Home / Thriller / Samaran Terakhir / Bayangan di Balik Kebenaran 

Share

Bayangan di Balik Kebenaran 

Author: InkRealm
last update Last Updated: 2025-03-24 09:48:46

Elena duduk di kantornya, menatap laporan sidik jari yang masih terbuka di laptopnya.  

Marco Santoro.  

Lima tahun lalu, dunia kriminal percaya bahwa pria ini telah mati dalam sebuah penyergapan besar di Roma. Tapi kini, sidik jarinya muncul di tempat perampokan di Bellagio.  

Ini tidak masuk akal.  

Jika Santoro masih hidup, maka ada dua kemungkinan:  

1. Adrian Morello tahu dan merahasiakannya.  

2. Ada pihak lain yang mencoba menggunakan nama Phantom untuk sesuatu yang lebih besar. 

Elena menarik napas dalam.  

Jika Adrian benar-benar Phantom, maka ia pasti memiliki jawaban atas ini.  

Dan hanya ada satu cara untuk mengetahuinya yaitu membuatnya berbicara.  

Malam itu, Elena menunggu Adrian di tepi Danau Como, di tempat mereka biasa bertemu.  

Ketika pria itu akhirnya datang, ia memperhatikan sesuatu yang berbeda.  

Ada ketegangan di wajahnya, seolah pikirannya terbebani sesuatu yang besar.  

Elena memutuskan untuk langsung ke intinya.  

"Kau dengar tentang sidik jari yang ditemukan di TKP perampokan?" tanyanya, mengamati ekspresi Adrian.  

Adrian tetap tenang. "Aku dengar. Marco Santoro, bukan?"  

Elena memperhatikan matanya. Tidak ada kejutan. Tidak ada keterkejutan palsu.  

"Kau tahu dia masih hidup?" desaknya.  

Adrian menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata "Aku tidak yakin."  

"Bukan jawaban yang cukup bagus" balas Elena.  

Adrian menghela napas dan melihat ke arah danau yang tenang. "Dulu, aku percaya dia mati. Tapi belakangan ini, ada beberapa hal yang membuatku ragu."  

"Misalnya?"  

Adrian menoleh ke arahnya, senyumnya tipis. "Jika aku memberitahumu, apa jaminanku bahwa aku tidak akan berakhir di balik jeruji besi?"  

Elena menyilangkan tangan. "Aku bisa memberimu perlindungan."  

Adrian tertawa pelan. "Perlindungan dari siapa? Polisi? Atau dirimu sendiri?"  

Elena membeku.  

Adrian melangkah lebih dekat, suaranya lebih pelan namun tajam.  

"Kau ingin menangkap Phantom, bukan? Tapi bagaimana kalau ada lebih dari satu Phantom?"  

Elena mengernyit. "Apa maksudmu?"  

Adrian menatapnya dalam-dalam. "Kau terlalu fokus padaku, Elena. Tapi bagaimana kalau seseorang lain sedang memainkan permainan ini dari bayang-bayang?"  

Elena terdiam.  

Jika yang dikatakan Adrian benar… maka selama ini ia telah memburu orang yang salah.  

Setelah pertemuan itu, Elena kembali ke kantornya dan membuka kembali semua berkas kasus lama yang melibatkan Adrian Morello dan Marco Santoro.  

Ia mencari sesuatu pola, keterkaitan, apa pun yang bisa membuktikan bahwa ada orang lain yang terlibat.  

Lalu ia menemukannya.  

Sebuah laporan lima tahun lalu tentang penyergapan yang gagal di Roma.  

Ada satu detail kecil yang selama ini terabaikan: Tidak pernah ada mayat Marco Santoro yang ditemukan.

Yang ada hanya laporan saksi yang mengatakan bahwa ia ditembak.  

Tapi bagaimana jika…?  

Bagaimana jika penyergapan itu hanyalah sebuah sandiwara?  

Bagaimana jika seseorang membantu Marco menghilang?  

Dan yang lebih penting, siapa?  

Di tempat lain, Adrian berjalan menuju sebuah rumah kecil di luar Bellagio.  

Ia tidak punya banyak pilihan.  

Ia harus mencari tahu siapa yang telah menggunakan simbol Phantom di perampokan itu.  

Ketika ia tiba, seorang pria tua menunggunya di dalam.  

"Kau kembali lebih cepat dari yang kuduga," kata pria itu.  

Adrian duduk di kursi di depannya. "Aku tidak punya pilihan."  

Pria itu menghela napas. "Jadi, kau sudah tahu tentang Marco?"  

Adrian mengangguk. "Aku ingin tahu siapa yang membantu dia menghilang lima tahun lalu."  

Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Seseorang yang punya akses ke sistem. Seseorang yang bisa menghapus jejak."  

Adrian menatap pria itu dengan tajam. "Polisi?"  

Pria itu mengangguk pelan.  

Adrian menghela napas dalam.  

Jika ada polisi yang membantu Marco, maka ini lebih dari sekadar permainan antara dirinya dan Elena.  

Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar.  

Sementara itu, Elena menerima pesan anonim di ponselnya.  

"Berhenti mencari, atau kau akan menjadi target berikutnya."  

Ia menatap pesan itu dengan ekspresi dingin.  

Ini adalah ancaman, tapi sekaligus bukti bahwa ia sudah semakin dekat dengan sesuatu yang besar.  

Tapi siapa yang mengirimnya?  

Ia memeriksa ulang ponselnya, mencari jejak digital pesan itu.  

Setelah beberapa menit, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan.  

Pesan itu dikirim dari jaringan yang terkait dengan kepolisian Milan.  

Elena membeku.  

Jika ada polisi yang mencoba menghentikannya, maka ini berarti ada pengkhianat di dalam kepolisian sendiri.  

Dan mungkin… orang itu adalah orang yang selama ini melindungi Marco Santoro.  

Adrian kembali ke apartemennya, pikirannya penuh dengan pertanyaan.  

Ia tahu bahwa ada lebih banyak orang yang bermain dalam permainan ini.  

Ia juga tahu bahwa semakin lama ia di Bellagio, semakin berbahaya situasinya.  

Tapi ada satu hal yang masih mengganggunya.  

Elena.  

Jika ia terus dekat dengannya, cepat atau lambat wanita itu akan menemukan kebenaran.  

Tapi jika ia pergi, maka ia kehilangan satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa yang benar-benar berada di balik semua ini.  

Ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan.  

"Kita perlu bicara. Sekarang."  

Ketika Elena menerima pesan itu, ia segera menuju tempat yang ditentukan.  

Sebuah gudang tua di tepi kota.  

Ketika ia tiba, Adrian sudah menunggunya.  

"Apa yang terjadi?" tanya Elena waspada.  

Adrian menatapnya tajam. "Aku tahu kau menerima ancaman. Aku juga tahu itu datang dari seseorang di kepolisian."  

Elena terkejut, tapi ia menyembunyikannya.  

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya.  

Adrian tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri."  

Elena menghela napas. "Lalu, menurutmu siapa yang bermain di balik ini semua?"  

Adrian menatapnya dalam-dalam. "Jika aku tahu jawabannya, aku tidak akan di sini sekarang."  

Elena berpikir sejenak.  

Mungkin untuk pertama kalinya, mereka berdua berada di pihak yang sama.  

Mungkin untuk pertama kalinya, musuh mereka bukan satu sama lain.  

Tapi seseorang yang lebih berbahaya.  

Seseorang yang bersembunyi di dalam sistem.  

Seseorang yang mengendalikan permainan ini dari balik layar.  

Dan kini, mereka hanya punya satu pilihan bekerja sama untuk menemukan kebenaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Samaran Terakhir   Hari yang Tidak Ditentukan Siapa-siapa

    Tentang tokoh-tokoh yang memilih untuk hidup… dan tersenyum.---[Pagi Tanpa Agenda]Matahari muncul, bukan karena diperintah narator, bukan karena menandai sebuah awal bab. Tapi karena pagi memang datang begitu saja.Lena membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Kai sedang tertidur dengan buku kosong di dadanya buku yang dulu ingin diisi dengan perlawanan, sekarang hanya menjadi tempat ia menulis mimpi-mimpinya sendiri.Lena tidak membangunkannya. Ia hanya menatap wajah itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa: tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang harus dibuktikan.Dan ternyata, itu cukup untuk bahagia.---[Adrian dan Elena – Menanam, Bukan Mengendalikan]Adrian kini hidup di rumah kecil yang mereka bangun sendiri, jauh dari ruang konflik, jauh dari keributan struktur. Ia duduk di tanah, menanam bibit kecil bersama Elena.“Ini tomat?” tanya Elena sambil tersenyum.Adrian mengangguk. “Kalau tumbuh... kita bisa bikin sup.”Elena tertawa kecil. “

  • Samaran Terakhir   Narasi yang Menolak Dimiliki

    Narasi yang Menolak DimilikiTentang kisah yang memilih untuk tidak dikendalikan.[Pembuka – Ruang Tanpa Naskah]Mereka berdiri di ruang yang seharusnya kosong tempat narasi biasanya lahir. Tapi malam itu, tidak ada pembukaan, tidak ada konflik, tidak ada klimaks.Hanya kesunyian yang jujur.Lena menatap ke depan. Di tangannya ada potongan narasi yang pernah ia tempelkan di dinding hatinya. Ia merobeknya perlahan, membiarkannya tertiup angin.Kai berjalan di belakangnya, membawa pena yang tidak lagi bisa menulis. Bukan karena tintanya habis—tapi karena dunia sudah menolak untuk ditulisi.“Bagaimana kalau kita tidak menulis akhir?” tanya Kai.Lena tersenyum, lelah tapi utuh.“Maka kita bebas.”[Adrian – Yang Pernah Menjadi Pusat]Adrian duduk sendirian. Di sekelilingnya ada kalimat-kalimat yang dulu ia pimpin. Kalimat-kalimat yang tunduk. Tapi malam ini, mereka menatapnya balik.Bukan dengan dendam. Tapi dengan kesadaran.“Kami bukan perpanjangan tanganmu lagi,” bisik salah satu paragr

  • Samaran Terakhir   Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka

    Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka[Adegan Pembuka – Paragraf Tanpa Tanda Baca]Tidak ada awalan. Tidak ada penutup. Hanya satu halaman putih, terbuka di tengah dunia yang masih menulis dirinya sendiri.Elena berdiri di sana, membaca setiap kata yang muncul bukan dari pena, tapi dari keberanian untuk tidak menyembunyikan apa pun.Di sisi lain halaman, Adrian muncul. Ia tidak membawa skrip. Tidak menawarkan plot twist. Hanya satu kehadiran yang penuh kesadaran:> "Aku tidak ingin mencintaimu dalam diam lagi."Kalimat itu tidak berani diucapkan di musim lalu. Tapi kini, tidak ada musim. Hanya ruang yang diciptakan oleh keduanya.Elena tidak menjawab dengan kata. Tapi dengan langkah mendekat. Dengan genggaman yang tidak menyelamatkan, tapi menemani.Dan dunia akhirnya membuka bab yang selama ini tertunda.---[Lena – Menulis Diri Tanpa Sembunyi]Lena duduk di pojok halaman itu, memandang mereka. Tapi ia tidak iri. Karena cinta yang ia lihat bukan soal romansa. Tapi soal keberanian

  • Samaran Terakhir   Cerita yang Ditulis dari Mata yang Menangis

    [Adegan Pembuka – Pena yang Gagal Mengatur Arah]Adrian duduk di tengah struktur kosong yang biasanya ia kontrol penuh. Dulu, cukup satu gerakan tangannya dan dunia akan mengubah warna, arah, dan nasib.Namun kali ini, tidak.Tangannya gemetar saat menyentuh naskah kosong di depannya. Ia mencoba menulis ulang Elena mencoba memberi akhir yang rapi, sebuah penutup yang ia pikir pantas.“Elena kembali ke ruang cerita, dan menerima bahwa ia hanyalah versi gagal dari cinta…”Ia berhenti.Kertas menolak menyerap tinta.Pena retak.Struktur menolak.Di belakangnya, suara lembut Elena terdengar:“Kau tidak bisa lagi menulisku dengan tangan yang sama yang pernah meninggalkanku.”[Elena – Menulis dari Luka yang Pernah Dibungkam]Elena duduk di hadapan Adrian, memegang selembar naskah kosong. Tapi ia tidak menulis dengan tinta.Ia menulis dengan air mata.“Dulu aku kalimatmu. Kini aku narasiku sendiri.”Ia menggoreskan jejak luka masa lalu, tapi bukan untuk membalas.Untuk menyatakan bahwa luka

  • Samaran Terakhir   Kalimat yang Tidak Ingin Selesai

    [Adegan Pembuka – Langkah yang Mengganggu Keheningan Panggung]Panggung yang dibangun oleh air mata masih berdiri. Tirai dari luka, cahaya lembut dari pengampunan, dan lantai narasi yang retak namun hidup. Tapi tiba-tiba… terdengar langkah.Satu. Dua. Tiga.Langkah yang bukan berasal dari dunia ini. Langkah yang membawa semacam... kenangan.Lena dan Kai saling menatap. Bahkan Valen berhenti menulis.Lalu suara itu datang. Bukan teriak. Bukan bisik.“Kalian menulis tentang keberanian dari mereka yang bertahan.”“Tapi bagaimana dengan kami… yang memilih untuk pergi?”Elena Rinaldi berdiri di ambang panggung. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya tidak mencerminkan masa lalu. Tapi matanya—matanya masih penuh cerita yang tertahan di ujung koma.[Elena – Kalimat yang Tak Pernah Diakhiri]Lena menatapnya, napasnya tercekat. “Elena… kau—”“Belum selesai,” Elena memotong dengan lembut. “Aku belum selesai.”Ia melangkah ke tengah panggung dan mengangkat secarik naskah yang compang-camping.“Aku

  • Samaran Terakhir   Panggung yang Diciptakan oleh Air Mata

    Tentang panggung yang tidak dibangun oleh penulis,melainkan oleh karakter-karakter yang pernah jatuh.Tentang ruang tampil yang tidak mencari tepuk tangan,tapi mengundang keberanian untuk berdiri lagi—meski tanpa naskah.[Adegan Pembuka – Lantai Panggung dari Luka]Tidak ada karpet merah.Tidak ada lampu sorot.Hanya lantai retak yang terbuat dari kata-kata yang pernah gagal.Dindingnya dibentuk oleh kalimat yang tak pernah sempat selesai.Langit-langitnya bergantung pada harapan yang belum berani diucapkan.Di sanalah Lena berdiri.Ia tidak menunggu giliran tampil.Ia tidak membawa dialog.Ia hanya berdiri… dengan air mata yang tidak ditulis oleh siapa pun.Karena kali ini, air matanya bukan untuk dipahami. Tapi untuk menghidupkan panggung ini.[Kai – Merangkai Dialog dari Duka]Kai tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat ini:ruang narasi yang pernah ditinggalkan,bekas teater cerita yang dibakar oleh keputusasaan.Namun kini, ia datang bukan sebagai tokoh yang mencari arah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status