Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat
~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan
Istriku terisak, ia menangis sambil membelakangiku, berkali-kali aku menepuk bahunya namun tetap saja ia terdiam. "Ma," ucapku ia malah semakin tergugu keras aku semakin bingung kenapa istriku seperti ini."Kamu, egois, mas!" ucapnya. Apa salahku kenapa aku egois ada yang salah denganku? Jujur aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan aku menjawab istriku, "Egois apa maksudmu?" nada bicaraku tak kalah nyaring darinya, ia semakin tergugu aku semakin dibuat bibgung olehnya."Aku masu kita cerai!" Mataku terbelalak ia meminta cerai dariku, apa sekalahanku bahkan selama ini aku sudah mempperlakukannya dengan baik."Mkasudmu apa, Sin?" tanyaku, dia tetap tergugu aku semakin tidak mengerti."Plis jangan membuat, aku bingung, Sin." Kataku lagi, ia tetap tergugu."Ya cerai, ya cerai aja, mas!" Nadanya lantang namun juga bergetar, aku pusing kenapa dia seperti ini ada yang tida beres darinya."Lepaskan aku dan hidup berbahagi
Pove Sindi.Egois, keras kepala mau menang sendiri, aku menyesal menikahimu, Mas. Kamu tidak akan pernah berubah aku yakin. Aku terdiam di kamar suamiku keluar entah kemana setelah pertengkaran tadi, aku yakin dia sedang menyalakan batang rokok dan menyesap benda itu di depan rumah, jika kami sedang bertengkar suamiku selalu menghindar dan menyesap benda itu."Ya Allah, kenapa mas Abidin, tidak mau melepaskan aku, jika dia tahu kalau orang tuanya selalu kasar denganku. Aku yakin dia tidak akan tinggal diam, tapi aku tidak mau mengadu takut jika hubungan anak dan orang tua itu hancur gara-gara aku," aku bergumam sendiri di dalam kamar, kamar yang dulunya terasa nyaman sekarang mendadak terasa sempit. Bahkan mertuaku menyuruh mas Abidin menikah lagi, apa yang kurang dariku, padahal kami sudah mempunyai putra-putri lucu lantas apa? apa karena aku mengangur tidak bekerja?Aku terisak sendiri di kamar setelah beberapa hari terakhir Mas Abidin juga berubah tidak seperti d
Setelah dua hari Abidin tidak pulang Sindi merasa yakin bahwa ada yang tidak beres. Sindi menarik napas panjang lalu membuang dengan perlahan mungkin itu terapi agar ia tidak terlalu Stres. “Kok, mas Abidin belum pulang, Bu?” tanya Sindi dengan nada kesal, padahal Abidin sudah tahu kalau Riri sakit, tapi kenapa tidak sampai-sampai bahkan perjalanan Jakarta-Bandung tidak selama itu, Sindi yakin Suaminya itu sedang bersenang-senang dengan temannya. “Coba Ibu telepon sekali lagi,”pinta Sindi terhadap Mertuanya. Riri dan Raka semakin rewel ia menangis, dan tak mau makan, Sindi dibuat bingung oleh kedua anaknya apa lagi suaminya tidak memberi kabar sama sekali. Hani menggeleng, Sindi terdiam berarti suaminya masih belum bisa dihubungi. Sindi mengentakkan kaki ke lantai sekeras mungkin darahnya sudah mendidih, setiap keluar bersama teman-temanya Abidin selalu lupa dengan keluarga. Sindi mendengus kesal padahal dua hari ini Riri rewel, dan itu sudah menguras ban
Namun, benda pipih itu tidak berada di saku celana, ia kembali menelisik tas berwarna hitam lalu merogoh semua sudut tas.Dan akirnya menemukan benda pipih itu, super kilat Sindi merazia ponsel suaminya. Seketika di buat kaget oleh benda pipi itu, netranya melihat panggilan Videocall masuk dan keluar.“Anjani,” tangan Sindi mulai bergemetar melihat panggilan masuk dan keluar bahkan ia tidak pernah di telepon oleh suaminya, tapi justru suaminya menelepon wanita lain.Tetap penasaran dengan isi Chat yang belum sampat ia baca, Riri menangis meminta Susu.Ponsel di letakan di atas Nakas Sindi bergegas menuju Riri, lalu memberi asi kehidupan.Setelah setengah jam Riri menyusu, Sindi kembali lagi mengecek ponsel Abidin, tapi dengan berat hati Chat yang beluk sempat ia baca di hapus oleh suaminya. Sindi mencengkeram ponsel Abidin dan menaruh kembali di atas nakas dengan kasar.BRAK...begitu bunyinya.Sindi teris