Share

Penyadapan Pesan

Nirmala terus mencoba menghubungi nomor itu. Beberapa kali Nirmala tampak gusar karena tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya ia memilih untuk berhenti melakukan panggilan itu, kemudian bergegas menuju dapur. Nirmala segera menyiapkan makanan untuk dibawa ke kantor suaminya. Pikirannya masih terus berkecamuk. Ia sebetulnya ingin membuang rasa curiga itu, tetapi entah kenapa panggilan Heru dan panggilan perempuan itu pada suaminya sungguh selalu membayangi pikirannya.

Ponsel Nirmala berdering. Segera ia meraihnya di atas meja makan. Melihat nama “Lukman” tertera di layar dengan penuh semangat Nirmala segera mengangkat telepon itu.

“Ada apa Tante?” ucap seseorang di seberang sana.

“Lukman, bisa bantu Tante?”

“Bantu apa?”

“Ajarkan Tante bagaimana menyadap telepon dan mengetahui posisi sebuah nomor telepon,” ujar Nirmala.

“Buat apa Tante? Wah, Tante mau jadi mata-mata ya,” ledek Lukman.

“Nanti Tante jelaskan. Sore nanti sekalian Tante mau ketemu Ibumu. Tolong ajari Tante, ya,” pinta Nirmala.

“Oke siap, Tante,” ucap Lukman.

Nirmala mengakhiri percakapannya dengan Lukman yang merupakan keponakan dari kakak pertamanya. Nirmala pun melanjutkan masaknya hingga semua selesai tepat waktu.

***

Laju sepeda motor yang Nirmala kemudikan tak terasa sudah mengantarkan Nirmala sampai di depan gerbang tempat di mana suaminya bekerja.

“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya Satpam penjaga pintu gerbang.

“Selamat siang Pak, saya mau bertemu dengan Bapak Heru Hermawan,” tutur Nirmala.

“Lho, bukannya tadi jam 10 beliau pamit izin keluar karena ada acara keluarga. Maaf Ibu siapa?” tanya Satpam.

Nirmala tertegun mendengar ucapan Pak Satpam. Dadanya bergemuruh. Acara keluarga? Bukankah dia itu istrinya Heru? Namun, Nirmala tidak ingat kalau hari ini ada acara keluarga! Apa maksud Pak Satpam itu keluarga Heru sendiri? Lalu kenapa Pak Satpam tak mengenali Nirmala? Bukankah biasanya setiap karyawan akan saling mengenali keluarga karyawan lainnya.

"Bu ... Ibu?" Nirmala terkesiap ketika Pak Satpam memanggilnya.

“Sa-saya … saya temannya Pak,” tutur Nirmala bergetar. Kali ini dia memilih untuk berbohong. Jika dia mengaku kalau dia istrinya Heru, bukan tak mungkin penyelidikannya akan berakhir begitu saja sebelum ia mengetahui kebenarannya.

Segera Nirmala pamit dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia menepi sejenak di tempat yang teduh. Panasnya terik matahari itu belum seberapa dibanding dengan panas hatinya saat ini.

Terduduk lemas di atas jok motor, pikiran Nirmala sudah tak menentu. Dia sama sekali tak menemukan bukti apa pun di rumahnya. Akan tetapi dengan hal ini membuat Nirmala kembali menaruh curiga pada suaminya itu.

Dia membuka ponselnya memastikan jika mungkin ada pesan dari Heru mengabarkan berita tentang keluarganya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada pesan yang masuk atas nama Heru.

Nirmala kembali melajukan kendaraannya. Kali ini tujuannya adalah rumah kakaknya sendiri, janji bertemu sore dengan segera ia batalkan dan bertemu saat itu juga.

***

“Aku nggak tahu Kak, apa yang sebenarnya terjadi. Semua tampak semu. Di rumah sikap Mas Heru baik padaku dan Kania, tak ada yang berubah. Mas Heru juga selalu pulang setiap hari,” tutur Nirmala.

“Kamu tenang dulu, mungkin semua memang hanya ketakutanmu semata. Suamimu 'kan orang baik, mana mungkin berlaku seperti itu,” ucap Nilam, kakak Nirmala yang paling tua.

“Tapi, Kak--"

“Tak baik berprasangka buruk, terlebih pada suami nanti jatuhnya dosa. Tenangkan pikiranmu jangan sampai setan menang atas nafsumu yang tak terkendali,” ucap Kakaknya sendiri.

Nirmala menenggelamkan kepalanya di dalam pelukan Kakak perempuan pertamanya. Ia menumpahkan segala rasa yang menyesakan jiwanya. Nilam mengusap lembut rambut hingga punggung adiknya.

“Tante sudah datang?” Suara Lukman membuat Nirmala melepaskan diri dari pelukan Kakaknya. Ia mengusap air mata yang mengenang dan tersisa di pipinya.

“Ayo Tante, mau belajar di mana?” tanya Lukman.

Nilam mengernyitkan dahinya. Dia mencoba menerka atas sikap anak dan adiknya itu.

“Di sini aja,” singkat Nirmala.

Lukman duduk di tengah, di antara Ibu dan Tantenya. Dengan piawai Lukman mengajari Tante dan ibunya soal penyadapan dan cara mengetahui lokasi dari sebuah nomor. Nirmala memperhatikannya dengan saksama. Dia tak berkedip lalu mencoba mempraktikannya. Ia memasukan nomor Heru pada aplikasi peninjau lokasi nomor, karena Nirmala penasaran jika bukan di kantor lalu saat ini Heru sedang ada di mana?

Tercengang Nirmala melihat hasilnya. Nomor suaminya terlacak berada di sebuah kawasan perumahan elit di kotanya. Dadanya kian sesak melihat hasil pelacakan itu hingga tangannya bergetar.

Nilam mencoba menguatkan adiknya. Ia terus mengirimkan kalimat-kalimat positif pada adiknya dan meminta Nirmala tetap bersabar.

Nirmala mencoba menguatkan hatinya. Ia pun mencoba melakukan penyadapan terhadap nomor telepon suaminya. Ia mulai membaca pesan Heru dengan seseorang.

"Ayah, terima kasih sudah antar Bunda ke dokter. Nanti sore mampir ya."

"Iya Bunda, pasti dong. Kan mau kangen-kangenan dulu. Beberapa hari kita gak akan ketemu, aku pasti kangen sama kamu."

"Ayah lebay ih, kayak anak muda aja."

Tak kuasa Nirmala meneruskan isi pesan antara suaminya dengan kontak bernama “Bunda Alea”. Matanya memanas, dadanya bergemuruh. Ia jauhkan ponsel itu dan kembali dalam dekapan Kakaknya, tangisnya pecah. Bak disambar petir di siang bolong, meluluhlantahkan semuanya. Itulah yang dirasakan Nirmala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status