Elena duduk di kantornya, menatap laporan sidik jari yang masih terbuka di laptopnya.
Marco Santoro.
Lima tahun lalu, dunia kriminal percaya bahwa pria ini telah mati dalam sebuah penyergapan besar di Roma. Tapi kini, sidik jarinya muncul di tempat perampokan di Bellagio.
Ini tidak masuk akal.
Jika Santoro masih hidup, maka ada dua kemungkinan:
1. Adrian Morello tahu dan merahasiakannya.
2. Ada pihak lain yang mencoba menggunakan nama Phantom untuk sesuatu yang lebih besar.Elena menarik napas dalam.
Jika Adrian benar-benar Phantom, maka ia pasti memiliki jawaban atas ini.
Dan hanya ada satu cara untuk mengetahuinya yaitu membuatnya berbicara.
Malam itu, Elena menunggu Adrian di tepi Danau Como, di tempat mereka biasa bertemu.
Ketika pria itu akhirnya datang, ia memperhatikan sesuatu yang berbeda.
Ada ketegangan di wajahnya, seolah pikirannya terbebani sesuatu yang besar.
Elena memutuskan untuk langsung ke intinya.
"Kau dengar tentang sidik jari yang ditemukan di TKP perampokan?" tanyanya, mengamati ekspresi Adrian.
Adrian tetap tenang. "Aku dengar. Marco Santoro, bukan?"
Elena memperhatikan matanya. Tidak ada kejutan. Tidak ada keterkejutan palsu.
"Kau tahu dia masih hidup?" desaknya.
Adrian menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata "Aku tidak yakin."
"Bukan jawaban yang cukup bagus" balas Elena.
Adrian menghela napas dan melihat ke arah danau yang tenang. "Dulu, aku percaya dia mati. Tapi belakangan ini, ada beberapa hal yang membuatku ragu."
"Misalnya?"
Adrian menoleh ke arahnya, senyumnya tipis. "Jika aku memberitahumu, apa jaminanku bahwa aku tidak akan berakhir di balik jeruji besi?"
Elena menyilangkan tangan. "Aku bisa memberimu perlindungan."
Adrian tertawa pelan. "Perlindungan dari siapa? Polisi? Atau dirimu sendiri?"
Elena membeku.
Adrian melangkah lebih dekat, suaranya lebih pelan namun tajam.
"Kau ingin menangkap Phantom, bukan? Tapi bagaimana kalau ada lebih dari satu Phantom?"
Elena mengernyit. "Apa maksudmu?"
Adrian menatapnya dalam-dalam. "Kau terlalu fokus padaku, Elena. Tapi bagaimana kalau seseorang lain sedang memainkan permainan ini dari bayang-bayang?"
Elena terdiam.
Jika yang dikatakan Adrian benar… maka selama ini ia telah memburu orang yang salah.
Setelah pertemuan itu, Elena kembali ke kantornya dan membuka kembali semua berkas kasus lama yang melibatkan Adrian Morello dan Marco Santoro.
Ia mencari sesuatu pola, keterkaitan, apa pun yang bisa membuktikan bahwa ada orang lain yang terlibat.
Lalu ia menemukannya.
Sebuah laporan lima tahun lalu tentang penyergapan yang gagal di Roma.
Ada satu detail kecil yang selama ini terabaikan: Tidak pernah ada mayat Marco Santoro yang ditemukan.
Yang ada hanya laporan saksi yang mengatakan bahwa ia ditembak.
Tapi bagaimana jika…?
Bagaimana jika penyergapan itu hanyalah sebuah sandiwara?
Bagaimana jika seseorang membantu Marco menghilang?
Dan yang lebih penting, siapa?
Di tempat lain, Adrian berjalan menuju sebuah rumah kecil di luar Bellagio.
Ia tidak punya banyak pilihan.
Ia harus mencari tahu siapa yang telah menggunakan simbol Phantom di perampokan itu.
Ketika ia tiba, seorang pria tua menunggunya di dalam.
"Kau kembali lebih cepat dari yang kuduga," kata pria itu.
Adrian duduk di kursi di depannya. "Aku tidak punya pilihan."
Pria itu menghela napas. "Jadi, kau sudah tahu tentang Marco?"
Adrian mengangguk. "Aku ingin tahu siapa yang membantu dia menghilang lima tahun lalu."
Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Seseorang yang punya akses ke sistem. Seseorang yang bisa menghapus jejak."
Adrian menatap pria itu dengan tajam. "Polisi?"
Pria itu mengangguk pelan.
Adrian menghela napas dalam.
Jika ada polisi yang membantu Marco, maka ini lebih dari sekadar permainan antara dirinya dan Elena.
Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar.
Sementara itu, Elena menerima pesan anonim di ponselnya.
"Berhenti mencari, atau kau akan menjadi target berikutnya."
Ia menatap pesan itu dengan ekspresi dingin.
Ini adalah ancaman, tapi sekaligus bukti bahwa ia sudah semakin dekat dengan sesuatu yang besar.
Tapi siapa yang mengirimnya?
Ia memeriksa ulang ponselnya, mencari jejak digital pesan itu.
Setelah beberapa menit, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Pesan itu dikirim dari jaringan yang terkait dengan kepolisian Milan.
Elena membeku.
Jika ada polisi yang mencoba menghentikannya, maka ini berarti ada pengkhianat di dalam kepolisian sendiri.
Dan mungkin… orang itu adalah orang yang selama ini melindungi Marco Santoro.
Adrian kembali ke apartemennya, pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Ia tahu bahwa ada lebih banyak orang yang bermain dalam permainan ini.
Ia juga tahu bahwa semakin lama ia di Bellagio, semakin berbahaya situasinya.
Tapi ada satu hal yang masih mengganggunya.
Elena.
Jika ia terus dekat dengannya, cepat atau lambat wanita itu akan menemukan kebenaran.
Tapi jika ia pergi, maka ia kehilangan satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa yang benar-benar berada di balik semua ini.
Ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan.
"Kita perlu bicara. Sekarang."
Ketika Elena menerima pesan itu, ia segera menuju tempat yang ditentukan.
Sebuah gudang tua di tepi kota.
Ketika ia tiba, Adrian sudah menunggunya.
"Apa yang terjadi?" tanya Elena waspada.
Adrian menatapnya tajam. "Aku tahu kau menerima ancaman. Aku juga tahu itu datang dari seseorang di kepolisian."
Elena terkejut, tapi ia menyembunyikannya.
"Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
Adrian tersenyum tipis. "Aku punya caraku sendiri."
Elena menghela napas. "Lalu, menurutmu siapa yang bermain di balik ini semua?"
Adrian menatapnya dalam-dalam. "Jika aku tahu jawabannya, aku tidak akan di sini sekarang."
Elena berpikir sejenak.
Mungkin untuk pertama kalinya, mereka berdua berada di pihak yang sama.
Mungkin untuk pertama kalinya, musuh mereka bukan satu sama lain.
Tapi seseorang yang lebih berbahaya.
Seseorang yang bersembunyi di dalam sistem.
Seseorang yang mengendalikan permainan ini dari balik layar.
Dan kini, mereka hanya punya satu pilihan bekerja sama untuk menemukan kebenaran.
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - RUANG MEMORI TERLUPAKANSTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya tergeletak di atas lantai batu yang dingin. Lorong yang penuh dengan bayangan kini hilang, digantikan oleh ruang besar dengan dinding berlapis cermin retak, masing-masing memantulkan bayangannya dalam bentuk yang terdistorsi.Ia mencoba mengingat bagaimana ia sampai di tempat ini, tapi pikirannya terasa kabur, seolah ingatan-ingatan itu terhapus seiring dengan langkahnya yang semakin dalam ke dalam dimensi ini."Di mana aku..." gumamnya, meraba pelipisnya yang terasa nyeri. Di sekelilingnya, cermin-cermin itu berderak pelan, suara retakannya seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengganggu pikirannya.Di salah satu cermin, bayangannya muncul, namun kali ini berbeda. Bukan hanya sosoknya yang terlihat, tetapi juga kenangan yang lama terkubur dalam pikirannya. Ia melihat dirinya yang lebih muda, berlari di tengah hutan, berteriak ketakutan, dengan mata
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - LABIRIN MEMORISTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian melangkah ke dalam lorong yang baru saja terbuka, napasnya masih berat, tubuhnya terasa semakin dingin. Lorong ini berbeda dari yang lain. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kasar, berlumut, dan berdenyut pelan seolah memiliki nadi sendiri. Cahaya redup dari lentera yang tergantung di sepanjang lorong itu berkelap-kelip, seolah menyadari kehadirannya."Dimensi ini... semakin aneh," gumamnya, mencoba tetap fokus meski pikirannya mulai dihantui oleh bayangan gadis yang baru saja ia temui. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia begitu mengenal tempat ini?Setiap langkah yang Adrian ambil menggema, seakan dinding-dinding labirin ini berbisik satu sama lain, menceritakan kisah yang tak pernah berakhir. Ia berhenti di sebuah persimpangan, tiga jalan bercabang di hadapannya, masing-masing menuju ke kegelapan yang sama pekatnya.Di dinding di depannya, ukiran samar muncul, berkilau dalam cahaya lentera:"HANYA YANG TIDA
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - AULA WAKTU TERHENTISTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian melangkah semakin dalam ke lorong tanpa bayangan, merasakan setiap detik seolah membekukan darahnya. Udara di sekitarnya mulai berubah, lebih berat, lebih pekat, seolah menghirup napas dari sesuatu yang hampir mati namun masih bernafas dengan susah payah. Ketika akhirnya ia mencapai ujung lorong, ruangan besar terbuka di hadapannya.Ia berdiri di tengah aula megah yang penuh dengan jam-jam antik, masing-masing berdenting pelan, namun jarumnya tidak bergerak. Lantai marmer di bawahnya retak, memantulkan bayangan-bayangannya sendiri dalam pola yang aneh. Di atasnya, sebuah jam raksasa tergantung, jarumnya terhenti pada angka 11:59, seolah waktu di tempat ini tak pernah mencapai tengah malam."Apa ini...?" bisiknya, mendekati salah satu jam di sisi dinding. Ia memperhatikan dengan saksama, melihat bahwa kaca jam itu bergetar pelan, seakan mencoba berbicara padanya.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar da
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - KORIDOR YANG BERUBAHSTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian berdiri di tengah lantai kaca yang kini mulai merekah, serpihan-serpihan kaca berputar di sekelilingnya, seperti serpihan mimpi yang pecah. Elena telah menghilang ke dalam kegelapan, dan seolah untuk menambah rasa teror, dinding-dinding di sekelilingnya mulai menutup, merapat, dan berputar, menciptakan koridor baru yang tidak pernah ada sebelumnya."Elena!" Adrian berteriak lagi, namun hanya gema suaranya yang menjawab, terpantul dari setiap permukaan kaca yang kini berubah menjadi cermin, memantulkan wajahnya dari berbagai sudut. Tapi sesuatu terasa salah bayangannya di cermin itu tidak bergerak seperti dirinya. Mereka berdiri diam, menatapnya dengan mata kosong, senyum tipis yang mengerikan terukir di bibir mereka."Ini... jebakan lain," gumamnya, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Ia tahu, di tempat seperti ini, rasa takut adalah musuh yang paling berbahaya.Ia melangkah mundur, namun bayan
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - RUANGAN TAK BERTANGGASTATUS WAKTU: Tidak TerukurSaat tubuh mereka menghantam lantai keras, Elena dan Adrian terlempar ke dalam ruangan baru yang lebih aneh dari sebelumnya. Lantainya terbuat dari kaca hitam berkilau, seolah setiap langkah mereka bisa memecahkan permukaan dan menjatuhkan mereka ke dalam kehampaan di bawahnya. Dinding-dinding di sekeliling mereka bergerak perlahan, memutar, menciptakan pola-pola yang berubah setiap beberapa detik, seolah-olah ruangan itu sendiri sedang berpikir.Adrian bangkit dengan susah payah, menggenggam lengannya yang terasa nyeri. Elena di sampingnya terbatuk pelan, mencoba menstabilkan napasnya. Udara di ruangan ini lebih dingin, berbau logam dan sesuatu yang membusuk."Di mana kita sekarang?" Elena bergumam, matanya berkeliling, mencoba memahami lingkungan baru ini. "Apa ini semacam... ilusi lagi?"Adrian menatap lantai kaca di bawah kakinya. Di bawahnya, dia melihat bayangan-bayangan bergerak, sosok-sosok yang tampa
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUA - LORONG TAK BERUJUNGSTATUS WAKTU: Tak TerukurLangkah mereka bergema di lorong yang terasa semakin menyempit. Dinding-dinding bata di sekeliling mereka berdetak pelan, seakan jantung dari makhluk hidup raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya. Setiap langkah adalah perjudian, seolah lantai kayu tua di bawah kaki mereka bisa runtuh kapan saja, menelan mereka ke dalam kegelapan tanpa akhir."Adrian... perhatikan ini," bisik Elena, menunjuk ke dinding di sebelahnya. Pada bata yang berlumut itu, terukir simbol-simbol kuno yang terus berdenyut dengan cahaya merah samar, seolah tinta dari darah segar. Bentuknya seperti mata yang mengintip, terus mengikuti setiap gerakan mereka. "Ini bukan hanya labirin biasa. Ini lebih seperti... jebakan yang hidup."Adrian memperhatikan simbol itu dengan alis berkerut. Ia mendekat, jari-jarinya hampir menyentuh permukaan dingin batu itu ketika tiba-tiba simbol tersebut bergetar, seakan merespons kehadiran mereka. Dalam sek
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUASTATUS WAKTU: Tak TerukurGelapnya tempat mereka dalam sekejap. Ruangan tempat mereka berdiri menjadi kosong dalam sekejap mata, lalu dikelilingi kabut hitam pekat yang seolah hidup, bergerak perlahan, seakan bernapas di sekitar mereka. Suara bisikan itu masih menggema, semakin dalam, semakin mengikat setiap percakapan, setiap gerakan mereka. Aroma lembab dan besi tua memenuhi udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat.Elena dan Adrian saling mengacungkan senjata mereka, berusaha mencari arah di dalam kekelaman yang menyelubungi. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan, seolah-olah mereka terjebak di dalam labirin narasi yang tak berujung. Dinding-dinding bata di sekitar mereka tampak bergerak, berdenyut seperti daging hidup, seolah bangunan ini sendiri adalah makhluk hidup yang mempermainkan mereka."Ini tidak nyata," bisik Elena, meski dia sendiri tahu kata-kata itu tidak akan mengubah apa pun. Suaran
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUASTATUS WAKTU: Tak TerukurGelap menyelimuti mereka dalam sekejap. Ruangan tempat mereka berdiri menjadi kosong dalam sekejap mata, lalu diselimuti oleh kabut hitam pekat. Suara bisikan itu masih bergema, semakin dalam, semakin mengikat setiap percakapan, setiap gerakan mereka.Elena dan Adrian saling menggenggam senjata mereka, berusaha mencari arah di dalam kekelaman yang menyelubungi. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan, seakan mereka terjebak di dalam labirin narasi yang tak berujung."Ini tidak nyata," bisik Elena, meski ia sendiri tahu kata-kata itu tidak akan mengubah apa pun."Apakah kita benar-benar masih berada di dunia yang sama?" tanya Adrian, suaranya penuh kebingungan. "Kenapa semuanya terasa... seperti cerita yang hidup?"Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakang mereka. Mereka berdua berbalik, siap, namun tidak ada siapa pun di sana hanya dinding kosong dan lorong yang terbentang
Belum sempat mereka memahami situasi, ponsel Elena kembali berdering. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berdesir."Detektif Elena, ini Kapten Ramos. Ada kasus pembunuhan aneh di gedung tua di pusat kota. Kamu harus segera ke sana. Ini... bukan kasus biasa."Elena menelan ludah. "Baik, Kapten. Dalam perjalanan."Ia menutup telepon, menatap Adrian. "Kau ikut denganku. Ini bisa saja berkaitan dengan semua ini."Adrian mengangguk, tatapannya tajam, penuh ketegangan. "Kita selesaikan ini."Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah ke arah mobil patroli yang diparkir di sudut jalan, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di gedung tua itu. Tapi langkah mereka terhenti saat melihat seseorang menatap mereka dari kejauhan seorang pria dengan jas hitam dan topi fedora, yang menghilang begitu mereka mencoba mendekat.Mereka saling pandang. Sepertinya, bayangan dari masa lalu Adrian... baru saja muncul kembali.GEDUNG TUA DI UJUNG KOTASirene mobil patroli memecah kesunyian malam s