Share

2. Menolak

Pria tua itu terdiam, ekspresi wajahnya tampak khawatir. Meskipun ia adalah seorang pria tua, tapi kedudukan dan perannya di dunia bisnis bukanlah sembarangan.

Dan dihadapan gadis belia ini, ia seperti seorang kakek tua yang tidak ada artinya. Meminta kerelaan sang gadis agar mau mengikuti rencananya.

"Kau harus percaya padaku, Lidya. Ini adalah yang terbaik untukmu dan untuk Ardiansyah juga," ujar pria tua tersebut.

"Jangan pikir kau bisa memainkan hidupku seperti boneka di tanganmu, kakek." Lidya, menjawab dengan menggeleng.

Keduanya terdiam sejenak, Lidya menatap lelah pada secangkir kopi yang ada di genggamannya.

Gadis itu masih duduk terdiam, membiarkan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Sebuah pilihan besar terbentang di hadapannya. Ia merasa terjebak, dihadapkan pada situasi yang tak terduga.

"Lidya, aku tahu ini tidak mudah. Tapi percayalah, ini akan membantumu menemukan kedamaian." Kakek Hendra, berbicara lagi saat melihat kebimbangan yang menghiasi wajah Lidya.

"Kek, aku tidak tahu apakah bisa melakukannya atau tidak. Tapi, apakah Ardiansyah mengetahui semua ini? Apakah dia setuju?" tanya Lidya menatap pria tua yang ada di depannya dengan mata penuh keraguan.

"Dia tahu ada masalah, tapi dia tidak mengetahui secara detail. Aku akan bicarakan dengannya, dan aku yakin dia akan setuju. Dia pasti tidak bisa menolakmu, apalagi ini juga untuk membantumu." Pria tua itu menjawab dengan menggeleng perlahan.

Lidya merasakan denyut jantungnya berdetak lebih kencang. Rasanya berdebar-debar di dada, tapi ia sendiri tidak tahu apa arti dari semua ini.

Ia adalah seorang artis yang sedang naik daun, tapi sebuah gosip membuatnya merasa jatuh dan itu pasti membuat nama baiknya yang selama ini dibangun menjadi hancur.

"Ini begitu cepat, kek. Lidya butuh waktu untuk memikirkannya dengan baik," gumamnya pelan, seakan-akan untuk dirinya sendiri.

"Tentu, nak. Kakek hanya ingin kau tahu bahwa ini adalah untuk kebaikanmu. Percayalah padaku," terang pria tua itu dengan mengangguk dan tersenyum hangat.

Setelah kakek dari Ardiansyah pergi, Lidya duduk termenung, merenungkan segala kata-kata dan rencana yang baru saja ia dengar.

Gadis itu merasa terjebak dalam pusaran peristiwa yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi ada banyak hal yang lebih besar di depannya nanti, dibandingkan hanya permasalahan yang sekarang.

***

Pada saat yang sama, di tempat lain, Ardiansyah duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputernya dengan serius. Dia membaca pesan yang baru saja masuk dari Kakeknya.

"Ardi, kakek sudah bicara dengan Lidya. Kakek tahu ini akan menjadi kejutan bagimu, tapi kau harus mengerti alasan di balik pernikahan ini. Kakek akan bicarakan lebih lanjut saat kita bertemu."

Ardiansyah menghela nafas panjang, menerka-nerka apa yang mungkin akan diajukan Kakeknya. Apakah dia siap dengan langkah besar yang akan diambil dalam kehidupannya? Yaitu mengikuti permintaan sang kakek, yang memintanya untuk menikah dengan Lidya.

Tapi nyatanya, Ardiansyah tidak membalas pesan tersebut. Pria gagah tersebut melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk hingga lupa dengan waktu.

Beberapa jam kemudian, Hendra Putra Kusuma mengetuk pintu ruang Ardiansyah. Ketika pintu terbuka, dia masuk dengan langkah mantap.

"Ardi, kakek perlu bicara denganmu," ucap Hendra - wajahnya serius.

"Ada apa, Kakek?" tanya Ardiansyah menatap kakeknya dengan keheranan.

"Tentang Lidya, Ardi." Hendra duduk di sofa di dekat jendela, menatap ke luar seolah-olah mencari kata-kata yang tepat.

"Lidya?" Ardiansyah mengepalkan tangannya perlahan, ingat dengan pesan yang tadi ia abaikan.

Hendra menatap wajah cucunya dengan kening berkerut, berharap mendapatkan jawaban dari sana. Tapi nyatanya, wajah cucunya itu kembali datar setelah tadi menyebutkan nama gadis yang dibicarakannya.

Pria tua itu menghela nafas panjang, melihat bagaimana cucunya yang seakan-akan tidak tertarik dengan pembahasan mereka kali ini.

Hal ini bukanlah untuk yang pertama kalinya mereka berdiskusi, tapi sudah beberapa kali mereka membicarakan tentang Lidya sejak gosip tentang gadis itu merebak di berbagai media sosial dan televisi.

"Iya, Lidya," kata Hendra, suaranya tenang tapi penuh urgensi.

"Ada apa lagi dengannya?" tahta Ardiansyah menanggapi.

"Aku sudah bicara dengannya. Pernikahan ini adalah langkah yang tepat bagi kalian berdua."

Wajah Ardiansyah mendongak ke arah sang kakek, sebab tadi ia masih bersibaku dengan keyboard laptopnya yang ada di atas meja.

Pria muda itu menghela nafas panjang saat kembali mendengar perkataan tersebut. Apalagi menyangkut masalah pernikahan dan gadis itu.

Meskipun dulunya ia dan gadis itu tumbuh bersama, tapi beberapa tahun terakhir ini mereka seperti menjadi masing-masing orang asing yang tidak saling mengenal setelah Si Gadis menjadi artis.

"Langkah yang tepat?" Ardiansyah terdiam sejenak, mencoba menahan kekagetannya.

"Kakek, apa yang sedang terjadi?" tanyanya kemudian.

"Kau tahu bagaimana keadaan Lidya akhir-akhir ini, bukan? Ini akan memberinya perlindungan, Ardi. Dan juga akan membantumu," terang sang kakek memberikan jawaban.

Hendro menatap cucunya dengan penuh kasih. Berharap cucunya itu mau mengabulkan permintaannya.

Ardiansyah terdiam, mencoba mencerna segala informasi yang baru saja dia dengar. Meskipun sedikit banyak dia sudah mengetahui permasalahan gadis yang mereka bicarakan, tapi ia tidak suka ikut campur dengan lebih mendetail.

"Tapi, Kakek, apakah Lidya setuju dengan ini?" tanyanya ragu.

"Dia masih mempertimbangkan. Tapi aku akan membantumu memperoleh persetujuannya. Ini untuk kebaikan kalian berdua." Pria tua itu menggeleng, dengan sedikit rasa putus asa.

Hendra melihat keraguan yang menghiasi wajah Ardiansyah, tapi ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan cucunya. Hanya saja, iya berharap semuanya akan baik-baik saja.

"Ardi, kakek mengerti perasaanmu. Tapi ini adalah kesempatan untukmu, demi membalas budi, bagi bisnis keluarga dan masa depanmu." Pria tua itu memberikan penjelasan.

"Dia artis, Kakek," ujar Ardiansyah dengan suara rendah, mencoba menekankan ketidaksetujuannya.

"Aku tidak terbiasa dengan kehidupan semacam itu. Dan lebih dari itu, aku tidak mencintai Lidya." Suara pria muda itu, terdengar tegas.

Hendro mendekati Ardiansyah, menempatkan tangannya di pundak cucunya. Dia mengerti maksud dari pernyataan cucunya. Itulah sebabnya, ia memberikan banyak nasehat bahwa apa yang dilakukannya ini bukan hanya soal cinta.

Apa yang dilakukan pria tua itu adalah untuk kebaikan sang cucu, yang sampai detik ini tidak ada tanda-tanda untuk mengakhiri masa lajangnya. Apalagi di luar sana terdengar santer gosip tentang cucunya yang memiliki perilaku menyimpang.

Pria tua itu tentu saja tidak mau jika gosip tersebut adalah sebuah kenyataan, sebab cucunya ini adalah keturunan satu-satunya yang ia miliki setelah anak dan menantunya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan.

"Ini tentang keberanian menghadapi tantangan dan melihat di luar ekspektasi keluarga. Aku yakin, seiring berjalannya waktu, kalian akan menemukan cinta yang tulus satu sama lain." Pria tua itu memberikan wejangan.

"Maaf, Kakek. Aku tidak bisa melangkah dalam pernikahan yang tidak ada cinta di dalamnya," jawab Ardiansyah dengan menggeleng tegas.

"Baiklah, Ardi. Kakek mengerti. Kakek hanya ingin yang terbaik untukmu. Tetapi tolong, pertimbangkanlah dengan baik."

Pria tua itu mengangguk paham, meski ada rasa kekecewaan di matanya. Setelahnya, pria tua itu pamit meninggalkan ruang kerja cucunya.

Dengan membuang nafas yang berat, Ardiansyah merasa kecewa atas keputusasaannya sendiri. Dia tahu, keputusannya tidak akan diterima dengan baik oleh Kakek Hendra, tetapi hatinya memilih untuk mengikuti keinginannya sendiri. Atau, ia akan terjebak dalam pusaran permainan yang tidak pernah tahu di mana ujungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status