Share

Menanamkan Informasi

“Aku sama sekali ngga ingat semua itu,” aku Cassie memandang sayu layar ponsel yang telah berubah hitam. “Kenapa aku ngga bisa ingat apa pun yang terjadi 4 tahun belakangan ini?”

Mario menghela napas. Mau tak mau menghampiri Cassie yang hanya bisa menunduk pasrah meratapi nasib. Jika tidak disudahi dengan segera, perempuan itu pasti akan menangis dan apabila hal tersebut benar terjadi, tentunya akan membuat Mario repot. Terlebih apabila Andrea dan Edwin tiba-tiba kembali.

“Kamu ngga perlu berusaha ingat. Kamu hanya cukup tahu aja,” cetus Mario mengutip perkataan dokter kemarin. Mengambil ponsel dari tangan Cassie, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. “Untuk sementara hp ini aku pegang. Kelihatannya kamu harus fokus ke pemulihan ingatan kamu dulu.”

Sekian detik berlalu Mario menunggu respons dari Cassie, tapi yang ada perempuan itu hanya berdiam diri menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Mario sampai memiring-miringkan kepala untuk melihat wajah Cassie dan yang dia temukan hanyalah kesuraman. 

Apa yang Mario sampaikan ini terlalu berlebihan? Namun, bukankah ini jauh lebih baik daripada memberi tahu alasan yang sebenarnya? Terlebih Andrea dan Edwin telah mempercayakan Mario untuk menangani persoalan Jonathan ini, dan alhasil … seperti inilah penanganan yang Mario ambil.

Pintu kamar terbuka. 

“Sudah siap pulang?” tanya Andrea yang cukup mengagetkan Mario, tapi tidak berlaku bagi Cassie. Perempuan itu tidak bereaksi apa pun. Masih terombang-ambing bersama pikirannya yang kacau.

Mario menangkap pergerakan Edwin yang hendak membawa koper.

“Eh, Pa, itu biar Mario aja yang bawa.”

“Sudah. Ngga apa-apa. Kamu jalan saja bersama Cassie.”

“O-oke.”

“Ayo, Sayang. Kita pulang ya.” Andrea merangkul bahu Cassie dan mulai mengajaknya berjalan.

Di sepanjang perjalanan menuju basement rumah sakit, Cassie benar-benar hanya diam. Tidak biasanya. Sampai berbusa Andrea berkicau, Cassie hanya merespons dengan senyuman tipis yang tak lama kemudian langsung hilang tersapu angin. 

Suara Edwin yang tengah menutup pintu mobil usai meletakkan koper di mobil Mario terdengar nyaring di antero basement.

“Nah, Cassie. Mama dan Papa memang akan ikut mengantar kamu sampai ke rumah, tapi kami akan langsung pulang ke Jakarta. Mulai saat itu dan seterusnya, Mario yang akan bersama kamu. Semoga dengan kembalinya kamu ke rumah, itu bisa membantu mengembalikan ingatan kamu yang hilang ya.”

Cassie termenung sejenak sebelum akhirnya bibir tipisnya mengembangkan senyuman.

“Iya, Ma.”

“Kamu kenapa sih kok diam saja sejak tadi? Apa ada yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Andrea melirik pada Edwin juga Mario yang sudah berdiri di samping pintu kemudi mobil.

Detik itu juga Mario berharap Cassie tidak mengatakan apa pun perihal apa yang mereka berdua bicarakan.

Cassie menggeleng, meski terasa berat. “Ngga ada kok.”

Andrea mengusap lembut puncak kepala anak perempuannya. “Ya sudah. Kalau ada yang perlu kamu ceritakan ke Mama, kamu tinggal telepon Mama aja, oke?”

“Atau minta Mario untuk ke Jakarta,” timpal Edwin. 

Mario melempar senyum pada Edwin tanpa diikuti kalimat apa pun.

“Ayo masuk ke mobil.” Andrea berkata pada Cassie.

Dengan ragu Cassie menyusul Mario masuk ke dalam mobil. Menempatkan diri di kursi yang ada di sebelah Mario, mencari posisi duduk senyaman mungkin. Melalui kaca depan mobil, terlihat Andrea juga Edwin yang sudah siap pergi dengan mobil mereka. Menunggu Mario menjalankan mobil lebih dulu.

“Seat belt.” Mario berujar singkat. Hanya saja lagi-lagi tidak ada tanggapan dari Cassie. “Cassie, seat belt.”

Dengan gerak malas Cassie meraih sabuk pengaman, tapi tidak tahu kenapa sulit untuk ditarik.

“Bisa atau ngga?”

“Harusnya bisa.”

Batin Mario mengeluh. “Minggir.”

Tubuh Mario meluncur begitu saja melewati Cassie. Wajah lelaki itu melintas tepat di depan wajahnya hingga membuat Cassie mengerjap dan menahan napas sekian detik saking terkejutnya. Lalu dengan mudah Mario menarik sabuk pengaman yang ada di samping Cassie hingga melewati tubuhnya. Menguncinya di tempat sekalinya kaitan seat belt telah dipasangkan pada tempat yang disediakan. 

Meskipun Mario telah kembali ke kursinya, aroma parfumnya seakan menempel di hidung Cassie. Anehnya, aroma yang ditimbulkan tidak membuat pusing. Justru terasa nyaman. 

“Kenapa kamu mendadak jadi diam dan bingung begitu?” tanya Mario mulai menjalankan mobil. “Masih kepikiran apa yang aku bilang tentang kamu dan Jonathan?”

Cassie refleks menyipitkan mata ketika tiba-tiba saja cahaya terang menerjang tatkala mobil perlahan mulai menaiki tanjakan basement. Rasanya seperti sudah lama tidak melihat dunia luar. Memang Cassie sendiri belum terlalu paham dengan kondisi jalan di Kota Bandung, karena Cassie berada di Bandung pun juga hanya untuk menjalani masa-masa kuliahnya di ALBIU—Albion International University. Namun, penampakan yang disuguhkan di depan matanya kini rupanya tidak terlalu mampu membuat pertanyaan Mario teralihkan dari pikirannya.

“Aku cuma lagi berpikir aja, apa iya aku bertindak sampai sejauh itu?”

“Kamu ngga akan bisa menebak apa yang bisa seseorang lakukan hanya untuk mempertahankan hubungannya dengan orang yang dia sayangi.”

Cassie menoleh pada Mario. Lelaki itu tampak begitu fokus menyetir. Bahkan Cassie yang sedang diajak bicara dengannya pun tidak cukup membuat matanya terlepas dari jalan yang terbentang di depan.

“Apa aku salah kalau aku merasa kamu juga punya seseorang yang spesial di luar sana?” tebak Cassie berhasil membuat Mario menengok sekilas. “Karena kelihatannya kamu berusaha banget buat aku ingat lagi tentang ide perceraian itu.”

Mario mengerling.

“Udah kubilang kalau aku pun juga punya kriteria pasanganku sendiri.”

“Ah, benar.” Cassie langsung ingat pengakuan Mario sebelumnya. “Memangnya kriteria perempuan kamu kayak apa?”

“Penting ya hal itu dibicarakan sekarang?”

Cassie mengerucutkan bibir. “Ngga sih. Aku cuma mau tahu aja.”

“Kamu terlalu banyak ingin tahu sampai-sampai membahayakan diri kamu sendiri.”

Cassie terpancing untuk menoleh. “Maksudnya?”

“Bukan apa-apa.”

Mendapat penolakan penjelasan dari Mario, Cassie kembali menghadap jalan di depan. Lampu merah rupanya memaksa mobil untuk berhenti sejenak. 

“Tapi kalau memang aku cuma break atau ternyata diam-diam masih pacaran sama Jonathan, kenapa nomornya ngga ada di hp-ku?” tanya Cassie melanjutkan topik perbincangan mengenai Jonathan.

“Mungkin karena kamu bilang ke Mama dan Papa kalau kalian udah putus?”

“Jadi maksud kamu, supaya Mama dan Papa ngga tau kalau aku masih pacaran sama Jonathan, aku sengaja hapus nomor dia dari hp-ku?”

Mario mengangkat bahu. “Kubilang mungkin.”

Cassie menyandarkan punggungnya seraya melipat lengan. “Kok aneh. Perasaan Mama juga Papa ngga pernah cek-cek hp aku deh.”

“Atau kamu diam-diam punya dua hp,” cetus Mario memberikan kemungkinan lainnya. “Kamu ngga ingat semua itu, Cassie. Ketika dulu kamu melakukannya, mungkin kamu ngga merasa aneh. Tapi ketika sekarang kamu memikirkannya lagi, bisa jadi terasa aneh.”

Mario menyempatkan waktu untuk menoleh pada Cassie sekadar untuk melihat reaksinya. Perempuan itu terlihat sedang berpikir sambil memandang sekumpulan orang yang sedang menyeberang jalan. Sayangnya Mario tidak bisa mengetahui apa yang tengah Cassie pikirkan. Apakah dia langsung menanamkan secara mentah-mentah informasi dari Mario? Atau informasi tersebut masih terhalang masuk ke dalam ruang memorinya yang hilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status