupnya. Rasanya merasa bersalah telah membuat Heru menunggu padahal mereka bisa segera menikah kembali, tapi perlu waktu untuk Sarah menerima Heru, ketakutan akan masa lalu selalu membayanginya. Bagaimanapun Heru pernah membuatnya kecewa dengan meninggalkan Sarah seorang diri di rumah sakit lalu pergi entah kemana hingga Sarah harus tinggal di panti ini. Kebahagiaan itupun hadir dalam hati Nirmala, perempuan yang dulu pernah disakiti oleh Satah tapi mampu memaafkan dan berbesar hati menerima kehadiran Sarah dalam hidupnya bahkan mereka jadi sangat akrab sejak Sarah berhijrah menjadi lebih baik, tak ada yang tak memuji Nirmala yang bisa menerima mantan madunya bahkan mantan istri simpanan suaminya dulu, ba
"Kenapa harus menepi sejenak?" tanya Heru di ujung sana. "Mas, aku mohon. Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya, aku harus memutuskan semua dengan segala pertimbangan, aku gak mau gegabah soal ini. Ini menyangkut kehidupanku selanjutnya. Aku mohon Mas Heru mengerti." "Berapa lama?" "Tiga hari saja mas, tolong jangan kirim aku pesan atau apapun. Kita nanti akan tahu seberapa rindu hati kita jika tak melakukan itu, jika dalam waktu tiga hari itu aku ternyata tak bisa hidup tanpamu maka aku yang menghubungimu duluan, begitupun sebaliknya."Heru terdengar menghela napas berat, ia tak menyangka sesulit itu kembali pada Sarah padahal ia pikir bisa dengan mudah karena Sarah terlihat sangat mencintainya terbukti dari kebiasaannya mengantar makanan saat di penjara. Tapi itu saja tak cukup membuat Heru yakin akan mudah mendapatkan Sarah, dia harus berusaha lebih keras lagi. "Baiklah, aku turuti." Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Heru membuat Sarah bernapas lega."Terima kasih
"Apa?" Heru terkejut mendengar ucapan Sarah, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Terus kamu jawab apa?" Sarah terdiam, Heru menunggu jawaban Sarah dengan hati tak karuan."Aku belum menjawabnya, mas. Aku bercerita tentang semua itu pada Mbak Nirmala, dia memintaku untuk beristikharah. Saat ini jujur aku gamang, aku gak tahu bisa percaya sama kamu sepenuhnya atau nggak, aku ini pernah menjadi istri kedua secara sembunyi-sembunyi, menyakiti perempuan lain bahkan kini perempuan itu seolah tak pernah merasa disakiti olehku, dia sangat baik. Tetap saja justru dengan begitu rasa bersalahku kian besar, aku takut mas." "Apa yang kamu takutkan?" Sarah menatap lelaki itu, keduanya saling menatap penuh arti. "Aku takut kamu mengkhianatiku seperti kamu mengkhianati Mbak Nirmala." Heru menghela napas berat dan mengusap wajahnya kasar. "Sarah, aku rela mengkhianati Nirmala karena apa?" tanya Heru menatap perempuan di depannya. Sarah menunduk, memang ia rasakan semua yang ter
"Mas, aku mau kita sah dulu secara agama dan negara. Tujuh tahun tanpa nafkah batin bukan waktu yang sebentar, aku tak mau melakukan ini dengan gegabah. Mungkin tak pernah ada kata talak darimu tapi saat keluar penjara kamu memilih menghampiri Mbak Nirmala dan mengacuhkanku itu pertanda kamu tak menginginkan aku lagi, mas.""Sudah aku bilang, aku menemui Kania bukan Nirmala. Menemui anakku," sanggah Heru. "Tapi kamu kecewa kan mendengar Mbak Nirmala sudah menikah lagi bahkan hidup bahagia sekarang?" Heru terdiam, Sarah menghela napas. Ia sangat takut, Heru membawanya ke sebuah villa yang cukup sepi, dia meminta untuk melakukan hubungan layaknya suami istri. Tapi Sarah menolak dengan alasan telah hilang haknya untuk itu, karena sepengetahuannya. Enam bulan saja tanpa nafkah batin maupun lahir maka sudah bisa jatuh talak jika istri tak ridho. Ini tujuh tahun selama di penjara, meski selama itu Sarah masih mengunjungi Heru, mereka masih bertemu tapi Sarah tak melihat bias cinta saat it
"Assalamualaikum, mas. Ada apa?""Waalaikumsalam, dimana kamu dek?""Di rumah mbak Nirmala, mas. Kenapa?" "Siapa lelaki itu?" TegSarah terdiam, mendadak wajahnya memerah entah pertanda apa. Nirmala mengamati wajah bingung Sarah. Apa yang dilihat Heru hingga dia marah seperti itu. "Lelaki mana mas?" "Jangan pura-pura, jelas sekali aku melihat kamu dengan seorang lelaki." Sarah menghela nafas, apa yang ditakutkannya terjadi. Sejak dulu, ia tahu sikap Heru yang gampang marah, Heru tak pernah bisa bersikap dingin terlebih jika sudah menyangkut dirinya. Nirmala mencoba menenangkan meski dia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, hanya saja melihat raut wajah Sarah membuat Nirmana merasa mereka sedang tak baik-baik saja. Enggan ikut campur, Nirmala memilih meninggalkan Sarah seorang diri, membiarkan Sarah menyelesaikan semuanya. "Mas, jangan dulu berpikir aneh. Dia temanku, dulu kami pernah satu panti. Lalu terpisah dan kembali dipertemukan." "Teman atau teman?" Lagi, Sarah me
"Maksud kamu?" tanya Sarah.Jaka gelagapan, ia mencari paduan kata yang tepat untuk menutup sikapnya yang mendadak serba salah karena ucapannya tadi."Apakah aku tak perlu menghiraukannya lagi?" tanya Sarah kembali."Eh, tidak. Bukan begitu," ucap Jaka menjeda kalimatnya. "Gini, pernikahan itu untuk membuat kita bahagia ya setidaknya itu yang aku pegang selama ini, aku sampai sekarang belum menikah karena aku gak yakin bisa bahagia dengan perempuan lain. Kebahagiaanku ada pada seseorang yang hadir sejak dulu, seseorang yang setiap malam aku sebut namanya berharap bisa dipertemukan dengannya yang entah dimana. Aku menunggunya, karena aku yakin dia tercipta untukku. Meski nantinya akan terluka setidaknya aku tak menikah hanya karena untuk membohongi hati ini dan menyakiti perempuan lain yang jadi istriku. Jadi, menurutku ambil keputusan sesuai keyakinan hatimu," ucap Jaka.Sarah terdiam, dia seolah merasa perempuan yang ditunggu Jaka adala