Share

Jaga Mata, Hati, dan Tubuhmu

Cassie turun ke lantai bawah. Mengendap-endap layaknya seorang pencuri yang takut kepergok oleh sang pemilik rumah. Menengok ke kanan—ke area ruang tamu—tapi ternyata tidak ada siapa pun. Berlanjut berjalan ke arah kiri—yang merupakan ruang tengah atau ruang keluarga—dimana terdapat seperangkat sofa, televisi, juga meja dan kursi makan. Barulah di sebelah kanannya adalah dapur. Mungkin lebih tepatnya disebut pantry, karena terlalu bersih untuk dijadikan dapur kotor. 

“Ayo, Cassie. Coba kita lihat ada apa aja di sana,” ujar Cassie bermonolog.

Mengambil kesempatan dari suasana rumah yang sepi, Cassie dengan cekatan bergerak menuju kulkas. Di dalamnya hanya ada aneka buah, jus, dan botol-botol air mineral. Sangat sehat. 

Cassie mengambil jus kemasan kecil. 

Lalu ada beberapa macam roti yang ditempatkan dalam wadah roti di atas meja pantry. Cassie pun mengambil selembar roti gandum.

Sejauh ini sudah dirasa cukup. Meskipun tidak yakin akan mampu membuat perutnya kenyang, tapi setidaknya cukup menyumpal perutnya agar tidak kembali mengeluarkan suara yang mengerikan.

Sambil mengunyah dan meminum jus jambu dalam kemasan, Cassie mencoba mencari dapur basah atau dapur kotor atau wet kitchen, karena siapa tahu di sana dia bisa menemukan sesuatu yang lebih pantas untuk menyumpal perutnya. 

Namun, tidak ada. Tidak ada ruangan lagi di lantai ini. 

Sebenarnya ada, tapi yang pasti itu bukanlah dapur yang Cassie maksud, melainkan itu adalah kamar Mario.

Eh, sebentar ….

Merasa ada yang janggal, Cassie mencoba menerka-nerka berapa besar ukuran kamar Mario. Hanya ada satu pintu di ujung lantai ini dan pintu itu mengarah ke kamar lelaki itu. Tidak ada pintu lain yang menandakan adanya ruangan lain selain kamarnya. 

“Ish, dasar,” gerutu Cassie saat tahu ruang kamar Mario jauh lebih besar dari kamarnya. “Buat apa sih laki-laki punya kamar besar? Udah pasti karena ini rumahnya, jadi dia berhak dapat porsi kamar yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih lengkap.”

Di tengah cibiran yang dilakukan Cassie tepat di depan pintu kamar Mario, tanpa diduga pintunya pun terbuka. Akibat terkejut, jus kemasan yang masih ada di dalam genggaman Cassie tanpa sengaja tertekan hingga memuncratkan air jusnya tepat ke area leher kaus putih yang dikenakan Mario dan terciprat pula ke wajahnya. 

Melihat itu, mata dan mulut Cassie spontan terbuka lebar. Beruntung pekikannya tertahan oleh telapak tangannya sendiri. Hanya saja yang disayangkan adalah kakinya justru terpaku di tempat, sehingga dirinya tidak bisa kabur dari amukan Mario.

“Maaf, aku ngga—”

Belum selesai bicara, Mario langsung menerjang Cassie. Cassie pun melangkah mundur dengan cepat sampai punggungnya menubruk tembok.

“Kamu tahu kalau aku baru aja selesai mandi dan ganti pakaian?” tanya Mario dengan pelan, lambat, tapi menekan.  

Sebetulnya Cassie tahu, melihat rambut messy hair-nya tampak basah dan makin terlihat 'messy'. Namun, bertolak belakang dengan apa yang dia tahu, Cassie justru berujar, “Ngga. Aku ngga tahu.”

“Oke. Berarti sekarang kamu udah tahu, ‘kan?”

Cassie mengerjap saat Mario tahu-tahu mendekatkan wajah dan meletakkan kedua tangan di tembok yang ada di belakangnya. Membuat wajah Cassie terkunci. Tidak bisa berpaling. Entah aroma apa yang menguar dari tubuh Mario—mungkin parfum atau sabun atau sampo—yang pasti cukup membuat Cassie terhanyut dalam aromanya.

"I-iya," jawab Cassie gugup.

"Lalu ini gimana?" Mario menunjuk noda di bajunya dengan gerakan kepala.

Cassie melihat bagian leher kaus Mario.

"Kamu tinggal ganti baju lagi," jawab Cassie polos.

"Oh, tinggal ganti baju?" tanya Mario dan Cassie mengangguk pelan. "Kalau boleh aku tahu, memangnya kenapa kamu bisa ada di depan pintu kamar ini? Bukannya kamu ngga berniat untuk mampir?"

Cassie mengerling. Menolak bertatapan dengan Mario. Namun sialnya, Mario justru menggoda Cassie dimana kepalanya bergerak mengikuti ke mana matanya pergi.

"A-aku tadi lagi cari dapur."

"Kenapa cari dapur? Kamu lapar?"

"Udah ngga." Cassie dengan cepat menjawab. 

"Oke kalau begitu. Kamu mau aku ganti baju, ‘kan?"

Mario menarik tangannya dari tembok. Salah jika Cassie berpikir situasi meresahkan ini sudah berakhir, sebab Mario justru melepas kausnya hingga yang tersisa hanyalah celana training jogger hitam yang menggantung di pinggulnya. Menyebabkan abs-nya yang sempurna terpampang secara cuma-cuma dan itu benar-benar membuat mata Cassie terkunci untuk terus memandang ke sana.  

"Sebagai seorang istri yang baik, bisa tolong kamu ambilkan baju gantinya di dalam kamar?"

Mario memberikan kaus kotornya pada Cassie yang masih mematung. 

Mendapati Cassie justru melamun, Mario pun menghela napas.

"Helloo, Cassie." Mario melambai-lambaikan gumpalan kausnya di depan wajah Cassie.

Cassie tersentak dan refleks mengambil kaus yang ada di tangan Mario. Tidak begitu jelas dengan apa yang sebenarnya sang suami minta, Cassie malah menggunakan kaus tersebut untuk membersihkan cipratan air jus yang ada di wajah Mario. Dilakukannya dengan teramat pelan, lembut, dan penuh kehati-hatian. Seakan tidak ingin wajah suaminya itu tergores oleh bahan kaus yang tidak terlalu halus.

Menerima perlakuan itu, berganti Mario yang membeku menatap perempuan di depannya.

Suara nyaring sesuatu yang terjatuh ke lantai, sontak menjadikan keduanya tersadar. Mario dan Cassie pun secara bersamaan menoleh ke arah suara tadi berasal. Seorang ibu-ibu berpakaian daster dengan rambut dicepol, tengah membungkuk di area tangga untuk mengambil sapu yang tergeletak di lantai. Memperhatikan momen Cassie dan Mario sambil menyengir canggung.

Mario mundur selangkah dari Cassie.

"Kenapa, Bi?" tanyanya pada Bi Endah—asisten rumah tangga Mario dan Cassie.

"Umm, anu, Pak …."

"Anu apa?" tanya Mario berjalan melenggang menuju pantry dan membuka kulkas. Masa bodoh dengan tubuh bagian atasnya yang terekspos.

"Untuk makan siang, apa Bu Cassie ada pantangan makanan dari dokter?"

"Aku?" sahut Cassie menunjuk diri sendiri. Mario melirik padanya di tengah proses meneguk air mineral dari botol. "Oh, ngga ada. Aku bisa bebas makan apa pun."

"Tolong cepat siapkan di meja makan ya, Bi. Cassie udah terlalu lapar," perintah Mario santai.

"Baik, Pak." 

"Oya, Bi," panggil Mario lagi saat Bi Endah hendak pergi. "Itu ada baju kotor saya, tolong dicuci."

Paham dengan apa yang dimaksud Mario, Cassie pun berujar, "Oh, ini." Sambil berjalan menghampiri Bi Endah.

"Aduh, Bu Cassie,” ujar Bi Endah saat menerima pakaian kotor dari Cassie. “Saya senang banget lihat Bu Cassie baik-baik aja dan bisa pulang lagi ke sini. Hati-hati ya, Bu. Jangan sampai kecelakaan lagi. Tuh kan jadi luka-luka begini. Sedih saya lihatnya. Tapi ngga apa-apa, Bu. Bu Cassie tetap cantik. Hehe."

Bi Endah terus saja berceloteh. Cassie yang sempat terkejut oleh serangan tiba-tiba dari Bi Endah, hanya mampu menatap dengan bingung. Sesekali melirik Mario yang justru menunduk sambil mengusap-usap kening. Tidak menduga bahwa rumahnya akan dihuni oleh dua orang wanita yang membuatnya pusing.

"Pokoknya apa pun makanan yang mau Bu Cassie makan, pasti saya buatin dan makan siang kali ini bakal saya buatin yang paling enak. Soalnya makanan di rumah sakit, pasti buat Bu Cassie ngga selera makan, ‘kan?”

“Umm … iya,” jawab Cassie ragu, meskipun apa yang dikatakan Bi Endah ada benarnya. 

“Ditunggu ya, Bu. Permisi, Pak Mario," tutur Bi Endah ramah pada Mario, dimana matanya masih sempat-sempatnya mencuri pemandangan gratis sang majikan untuk yang terakhir kali.

Cassie mengusap bagian belakang telinganya. "Itu tadi …."

"Bi Endah. Asisten rumah tangga di sini," jelas Mario. "Orangnya memang begitu. Bawel. Beda sama Pak Dicky yang kalem. Waktu kamu pertama kali datang ke sini, kamu juga kaget. Tapi lama-lama juga biasa. Kalau Pak Dicky, dia security di sini, tapi bisa juga merangkap sebagai supir. And by the way, dari awal mereka berdua juga udah tahu kalau kita pisah kamar.”

"Oh," balas Cassie singkat, tapi setelahnya terlonjak di tempat saat tahu Mario sudah berdiri di dekatnya. "A-aku pergi ke kamar dulu aja."

Cassie pergi dengan cepat, tapi selang beberapa langkah langsung kembali berhenti karena dirasa ada yang harus disampaikan sebelum dia benar-benar pergi.

"Mario," panggilnya seraya berputar.

Entah kenapa saat menyebut nama itu, Cassie merasa agak aneh. Begitu pula dengan Mario. Suara Cassie yang tengah memanggil namanya, berhasil membawanya kembali ke momen sebelum Cassie mengalami kecelakaan.

"Boleh aku minta tolong sesuatu?" lanjut Cassie menyampaikan maksudnya.

Mario mendengarkan sembari melipat kedua tangan di dada. Menjadikan otot-otot di kedua lengan juga dadanya semakin menjadi-jadi. Cassie pun mencoba untuk fokus.

"Apa?" tanya Mario.

Cassie berdeham dan menelan ludah.

"Kalau memang aku dan kamu diam-diam punya seseorang yang penting di luar sana dan kita benar-benar ngga setuju dengan pernikahan ini, bisa tolong kamu jangan bertingkah seenaknya di depanku?" 

Mario seketika mengernyit. Tidak peduli seperti apa reaksi Mario, Cassie tetap melanjutkan. 

"Contohnya tadi. Kamu ngga bisa main lepas baju begitu aja di depanku, karena aku mesti jaga hati dan mataku untuk Jonathan. Dan harusnya kamu juga mesti jaga tubuhmu itu untuk perempuanmu sendiri. Bukannya justru diumbar-umbar ke perempuan lain yang bukan siapa-siapa kamu,” tutur Cassie memberi jeda sekian detik sebelum meneruskan kalimatnya. “Kamu … paham maksud aku, ‘kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status