Share

Sandal Putus
Sandal Putus
Penulis: Syamsa Hawa

BAB 1 Kembalinya Masa Lalu

PoV OKI FARIANI

Tumben. Setelah 2 tahun tak pernah berkabar sama sekali, sebuah chat masuk mengejutkanku. Dari mantan adik ipar, adik perempuan mantan suamiku, Tiwi.

Aku memang tak pernah memblokir nomornya, buat apa, tanpa perlu diblokir pun, mantan adik iparku itu memang hampir tak pernah menghubungiku. 

Baginya aku bukanlah kakak ipar, mungkin hanya seorang pengganggu, atau entahlah, yang jelas sejak awal dia terbiasa memperlakukanku seperti pembantu gratisan, bahkan dulu pakaian dalamnya aku yang mencucikan, makanannya aku yang masakkan, kamarnya aku yang rapikan, karena kami tinggal seatap.

Aku pun heran mengapa dulu bersedia melakukan hal-hal seperti itu sekalipun tak ada penghargaan sekadar ucapan terimakasih atau senyuman basa-basi dari bibirnya. 

Sampai akhirnya aku berhenti melakukannya,  aku sadari ... meski aku rela berikan nyawaku pada keluarga itu, mereka takkan setitik pun merasa kasihan padaku apalagi sampai menyayangiku.

Sekarang aku justru kaget, bagaimana bisa mantan adik iparku menghubungiku via W******p? Tumben ia sudi menyimpan nomor hapeku.

Lihat, ini yang dikatakannya dalam sebuah pesan chat singkat.

[Kak Oki, boleh aku ketemu Kakak? Silakan Kak Oki yang tentukan waktu dan tempatnya]

Keningku mengernyit. Benarkah ini Tiwi yang mengetik? Kenapa terasa bukan dia. Aku agak lupa kapan terakhir mendengar bibirnya berucap sopan seperti ini? Pernahkah?

Hmm, mungkin memang bukan dia, barangkali suaminya, si Andre, yang membantu mengetikkan. 

Aku sungguh ragu Tiwi bisa sesopan ini padaku, jika mengingat caranya memperlakukanku selama ini yang hampir tidak pernah pakai hati. Bahkan amplop untuk kado pernikahannya dariku malah ia berikan pada ibu. Tidak sudikah ia menerima uang dariku? Seolah tidak butuh.

Padahal aku memasukkan lima ratus ribu ke dalam amplop itu, hasil membobol tabungan anakku, yang sebenarnya merupakan uang terakhir yang aku punya saat itu.

Tapi by the way ... buat apa Tiwi mengajak bertemu ya? Ada apakah?

Aku tidak punya masalah utang-piutang dengannya, tidak juga ada janji yang perlu dipenuhi. Aku hampir tak punya urusan apapun dengan mantan adik iparku itu.

Lalu, apa yang harus kubalas?

Setelah 10 menit berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku pun mengirimkan jawaban.

[Boleh. Hari Rabu di Kafe depan pom bensin.]

Tak pakai lama, Tiwi langsung me-reply.

[Ok]

Tiba-tiba aku langsung teringat, jangan-jangan ... Tiwi menghubungiku karena video wawancara ekslusifku dengan salah seorang youtuber ternama yang tayang kemarin?

Liputan ekslusif muslimah pengusaha hijab dan gamis, dengan aku sebagai salah satu narasumbernya. Yaa, bisa jadi Tiwi mulai mau memandangku karena saat ini usahaku makin berkibar, omsetku makin membengkak.

Dulu, bukan hanya Tiwi, tapi satu keluarga itu selalu meremehkanku hanya karena aku seorang lulusan SMA. Mereka adalah manusia-manusia yang memandang orang lain dari harta dan titel sarjana. Sedangkan aku saat itu tak memiliki keduanya ....

***

Sudah 2 tahun berpisah dari keluarga itu, aku telah kehilangan rasa minderku. Kini aku tinggal di cluster perumahan yang nyaman. Dengan fasilitas kolam renang yang bisa dijangkau 5 langkah dari rumah.

Kedua anakku kujaga sendiri tanpa meminta belas kasih nafkah dari mantan suamiku yang boro-boro peduli, bertanya kabar anak-anaknya pun tidak.

Aku mematut diri di depan cermin. Kuambil pensil alis, kuraut, dan kubingkai alis mataku dengan sedikit sentuhan dari ujung runcing pensil alis berwarna coklat tua itu.

Sambil mengaplikasikan make up, aku masih mengenang masa lalu pernikahanku yang seperti penjara, oo tidak ... penjara masih sangat bagus, lebih tepatnya seperti neraka. Ya, sejak hari pertama ijab kabul, aku seperti memasuki gerbang neraka dunia.

Jangankan untuk ber-make up atau merawat diri dengan skincare seperti saat ini, waktu aku masih dalam kondisi nifas, beberapa hari setelah melahirkan anak pertamaku, jahitan masih perih terasa dan infeksi bernanah memenuhi bagian privasiku, saat itu ibu mertuaku justru menagih uang lahiran padaku.

"Oki ... kamu kan kemarin melahirkan pinjam uang Ibu dan Bapak, kapan mau dilunasi?"

Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa, hanya terdiam dengan mata celong seperti zombi di atas kasur.

Hatiku menjerit. Kenapa ibu menagih aku? Bukankah anak ibu yang harusnya melunasi? Kenapa tidak marahi Herdi yang setiap hari asyik main game bukannya mencari pekerjaan? Kenapa ibu malah mencecar aku yang sedang terluka pedih di bekas jahitan liang lahir dan lecet pada puting? Seharian menyusui cucu ibu tanpa ada asupan makanan selain sayur katuk bening yang ibu paksakan aku makan sepanci penuh.

Semua teriakan hanya tersangkut di tenggorokan. Hampir setiap hari setelah aku melahirkan, ibu selalu masuk ke kamarku untuk bertanya kapan biaya lahiran tiga juta itu kami lunasi. 

Aku menghela nafas. Jujur, rasa emosi, marah dan luka itu masih terasa hingga kini.

Selesai. Riasan sempurna telah mempercantik tampilanku, aku sengaja memilih liptint warna marun tua untuk membuat ombre lips yang dipadukan dengan warna nude, agar nuansa elegan lebih terasa. Sentuhan terakhir, kusemprotkan setting spray ke seluruh bagian wajah.

Kubuka lemari, kupilih gamis koleksi terbaruku, yang pekan lalu direview oleh youtuber dengan 1,8 juta subscribers. Lalu kupadupadankan dengan hijab koleksi terbaruku juga yang sedang hits di pasaran.

Meski ku banderol dengan harga tiga ratus ribu Rupiah, hijab ini langsung terjual lima ribu pieces dalam pekan pertama. Aku yakin tampilanku ini akan membuat Ibu dan Tiwi tak bisa merendahkanku lagi seperti dulu.

Masih segar dalam ingatanku, saat Tiwi membuang lipstiknya yang padahal sudah kuminta baik-baik beberapa hari sebelumnya.

"Tiwi, kalau lipstik yang warna itu udah ga dipake, boleh buat Kak Oki gak?"

"Oo ini masih aku pake!" Ucap Tiwi dengan ekspresi ketusnya yang sepertinya sudah menempel di wajahnya sejak lahir.

Aku cuma tersenyum tipis saat itu, namun langsung hancur hatiku ketika beberapa hari setelah itu menemukan lipstik yang katanya masih dipakai ternyata dibuang ke tong sampah di dapur.

Mungkin terlalu najis barang miliknya diberikan padaku, lebih baik dibuang daripada berpindah tangan menjadi milikku.

Aku berpamitan pada Mamah yang sedang bermain bersama Bayu dan Yumi, kedua buah hatiku.

"Mah, Oki mau bertemu Tiwi dulu yaa, dia yang ngajak ketemuan."

Mamah langsung mengernyit, terlihat tidak suka  "Buat apa bertemu dia lagi?"

"Tenang Mah ... gak lama-lama kok insya Allah. Oki titip Bayu sama Yumi ya Mah."

"Iya, ga usah diajak, ini mereka lagi asyik main lego," ucap Mamah. Aku mencium tangan dan kening Mamah sambil menyelipkan uang satu juta cash ke tangan Mamah.

"Kalau Mamah bosen makanan buatan Oki, pesen aja dari Gofood ya."

Terdengar suara protes Mamah karena tidak suka diberi uang terlalu banyak, tapi aku langsung berjalan keluar pintu dan memakai high heels 8 cm yang sudah kupersiapkan sejak pagi.

Mobil sudah siap di depan rumah, Bang Usman, driver langgananku langsung bersigap membukakan pintu belakang mobilnya.

*****

Saat heels yang kupakai menyentuh lantai kafe itu, mataku sudah bisa menangkap sosok Tiwi dari sudut ekor mataku.

Tampilan Tiwi terlihat pucat, jerawat yang meradang memenuhi kedua pipinya. Ia coba warnai bibirnya dengan liptint oranye, tapi tetap tak bisa menutupi aura gelap di wajahnya.

Rupanya Tiwi tidak datang sendiri, ada Andre suaminya, dan juga sosok tua itu, ibu mertuaku.

Melihat wajah ibu yang semakin penuh dengan guratan usia, hatiku sempat terbersit iba. Namun dalam sekejap tertutupi lagi oleh rasa benci yang tiba-tiba mengusik kembali.

Aku ingat dengan jelas bagaimana dulu ibu selalu menyuruhku memasak makanan kesukaan Tiwi, juga memintaku mencuci bersih dan menyetrika pakaian kerja Tiwi dengan rapi. Bahkan di saat aku hamil anak kedua, meskipun harus turun naik tangga untuk mencuci, menjemur, dan menyetrika, tak ada belas kasihan untukku di wajah tuanya itu.

Sesudah mengambil jemuran karena hujan, dalam kondisi badanku masih basah saja ibu langsung memerintahkan banyak pekerjaan untukku, seperti mengepel lantai dapur yang berminyak, mengelap kompor dan mencuci wajan.

Tak peduli aku sedang hamil, tak peduli Bayu yang rewelnya minta ampun saat itu baru usia satu setengah tahun, ibu selalu menghadiahiku dengan berbagai pekerjaan rumah tangga.

Saking stresnya, aku akhirnya sering memukuli Bayu jika tak mau diam dan terus berteriak-teriak.

Akhirnya langkahku terhenti tepat di depan meja mereka. Aku mengulas senyum pada mereka dan mengulurkan tangan untuk menyalami tangan tua ibu. Bagaimanapun aku harus menunjukkan sopan santun pada mantan mertuaku.

"Sudah pesan makanan?" Tanyaku basa-basi.

"Sudah Kak, paling sebentar lagi datang," jawab Andre mewakili ibu dan Tiwi.

Aku menatap Tiwi dan ibu tanpa canggung, senyuman lebar sengaja ku rekahkan seperti bunga di musim semi, aku ingin mereka tahu betapa bahagianya aku kini.

Namun senyumku tiba-tiba pupus, begitu Tiwi mengucapkan kalimat pertamanya.

"Kak Oki, Mas Herdi sekarang sakit keras ..."

Ingatan-ingatanku tentang mantan suamiku itu tiba-tiba saja berserakan memenuhi memori. Mas Herdi, manusia laknat yang telah menipuku sejak awal pernikahan ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status