Selamat Membaca.
Bab 2 Siapa DewiElang tak kalah terkejut dari Kanaya. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran yang tengah melayang-layang. Istrinya sampai nyalang dan membentak, pasti sebuah kesalahan telah terjadi.Apa aku salah sebut nama? Sial! Sepertinya mulutku memang telah menyebut nama Dewi. Hatinya menggerutu sebab kesal si mulut tidak bisa diajak kompromi.Awas saja jika ‘Dewi’ itu nama dari perempuan lain. Akan kupastikan kamu menyesal, Mas! Ancam Kanaya masih sebatas dalam hati.“Oh, Dewi? Hehe … kamu kan memang seperti dewi yang turun dari kayangan,” kelit Elang tidak kehabisan akal.“Bohong!”“Demi Tuhan, Ay.” Elang sampai berani bawa-bawa Tuhan untuk meyakinkan istri.“Serius bukan Dewi yang lain?”“Ay, dalam keadaan seperti ini sempat-sempatnya berpikiran yang tidak-tidak.” Elang geleng-geleng kepala yang dibuat senatural mungkin.“Ya siapa tahu. Wanita mana yang bisa tahan kalau suaminya sebut nama wanita lain saat berhubungan begini.” Nada Kanaya sudah mulai melunak.Elang memang sangat terkejut, bukan hanya karena dengan tidak sadar ia keceplosan, tetapi juga baru kali ini ia mendengar istri membentak hingga dipenuhi kilatan amarah. Kanaya adalah wanita yang sangat lembut. Ia tidak pernah meninggikan suara kepada suami. Biasanya kalau sedang marah pun, ia hanya akan diam. Tidak disangka reaksinya berbeda saat menyangkut perihal wanita lain.Semoga saja Elang jujur dengan pengakuannya. Kalau sampai dia macam-macam di luar sana, aku tidak akan pernah memaafkan. Batin Kanaya.“Ay dewiku, lanjut dong!” rengek Elang.“Aku tidak suka mendengarnya. Moodku jadi kacau. Maaf!” Kanaya berujar sambil beranjak dari bathtub.“Tega bener kamu, Ay,” keluh Elang.Kanaya sama sekali tidak menoleh. Ia melenggang keluar dari kamar mandi. Elang hanya bisa menelan saliva sambil melihat punggung istrinya yang mulus, lalu menghilang di balik pintu.“Bodoh!” Elang merutuki diri sendiri.Karena kebodohannya, ia gagal meraih puncak yang padahal tinggal beberapa detik lagi. Jujur ini kali pertama Kanaya menolak.**Pagi hari adalah waktu Kanaya sibuk. Meskipun memiliki ART, tidak lantas membuatnya malas. Ia selalu bersemangat menyiapkan sarapan untuk anak dan suami.“Sayang, ayo sarapan!” panggil Kanaya kepada kedua putrinya.“Iya Mah,” sahut Anna yang kemudian menghampiri meja makan.Tidak lama Alya dan Elang menyusul.“Wah, menu sarapan pagi ini roti bakar. Mantap!” seru Elang.“Apa lagi buatan Mama, pasti lezat sekali,” puji Anna.“Kan Mama buatnya dengan cinta. Iya kan, Mah?”“Iya, Alya,” sahut Kanaya dengan senyum cerah.“Pah, suapin aku dong,” pinta Alya.“Boleh-boleh.”Alya memang manja dan Elang selalu memanjakannya.“Ih, Papa. Kok Alya disuapin. Pilih kasih!” ketus Anna.“Oh Kakak mau disuapin juga? Nih!” Sebelum Anna merajuk, Elang buru-buru menyuapkannya sepotong roti.“Ekhm, anak-anak doang yang disupain, kok Mama enggak?” canda Kanaya.“Eh, Mama juga mau ternyata. Sini dong, Ay!”Kanaya yang masih berdiri memakai celemek gegas menghampiri dan duduk di sampingnya.“Aaa …” Kanaya membuka mulut lebar-lebar.Namun, Elang malah usil dengan menyuapkan satu potongan roti yang besarnya melebihi kapasitas mulut sang istri.“Ih, Papa usil!” protes Anna.“Iya Papa, nih,” timpal Alya.Gerak cepat Elang menyambar sisa roti di luar mulut Kanaya dengan mulutnya.“Yumm ….”“Ih Papa apaan, sih?” Kanaya berujar dengan intonasi kurang jelas karena mulut yang penuh sibuk mengunyah.“Dasar, Papa genit!”“Ya enggak apa-apa Al. Artinya Papa cinta sama Mama. Awas lho, Papa jangan genit sama cewek lain!” ujar Anna.“Uhuk, uhuk ….” Elang spontan terbatuk-batuk.Kanaya sigap mengulurkan segelas air putih kepada suami. “Pelan-pelan makannya, Pah.”“Sayang, kenapa bilang begitu sama Papa?” tanya Elang sesaat batuknya berhenti.“Aku tidak mau seperti Devi. Orang tuanya berpisah gara-gara Papa Devi genit ke cewek lain,” jelas Anna dengan raut sedih.“Sayang, Papa tidak mungkin seperti itu,” ucap Kanaya.“Iya, Sayang. Cinta Papa itu hanya untuk Mama. Hidup mati Papa hanya untuk kalian.” Elang mengelus-elus pucuk kepala Anna.“Janji ya, Pah.” Anna mengulurkan tangan untuk mengajak papanya janji kelingking.“Iya. Papa janji,” sambut Elang.Kanaya menerbitkan senyuman melihat suami dan anaknya. Suasana pagi yang selalu dirindukan. Dimana setiap momennya begitu berharga.**Elang memijit pelipis karena merasa pusing dengan laporan yang lupa ia siapkan. Padahal sebentar lagi, Bos sekaligus sahabatanya itu pasti akan menanyakan.Telepon di mejanya berdering.“Hallo, Bos.” Elang menyapa dengan gusar. Baru saja dipikirkan, bosnya itu sudah menelepon saja.“Pak Elang, bisa antarkan laporannya sekarang juga ke ruangan saya?” suara bariton milik seorang direktur utama yang konon tak bisa dirayu itu terdengar tegas.“Bos, maaf. Laporannya ….”“Kenapa, lupa? Sekarang juga datang ke ruangan!” titahnya tak bisa dibantah.Mau tidak mau Elang lekas mendatangi ruangan direktur utama tersebut dengan laporan yang belum rampung.Ceklek. Gagang pintu ia putar. Tampaklah seorang lelaki berjambang dan berkumis tipis sedang mendatangani berkas-berkas. Di meja kerjanya duduk angkuh sebuah papan nama jabatan atas nama Bima Anggara.“Pagi Bos.”“Siang,” balasnya. Karena memang waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB.“Bos, laporannya belum selesai.”“Kenapa?”“Ada beberapa hal yang rumit. Jadi sedikit memakan waktu.”“Ini bukan pertama kali untuk Anda bukan?”“Bim, ayolah. Jangan terlalu keras sama gue. Gue ngaku deh, gue kelupaan. Gue janji akan menyelesaikan hari ini.” Elang mendadak bicara santai.“Maaf, Anda harus profesional. Saya tunggu laporannya sampai jam 13.00 siang.”“Apa? Mana cukup waktunya Bos. Kan berkasnya banyak. Paling bisa cepat juga jam dua siang.” Elang mulai menawar.“Kalau begitu, pergunakan jam makan siang Anda.”“Ampun Bima!”“Silakan keluar. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan lainnya.”Elang garuk-garuk kepala tak gatal. Ia sering sekali diperlakukan begini sama Bima.Apa gunanya punya teman seorang bos, kalau sedikit pun tidak bisa dinego. Gerutu hati Elang.Dasar malas! Selalu saja menjual nama persahabatan. Bahkan sekarang kita sudah jarang nongkrong bersama. Ucap hati Bima.**Di rumah tinggallah Kanaya sendiri. Anak-anaknya masih di sekolah dan suaminya masih di kantor. Waktu senggang, Kanaya pergunakan untuk banyak hal. Seperti mengunjungi orang tua, belanja, nongkrong bareng sahabat, dan melakukan perawatan tubuh rutin.Tapi hari ini Kanaya lebih memilih untuk diam saja di rumah. Ia habiskan waktu untuk membuka sosial media. Setelah bosan menjelajah beranda, ia beralih ke aplikasi kepenulisan. Kalau sudah membaca novel online, Kanaya bisa sampai lupa waktu.Tema roman-komedi selalu menjadi favoritnya. Namun kali ini entah kenapa ia tertarik sekali untuk membaca cerita tentang perselingkuhan rumah tangga. Ternyata isinya sukses membuat tensi naik. Tanpa sadar Kanaya sampai mengumpat saat membaca adegan si tokoh suami bermesraan dengan gundiknya.“Dasar lelaki lakn*t!”Kanaya pun langsung teringat akan kejadian kemarin sewaktu suaminya menyebut nama Dewi. Meski suaminya sudah menjelaskan, tetap saja ada satu sisi hatinya yang terusik dan belum tenang sampai kini. Terlebih cerita yang tengah dibacanya sedikit banyak mengkontaminasi pikiran.“Nyonya,” panggil Darmi membuatnya terperanjat dari dunia novel fiksi.“Eh, Bibi. Ada apa?”“Itu di depan ada tamu. Katanya mau bertemu dengan Nyonya.”“Tamu siapa? Saya tidak punya janji.” Kening Kanaya mengernyit.“Tapi katanya dia diminta untuk datang ke sini dan mau temui Nyonya.”“Hah?!” Mata Kanaya melebar dengan mulut terbuka. “Laki-laki apa perempuan, Bi?” sambungnya penasaran.“Perempuan Nya. Namanya … oh iya, namanya Dewi,” seru Darmi.“Dewi?” Entak Kanaya langsung bangkit dari sofa.“Iya Nyak, tadi dia memperkenalkan diri. Namanya Dewi,” ulang Darmi memelan, sebab terkejut dengan ekspresi sang majikan.“Loh … apa mungkin nama Dewi yang Elang sebut waktu itu?” gumam Kanaya hampir tak terdengar.***Wah, Dewi bertamu.Jangan lupa follow cerita ini dan follow akun Othor. Terima kasih.SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste