POV Sumi
Hatiku berbunga-bunga, mendengar kabar yang disampaikan Bang Adi. Sambil menikmati martabak telur yang dibawanya, dia memberitahukan bahwa telah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan bonafid. Puji syukur kuucapkan atas rahmat Illahi yang telah memberikan kebahagiaan ini. Kami pun tertidur pulas dengan perut kenyang dan pikiran tenang, tak akan lagi mengalami kesulitan ekonomi ke depannya.Keesokan paginya, dengan penuh semangat Bang Adi berangkat kerja, sebagai pengemudi truk. Aku tahu suamiku itu sangat mengidamkan pekerjaan yang layak. Dulu dia pernah bilang, akan memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya ini dan aku sangat mendukungnya.
Aku memandangi punggung suamiku hingga menghilang di ujung jalan. Setelah membereskan peralatan makan, aku melanjutkan jahitan. Baju Mpok Lela harus selesai hari ini, agar upah cepat kuterima.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu, membuatku menghentikan kegiatan menjahit. Senyum khas dari sahab
"Truknya siapa, Bang? Bagus, ya? Dan itu bawa apa?" tanyaku beruntun. Bang Adi tertawa kecil, lalu menjawab, "Kendaraan operasionalku, Sum. Ayo, kita makan! Ini soto Mpok Diah, kesukaanmu.""Iya, Bang. Sebentar aku siapkan, atau kamu mandi dulu?""Mandinya nanti saja, Sum. Aku sudah lapar sekali," ucap Bang Adi. Aku mengangguk menyetujuinya, kami pun menikmati soto ayam tersebut, memang tidak salah aku menyukainya, memang lezat sekali."Sum, aku ke masjid dulu, ya. Mau Magrib dan Isya di sana!" seru Bang Adi, selepas mandi."Iya, Bang!" Aku buru-buru menjawab, karena desakan buang hajat sudah di tak tertahankan, aku bergegas ke kamar mandi sekalian membersihkan diri.Selesai menunaikan salat Magrib, aku melanjutkan membaca Al-Quran, sambil mengelus perut agar jabang bayi yang ada dalam kandungan menjadi anak soleh. Aku menitikkan air mata kebahagiaan, bersyukur Allah berkenan menitipkan rahmatNya kepadaku.***"Huh
Ucapan Bu Yayuk tidak kuhiraukan, anggukan hanya ingin membuatnya senang karena sedari dini oleh orang tuaku diajarkan lebih percaya kepada sang pemilik kehidupan dari pada benda-benda mati. Yah, sudahlah aku tidak mau berpikiran macam-macam. Terpenting adalah janin di kandunganku, berharap dia selalu sehat."Sum, kita tidur, ya. Sudah malam, kamu pasti lelah," ujar laki-laki kesayanganku, seraya mengusap perut dan mencium keningku. Aku tertidur di pelukan Bang Adi.Seperti biasa pagi hari Bang Adi berangkat kerja, wajahnya kuyu menandakan kelelahan. Sepertinya efek peristiwa yang dialaminya semalam masih membekas di ingatannya. Sebenarnya, aku pun demikian, jujur ketakutan terselip di pikiranku sehingga celetukan keluar dari mulutku, sesaat sebelum Bang Adi berangkat kerja. Kubilang, truk tidak usah dibawa pulang lagi.Aku termenung di kamar, hari ini jadwal cek kandungan ke bu bidan, Tini berjanji akan menemaniku. Walau badan terasa lelah dan masih mengantuk,
"Ooh, tapi uang gaji suamiku enggak sebesar itu. Eeem, ya udah, coba kamu ambil saja, ada berapa. Nanti aku coba bilang Bang Adi kali saja dia bisa membantu," ucapku, kemudian berlalu menuju kamar mengambil kartu ATM. Menyerahkannya kepada Tini. Aku sudah percaya kepadanya.Tini menerima, tetapi aku menangkap dari matanya ada sesuatu yang aneh. Aaah, mungkin hanya perasaanku saja.Tak lama kemudian, Tini kembali dari ATM. Menghempaskan bolongnya ke kursi, lalu berkata, "Aduh, Sum! Hanya ada seratus ribu rupiah di ATM. Aku enggak ambil."Aku bingung mendengar perkataan Sumi, karena tadi Bang Adi bilang hari ini sudah gajian. Apa mungkin belum ditransfer dari perusahaannya?"Sum, kamu enggak punya simpanan?"Mendengar pertanyaan Tini, aku teringat uang Bang Adi yang ada di dalam lemari. Mungkin jika aku mengambilnya tidak apa-apa. Lagi pula nanti bisa diganti uang gajian."Ada, Tin. Sebentar, ya." Aku melangka
"Tapi, Tin ....""Kenapa, Sum? Pokoknya kalau besok belum ada kabar dari suamimu, kita ke Serang, ke tempat orang pintar itu." Tini menegaskan kepadaku, dia terlihat khawatir."Masalah transportasi aku usahakan pinjam mobil saudaraku, biar kamu nyaman, Sum." Lanjut Tini kembali. Setelah mempertimbangkan masak-masak, aku mengiakan ajakan Tini.Malam kembali kulalui tanpa kehadiran Bang Adi di sisiku. Dalam doa setelah salat, aku meminta kepada Sang Khalik agar selalu melindungi suamiku di mana pun, dia berada.Perlahan seiring angin malam yang berembus melalui ventilasi udara, mataku mulai terpejam. Lagi-lagi mimpi buruk menghantui, tetapi kini kulihat dalam mimpiku, Bang Adi dimakan makhluk mengerikan. Alhasil semalaman aku tidak bisa tidur. Selepas salat Subuh, aku mempersiapkan keberangkatanku. Menuju salah satu daerah di provinsi Banten, tempat lumayan jauh dari tempat tinggalku. Semua kulakukan demi sosok yang sangat kucintai, Bang Adi.Bang Ad
"Ayo, Sum! Kita sekarang boleh pulang!" ajak Tini.Aku bingung, jauh-jauh ke sini hanya bertemu dengan perempuan enggak jelas yang cuma mengabarkan Bang Adi akan pulang secepatnya. Aah, aku meragukannya."Tenang saja Sum! Nyi Retno sangat sakti, dia bisa tahu keberadaan seseorang walau hanya lewat nama atau fotonya saja," sahut Tini, yang sekali lagi seakan mengerti isi pikiranku."Ya, sudah kalau begitu, Tin. Sekarang kita pulang, yuk! Perasaanku enggak enak lama-lama di sini.""Tunggu, ya, Sum. Kayaknya Nyi Retno mau bawain sesuatu buat kamu, katanya sih, ramuan agar suamimu lebih sayang." Tini mengkerlingkan mata, menggodaku. Aku tersenyum simpul. Menutupi kegundahan hati.Aku menunggu di luar bangunan, saat Tini masuk untuk mengambil ramuan tersebut. Di samping bangunan besar terdapat lorong panjang yang dihiasi simbol-simbol, sepertinya aku pernah melihat, tetapi entah di mana."Sum, Sumi!
"Mbak Sumi, tumben beli sarapannya sendiri. Biasanya sama Mas Adi?" tanya seorang Ibu yang sama-sama sedang mengantri bubur ayam."Iya, Bu. Mas Adi sedang tugas luar kota, jadi saya sendirian saja." Aku berusaha tenang menjawab, khawatir menjadi ajang gosip di lingkungan tentang keadaanku akhir-akhir ini."Aduh, istri lagi hamil, kok, ditinggal-tinggal, sih?" tanya si ibu itu lagi."Enggak apa-apa Mpok! Mencari nafkah untuk keluarga ini, kok! Dari pada nganggur bengong di rumah kayak Bang Bian, suaminya Mpok!" Tiba-tiba Mang Ujang mengeluarkan celetukannya, membuat si ibu merah padam wajahnya. Kemudian berlalu membawa semangkok bubur."Mpok, uangnya mana!?" teriak Bang Ujang."Ngutang!" Si Ibu teriakannya tak kalah kencang. Bang Ujang hanya bisa mengurut dada."Mbak Sumi, cuekin saja, kalau ada orang nyinyir begitu, ya," ujar Bang Ujang. Aku mengangguk dan tersenyum. Usai membayar sejumlah uang serta mengucapkan terima kasih, aku pun pulang.
Aku bingung dengan sikap Tini, terlihat sekali rasa tidak sukanya."Omongin baju serta acara pernikahan anaknya yang seminggu lagi diadakan. Kenapa memangnya, Tin? Kok, kamu kayak benci gitu sama Mpok Lela?" tanyaku penuh selidik."Eeeh, enggak apa-apa, Sum. Bagaimana sudah dapat kabar tentang suamimu?" Tini terasa sekali mengalihkan pembicaraan, tetapi kupikir sudahlah mungkin hanya perasaanku saja."Alhamdulillah, sudah. Tadi teman Bang Adi datang, katanya tugas luar kota.""Tuh, kan! Memang Nyi Retno itu sakti. Omong-omong ramuannya sudah diminum belum, Sum?" Pertanyaan Tini sedikit mengejutkanku, aku saja lupa tentang cairan merah pekat itu. Kalau tidak salah ingat masih tergeletak di lantai pojokan dapur, belum kurapikan."Belum, Tin. Lagian baru besok Bang Adi pulangnya," jawabku malu-malu."Buruan diminum, Sum. Ya, sudah aku pamit, ada keperluan. Besok aku ke sini lagi. Kebun pamanku panen, nanti aku bawakan pisang
"Dek Sum, nanti pulang dari sini oleskan kunyit ke kedua telingamu, ya," bisik Mbak Pur yang ikut melayat denganku."Kenapa memangnya, Mbak?" tanyaku penasaran."Sudah turuti saja, ini demi kebaikanmu dan janin yang ada di kandungan." Mbak Pur bukannya menjawab malah membuatku tambah penasaran, tetapi kuputuskan tidak bertanya lagi karena khawatir suaraku menganggu pelayat lainnya.Namun, ada kejadian yang membuatku shock hingga orang-orang akhirnya beramai-ramai mengantarku pulang, yakni saat hendak meletakkan amplop berisi uang takziah di wadah dekat jenasah Mpok Lela, tiba-tiba kain jarik penutup wajah si mayit terbuka. Matanya terbelalak menatap ke arahku, membuat kakiku lemas dan terjatuh bersimpuh di hadapannya."Bagaimana sekarang, Dek? Masih lemas?" tanya Mbak Pur, setelah sampai di rumahku."Alhamdulillah, sudah membaik Mbak. Saya tadi hanya kaget saja.""Kalau begitu, kita pulang, ya. Ingat pesanku, Dek." Setelah memastikan aku dal