Share

Bab 0004

“Heyy sampah! Masih bernyali juga dirimu berada di sini ya?” ucap Dylan sengaja dilantangkan.

Andrew tak menggubrisnya, dia terus saja melangkah diikuti Jhon.

“Tak perlu mengantarku Jhon, kembalilah ke dalam dan urus penguntit itu sebelum aku kesal,” ucap Andrew sambil melanjutkan langkahnya.

Mendengar kalimat tersebut, pria botak berkacamata itu langsung menghentikan langkahnya. Jhon mundur lima langkah sebelum akhirnya berbalik arah dan kembali masuk ke dalam club-nya.

“Paman, kau terlalu baik pada sampah seperti Andrew! Dia seharusnya kau usir sejak tadi!” ucap Dylan menyambutnya.

“Beraninya kau mengatakan hal terlarang itu kepada Tuan … “ sahut Jhon sambil menghentikan langkahnya dan segera berbalik menatap ke arah Dylan dengan sorot tajam menusuk.

Jantung Dylan mendadak terkesiap kaget,ekspresi di wajah pamannya itu benar-benar dipenuhi amarah.

“Aku yang seharunya mengusirmu sedari tadi, Dylan! Beruntung sekali karena kau adalah putri saudariku! Jika tidak, kau sudah ku seret keluar sejak tadi!” bentak Jhon dengan kalimat yang sangat tegas.

Atmosfer disekeliling Dylan mendadak semakin membius pria itu dalam kebingungan. Sementara di luar sana, Andrew terlihat dijemput dengan sebuah mobil mewah yang sejak kemarin terlihat olehnya.

Dylan terkekeh penuh kekesalan sambil melenggang pergi meninggalkan Mountana Club. “Berapa banyak kau memiliki uang hingga Bugatti Noire itu bisa kau sewa berhari-hari?” gumam Dylan sambil mendecih.

Pria itu kemudian berselancar di dunia maya menggunakan ponselnya, mencari tahu penyewaan Bugatti yang ada di negaranya.

“Tidak ada satu pun yang menyewakah mobil itu? Lalu kenapa sampah sialan itu bisa menyewanya?” batin Dylan.

Dia masih berdiri di depan Mountana Club, ketika sejumlah petinggi pemerintahan yang sedari tadi berkumpul dengan pamannya melaluinya.

“Sungguh luar biasa, Tuan Jhon memiliki koneksi langsung kepada Tuan Yang Namanya Tidak Boleh Disebut. Aku semakin percaya jika setelah melepaskan Simmone Group, Tuan Jhon akan menjadi lebih berkembang dengan koneksinya saat ini,” tutur salah satu pejabat tersebut terdengar jelas ketika melaluinya, sukses membuat Dylan berpikir keras mengenai sosok Tuan Yang Namanya Tak Boleh Disebut itu dan kedekatannya dengan Jhon.

“Aku harus mencari tahu, sedekat apa paman Jhon dengan Tuan Yang Namanya Tidak Boleh Disebut itu! Paman, ternyata kau melepaskan saham di Simmone karena ambisimu ini ya!” kekeh Dylan merasa sudah mengetahui.

***

Pagi yang sangat dingin di Ibukota Muloz, awan menutupi langit menghalangi matahari pagi sehingga sinarnya tak bisa menembus bumi.

Suara rentetan peluru disertai dentuman granat yang memenuhi udara membangunkan Andrew dari tidurnya.

Tubuhnya dipenuhi keringat, sementara itu handuk tebal berwarna putih yang menjadi alas punggungnya saat tidur itu kini dilihatnya telah berubah warna menjadi merah. Bau amis menyengat karena tetesan darah yang mulai mengering di sana.

Andrew beranjak turun dari ranjangnya, di liriknya jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pria itu kemudian melangkah menuju cermin besar yang menempel pada salah satu dinding. Andrew memperhatikan luka dipunggungnya, masih meneteskan darah segar meski tak sebanyak malam tadi.

Setengah jam kemudian, Andrew telah siap dengan stelan yang rapi. Tetap bernuansa hitam seperti kesukaannya.

Tapi kali ini sedikit berbeda, karena Andrew mengenakan jaket dan topi baseball tim Utama Muloz.

“Tuan, Anda terlihat berbeda pagi ini,” ucap Bob menyambut kedatangan Andrew di ruangan makan.

Andrew tersenyum tipis menjawabnya, sementara tangan cekatan Bob segera memundurkan kursi untuk mempersilahkan Andrew duduk menyantap sarapan yang telah disiapkan koki secara khusus untuknya.

“Kau sudah mendapatkan alamatnya?” tanya Andrew sambil meneguk juice jeruk untuk membuka acara sarapannya.

“Sudah Tuan, kita bisa ke sana pada jam istirahat untuk mengunjunginya,” ucap Bob dengan sangat bersemangat. Bagaimana tidak bersemangat, Bullock yang diperintahkan Andrew mencari tahu lebih banyak mengenai Celline dan anak-anaknya itu telah memberitahukan Bob mengenai asal-usul anak Celline yang ternyata quadruplet tersebut.

“Ayo pergi,” ucap Andrew sambil bangun dari duduknya.

Sarapan yang tersaji dimeja, dibiarkan begitu saja.

“Tentu, Tuan.” Bob langsung melangkah mengikuti Andrew.

Keduanya berjalan menuju basement di mana sebuah Wrangler berada.

Menggunakan kendaraan besutan Jeep tersebut, Andrew hendak menuju ke sebuah alamat.

Langit mendung masih memayungi kota, membuat jalanan menjadi jauh lebih segar dari biasanya.

Tapi hal berkebalikan justru tengah melanda batin Andrew saat ini.

“Tuan, Bullock mengirimkan dokumen, sudah saya letakkan di depan Anda,” ucap Bob ditengah perjalanan.

Andrew kemudian menggeserkan bola matanya ke arah jok belakang Bob di mana pria itu biasa meletakkan dokumen untuknya.

“Hutang mereka membengkak dalam kurun dua tahun terakhir!” gumam Andrew saat membaca laporan keuangan Abellard Corporation yang hampir pailit itu.

“Bullock menyampaikan, jika sejumlah pemasukan perusahaan dialihkan ke rekening lain yang membuat kas perusahaan semakin defisit.”

Andrew kemudian melipat dokumen tersebut dan menyimpannya begitu saja di bawah jok mobil.

"Ada acara ... sebuah acar tengah dilangsungkan saat ini di kediaman Nyonya," ucap Bob dengan sangat hati-hati mengatakannya.

Pria tersebut tahu benar, jika sedikit saja dia sampai salah memberikan informasi kepada Andrew, maka nyawanya akan menjadi taruhan.

Kilatan dingin menyapu bola mata legam Andrew.

Dinginnya suhu udara di dalam mobil, semakin bertambah mengerikan saat ini. Jemari tangan Andrew mengepal kuat dan diletakannya di atas paha. Sementara napasnya kini begitu panjang dan dalam.

“Perintahkan Anderson untuk membawa 100 Milyar-nya, aku akan berkunjung!” ucap Andrew sambil mengenakan kacamatanya.

"Baik Tuan," jawab Bob sambil segera menepikan mobil yang dikemudikannya.

Radius lima puluh meter dari lokasi Andrew saat ini, sejumlah sniper dan pasukan satu regu utama bersiaga mengawal sang Dewa Perang tanpa disadari siapapun.

Mobil telah berhenti tepat di tepian jalan di mana sebuah sekolah taman kanak-kanak berada. Andrew melangkah masuk dengan jaket dan topi baseball lengkap dengan kacamatanya. Membuat banyak orang tidak akan mengenalinya.

Dia kemudian masuk di bagian outdoor playground, di mana satu wajah yang dikenalinya berada di sana.

“Adrian,” batin Andrew.

Andrew menghentikan langkah sekitar tiga meter di belakang anak lelaki bernama Adrian yang tengah membangun istana pasir. Hingga sebuah mobil jeep yang dikendalikan remote control menghancurkan istana pasir buatan Adrian tersebut.

“Kenapa kau menghancurkannya?” tanya Adrian kepada anak lelaki yang tengah memegangi controller.

“Hehh! Istana itu tak berharga dibandingkan dengan mobil-mobilanku ini. Kau hanya anak tak punya ayah! Mana mungkin kau akan mengerti saat ayahmu membelikan mainan baru?” ucap anak berbadan gempal itu.

“Aku tidak peduli rasa bahagia! Aku tetap tidak terima kau telah menghancurkan istana pasirku dengan mobil remote controlmu itu!” sahut si anak lelaki.

“Beraninya kau bicara keras kepadaku! Rasakan akibatnya! Aku akan mengadukan ini kepada Miss Hanna, kau akan melihat bagaimana Ibumu itu akan kembali membungkuk dan meminta maaf kepadnya supaya kau dan ketiga saudarimu tidak dikeluarkan dari sekolah!” Anak bertubuh gempal itu kembali menyahuti.

Andrew masih berdiri di tepi pagar sekolah, menyaksikan perdebatan tersebut sambil menerka-nerka.

“Hey Adrian! Sini kamu anak nakal! Aku tidak tahu bagaimana ibumu mendidikmu, setiap hari kau hanya membuat masalah! Kau tidak pantas bicara keras kepada Tuan Muda Alex, dia itu cucu Menteri.”

Wanita yang disebut Miss Hana itu menarik lengan anak kecil bernama Adrian itu dengan kasar, membuat Andrew tak bisa lagi menahan dirinya.

“Lepaskan Adrian!” Tegur Andrew sambil melangkah masuk. Langkah Adrian sukses membuat Miss Hanna bungkam.

“Tu… Tu … Tuan … Yang … “

Andrew mengernyitkan keningnya, menatap wajah Miss Hanna yang terkesiap melihatnya. Tatapan wanita itu terhenti pada cincin berbatu merah ruby yang melingkar di tangannya. Cincin identitas yang hanya diketahuisegelintir orang itu ternyata dikenali Hanna. Ini membuat Andrew mengerti.Wanita itu perlahan melepaskan genggaman tangannya dari lengan Adrian.

“Keponakanku itu tidak bersalah! Dia hanya marah karena istananya dihancurkan oleh rekannya itu,” ucap Andrew sambil memegangi pundak Adrian yang masih memunggunginya.

Miss Hana mengangguk dengan gugup.

“Tentu,” jawabnya sambilmelangkah mundur sebanyak lima kali sebelum membawa anak kecil tambun itu pergi.

“Paman hebat! Kau siapa?” tanya Adrian sambil memutar tubuhnya menghadap kepada Andrew.

Tubuh Andrew bergetar hebat.

Mencekamnya medan perang, nyatanya tidak bisa membuat seorang Andrew Saga gemetar ketakutan seperti saat ini di mana sepasang bola mata legam yang sangat mirip dengan matanya itu tengah berbinar memandangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status