Beranda / Urban / Sandal Putus / BAB 1 Kembalinya Masa Lalu

Share

Sandal Putus
Sandal Putus
Penulis: Syamsa Hawa

BAB 1 Kembalinya Masa Lalu

Penulis: Syamsa Hawa
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-05 20:14:17

PoV OKI FARIANI

Tumben. Setelah 2 tahun tak pernah berkabar sama sekali, sebuah chat masuk mengejutkanku. Dari mantan adik ipar, adik perempuan mantan suamiku, Tiwi.

Aku memang tak pernah memblokir nomornya, buat apa, tanpa perlu diblokir pun, mantan adik iparku itu memang hampir tak pernah menghubungiku. 

Baginya aku bukanlah kakak ipar, mungkin hanya seorang pengganggu, atau entahlah, yang jelas sejak awal dia terbiasa memperlakukanku seperti pembantu gratisan, bahkan dulu pakaian dalamnya aku yang mencucikan, makanannya aku yang masakkan, kamarnya aku yang rapikan, karena kami tinggal seatap.

Aku pun heran mengapa dulu bersedia melakukan hal-hal seperti itu sekalipun tak ada penghargaan sekadar ucapan terimakasih atau senyuman basa-basi dari bibirnya. 

Sampai akhirnya aku berhenti melakukannya,  aku sadari ... meski aku rela berikan nyawaku pada keluarga itu, mereka takkan setitik pun merasa kasihan padaku apalagi sampai menyayangiku.

Sekarang aku justru kaget, bagaimana bisa mantan adik iparku menghubungiku via W******p? Tumben ia sudi menyimpan nomor hapeku.

Lihat, ini yang dikatakannya dalam sebuah pesan chat singkat.

[Kak Oki, boleh aku ketemu Kakak? Silakan Kak Oki yang tentukan waktu dan tempatnya]

Keningku mengernyit. Benarkah ini Tiwi yang mengetik? Kenapa terasa bukan dia. Aku agak lupa kapan terakhir mendengar bibirnya berucap sopan seperti ini? Pernahkah?

Hmm, mungkin memang bukan dia, barangkali suaminya, si Andre, yang membantu mengetikkan. 

Aku sungguh ragu Tiwi bisa sesopan ini padaku, jika mengingat caranya memperlakukanku selama ini yang hampir tidak pernah pakai hati. Bahkan amplop untuk kado pernikahannya dariku malah ia berikan pada ibu. Tidak sudikah ia menerima uang dariku? Seolah tidak butuh.

Padahal aku memasukkan lima ratus ribu ke dalam amplop itu, hasil membobol tabungan anakku, yang sebenarnya merupakan uang terakhir yang aku punya saat itu.

Tapi by the way ... buat apa Tiwi mengajak bertemu ya? Ada apakah?

Aku tidak punya masalah utang-piutang dengannya, tidak juga ada janji yang perlu dipenuhi. Aku hampir tak punya urusan apapun dengan mantan adik iparku itu.

Lalu, apa yang harus kubalas?

Setelah 10 menit berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku pun mengirimkan jawaban.

[Boleh. Hari Rabu di Kafe depan pom bensin.]

Tak pakai lama, Tiwi langsung me-reply.

[Ok]

Tiba-tiba aku langsung teringat, jangan-jangan ... Tiwi menghubungiku karena video wawancara ekslusifku dengan salah seorang youtuber ternama yang tayang kemarin?

Liputan ekslusif muslimah pengusaha hijab dan gamis, dengan aku sebagai salah satu narasumbernya. Yaa, bisa jadi Tiwi mulai mau memandangku karena saat ini usahaku makin berkibar, omsetku makin membengkak.

Dulu, bukan hanya Tiwi, tapi satu keluarga itu selalu meremehkanku hanya karena aku seorang lulusan SMA. Mereka adalah manusia-manusia yang memandang orang lain dari harta dan titel sarjana. Sedangkan aku saat itu tak memiliki keduanya ....

***

Sudah 2 tahun berpisah dari keluarga itu, aku telah kehilangan rasa minderku. Kini aku tinggal di cluster perumahan yang nyaman. Dengan fasilitas kolam renang yang bisa dijangkau 5 langkah dari rumah.

Kedua anakku kujaga sendiri tanpa meminta belas kasih nafkah dari mantan suamiku yang boro-boro peduli, bertanya kabar anak-anaknya pun tidak.

Aku mematut diri di depan cermin. Kuambil pensil alis, kuraut, dan kubingkai alis mataku dengan sedikit sentuhan dari ujung runcing pensil alis berwarna coklat tua itu.

Sambil mengaplikasikan make up, aku masih mengenang masa lalu pernikahanku yang seperti penjara, oo tidak ... penjara masih sangat bagus, lebih tepatnya seperti neraka. Ya, sejak hari pertama ijab kabul, aku seperti memasuki gerbang neraka dunia.

Jangankan untuk ber-make up atau merawat diri dengan skincare seperti saat ini, waktu aku masih dalam kondisi nifas, beberapa hari setelah melahirkan anak pertamaku, jahitan masih perih terasa dan infeksi bernanah memenuhi bagian privasiku, saat itu ibu mertuaku justru menagih uang lahiran padaku.

"Oki ... kamu kan kemarin melahirkan pinjam uang Ibu dan Bapak, kapan mau dilunasi?"

Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa, hanya terdiam dengan mata celong seperti zombi di atas kasur.

Hatiku menjerit. Kenapa ibu menagih aku? Bukankah anak ibu yang harusnya melunasi? Kenapa tidak marahi Herdi yang setiap hari asyik main game bukannya mencari pekerjaan? Kenapa ibu malah mencecar aku yang sedang terluka pedih di bekas jahitan liang lahir dan lecet pada puting? Seharian menyusui cucu ibu tanpa ada asupan makanan selain sayur katuk bening yang ibu paksakan aku makan sepanci penuh.

Semua teriakan hanya tersangkut di tenggorokan. Hampir setiap hari setelah aku melahirkan, ibu selalu masuk ke kamarku untuk bertanya kapan biaya lahiran tiga juta itu kami lunasi. 

Aku menghela nafas. Jujur, rasa emosi, marah dan luka itu masih terasa hingga kini.

Selesai. Riasan sempurna telah mempercantik tampilanku, aku sengaja memilih liptint warna marun tua untuk membuat ombre lips yang dipadukan dengan warna nude, agar nuansa elegan lebih terasa. Sentuhan terakhir, kusemprotkan setting spray ke seluruh bagian wajah.

Kubuka lemari, kupilih gamis koleksi terbaruku, yang pekan lalu direview oleh youtuber dengan 1,8 juta subscribers. Lalu kupadupadankan dengan hijab koleksi terbaruku juga yang sedang hits di pasaran.

Meski ku banderol dengan harga tiga ratus ribu Rupiah, hijab ini langsung terjual lima ribu pieces dalam pekan pertama. Aku yakin tampilanku ini akan membuat Ibu dan Tiwi tak bisa merendahkanku lagi seperti dulu.

Masih segar dalam ingatanku, saat Tiwi membuang lipstiknya yang padahal sudah kuminta baik-baik beberapa hari sebelumnya.

"Tiwi, kalau lipstik yang warna itu udah ga dipake, boleh buat Kak Oki gak?"

"Oo ini masih aku pake!" Ucap Tiwi dengan ekspresi ketusnya yang sepertinya sudah menempel di wajahnya sejak lahir.

Aku cuma tersenyum tipis saat itu, namun langsung hancur hatiku ketika beberapa hari setelah itu menemukan lipstik yang katanya masih dipakai ternyata dibuang ke tong sampah di dapur.

Mungkin terlalu najis barang miliknya diberikan padaku, lebih baik dibuang daripada berpindah tangan menjadi milikku.

Aku berpamitan pada Mamah yang sedang bermain bersama Bayu dan Yumi, kedua buah hatiku.

"Mah, Oki mau bertemu Tiwi dulu yaa, dia yang ngajak ketemuan."

Mamah langsung mengernyit, terlihat tidak suka  "Buat apa bertemu dia lagi?"

"Tenang Mah ... gak lama-lama kok insya Allah. Oki titip Bayu sama Yumi ya Mah."

"Iya, ga usah diajak, ini mereka lagi asyik main lego," ucap Mamah. Aku mencium tangan dan kening Mamah sambil menyelipkan uang satu juta cash ke tangan Mamah.

"Kalau Mamah bosen makanan buatan Oki, pesen aja dari Gofood ya."

Terdengar suara protes Mamah karena tidak suka diberi uang terlalu banyak, tapi aku langsung berjalan keluar pintu dan memakai high heels 8 cm yang sudah kupersiapkan sejak pagi.

Mobil sudah siap di depan rumah, Bang Usman, driver langgananku langsung bersigap membukakan pintu belakang mobilnya.

*****

Saat heels yang kupakai menyentuh lantai kafe itu, mataku sudah bisa menangkap sosok Tiwi dari sudut ekor mataku.

Tampilan Tiwi terlihat pucat, jerawat yang meradang memenuhi kedua pipinya. Ia coba warnai bibirnya dengan liptint oranye, tapi tetap tak bisa menutupi aura gelap di wajahnya.

Rupanya Tiwi tidak datang sendiri, ada Andre suaminya, dan juga sosok tua itu, ibu mertuaku.

Melihat wajah ibu yang semakin penuh dengan guratan usia, hatiku sempat terbersit iba. Namun dalam sekejap tertutupi lagi oleh rasa benci yang tiba-tiba mengusik kembali.

Aku ingat dengan jelas bagaimana dulu ibu selalu menyuruhku memasak makanan kesukaan Tiwi, juga memintaku mencuci bersih dan menyetrika pakaian kerja Tiwi dengan rapi. Bahkan di saat aku hamil anak kedua, meskipun harus turun naik tangga untuk mencuci, menjemur, dan menyetrika, tak ada belas kasihan untukku di wajah tuanya itu.

Sesudah mengambil jemuran karena hujan, dalam kondisi badanku masih basah saja ibu langsung memerintahkan banyak pekerjaan untukku, seperti mengepel lantai dapur yang berminyak, mengelap kompor dan mencuci wajan.

Tak peduli aku sedang hamil, tak peduli Bayu yang rewelnya minta ampun saat itu baru usia satu setengah tahun, ibu selalu menghadiahiku dengan berbagai pekerjaan rumah tangga.

Saking stresnya, aku akhirnya sering memukuli Bayu jika tak mau diam dan terus berteriak-teriak.

Akhirnya langkahku terhenti tepat di depan meja mereka. Aku mengulas senyum pada mereka dan mengulurkan tangan untuk menyalami tangan tua ibu. Bagaimanapun aku harus menunjukkan sopan santun pada mantan mertuaku.

"Sudah pesan makanan?" Tanyaku basa-basi.

"Sudah Kak, paling sebentar lagi datang," jawab Andre mewakili ibu dan Tiwi.

Aku menatap Tiwi dan ibu tanpa canggung, senyuman lebar sengaja ku rekahkan seperti bunga di musim semi, aku ingin mereka tahu betapa bahagianya aku kini.

Namun senyumku tiba-tiba pupus, begitu Tiwi mengucapkan kalimat pertamanya.

"Kak Oki, Mas Herdi sekarang sakit keras ..."

Ingatan-ingatanku tentang mantan suamiku itu tiba-tiba saja berserakan memenuhi memori. Mas Herdi, manusia laknat yang telah menipuku sejak awal pernikahan ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sandal Putus   Bab 43 Pura-pura Tidak Tahu

    POV Tiwi AdelitaKegalauan tiba-tiba kembali menyergap saat aku melihat Oki kembali ke rumah ini bersama Herdi dengan membawa beberapa tas dan kardus, bersiap menempati kamar depan. Perlahan kuselidiki Oki dari ujung kepala hingga kaki, seolah mataku adalah mesin scan. Kutelusuri mimik wajah dan tampilannya.Bayu dalam gendongan Oki terlihat lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Karena sudah dua bulan tidak bertemu, aku sangat menyadari cekungan di bawah mata Bayu yang lebih kentara. Apakah Oki tidak merawat Bayu dengan baik?Oki sendiri sama kondisinya, badannya tampak lebih kurus dengan pipi lebih tirus dan mata panda yang sembap. Kesimpulanku, Oki memang tidak pandai merawat diri sendiri dan anaknya.Sebelah sisi hatiku sebenarnya merasa khawatir dan galau beberapa hari ini. Aku mengetahui Herdi bermain api dengan seorang perempuan berwajah menor. Kami berpapasan di tengah jalan tanpa Herdi sadari beberapa hari lalu. Jelas bahwa mereka menjalani hubungan yang tidak biasa, bahasa ka

  • Sandal Putus   Bab 42 Lelah yang Bertambah

    POV Oki FarianiApa maksud Tiwi ya? Aku membaca kembali chat dari Tiwi beberapa saat lalu.Kok dia minta aku untuk menyuruh Mas Herdi pulang? Kan Mas Herdi bilang tidak datang ke sini karena ibu dan Tiwi pingsan kena tipu tante Dewi?Perutku terasa berkedut. Getaran lemah, tapi aku bisa mendeteksinya, sepertinya janin kecil di rahimku turut terdampak gemuruh hatiku sejak tadi. Setelah menangis habis-habisan, lalu tiba-tiba tersentak dengan kabar pingsannya ibu dan iparku, segala yang terjadi hari ini cukup menyedot banyak energi.“Kak Oki, sudah baikkan? Perut Kak Oki sakit?” Desy tampak ragu-ragu bertanya sambil melangkah mendekatiku.“Maafin aku ya Kak, bukannya meringankan beban Kak Oki, malah tambah ngebebanin pikiran dengan ucapan-ucapan asal jeplak.” Sekali lagi Desy berusaha meminta maaf.“Tenang aja Des, Kak Oki alhamdulillah sudah lebih stabil kok, tadi maaf ya jadi ngagetin semua,” ucapku.“Oiya, Kak Oki dapat kabar apa dari Herdi? Kayaknya tadi langsung kelihatan panik begi

  • Sandal Putus   Bab 41 Tertangkap Tangan

    POV Tiwi Adelita“Ini bohong kan, Tante Dewi gak mungkin setega itu!”Aku berulang kali meyakini hatiku sendiri. Tapi sialnya, segala fakta dan kesaksian yang ada memperlihatkan bahwa tante Dewi benar telah menipu kami.Terngiang kembali di benakku raut wajah ibu saat mengetahui pintu kamar kami terbuat dari papan triplek tipis, kitchen set di dapur terbuat dari bahan abal-abal, apalagi saat mendengar pengakuan tukang kalau mereka hanya dibayar empat ratus juta saja untuk renovasi ini, padahal ibu telah menggelontorkan dana delapan ratus lima puluh juta dan mempercayakannya pada Tante Dewi.Kekecewaan yang membuncah melihat hasil renovasi yang jauh dari ekspektasi, serta informasi mengenai total biaya renov yang hanya separuhnya dibayarkan ke tukang membuat aku dan ibu sangat emosional bahkan hampir tak sadarkan diri.Untunglah aku hanya terjatuh saja karena mendadak tungkai kaki terasa lemas, namun ibu merasakan dadanya tiba-tiba sesak dan langsung megap-megap menahan tangis, dramati

  • Sandal Putus   Bab 40 Ulangtahun Pertama

    POV Oki FarianiSudah sebulan lebih aku tinggal di rumah tante, masih menunggu renovasi rumah ibu mertua rampung, sepertinya dua minggu lagi sudah selesai.Sempat terbersit tidak ingin balik ke rumah itu sih, namun dua garis merah di testpack membuatku harus mengurungkan niat. Tidak mungkin kugugat cerai Herdi saat sedang mengandung begini.Dua minggu terakhir aku menenangkan diri setelah mengetahui ada janin di rahimku, aku tak memeriksakan diri ke bidan, tidak juga memberitahukan tante, om, ataupun Desy. Namun kini berangsur-angsur hatiku sudah lebih menerima kondisi. Sudah tidak lagi menangis diam-diam setiap malam.Aku meyakini apa yang terjadi adalah yang terbaik dari Tuhan, tapi terkadang aku belum paham hikmah di baliknya. Aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri, harusnya kalau aku tak mau hamil kembali, tak usah memilih rujuk dengan Herdi. Ketika aku memutuskan balikan, semestinya aku sudah memperkirakan hal apa saja yang akan kualami, apalagi aku sempat berhenti KB suntik.

  • Sandal Putus   Bab 39 Dua Garis Merah yang Mencekam

    POV Oki Fariani“Kamu mau apa, Ki? Minta cerai sama aku lagi? Emangnya kalau kita pisah, kamu punya uang untuk kasih makan Bayu?” Pertanyaan Herdi itu lebih terdengar seperti cibiran, ejekan, hinaan dan sindiran.Herdi benar-benar merasa di atas angin saat ini, mungkin karena keberadaan uang puluhan juta di rekeningnya, atau uang Milyaran dari deposito almarhum bapaknya yang sudah cair, sehingga dia merasa kaya raya. Maaf ya, bagiku orang macam Herdi dan keluarganya adalah contoh nyata orang MISKIN. Mereka memang punya uang banyak, tapi uang milyaran itu pun bahkan tak mampu membayar utang yang hanya sepuluh juta. Aku hanya terdiam tak menanggapi cibiran Herdi, tapi hatiku nyeri, rasanya aku telah tertipu ratusan kali oleh pria jahat ini. Bodohnya, aku selalu terperangkap, terjebak lagi dan lagi. Kupikir ia benar-benar akan berubah, namun ternyata kesempatan kedua memang sebaiknya tidak diberikan untuk orang berakhlak sampah!“Aww!” Entah mengapa, tiba-tiba kurasakan nyeri di perut

  • Sandal Putus   Bab 38 Lebih Bodoh dari Keledai

    POV Oki Fariani“Keledai saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali, sayangnya ... banyak manusia yang gak sepintar keledai!” Deg! Jantungku terhantam dengan pernyataan itu.Aku tahu ucapan Desy itu diperuntukkan bagiku, aku juga malu sebenarnya kalau masih harus meminta bantuan ke Desy, tante, ataupun om seperti sekarang ini, padahal jelas-jelas rujuk kembali dengan Herdi adalah keputusanku sendiri.Tapi mau bagaimana lagi, saat ini aku dan Bayu tidak ada tempat untuk tinggal, selama rumah di sana masih direnovasi, aku tak mau tinggal di apartemen bersama keluarga Herdi terutama selama ada tante Dewi. Jadi, aku harus menebeng kembali di rumah tante ini, yaa menebeng tempat tinggal, menebeng makan tiga kali sehari, menebeng segala-galanya.“Hush Des, jangan ngomong sembarangan, lagi di meja makan kok nyinyir!” ucap tante membelaku. Desy terlihat cemberut.“Jadi, rumah almarhum bapak direnovasi sampai kapan, Ki?”“Katanya sih dua bulan selesai Tan, makanya selama dua bulan ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status