Share

Masalah Agni

Bram menatap Ayunda lamat-lamat. Sungguh sedari dulu, Bram sangat mengagumi wajah cantik Mudah Ayunda. Tanpa diduga, lelaki itu menyatukan keningnya dengan kening Ayu. Merasakan setiap debaran di hatinya. Ayu dan Bram memejamkan mata mereka. Rasa yang mereka tepis kuat-kuat, kini membuncah tak tertahankan. 

Ayu merasakan bahwa di masa lampau dia pernah sangat dekat dengan lelaki itu. Tak pernah Ayu terbuai dengan segala perlakuan manis para 'buaya' yang mendekatinya. Namun, berbeda dengan Bram. Pria yang menjamah tubuhnya dengan penuh cinta. Menyiram hatinya yang telah lama kering, kini terasa sejuk semenjak malam itu.  

"Jangan seperti tadi lagi, Mudah!" ucapnya parau. 

"Itu memang resiko dari pekerjaanku," sahutnya cepat. 

Bram mengangkat wajah. Dia tak berkutik mendapatkan jawaban dari Ayunda. Memang benar bukan itu adalah resiko dari pekerjaannya? Lantas Bram bisa apa? Dia bukan siapa-siapa Ayunda. Tidak punya hak apa pun. 

"Puaskan aku malam ini, Ayu." 

Wanita itu hanya mengangguk seraya tersenyum. Napas mereka sudah memburu, menandakan bahwa keduanya telah terkuasai oleh birahi. Jika di luar sana sudah sangat dingin dan sepi. Namun, tidak dengan kamar ini. Mereka melebur menjadi satu untuk kedua kalinya dan entah sampai kapan. 

****** 

Cahaya matahari sudah menerobos melalui celah-celah jendela. Mereka masih terlelap dengan keadaan tanpa busana. Usai permainan yang dilakukan berulang kali, membuat mereka begitu kelelahan. Ponsel Ayu berdering sedari tadi. Namun, wanita itu tak kunjung bangun. Sampai sudah berkali-kali berdering, barulah Ayu mengerjapkan matanya. Tangannya meraih ponsel yang berada di atas nakas. 

Matanya membulat sempurna melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Lebih terkejut lagi saat tahu yang menelepon adalah Marta. Biasanya, ada hal penting. Ayu segera bangun lantas duduk bersandar ke kepala ranjang. 

"Ayu, kamu harus pulang sekarang juga!" seru Marta di seberang sana. 

"Ada apa, Mar? Jangan membuatku takut!" tanya Ayunda tak sabaran. 

"Sebaiknya, kamu pulang dulu. Ada surat dari sekolah Agni." 

"Baiklah, aku pulang sekarang, Mar." 

Ayunda mengakhiri telepon dengan Marta. Perasaan wanita itu menjadi tak tenang. Selama ini, dirinya belum pernah dipanggil pihak sekolah. Dia tahu betul sifat dan sikap putrinya. Tak mungkin jika dia dipanggil perihal Agni yang memukuli temannya atau membully. Ya, semoga saja bukan tentang hal itu. 

Di dalam mobil Ayu terlihat gelisah. Dia tak bergeming. Jemarinya saling meremas. Sesekali Bram menolehnya. Pria itu tahu apa yang dirasakan oleh Ayunda. Ya, meskipun dia belum menikah dan memiliki anak. Ingin sekali rasanya Bram menenangkan Ayu, tetapi dia bingung harus berbuat apa. 

"Kamu tenang aja, Mudah. Anakmu pasti baik-baik saja," ujar Bram mencoba menenangkan. 

"Bukan itu masalahnya. Aku takut, Agni melakukan hal yang tidak-tidak pada temannya. Selama dia sekolah, baru kali ini aku dipanggil oleh wali kelasnya." Tangannya memijat pelipis. Kepalanya sudah terasa berdenyut. 

"Kamu harus percaya sama anak kamu. Kalau pun memang anak kamu yang bersalah, kamu jangan memarahinya. Berikan dia pengertian dan tanya secara baik-baik. Anak seusia Agni emosinya masih labil," nasihat Bram panjang lebar. 

Ayunda menoleh ke arah Bram. Betapa lelaki ini mempunyai pikiran sedewasa itu. Jiwa kebapak-annya begitu terlihat. Beruntung sekali yang menjadi istri dari Bram, apalagi yang menjadi anaknya, begitu yang muncul di benak Ayu. 

"Sayang sekali kau sering ke kelab dan tidur dengan wanita penghibur macam diriku, Bram," batin Ayunda.

****

Esoknya, Ayu ke sekolah Agni diantar Bram. Ibu satu anak itu, tidak mau diam. Sesekali jemarinya memijat pelipis. Semalam, Agni mengunci dirinya di kamar. Tidak mau menjelaskan apa yang telah terjadi. 

Tak terasa mereka telah sampai di sekolah Agni. Ayu segera turun dari mobil tanpa memedulikan Bram. Lelaki itu mengekor di belakang Ayunda. Jantung yang semakin berpacu dengan cepat, membuat langkah Ayu semakin panjang. Rasanya ingin sekali ia cepat sampai ke ruang guru Agni. 

Sesampainya di depan pintu, Ayu malah terdiam. Mengatur napas dan menetralkan perasaan gugupnya. Bram berdiri di samping Mudah. Meraih jemarinya lantas menggenggamnya erat. Memberikan kekuatan melalui itu. Ayunda tersenyum kecil seraya menoleh ke arah Bram. 

Ayu memberanikan diri mengetuk pintu. Tak lama terdengar suara dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk. Wanita itu segera memutar kenop pintu lantas melangkah bersama Bram. 

"Selamat pagi, Bu," sapa Ayunda. 

"Selamat pagi, Bu. Silakan duduk!" Tangannya mempersilakan ke kursi yang berada di hadapannya. 

Ayunda dan Bram sudah duduk dengan manis dan berusaha untuk tenang. 

"Maaf, Bu, kalau saya boleh tahu, ada apa ya dengan Agni--putri saya? Apa dia berkelahi dengan temannya?" tanya Ayunda tepat sasaran. 

"Benar, Bu. Agni telah mendorong salah satu teman kelasnya sampai terjatuh dan mendapatkan sedikit luka di bagian tangannya. Saya sudah memanggil mereka untuk menjelaskan semuanya. Namun, mereka bungkam dan saling menyalahkan." Tangannya membetulkan letak kaca matanya. 

"Saya harap Ibu bisa menanyakan hal ini dan lebih dekat dengan Agni. Sebenarnya, Agni selama sekolah tidak pernah berbaur dengan siswa lainnya. Dia selalu menyendiri, padahal dia salah satu siswa cerdas di sekolah ini. Maaf, Bu, bukan saya mau ikut campur. Namun, sebaiknya Ibu lebih dekat dengan Agni. Coba tanyakan alasan di balik sikap tertutupnya itu, " lanjutnya menjelaskan. 

Ayunda merasa tertampar dengan ucapan guru putrinya tersebut. Sebab, selama ini dia memang jarang sekali memiliki waktu berdua dengan putrinya. Jika waktu pagi datang, Ayunda akan tidur sampai siang. Terkadang, dari sore hari selalu ada pelanggan yang menyewa jasanya. Entah untuk pergi jalan-jalan atau sekadar menemani minum di sebuah Villa atau hotel.

Setelah perbincangan dengan guru selesai, Ayunda dan Bram pamit undur diri. Wajah wanita itu menjadi pucat pasi. Warna lipstik yang menghiasi bibir mungilnya seakan pudar begitu saja. Bram merangkul pundak Ayunda.  Memberikan seulas senyum agar wanita itu tak lagi gelisah. 

"Apa yang sebenarnya terjadi pada putriku? Tuhan ... apa aku masih pantas disebut ibu?" jerit hati Ayunda. 

Malam yang begitu hening. Marta, Ayu dan Agni sedang menikmati makan malam. Sedari pulang sekolah, gadis itu mengurung diri di kamar. Ayunda sudah berusaha untuk sabar dan mengulur waktu untuk bertanya pada putrinya perihal kejadian di sekolah tadi pagi. 

Marta pun tahu apa yang terjadi. Baginya, Agni adalah putrinya juga. Marta dan Ayunda sudah berdiskusi tentang langkah apa yang harus mereka lakukan untuk Agni. Kedua wanita itu sepakat akan menanyakannya dari hati ke hati. Perkataan gurunya tadi benar, Ayunda harus lebih dekat dengan gadis yang menginjak dewasa itu. 

"Agni, nanti temani Ibu jalan-jalan ke taman, ya! Ibu rindu sekali makan bakso bakar yang ada di sana. Sewaktu kecil kamu sangat suka sekali makanan itu," ucap Ayunda riang.  

Gadis itu menghentikan aktivitas makannya. Menatap ibunya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ayunda dan Marta saling pandang. Kini, giliran Marta yang berbicara. 

"Sayang ... kok, diam saja? Kamu mau kan temani Ibu? Nanti jangan lupa beli bakso bakar buat Tante, ya!" 

Gadis itu masih diam seribu bahasa. Ayunda dan Marta menelan seliva kesusahan. Sepertinya apa yang ada dalam benak mereka sama, yakni gagal! Gadis itu masih diam. Melanjutkan makan tanpa memedulikan ibu dan tantenya. 

"Kenapa Ibu tiba-tiba ingin jalan-jalan? Biasanya Ibu akan sibuk dengan para pria be-re-ngs-ek itu!" sindir Agni. 

Jantung Ayunda seperti tertancap belati. Lebih dari sakit. Ya, dia merasakan itu. Ucapan putrinya begitu menyayat hati. Marta terkejut dengan ucapan Agni. Gadis polos dan pendiam itu bisa berkata yang mampu menciptakan rinai gerimis di pipi ibunya. 

"Agni! Kamu tak boleh berkata  seperti itu pada Ibumu! Dia itu hanya--" 

"Sudahlah, Marta ...." potong Ayunda cepat. 

Disekanya ujung mata yang sudah basah. Bibirnya sudah bergetar. Ayunda bingung harus menjawab apa. Bukankah yang dikatakan Agni itu benar? Selama ini dia hanya sibuk melayani pria be-de-bah itu. 

"Sayang ... kalau kamu tidak mau pun tidak apa-apa. Kamu istirahat saja, Ibu juga akan beristirahat," ucapnya lirih. 

Agni terdiam sesaat. Menyesali ucapan yang telah terlontar dari mulutnya. Lidah memang bisa lebih tajam dari pisau. Gadis itu beranjak dari duduk. 

"Agni tunggu di teras, Bu. Sekarang Agni akan mengambil jaket dulu ke kamar," ujarnya seraya berlalu pergi. 

Seulas senyum tersungging dari bibir Ayunda. Sahabatnya begitu senang melihat Ayu kembali akur dengan putrinya. Kedua wanita itu saling berpelukan. 

"Ingat ya, Yu, kamu jangan terbawa emosi. Agni masih labil, emosinya masih naik turun," wejangan dari Marta. 

"Iya, Mar. Buktinya aku tadi diam saja, malah kau yang marah," gurau Ayunda tertawa. 

Marta pun ikut tertawa. Sesederhana itu kebahagiaan mereka. Saling menyayangi, melengkapi dan mengerti. Sungguh, beruntungnya lelaki yang mendapatkan kedua wanita itu. Mereka telah menjadi sosok wanita tangguh, penyayang dan penyabar. Hanya saja, mereka sudah masuk ke dalam lembah hitam yang entah kapan mereka bisa keluar. Mungkin jika ada lelaki yang mau menikahi mereka. Hah! Menikah? Bahkan kata itu mereka kubur dalam-dalam. 

Sekuat hati Marta dan Ayunda menepis segala rasa yang tiba-tiba hadir dalam hati. Membuat benteng pertahanan agar mereka tak jatuh cinta. Namun, kenyataannya cinta mampu menggoyahkan pertahanan Mudah Ayunda. Sosok Bram begitu kuat mengguncang  pertahanan Ayu yang begitu kokoh. Sehingga kini, wanita itu terjebak di dalamnya. 

****** 

Di taman dekat kompleks rumah, Agni dan Ayunda tengah menikmati udara dingin dalam keremangan cahaya lampu taman. Ibu dan anak itu duduk di kursi yang menghadap ke kolam kecil. Beberapa pasangan muda-mudi tengah asyik bersenda gurau. Tak jarang obrolan mereka terdengar ke telinga Ayunda dan Agni. 

Beberapa tusuk bakso bakar menemani malam mereka dengan pandangan kosong ke depan. Keduanya larut dalam perasaan masing-masing. Banyak kata yang ingin mereka ungkapkan, tetapi bingung harus memulai dari mana. Berkali-kali Ayunda mengembuskan napas berat. 

"Agni ... apa Ibu boleh tahu, apa yang terjadi kemarin di sekolah?" tanya Ayunda hati-hati. 

Gadis itu menoleh ke arah Ibunya. Menatap lamat-lamat. Ada luka yang mendalam, Agni tahu itu, pun dengan dirinya. Ada luka yang menganga dalam hatinya. Hinaan dan cacian dari teman-temannya masih terngiang di telinga. 

"Berhentilah dari pekerjaan kotor itu, Bu!" Agni mengalihkan pandangannya ke depan. 

Ayunda terdiam. Jika saja dia punya pendidikan tinggi atau keahlian khusus, mungkin sejak dulu dia akan meninggalkan dunia malam yang berhasil menenggelamkannya. 

"Agni ... apa kamu membenci Ibu?" tanyanya lirih. 

Gadis itu memejamkan mata. Pertanyaan ibunya begitu menghunjam jantungnya. Gadis itu terisak pilu, pun dengan Ayunda. 

Kejadian tadi pagi, menari-nari di benak Agni.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status