Share

Bab 9

[‘Istriku,  meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik,  coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]

Apalagi ini,  dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali  kamu, Mas Abidin! 

Ting...

Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi,  berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.

[‘Mas.’]

Pesan Anjani membuat darahku mendidih,  ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun,  kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.

Ting...

Ting...

Ting...

Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.

[‘Mas,  balas’.]

[‘Mas.’]

Tanganku bergemetar aku sangat emosi saat ini, mengambil napas dalam-dalam mengeluarkan dengan rileks,  aku mencoba menetralisir amarahku,  kucoba meredam jiwa emosiku,  ingin sekali aku membalas pesan Anjani tapi buat apa jika tuan tami saja menpersilahkannya masuk.

‘Cukup, Mas Abidin,  kamu keterlaluan!” kutaruh ponsel tersebut dengar kasar keatas nakas.

Kuraih gamai miliku,  tanpa kuketahui Mas Bima menghubungiku melalui pangilan masuk beberapa kali dan  beberapa pesan darinya.

[‘Hay,  Sorry, Sin. Bagaimana lukamu apa masih sakit?’]

[‘Aku menginap disini, Sin.’]

[‘Sin,  Sorry, ya.’]

[‘Angkat,  ya. Aku mau bicara penting.’]

Aku mendengus kesal Mas Bima nekat mengirimkan pesan sebanyak ini,  padahal ia tahu jika suamiku saat ini sedang sensitif.

Gegas kubalas pesan dari Mas Bima.

[‘Mas,  tolong jangan hubungi aku dulu, Mas Abidin sedang marah,  aku baik-baik saja, Mas.]

Teks trkirim.

Kurebahkan tubuh ini di pembaringan,  badanku terasa lelah,  entah kenapa hati dan jiwa ini terasa sakit, aku kembali meraih gawaiku,  kubuka gallery foto. Melihat foto Mas Abidin saat menikahiku rasanya tak tega jika aku harus memutuskan sepihak seperti ini,  namun hatiku benar-benar tidak sanggup lagi.

Cairan bening keluar dari pelupuk mataku,  “Jika kamu tidak seperti ini, mungkin pernikahan kita masih bisa di pertahankan,  Mas! Kesalan kamu fatal, Mas!” Dadaku sesak mengingat perbuatan Mas Abidin yang selalu mengabaikanku.

Pove Abidin.

Malas sekali Mas Bima menginap disini,  kalau bukan karena Ibu,  sudah kuhabiskan tadi dia, beraninya ia menyentuh istriku,  padahal dulu sudah kutegaskan jika ia menyentuh istriku akanku kubur hidup-hidup.

Tubuh ini terasa penat, setelah pulang dari Bandung ada saja masalah,  Apa mungkin Sindi sudah bosan denganku,  Ah...  Entahlah..

“Nak....” Ibu memangilku,  reflek tubuhku menoleh kesumber suara.

“Iya,  Bu.” Jawabku malas.

“Sudah,  jangan dipikirkan lagi kejadian tadi.” Ibu duduk disampingku.

“Tidak,  Bu. Bagaimana keadaan, Ibu?” tanyaku.

“Ibu,  baik-baik saja.” Ia tersenyum padaku,  Ibu yang melahirkanku beliu selalu sabar menghadapi sifat anak-anaknya.  Aku sangat menghormatinya. 

"Nak,  ke kamar susul,  Sindi.  Kasihan dia, semenjak kejadian tadi,  ia berdiam diri di kamar," ucapan Ibu seolah-olah mengingatkanku,  bahkan aku lupa jika ia sedang tersakiti. Gegas aku menuju kamar. 

Sesampai kamar aku melihat istriku sudah berbaring meringkuk menyusui anak kami,  ia memejamkan mata mungkin ia sudah tertidur atau hanya berpura-pura,  bahkan perutnya masih kosong,  kubelai pucuk rambutnya dengan lembut kukecup keniningnya aku berbisik pelan,  "Maafkan, Mas,  Sayang." Ia tidak bergeming. 

Layar gawaiku menyalah, kuraih benda pipih itu di atas nakas, kupencet tombol hijau,  tampaknya Anjani menelponku berulang kali bahkan dia banyak mengirim pesan untukku. Apakah Sindu membacanya?  Ah....  Tidak mungkin dia kan tidak mengetahui psword ponselku. 

Kuangkat telepon Anjani, kami mengobrol kesana-kemari ia menghiburku sesekali aku terkekeh mwndengar ucapannya,  ia berusaha menghiburkan,  kulirik Sindi masih tidak bergeming mungkin dia benar tidur. 

"Baiklah,  Anjani,  Mas, tidur dulu ya," ujarku sembari menutup pangilan telepn,  kuletakan gawaiku kembali keatas nakas,  entah kenapa rasanya aku ingin meraziah ponsel Sindi. 

Kuraih ponsel milik Sindi,  mataku terbelalak melihat pesan masuk dari Kak Bima, walaupun tidak di balas oleh istriku ia bersih kekeuh.

['Hay,  bisa keluar sebentar gak? Mas mau bicara'.]

[Sin,  Mas di depan rumah bisa kesini nggak?]

[Jangan sedih,  sini curhat sama, Mas.]

Darahku mendesir, rahangku mengeras aku mengepalkan tangan geram,  berani-beraninya ia masih mengoda isrriku setelah kejadian tadi,  dasar setan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status