Pagi hari Rora dimulai dengan mood yang berantakan. Berkat kedatangan Djaren ke kamarnya semalam, Ayu marah-marah lagi padanya. Dia bilang Rora sengaja menggoda Djaren untuk menarik simpatinya. Padahal Djaren sendiri yang masuk ke kamar Rora dan tiba-tiba memeluknya. Belum lagi Joel yang tiba-tiba meminta Rora untuk membawa bekal makanan untuknya menambah kesal hati Rora.
Dan di sinilah dia, berkutat di dapur menyiapkan bekal makan untuk Joel. Pemuda itu secara spesifik meminta dibuatkan sandwich buah. Yang mana Rora harus menyiapkan bahan-bahannya terlebih dahulu, karena Ayu akan marah jika Rora berani membuka kulkasnya. "Aduh, udah mau jam 7 lagi!" ucap Rora. Ia segera menyelesaikan kegiatannya membuat sandwich. Dengan cepat pergi keluar dari rumah, takut berpapasan dengan Djaren. Namun, sialnya ternyata Djaren sedang menunggunya di gerbang depan. "Ra, berangkat bareng aku, yuk!" ajak Djaren. Dahi Rora mengerut, ia langsung menoleh ke arah rumah takut jika ada Ayu. "Gak ada, mamah lagi gak ada. Ayo berangkat, ini udah siang loh," ucap Djaren seakan mengerti ketakutan Rora. Rora bimbang di sisi lain ia takut jika orang-orang mengetahui fakta bahwa ia bersaudara dengan Djaren. Namun, di sisi lain Rora juga takut terlambat masuk sekolah. "Tenang aja, nanti kamu turun sebelum sampai sekolah. Gak akan ada orang yang tahu, kok." Lagi-lagi Djaren seakan membaca pikirannya. Akhirnya Rora pun masuk ke dalam mobil yang biasa ditumpangi Djaren ke sekolah. Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam, karena kejadian semalam membuat keduanya jadi canggung. Hingga beberapa saat kemudian mereka akhirnya sampai di sekolah. Rora terkejut karena Djaren tidak menghentikan sopir untuk berhenti sebelum sampai gerbang sekolah. "Ren, kok!" Rora langsung menatap Djaren dengan mata melotot. "Udah, gapapa," balas Djaren. "Ren, nanti orang-orang tahu kalo kita ...." "Gapapa Rora tenang aja," ucap Djaren tersenyum lembut. Hingga mobil masuk ke area sekolah, Rora langsung buru-buru turun menghindari Djaren. Namun, tentu saja banyak pasang mata yang menyaksikannya turun dari mobil Djaren. Mereka langsung berbisik-bisik menggosip. Sejak awal kedatangannya ke sekolah itu, Rora sudah menjadi topik utama. Setiap gerak-geriknya selalu diperhatikan orang lain. Apalagi gosip perselingkuhan sang ibu yang seorang artis terus menyertai kehidupannya. Orang-orang hanya tahu bahwa ibu Rora memiliki skandal dengan seorang pejabat. Tanpa tahu bahwa pejabat itu adalah ayah Djaren. "Eh, kok Rora bisa berangkat bareng Djaren?" "Ih, iya. Ada hubungan apa mereka?" "Wah, gosip baru, nih!" "Rora sama kayak ibunya, ya. Sama-sama suka pejabat, haha." Bisikan-bisikan yang terdengar membicarakannya berusaha Rora abaikan. Ia terus berjalan cepat menuju ke kelasnya. Ia sudah terbiasa dengan suara dan tatapan menghakimi yang tertuju padanya. Tidak sedikit pun Rora mengeluh akan hal itu, karena sang ibunda sudah lebih dulu mengajarinya untuk mengabaikan itu semua. Gosip itu pun sampai di telinga Joel dan teman-temannya. Ia yang sedang merokok di belakang sekolah sampai tahu berita bahwa, Djaren sang ketua OSIS yang terkenal tegas namun ramah itu berangkat bersama dengan si anak artis cantik yang tak kalah populer. "Hebat juga si Djaren bisa dapetin anak baru itu," ucap Farrel. "Iya ya, mana si Rora putih, mulus, cantik lagi apalagi bodynya." Kafin menimpali, tangannya bergerak membentuk jam pasir mengilustrasikan tubuh Rora. "Alah semua cewek sama aja, palingan si Rora kayak ibunya sama-sama gila harta pejabat, haha. Kan si Djaren anaknya pejabat tuh, cocok sama dia." Gaha tertawa sambil menginjak puntung rokok yang telah habis ia hisap. "Menurut lo Rora gimana, Jo?" tanya Oza tiba-tiba membuat yang lain langsung menatap Joel. Joel yang ditatap seperti itu oleh semua temannya hanya tersenyum kecil sambil mengangkat bahu. Mulutnya mengeluarkan asap putih, duduk bersandar di sebuah bangku usang tak terpakai. "Joel 'kan udah punya Gilsha, masa tertarik sama Rora," sindir Kafin. "Cantikan Rora anjir dadanya gede, haha!" Farrel tertawa sambil memegang dadanya sendiri. Seperti siswa nakal pada umumnya, Joel dan teman-temannya hanya merokok di belakang sekolah dan membicarakan siswi perempuan. Apalagi Kafin dan Farrel si biang gosip. Entah dari mana mereka selalu mengetahui tentang gosip yang beredar di sekolahnya. Joel hanya tersenyum mendengar ocehan teman-temannya. Namun, matanya tidak sengaja menangkap sosok orang yang sedang dibicarakan oleh mereka. Sebelah alis mata Joel terangkat melihat Rora yang berdiri di balik tembok. Ia bisa mengenali gadis itu dari jaket pink yang biasa dipakainya. Tanpa berniat menghentikan ocehan teman-temannya yang membicarakan Rora, Joel malah menimpali. "Iya, 'kan gede cocok buat teman bobo," ucapnya bernada vulgar. Rora yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan tentang dirinya hanya berdiri diam. Kedua tangannya sudah mengepal kuat menyalurkan kekesalannya. Niat hati memberikan Joel sarapan pagi, Rora harus mendengarkan penghinaan yang sangat menyakitkan tentang dirinya. Memang jika dibandingkan dengan yang lain, dada Rora terbilang cukup besar untuk ukuran siswa SMA. Mungkin karena memiliki pinggang dan badan yang ramping membuat dadanya terkesan besar. Apalagi penyakit langka yang dideritanya membuat dada Rora tambah besar ketika ASI di dalamnya belum dikeluarkan. Tidak kuat mendengar penghinaan itu lagi, Rora berlari menjauh dari Joel dan teman-temannya. Bibirnya melengkung ke bawah dengan mata yang berkaca-kaca. Sekuat tenaga Rora menahan tangisnya. Ia tidak mau lemah terhadap hal-hal negatif yang dibicarakan orang lain tentangnya. Namun, tetap saja sekuat apa pun Rora, dia hanya anak SMA yang masih labil dan belum dewasa. Beban popularitas yang diberikan ibunya padanya, membuat Rora sangat kesulitan. "Yang artis ibu, kenapa jadi aku yang selalu diomongin," ucapnya sambil menghapus air mata di pipinya. Matanya melihat ke paper bag berisi sandwich untuk Joel. Rasa kesalnya kembali memuncak mengingat ucapan Joel yang merendahkannya. "Ngapain coba nurutin kemauan orang brengsek itu! Arhh!" Rora melempar paper bag itu ke lantai. Dia kesal karena kebodohannya menuruti perintah Joel. Namun, tanpa Rora tahu sejak tadi Joel terus mengekor di belakangnya. "Kenapa dibuang?" tanya Joel melangkah mendekati Rora, membungkuk mengambil paper bag yang tergeletak di lantai. Rora langsung menoleh, matanya membulat menatap Joel. Tanpa basa-basi dia langsung memutar tubuhnya kemudian melangkah. "Mau ke mana? Ditanya bukannya jawab malah pergi!" seru Joel menahan tangan Rora. "Lepas!" Rora menepis tangan Joel. "Tugas hari ini selesai! Jangan nyuruh-nyuruh lagi, besok aja!" tambahnya dengan nada ketus. "Kenapa, marah? Karena diomongin tadi?" tanya Joel, dengan santainya tersenyum nakal menatap Rora. "Gak jelas!" cibir Rora. "Tenang aja, cowok-cowok suka kok yang besar-besar," ucap Joel, matanya fokus menatap tubuh Rora. Rora langsung memeluk tubuhnya, keningnya mengerut, hidungnya kembang kempis mengatur amarah yang seakan ingin meledak. "Gue juga suka yang besar." Joel melangkah mendekati Rora membuatnya refleks mundur. Badan Joel sedikit membungkuk menyamakan tingginya dengan Rora, kemudian ia berbisik, "Apalagi yang ini," ucapnya sambil mencuri ciuman singkat di pipi Rora. "Ih! Dasar mesum ...!" pekik Rora mendorong wajah Joel. Joel malah tertawa membuat Rora kesal. Pemuda itu malah semakin mendekati wajah Rora membuat gadis itu kelabakan. Interaksi manis mereka tanpa disangka disaksikan oleh dua orang siswi yang memandang dengan penuh kebencian. "Sha, kamu mau diam aja ngeliat Joel direbut sama anak baru itu?" tanya Silvia. Gilsha hanya diam menatap tajam pada Rora yang sedang bercanda dengan Joel. "Padahal Joel gak pernah bersikap kayak gitu sama cewek mana pun termasuk aku. Awas Rora, aku beri pelajaran baru tahu rasa!" geram Gilsha, sudut bibirnya tersenyum misterius dengan ide jahat di kepalanya."Aurora kamu di mana ...?" gumam Djaren terus mencoba menelpon Rora. Sampai jam sudah menunjukkan pukul sembilan, Rora belum juga pulang ke rumah sehingga membuat Djaren sangat khawatir. Berkali-kali pemuda itu menelpon nomor Rora, berkali-kali pula panggilannya tidak diterima. "Ck! Ke mana sih dia!" gerutuknya kesal. Djaren terus berjalan mondar-mandir di depan kamar Rora. Ia mencoba menghubungi teman sekolahnya dan menanyakan di mana alamat Joel. Siang tadi saat dirinya dan Rora sedang berbicara, tiba-tiba Rora pergi meninggalkannya. Kemudian dari gosip anak-anak di sekolah, Djaren tahu bahwa Rora pergi bersama Joel ke rumah sakit. Namun, saat dicek di rumah sakit mereka sudah tidak ada. "Ke mana si Joel bawa Rora?!" Lagi-lagi Djaren menggerutu. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat balasan dari temannya. Ia langsung pergi ke alamat apartemen Joel. Sementara itu gadis yang sedang Djaren khawatirkan tengah duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas dan b
"Dok, saya minta pulang sekarang juga!" tegas Joel menatap sang dokter yang sedang memeriksa kakinya. "Joel, kamu tau 'kan kalau saya tidak bisa menyetujuinya. Sabarlah besok atau lusa kamu boleh pulang," balas dokter itu tersenyum kesal kepada pasiennya yang bebal."Pokonya saya ingin pulang, dengan atau tidak seizin dokter saya akan pulang!" Joel langsung bangkit bersiap mencabut selang infus di tangannya. "Eh ... eh!" Orang-orang di sana langsung terkejut begitu Joel ingin mencabut infusan di tangannya. Rora yang melihatnya langsung memutar bola matanya merasa jengkel dengan sifat Joel. "Jo! Elo kenapa sih, kata dokter juga gak bisa pulang sekarang!" bentaknya kesal. "Ya, salah elo! Katanya elo gak suka nginep di rumah sakit! Kalau gitu nginep di rumah gue aja, gampang 'kan!" Mata Joel mendelik tajam pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Dokter dan teman-teman Joel yang menyaksikan tingkah kekanakannya itu, hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Oza dan yang
"Jo, Jo! Anjir kaki lo luka, Jo!" Oza berusaha menghentikan langkah Joel. Namun, pemuda dengan head ban di kepalanya terus saja melangkah. Sampai ia berhenti ketika melihat Rora berjalan seorang diri. "Joel?" gumam gadis itu. Joel segera menghampiri Rora, mencengkram kuat tangannya. Sorot matanya yang dingin menatap dengan penuh kemarahan. "Aww! Jo, sakit!" keluh Rora mencoba melepaskan cengkraman tangan Joel. "Tadi ngapain sama di Djaren, hah?!" bentak Joel membuat Rora terperanjat. Gadis itu langsung melihat sekeliling, banyak anak-anak yang memperhatikan mereka membuatnya cukup risih. "Jo, banyak orang ... jangan marah-marah di sini," bisik Rora. "Jo, mending kita ke rumah sakit sekarang. Itu Pak Tama juga nyusulin ke sini anjir!" Oza menepuk pundak Joel, membujuknya. "Gak! Sebelum gue denger jawaban dari cewek sialan ini!" Hati Rora terasa ditusuk dengan belati ketika mendengar kata-kata Joel. Ia tidak mengerti mengapa cowok itu selalu berkata kasar padanya. "Apaan sih,
"Jo! Elo kenapa gak fokus gini?" seru Oza menepuk pundak Joel. "Jo, calm down! Kita bisa menang kalau fokus!" sahut Kafin. Joel hanya diam sambil mengelap keringat di dahinya. Matanya terus menatap tajam pada Djaren yang tengah tersenyum merayakan keberhasilannya memasukkan bola ke ring tim Joel. 'Gue harus menang! Gue harus tunjukkin ke si Djaren sialan itu kalau dia gak ada apa-apanya!' ucap Joel dalam hatinya, bertekad mengalahkan Djaren. Pertandingan kembali dimulai, tim Djaren sejak tadi terus mencetak poin. Sementara tim Joel hanya Oza dan Farrel yang mampu mencetak poin, yang lainnya apalagi Joel terus kehilangan bola. "Jo! Pass!" teriak Oza meminta bola. Joel tidak mendengarkan teriakan itu. Dia terus melangkah maju sambil mendribble bola. Ada tiga orang sekaligus yang menjaga Joel termasuk Djaren, menunggunya di bawah ring. "Sial! Nantang gue lo!" geram Joel. Ia terus berlari melewati satu orang dari tim lawan. Namun, saat ia berusaha melewati orang kedua, kaki Joel t
Rora berdiam seorang diri di kelas yang kosong. Ia masih tertegun melihat foto Joel yang dikirim oleh akun anonim itu. Bukan masalah karena Joel berfoto bersama gadis lain. Namun, posisi mereka ketika berfoto sangat ambigu dan membuat pikiran Rora melayang ke hal negatif. Joel terlihat tertidur di pelukan seorang gadis yang mengambil foto selfie. Mereka masih mengenakan pakaian lengkap, namun tetap saja Rora berpikiran negatif terhadap foto tersebut. Apa yang mereka lakukan hingga tidur di atas ranjang yang sama seperti itu? "Kalau udah punya pacar kenapa dia kayak gitu sama aku? Mana barusan manggil-manggil sayang lagi!" gerutuknya. Gadis itu sedikit kesal, pasalnya sudah beberapa hari ini sikap Joel sangat baik padanya. Sejak malam kesepakatan mereka, Joel tidak pernah mendekati Rora di depan siswi lain. Cowok itu juga selalu bersikap baik, bahkan seringkali memberikan Rora sesuatu yang membuatnya terkejut sekaligus senang. Namun, sekarang Rora harus dikejutkan dengan foto Jo
"Gimana dong, Rora gak bisa ikut latihan dance karena kakinya sakit?" keluh Berly. Anak-anak yang lain juga langsung mengeluh sambil menghela napas panjang. Mereka tidak tahu harus melakukan apa dengan kaki Rora yang terluka. Padahal kandidat pemenang lomba pentas seni sudah digadang-gadang adalah kelas mereka. Namun, karena keadaan Rora sekarang membuat yang lain menjadi pesimis. "Temen-temen aku minta maaf, ya. Mungkin besok atau lusa aku bisa ikut latihan," ucap Rora menyesal. "Gapapa, Ra, itu bukan salah kamu. Aku cuma heran, deh, kenapa di sepatu kamu ada paku payung? Bukannya sepatu itu jarang dipakai, ya?" tanya Berly. Gilsha dan Silvia langsung mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guys, kita latihan sekarang aja, nanti kesorean lagi!" ajak Silvia. "Iya, ayo sekarang aja. Rora kamu gapapa 'kan sendirian di sini?" tanya Gilsha. "Iya, gapapa kok, kalian latihan aja sana," balas Rora sambil tersenyum. Akhirnya Rora pun ditinggalkan sendirian di UKS. Dia menghela napas