"Ya?" Deska menerima panggilan dari Laiv tanpa ragu. "Ada apa?"
"I-ini." Laiv yang ada di seberang sana tampil agak gugup. "Aku, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu."
Ada rasa tak berdaya di dalam hatinya. Apakah dirinya sangat menakutkan? "Oke, ucapkan saja dengan perlahan. Aku akan mendengarkan semua perkataanmu."
"Terima kasih." Rasa gelisah yang Laiv rasakan sedikit menurun. "Aku, aku ingin pergi bersama Yepa, boleh?" tanyanya hati-hati. "Ini penting untukku."
Deska tidak segera menjawab. Jika Yepa ingin membantu orang ini, baginya itu tidak masalah. Ia malah merasa terbantu karenanya. Lantaran ….
"Deska, itu siapa?"
Senyuman bahagia terpancar dari wajah Yuvika saat ia berhasil mendapatkan manset favorit kakeknya. Ini semua berkat Deska."Terima kasih," katanya tulus. "Kalau bukan karena kau, orang itu pasti tidak akan menyetujui permintaanku."Deska tidak memerhatikan Yuvika. Bahkan mendengarkan rasa terima kasih itu. Akan tetapi, tatapan mata itu hanya fokus pada sepasang manset yang berhiaskan batu safir dengan inisial Tuan Hirawan di dalamnya.Dari tampilannya memang sungguh karya yang sangat luar biasa. Ia juga sudah pernah mendengar tentang Tuan Al yang tersohor dalam hal pembuatan manset secara manual ini. Ia mengaguminya. Begitu pula dengan sang ayah.Mungkin karena sudah terbiasa dengan perangai ini, Yuvika tidak terlal
Sudah terlambat untuk menyesal. Beberapa waktu yang lalu ia sangat yakin akan kemampuannya. Namun, ketika ia menemui kegagalan, ia malah merasa tidak nyaman. Seketika jatuh."Aku …," Deska mendesah. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Ini sudah tidak bisa diperbaiki."Zalka sudah tidak merasa aneh lagi pada Deska yang terkadang akan memperlihatkan sisi lemah semacam ini padanya."Yah, cukup sadar diri juga," komentarnya enteng. "Ini baik-baik saja."Deska segera mengosongkan segelas minuman itu dan menuangkannya lagi. "Papa tidak kesal padaku?" tanyanya agak heran.Apa putranya sudah mabuk? "Kau sudah besar dan tahu apa tanggung jawabmu sendiri. Apa
Ketika seseorang tengah mencoba menutupi sesuatu dari pasangannya, maka orang tersebut akan bersikap di luar kebiasaan. Yepa sudah menebak hal ini dengan akurat. Mungkin bagi Deska hal tersebut merupakan cara terbaik demi menebus kesalahan tempo lalu, tetapi untuknya itu mubazir.Ia mengabaikan panggilan telepon dari Deska. Membiarkan ponsel itu terus menyala dan bergetar, bergerak-gerak di atas meja. Meski ada segala jenis kudapan manis sebagai penghibur, ia tetap menatap tanpa minat sampai benda itu mati dan hidup lagi berulang kali."Ya, ampun … apa orang ini tidak lelah?" gerutunya. "Senang sekali mengganggu kedamaian orang.""Kau tidak akan mengangkatnya?" tanya Laiv dengan wajah bingung sembari memasukkan makanan ringan ke dalam mulut. "Dia gigih, eh, pacarmu."
Matahari sudah terbenam. Tanda aktivitas malam mulai tiba. Banyak individu melakukan berbagai hal di setiap sudut kota. Pernak-pernik natal pun tampak menghias gedung-gedung yang ada.Deska membawa Yepa menyusuri jalanan yang ramai. Keduanya melangkah maju saling berdampingan dan berpegangan tangan. Mereka terlihat serasi hingga membuat beberapa pasang mata terkagum-kagum dan iri."Kalau saja ini kemarin, kita bisa pergi ke restoran pizza dulu," keluhnya. "Setelah itu, kita akan bersenang-senang dan mengunjungi banyak tempat."Lalu apa? Yepa tak acuh sama sekali. Itu bukan urusannya. Mereka berkencan atau tidak, hasilnya tetap sama saja. Bahkan saat ini ia tidak peduli dengan penampilan De
Sejak Yuvika hadir di antara mereka, tidak ada lagi hal-hal yang menyenangkan terjadi. Kencan manis berubah menjadi hambar dan membosankan. Ini seperti acara jalan-jalan biasa antar teman pada umumnya.Entah sudah berapa ribu kata umpatan yang terus mengalir di dalam hatinya. Deska ingin mengutuk. Bahkan ingin merobek wajah itu saking najisnya."Deska?""Ah, ya?" Deska menoleh ke arah sang kekasih yang duduk di sampingnya. "Ada apa?"Yepa tersenyum. Ia meremas tangan Deska yang ada di bawah meja. "Apa kau masih punya tempat yang ingin dikunjungi?""Aku tidak punya," katanya berbohong. Jika mereka pergi, ia apa bisa menyingkirkan dua orang yang tersisa? "Bag
Yepa melihat pemandangan yang ada di sekitarnya mulai berubah. Awalnya itu dekat dengan tanah. Lalu lambat laun meninggalkan daratan hingga perlahan-lahan gondola yang ia tumpangi bergerak ke atas dan kemudian berhenti di ketinggian tertentu. Hampir sejajar dengan langit hitam yang berbintang. Panorama kota di malam hari memang yang paling menarik. Membuatnya tak pernah bosan mencicipi keindahan tersebut. Sejenak ia berpikir bahwa ini cukup bagus. Sampai seseorang meremas tangannya. Ia pun kembali tersadar. Masih ada orang lain di sampingnya. "Apa kau menyukainya?" Entah sengaja atau tidak, bisikan hangat itu agak menggelitiknya. Ia pun menyahut tanpa menoleh seraya berpura-pura tidak terjadi apa-apa, "Ya."
Suara pintu tertutup keras terdengar sangat nyaring. Sebuah tas selempang wanita berharga ribuan euro terlempar ke sembarang tempat. Sepasang sepatu tanpa hak terlepas dari kaki sang pemilik. Tergeletak tak berdaya di atas lantai berpermadani merah."Benar-benar sial," gerutunya. Yuvika duduk di tepi ranjang dengan tangan dan kaki terlipat erat. Wajahnya beraroma masam dengan kening berkerut dalam. Ia mendengkus dengan perasaan kecut. "Apa Dewi Keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku?"Sejak ia memutuskan untuk mengacaukan kencan di antara Deska dan Yuvika, nasib baik itu sepertinya pergi ke antah-berantah. Kemunculan pria tua idiot itu menjadi pertandanya. Lalu setelahnya ada wanita yang membuatnya merasakan krisis di berbagai tempat. Hingga
Ketika Laiv menginjak kediaman Hirawan, tidak ada jejak arogan yang tercium walaupun tempat itu memajang berbagai benda berharga di sekelilingnya secara terang-terangan. Sebaliknya, justru terdapat kehangatan yang memancar dan seolah-olah berkata, "Ini adalah rumahmu"."Tempat tinggal kakekmu sangat nyaman," komentarnya ringan."Aku juga merasa seperti itu," tanggap Yepa tanpa menoleh. Jelas ia sangat menyukainya."Ngomong-ngomong, kau beruntung masih bisa bertemu dengan kerabatmu," lanjutnya. "Yang lain belum tentu." Apalagi dengan status sosial seperti ini. Pasti sangat sulit, pikir Laiv.Yepa tidak balik bertanya, tetapi ia tersenyum tipis dan malah berkata dengan enteng, "Di kehidupan ini aku memang agak mujur."