Share

Rumah Berdua

Cassie tidak tahu ada di mana dia sekarang. Bandung bagaikan kota asing baginya. Walau kenyataannya dia sudah empat tahun berada di Bandung untuk kuliah, tapi ingatan selama empat tahun itu sama sekali tidak muncul. Bagaikan ruang kosong. Ingatannya benar-benar berhenti di momen dimana dia telah lulus SMA dan bersiap untuk hari pertama pelaksanaan orientasi di kampus barunya. Bahkan keinginan untuk datang ke ALBIU pun masih ada. Masih merasa harus pergi ke sana. 

Pintu gerbang terbuka. Mario melanjutkan membawa mobilnya dan tak lama kemudian kembali berhenti. Cassie masih sibuk memperhatikan sekeliling melalui kaca depan mobil. 

Jadi, ini rumah Mario? Atau bisa dibilang rumahnya dan Mario? 

Menarik. Unik. Rumah ini didesain seperti menyerupai beberapa balok yang disusun hingga membentuk sebuah bangunan tiga lantai yang simetris. Baru melihat bagian depannya saja Cassie sudah menyukainya.

“Ayo turun,” ajak Mario usai mematikan mesin mobil. “Ngga bisa juga lepas seat belt?”

Cassie mendesis pelan. “Bisa kok.”

Ketika turun dari mobil, Cassie menemukan mobil Andrea dan Edwin terparkir di jalan depan. Mereka tidak ikut masuk dan akan langsung kembali ke Jakarta seperti yang dikatakan Andrea sebelumnya.

Cassie mendekat sewaktu Andrea ikut turun dari mobil.

“Mama benar mau langsung pulang? Bandung-Jakarta kan dekat, kenapa ngga mampir dulu aja? Atau mungkin tinggal di sini beberapa malam?” tanya Cassie bernada sendu. Menengok sebentar ke belakang untuk memastikan keberadaan Mario. Lelaki itu sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya yang tadi membukakan pintu gerbang. “Rasanya aku belum siap tinggal cuma berdua sama dia.”

Andrea tersenyum. Membelai pelan kepala Cassie yang tengah menunduk.

“Maka dari itu, Mama dan Papa ingin memberi waktu lebih banyak untuk kalian berdua. Anggaplah ini sebagai kesempatan untuk kalian memulai semuanya dari awal.”

Bola mata Cassie bergulir ke samping sewaktu merasakan kehadiran Mario.

“Mama dan Papa yakin ngga mau masuk dulu ke dalam?” tanya Mario yang sudah hadir di sebelah Cassie.

“Ngga perlu, Mario. Kami langsung pulang saja,” jawab Andrea. “Ya sudah, Cassie … Mama dan Papa pergi ya, Sayang. Mama berharap dengan sangat, waktu nanti kita bertemu lagi ingatan kamu sudah kembali pulih.”

“Bye, Cassie,” ujar Edwin yang masih memilih untuk tidak turun dari dalam mobil. “Mario, kamu tolong jaga Cassie. Papa percayakan Cassie ke kamu.” 

Mario menangkap tatapan serius dari ayah mertuanya. 

“Iya, Pa.”

Berat untuk melakukan, tapi Cassie tetap berusaha mengangkat tangannya untuk memberi lambaian perpisahan di kala mobil Andrea dan Edwin mulai melaju menjauh. Terkesan berlebihan, tapi … bagaimana perasaanmu ketika tiba-tiba saja terbangun dari tidur sudah dalam keadaan tidak lagi tinggal bersama orang tua, melainkan tinggal bersama seorang lelaki yang tidak kamu kenal? Tidak perlu disampaikan jawabannya, tapi kurang lebih seperti itulah yang Cassie rasakan.

“Pak Dicky, tolong tutup pintu gerbangnya,” perintah Mario begitu berbalik masuk ke dalam. Namun, menyadari Cassie masih berdiam diri di tempat, Mario pun bertanya, “Mau sampai kapan berdiri di situ?”

Cassie mendesah, kemudian ikut masuk ke dalam dengan malas.

“Halo, Pak Dicky,” sapa Cassie sewaktu melewati Pak Dicky yang sudah siap menutup gerbang.

“Iya, Bu.”

Panggilan itu sungguh terdengar aneh.

“Umm, bisa tolong jangan panggil aku ‘Bu’?”

“Eh, tapi Bu Cassie kan istrinya Pak Mario.”

Cassie memutar mata. “Iya sih, cuma aku—ya udah deh,” ujarnya tidak jadi meneruskan apa yang ingin dikatakan.

Cassie melanjutkan langkahnya melewati beberapa anak tangga yang akhirnya membawanya ke teras utama. Penampakan interior yang minimalis pun langsung menyapa. Tidak jauh berbeda dengan tampilan eksterior yang bernuansa putih, krem juga cokelat, tampilan interiornya pun dibuat serupa. Adanya penggunaan kayu sebagai material rumah serta kaca jendela dengan ukuran besar yang sengaja digunakan untuk mengganti peran dinding pada umumnya, memberikan kesan natural dan begitu mendukung pemanfaatan cahaya matahari. Ditambah lagi, Cassie menemukan adanya konsep mezzanine—ruangan tambahan yang terletak di antara lantai dan plafon—yang sangat Cassie idam-idamkan ketika suatu hari nanti dia sudah bisa memiliki rumah sendiri.

Sungguh ini adalah rumah yang luar biasa. Cassie akui itu. Bahkan kepalanya tak henti-hentinya mendongak dan berputar untuk melihat sekeliling. Membuat Cassie bertanya-tanya bagaimana Mario bisa memiliki rumah seperti ini? Memang sudah ada yang menjual dalam bentuk jadi seperti ini atau dia menggunakan jasa orang lain untuk merancang?

“Kamarmu ada di lantai atas.”

Mario tahu-tahu muncul mengagetkan. 

“Sebenarnya di atas ada tiga kamar, tapi kamu lebih memilih untuk mengambil kamar yang ada di depan, dekat dengan taman.”

“Aku memang lebih suka kamar yang ada pemandangannya,” aku Cassie belum ingin menangkap sorot mata Mario. “Lalu kamar kamu di mana?” 

Sedetik setelah mulutnya melontarkan kalimat pertanyaan itu, Cassie langsung kembali berpaling dan berusaha memikirkan kalimat tambahan yang kira-kira bisa menjelaskan maksud dari pertanyaannya.

“Di lantai ini. Di belakang,” jawab Mario menanggapi. “Kenapa? Mau mampir?”

Cassie mengejapkan mata dan menggeleng cepat. “Ngga kok. Aku cuma—”

“Cuma mau tahu?” sergah Mario melanjutkan kalimat andalan Cassie. “Ya ngga masalah kalau kamu mau ke kamar itu, karena sebenarnya kamarku kan kamarmu juga. Kamu mau tidur di sana pun juga ngga masalah.”

Cassie berhenti mengerjap. Mario melangkah mendekat, kemudian berhenti. Menyisakan jarak kurang lebih sejengkal dari Cassie. Tidak cukup sampai di sana, wajahnya lanjut bergerak maju dan kembali berhenti di area samping wajah Cassie.

“Sekaligus untuk mengetes ketahanan tempat tidurnya, karena belum pernah dipakai untuk aktivitas fisik dua orang,” tutur Mario dengan suara pelan. Embusan napas bercampur dengan udara hangat yang menguar dari dalam mulutnya, menyapu halus sisi pipi juga daun telinga Cassie. Dan lagi-lagi, hal itu mampu membuat tubuhnya meremang.

“Tangganya ada di sana ya? Oke!” cetus Cassie salah tingkah dan langsung memelesat pergi. 

Saking canggungnya, tidak peduli bahunya itu membentur kencang bahu Mario di saat dia berlari. Mengetahui tenaga Cassie yang rupanya jauh lebih kuat dari yang dirinya pikir, Mario hanya mampu menggelengkan kepala, mengusap-usap bahunya, dan tersenyum kecil juga, karena ternyata Cassie memang asyik untuk dijaili. 

Cassie terus berlari menaiki anak tangga, lalu berhenti sejenak untuk mengatur napas di saat telah mencapai lantai kamarnya berada.

“Dasar mesum. Dipikir ucapannya itu lucu?” gerutunya mengadu pada diri sendiri. 

Cassie iseng mengintip ke bawah melalui railing dan menemukan penampakan ruang tengah yang berhiaskan beberapa lampu gantung. Tepat di sebelah kanannya, ada sebuah pintu kayu yang ketika dibuka, ternyata adalah sebuah kamar dengan pemandangan taman di sebelah kiri. Sepertinya ini kamar pilihan Cassie yang dimaksud oleh Mario. 

Cassie pun memilih untuk lanjut berkeliling. 

Ada semacam ruang belajar atau mungkin bisa juga dikatakan sebagai ruang perpustakaan dikarenakan ada beberapa kursi, meja, serta buku-buku dipajang di dalam dua buah lemari. Kemudian setelahnya terdapat taman lagi berukuran kecil, lalu area sisanya dimaksimalkan sebagai dua buah kamar lengkap dengan kamar mandi dan wardrobe.

Bukan pemilik rumahnya, melainkan rumah ini sendirilah yang sudah membuat Cassie jatuh cinta.

Cassie kembali ke kamarnya. Mengecek segala sesuatu, terutama pada bagian lemari. Segala macam pakaian, sepatu, tas, perhiasan miliknya benar-benar ada di dalam sana—tertata dengan rapi. Begitu pun make up yang ada di atas meja rias, juga perlengkapan mandi yang memang selalu dia pakai. Bahkan ada beberapa bingkai foto kecil di atas nakas, seperti foto wisudanya dalam balutan toga serta foto pernikahannya.

“Senyum yang terpaksa,” ujar Cassie mengomentari senyum Mario di foto pernikahannya,  walau sebenarnya dia tampak lebih tampan dengan balutan setelan jas hitam.

Intinya, semua yang ada di kamar ini betul-betul menandakan bahwa Cassie memang pernah tinggal di sini. Namun, kenapa Cassie sama sekali tidak ingat? Secuil ingatan pun tidak ada. 

Eh, apa ini? Cincin?

Ada sebuah kotak hitam kecil di dalam laci nakas dan ketika Cassie buka, rupanya berisikan sebuah cincin emas polos—benar-benar polos tanpa batu hiasan ataupun ukiran lainnya. Mungkinkah ini cincin pernikahannya dengan Mario? Mau coba diingat bagaimanapun caranya, tetap tidak akan berhasil.

Cassie meletakkan cincin tersebut kembali ke tempatnya.

Baiklah, Cassie. Apa yang harus dilakukan sekarang?

Dan, perutnya pun menjawab.

“Lapar,” erang Cassie menyentuh perutnya yang mulai mendemo.

Dilihatnya jam yang menggantung di dinding. Pukul setengah sebelas siang. Apakah Cassie harus menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri juga Mario? Mengingat Mario adalah suaminya.

“Ih, dasar ngerepotin!” gerutu Cassie berjalan mengentak keluar kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status