"Tuan Guru! Tuan Guru! Tuan Guru! dimana engkau berada tuan Guru," teriak Bajulgeni sembari menyingkirkan reruntuhan padepokan utama.
"uhuuuk! uhuuuk! aku disini bajulgeni," jawab Guru Mada sembari melambaikan tangan diantara reruntuhan padepokan."Syukurlah Tuan Guru selamat. Aku sangat senang sekali," ucap Bajulgeni sambil meneteskan air mata kepiluan.Tuan Guru Mada merupakan guru besar dari Perguruan Bela Diri Raja Malam, sedangkan Bajulgeni merupakan Asisten sekaligus murid terbaik di padepokan. Awalnya keadaan Padepokan masih baik-baik saja, sampai kemarin malam padepokan diserang oleh segerombolan orang yang tidak dikenal. Diperkirakan mereka adalah pasukan musuh yang hendak mengambil alih kekuasaan di Kerajaan Nusa."Apa sebenarnya yang telah terjadi Bajulgeni?" tanya Guru Mada."Kemarin malam ketika latihan rutin dilaksanakan tiba-tiba terdengar suara tembakan di tempat latihan. Saya yang pada waktu itu bersama Tuan Guru yang di padepokan seketika panik, dan langsung pergi ke tempat latihan sendiri, karena pada waktu itu Tuan Guru juga sedang beristirahat, saya merasa tidak enak, kalau membangunkan Tuan Guru. Ketika saya melihat tempat latihan dari gubuk pemantau alangkah terkejutnya saya ketika mendapati para murid dan guru-guru telah tergeletak di atas tanah," jawab Bajulgeni."Apa kau melihat pelakunya?" sambung Guru Mada. "Dari menara pemantau aku hanya melihat orang-orang berbadan besar yang mengenakan pakaian dari wol dan sepatu dari kulit, anehnya lagi aku tidak mendapati orang-orang itu membawa senjata, mereka hanya berbekal tangan kosong saja," ujar Bajulgeni."Setelah itu, apa yang terjadi?" tanya Guru Mada kembali."Saya sontak terkejut, karena tiba-tiba gubuk pemantau roboh karena diserang, saya yang pada waktu itu tidak mempunyai persiapan apa-apa langsung tersungkur ke tanah dan wajah, tangan, punggung, serta kaki saya dipukul habis-habisan oleh orang-orang berbadan besar tersebut," jawab Bajulgeni."Jadi mereka bermaksud meninggalkanmu dan membiarkan kamu mati secara perlahan-lahan, begitu?" Tanya Guru Mada."Tidak Tuan Guru, mereka juga melempar saya ke sungai sebelah tempat latihan. Kemudian mereka melemparkan sebuah bongkahan kayu yang lancip tepat ke arah dada saya, namun seperti biasa, saya selalu menaruh buku catatan di dalam baju, alhasil buku itu menyelamatkan nyawa saya," Jawab Bajulgeni sambil mengeluarkan sebuah buku kecil yang rusak dan sobek tidak karuan akibat terkena dorongan dari lemparan bongkahan kayu lancip."Lantas, mereka tidak curiga kalau kau masih hidup?" tanya Guru Mada keheranan. "Mungkin tidak guru dikarenakan sebelumnya tubuh saya sudah memar dan mengeluarkan banyak darah, jadi meski bongkahan kayu yang dilempar tidak mengenai saya tepat. Aliran darah yang terus keluar dari tubuh saya yang terus menggenang di sungai membuat mereka berpikir kalau saya sudah tewas," terang Bajulgeni.Setelah menceritakan hal yang dialaminya, Bajulgeni membantu Guru Mada untuk mencoba berdiri. Ia sangat berhati-hati membantu sang guru, karena ia melihat kaki sang guru memar penuh luka."Apakah Tuan Guru masih bisa berjalan?" tanya Bajulgeni dengan napasnya yang masih terengah-engah."Ya, kakiku hanya luka sedikit, tetapi tidak apa-apa, aku masih bisa berjalan," jawab Tuan Guru Mada sembari berusaha untuk menggerakkan kakinya yang terluka berat akibat tertimpa reruntuhan."Kau sudah melihat keadaan semua murid dan para guru?" tanya Guru Mada."Sudah tuan Guru, namun tidak ada yang selamat diantara mereka semua, aku sangat bersyukur karena Tuan Guru selamat, aku sudah mengumpulkan jenazah mereka di tempat latihan," Jawab Bajulgeni sambil menunjukkan dimana letak jenazah para murid dan para guru."Baiklah, kita akan mengubur mayat mereka, tapi sebelum itu kita berganti pakaian terlebih dahulu dengan pakaian bersih yang masih tersisa," Tutur Guru Mada."Siap, laksanakan!" jawab Bajulgeni.Setelah membersihkan diri, Guru Mada dan Bajulgeni menyisiri hutan menuju tempat latihan, mereka terkejut bukan main melihat banyak pohon tumbang dan hewan-hewan juga mati akibat serangan kemarin malam. Sesampainya di tempat latihan tak henti-hentinya Guru Mada menangis, melihat teman-teman seperjuangannya mati mengenaskan. Selain itu Tempat latihan yang awalnya asri sekarang menjadi lautan darah. Segera Bajulgeni membuat sebuah liang lahat yang cukup besar di tempat latihan tersebut.Setelah Bajulgeni selesai menggali, satu per satu mayat dimasukkan. Tak henti-hentinya Guru Mada menangisi setiap kali memasukkan para murid dan teman-teman seperjuangannya ke dalam liang lahat. Luka yang begitu dalam tergores di hati Sang Guru begitu pula dengan Bajulgeni, ia merasakan penderitaan hebat yang dialami Guru Mada."Aku masih tidak percaya apa yang kulihat sekarang," seru Guru Mada sembari mengusap air mata diwajahnya."Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian mereka semua guru, kita tidak bisa mengembalikan mereka, apa yang telah mati tidak akan pernah kembali." ucap Bajulgeni yang berusaha menghibur gurunya.Sekilas ucapan Bajulgeni tampak menenangkan hati sang guru, namun dibalik itu sang guru juga memendam rasa amarah yang begitu kuat. Sontak ia merasa harus segera bertindak untuk melakukan perlawanan kepada musuh yang menyerang.Setelah selesai menguburkan semuanya, tiba-tiba cuaca berubah. Di saat itu pula Guru Mada bersumpah dengan menghadap ke kuburan besar yang te
Saat Bajulgeni dan Guru Mada menyingkirkan sebuah pondasi rumah yang roboh, dibalik pondasi tersebut ditemukan mayat seseorang. Lalu mereka menyingkirkan pondasi rumah selanjutnya dan ditemukan mayat sebuah keluarga. Begitu seterusnya sampai mereka menyingkirkan reruntuhan sebuah balai pertemuan, mereka terkejut dan seketika senang karena mendapati seorang remaja laki-laki yang masih bernafas.Tanpa banyak pikir Guru Mada dan Bajulgeni segera mendirikan sebuah tenda dan merawat remaja tersebut."Syukurlah masih ada seseorang yang selamat, akibat insiden kemarin malam," Tutur Guru Mada."Ya Guru, ini merupakan suatu keajaiban, seorang pemuda yang tertimpa reruntuhan bangunan masih bisa bernafas," ucap Bajulgeni"Namun kita harus segera memberikan perawatan terbaik untuknya, sekalipun dia masih bisa bernafas, akan tetapi pendarahan yang terjadi di kepalanya tidak dapat disepelekan," Tegas Guru Mada."Saya sudah menyiapkan ramuan obat, perban serta air hangat untuk pemuda ini, semoga saj
"Ah! kepalaku pusing sekali," seru sang pemuda."Minumlah ini, ini adalah ramuan herbal yang baru kubuat, bisa membantu memulihkan tubuhmu dan menyembuhkan rasa nyeri di kepalamu," ucap Bajulgeni kepada sang pemuda."Terimakasih banyak," ucap sang pemuda sembari meminum ramuan yang diberikan Bajulgeni.Setelah minum ramuan itu, pemuda tersebut merasa agak baikan, dan nyeri pusing di kepalanya juga perlahan berkurang. Sang Pemuda masih seperti orang yang baru saja terkena amnesia karena ia benar-benar seperti berada di negeri di antah-berantah. Ia melihat sekeliling dengan tatapan terkejut dan bingung."Apakah kau ingat sesuatu sebelum engkau pingsan?" tanya Guru Mada."Entahlah, kepala ku masih agak pusing, aku akan mencoba mengingat-ingat," jawab sang pemuda sambil mengelus-elus keningnya."Apakah kau diserang atau bagaimana, kau ingat dengan katana, belati, senapan, ataupun bahan peledak?" tanya Guru Mada mengulang."Tunggu dulu, ah... kurasa aku mulai mengingatnya. Kemarin saat sor
Setelah berjalan dan berbincang-bincang cukup lama, ketiga orang tersebut berhenti di pinggiran desa, di sebuah batang pohon yang roboh dekat dengan gapura masuk desa. Mereka duduk berjajar untuk menghilangkan penat."Hai Bagaskoro, apakah engkau sebelumnya pernah belajar tentang seni bela diri?" tanya Guru Mada. "Belum pernah, bahkan tidak pernah terpikirkan olehku untuk mempelajari ilmu bela diri," jawab Bagaskoro sembari menelantangkan kakinya."Apakah engkau punya keinginan untuk mempelajari ilmu bela diri?" tanya Guru Mada dengan tatapan penuh keyakinan kepada Bagaskoro.Guru Mada sangat yakin, bahwasanya Bagaskoro akan mengiyakan pertanyaannya. Hal tersebut sudah diperkirakan oleh Guru Mada, karena bagaimanapun Guru Mada melihat ada percikan amarah dan sebuah tekad yang kuat dari mata Bagaskoro."Entahlah, aku bahkan tidak pernah tertarik untuk mempelajari ilmu bela diri sebelumnya," jawab Bagaskoro dengan keyakinan penuh. Guru Mada sontak terkejut mendengarnya, karena ia dapat
Sesampainya di tenda, Bagaskoro, Guru Mada, dan Bajulgeni segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai membersihkan diri mereka bertiga membagi tugas. Bagaskoro bertugas membersihkan ruangan yang digunakan untuk makan sembari menyiapkan peralatan makan yang dibutuhkan. Sementara Guru Mada dan Bajulgeni memasak hewan buruan."Guru, aku sudah selesai membersihkan ruangannya!" teriak Bagaskoro. "Baguslah kalau begitu, cepatlah kemari untuk membantu memasak," ujar Guru Mada.Bagaskoro segera berlari keluar menuju dapur yang dipersiapkan di luar tenda. Ia mencium aroma yang sangat harum dari tungku masak."Bau apa ini guru? Baunya harum sekali," gumam Bagaskoro. "Ini adalah Kijang yang dimasak menggunakan minyak kelapa," jawab Bajulgeni."Kijang? apa itu? Bukankah yang dimasak adalah rusa?" ujar Bagaskoro keheranan. "hahahaha... bukan.. bukan.. ini adalah kijang. Sekilas kijang dan rusa memang nampak sama, namun kijang memiliki ukuran lebih kecil dan dibanding rusa," jaw
"Dahulu, aku persis seperti dirimu Bagaskoro. Aku tidak pernah mengenal apa itu beladiri." Ujar Guru Mada. "Hingga pada suatu saat, pecahlah Perang Dunia Kedua," tambahnya.Guru Mada bercerita sambil menahan kesedihan yang mendalam. Beliau tetap berusaha untuk kuat di depan murid-muridnya agar bisa memotivasi mereka."Di saat perang dunia kedua meledak, umurku masih menginjak 20 tahun, jika umurku saat ini adalah 68 tahun. Maka sekarang adalah 48 setelah terjadinya perang dunia kedua. Tidak seperti sekarang, Kota Bandarmojo yang sekarang mungkin sudah mengalami perkembangan yang lebih pesat dan menjadi kota yang lebih modern dari sebelum terjadinya perang dunia kedua. Sebelumnya kota itu hanya dikenal masyarakat seantero Kerajaan Nusa sebagai pusat ilmu pengobatan dan kesehatan. Sedangkan pusat teknologi masih dipusatkan di kota Raja. Setalah perang dunia kedua berakhir Kota Bandarmojo direnovasi besar-besaran karena kerusakan yang menimpanya begitu parah." Jelas Guru Mada."Guru.. gu
"Sudahlah guru, jika guru menjadi sedih karena menceritakan masa lalu kelam yang guru alami. Sebaiknya guru tidak usah menceritakannya," ujar Bajulgeni."Apa yang dikatakan oleh kakang Bajulgeni itu benar guru. Lebih baik bahwasanya guru beristirahat sekarang ini daripada harus menceritakan masa lalu guru kepada kami. Kami tidak bisa melihat guru bersedih karena kami." tambah Bagaskoro."Aku sangat bangga dengan kalian berdua, kalian mempunyai rasa solidaritas yang tinggi antar sesama. Bajulgeni maupun Bagaskoro, kalian sama-sama hebat. Namun perlu kalian ketahui aku bercerita seperti itu, karena aku curiga, bahwasanya dalang dibalik penyerangan yang terjadi di desa maupun di padepokan dilakukan oleh orang yang sama dalam penyerangan kota Bandarmojo dulu." Tegas Guru Mada.Bagaskoro yang baru bertemu dengan Guru Mada merasa takjub dengan pemikiran Guru Mada. Ia tidak menyangka kalau sang guru sudah berpikir sangat jauh ketika menghadapi suatu masalah. Bagaskoro sontak memantapkan niat
Mendengar cerita dari Guru Mada, Bagaskoro tertegun. Ia tidak habis pikir, diluar sana banyak orang yang rela mengorbankan rasa nasionalisme yang telah tertanam di dalam tubuhnya hanya untuk balas dendam."Mungkin cukup sampai sini dulu, hal yang perlu ku sampaikan kepada kalian. Selebihnya akan aku jelaskan kepada kalian ketika sudah sampai di Padepokan saja," Tutur Guru Mada dengan napas terengah-engah."Baiklah guru!" jawab Bagaskoro dan Bajulgeni hampir bersamaan.Mereka bertiga mulai berkemas dan membersihkan lingkungan sekitar pedesaan. Guru Mada dan kedua muridnya juga tak lupa untuk mencari beberapa tanaman pangan dan obat-obatan untuk dibawa kembali ke lereng bukit."Kita harus membersihkan apa yang perlu, semampu kita saja," Tegas Guru Mada. "Seberapa jauh padepokan guru dari puncak bukit ini?" tanya Bagaskoro. "Mungkin sekitar 2 jam kita akan sampai," jawab Guru Mada.Setelah mempersiapkan semuanya, mereka pun meninggalkan desa dan pergi menuju lereng bukit. Di tengah perja