Share

Sang Kupu-Kupu Malam
Sang Kupu-Kupu Malam
Penulis: Rita Juwita

Awal Mula

Malam semakin larut, angin yang berembus semakin terasa dingin saat menyentuh kulit. Jika kebanyakan orang pada larut malam sibuk mengarungi mimpi, tetapi tidak bagi Mudah Ayunda. Wanita itu sudah seperti Kelelawar saja. Siang dijadikan malam begitu  pun sebaliknya. Tak ada kata lelah dalam hidupnya. 

Dia mengira kehidupannya akan mudah untuk dijalani seperti nama yang telah diberikan orang tuanya dulu. Namun, nyatanya dunia tak sebaik yang dia kira. Perjalanan hidupnya begitu sulit, bahkan bisa dikatakan seperti membunuhnya perlahan. 

Di tengah ingar-bingar suara musik yang memekakkan telinga, wanita yang akrab disapa Ayu itu, tengah meliukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Beberapa pria hidung belang mengelilinginya. Tangan nakal mereka dengan bebas menjamah tubuh Ayu. Parasnya yang cantik dan tubuh bak gitar Spanyol, siapa yang takkan tergoda dengan makhluk sempurna seperti Ayu. 

"Kamu free enggak malam ini?" tanya salah seorang pria. 

"Iya, mau boking gue?" sahut Ayu to the point.

"Tarif elu berapa?" 

"Dua juta. Minimal segitu. Kalo lo gak berani, mundur aja!" ujarnya asal. 

"Gue bayar lu tiga juta!" jawabnya sombong. 

Ayu tersenyum tipis. Akhirnya malam ini dia akan mendapatkan uang lebih banyak. Biasanya, dia akan memasang tarif satu juta limaratus. Terkadang, banyak Om-om yang keberatan dengan harga yang Ayu sebutkan. Namun, demi mendapatkan kepuasaan sesaat mereka rela merogoh kocek cukup dalam. 

Bukan karena ingin menjalani profesi seperti ini. Namun, karena keterpaksaan. Ayu hanyalah seorang ibu tunggal bagi anaknya yang kini sudah berusia tujuh belas tahun. Ayah sang anak pergi dengan wanita lain sepuluh tahun yang lalu. Ayu frustrasi saat itu, dia tak dapat melakukan banyak hal. Dia hanya bisa menjadi buruh cuci dan setrika dari pintu rumah yang satu ke pintu rumah yang lain. 

Sehingga, pada sore hari ditemani rinai gerimis, Ayu dan anaknya sedang menahan lapar. Sebab, seharian hujan turun dengan derasanya. Ayu tidak bisa melakukan pekerjaannya. Agni sang putri merengek meminta makan. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kepiluan hatinya. Matanya sudah memerah, air mata lolos dengan sempurna dari pelupuk matanya. 

Agni-bocah kecil berumur tujuh tahun itu masih terus menangis meminta makanan. Ayu hanya bisa mendekap dan mengelus rambut si kecil. Tetiba pintu rumahnya diketuk. Ayu beranjak dari kursi pelastik yang didudukinya. Membuka selot pintu yang terbuat dari paku. 

Ditatapnya tamu yang sedang berdiri di ambang pintu. Seorang wanita cantik dan seksi. Rambutnya yang berwarna marun dan kulitnya serupa susu, membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Ayu melihat dirinya sendiri. Betapa bedana penampilan dia dengan wanita itu. Bagaikan bumi dan langit. Ayu hanya mengenakan daster lusuh bermotif batik dan rambut yang diikat asal. 

"Hei! Kenapa kau menatapku seperti itu, Yu?" tanya wanita itu membuyarkan lamunan Ayu. 

"Anda siapa? Kenapa bisa tahu nama dan alamat rumah saya?" Ayu balik bertanya. 

Wanita itu tertawa sehingga menampilkan deretan giginya yang putih. 

"Kamu serius gak ngenalin aku? Coba kamu perhatikan dengan seksama, Yu!" dia mencoba menyadarkan Ayu. 

Ibu muda itu tampak berpikir. Mencoba mengingat siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Tidak mungkin bukan seorang putri raja mengenal dirinya? Ini mustahil! 

"Saya sungguh tidak mengenal Anda!" ketus Ayu. 

"Aku Marta, Yu. Teman Sekolah Dasarmu dulu. Masa kamu lupa?" ujar wanita itu. 

Seketika mata Ayu membulat sempurna. Ya, tentu saja Ayu tidak akan mengenal wanita yang tengah memandangnya itu. Sebab, seingat dia, Marta--temannya itu bertubuh gemuk dan memiliki kulit berwarna sawo matang. Namun, lihatlah sekarang! Marta berubah menjadi gadis cantik bak putri raja. 

"Marta! Aku rindu sekali padamu," sahut Ayu kemudian. Lantas memeluk sahabatnya itu erat. 

"Ayok masuk, Mar! Maaf gubukku berantakan dan sempit." Sesal Ayu seraya melangkah mendahului Marta. 

Marta duduk di kursi kayu yang sudah reyot. Begitu memprihatinkan keadaan Ayu sekarang. Hati Marta begitu tersayat kala melihat seorang gadis kecil sedang tesedu di kursi pelastik di sudut ruangan.

Ayu segera menuju dapur untuk mengambil dua gelas air putih. Marta tak henti menatap gadis cantik yang tengah tersedu itu. Hatinya merasa nyeri melihat bulir bening yang tak hentinya terjatuh. 

"Ini diminum dulu, Mar. Maaf, aku hanya bisa menyuguhkan segelas air putih saja," ujarnya penuh sesal. 

"Tidak apa-apa, Yu. Oh iya, Yu, itu anak kamu? Kenapa dia menangis seperti itu?" tanya Marta lirih. Mata wanita itu sudah berembun. 

"Dia putriku, Mar. Dia ...." Ayu tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya terasa tercekik saat akan menjelaskan pada Marta. 

"Sini, Sayang. Tante punya sesuatu buat kamu," panggil Marta pada Agni. Gadis kecil itu segera beranjak dari kursi lantas menghampiri Marta. 

Direngkuhnya Agni dan mendudukannya di pangkuan. Gadis kecil itu tersenyum hangat. 

"Ini, Tante punya cokelat buat kamu. Dimakan, ya? Ini enak lho," ucap Marta lembut. 

"Terima kasih, Tante. Agni lapar, apa Tante punya makanan selain cokelat?" tanya Agni polos. Marta membulatkan matanya sempurna. 

Hati Ayu terasa tercabik-cabik mendengar ucapan putrinya. Air matanya luruh seketika.  Marta menoleh ke arah ibu dari anak tersebut. Wanita itu menundukkan kepalanya seraya tersedu, pun dengan perasaan Marta. Hati wanita itu bagai tertancap belati tak kasat mata. Agni-gadis kecil yang seharusnya mendapatkan asupan gizi yang banyak, tetapi keadaannya memaksa untuk dia berpuasa. Entah perasaan apa yang menyelimuti perasaan Marta. Mata wanita itu menganak sungai. 

"Sayang, kamu belum makan?" tanya Marta seraya mengusap lembut kepala Agni. 

"Iya, Tante. Aku makan kemarin sore. Ibu mengatakan tidak punya uang untuk membeli makanan," papar bocah polos itu. 

"Kamu ke kamar dulu, ya! Nanti Tante akan ajak kamu makan enak di restoran. Tante mau bicara dulu sama ibu kamu," pintanya dengan lembut. Agni mengangguk seraya berjalan menuju kamarnya. 

Marta menatap Ayu yang masih setia dengan isaknya. Wanita itu begitu prihatin melihat keadaan sahabatnya. 

"Ayu ... kenapa hidupmu seperti ini? Maafkan aku yang datang terlambat. Aku memang bukan teman yang baik untukmu," ucapnya lirih. Marta terisak di tempatnya. 

"Tidak, Marta! Kamu teman paling baik di dunia ini. Mungkin, ini sudah guratan takdirku," disela isaknya Ayu menjawab. 

"Sekarang, bersiaplah, Yu! Kita pergi jalan-jalan. Kasihan anakmu kelaparan. Oh iya, mulai sekarang kamu harus ikut denganku!" ucap Marta tegas. 

Ayu mengangkat wajahnya. Menatap netra cokelat itu. Ada ketulusan di sana. Ayu bisa merasakannya. Memang, sedari dulu, Marta lah yang paling peduli padanya. Ayu mengangguk patuh, lantas menyiapkan dirinya dan Agni untuk ikut bersama Marta. 

****** 

Suara serak dari lelaki di sampingnya membuyarkan semua lamunan Ayu. Lelaki itu memeluk tubuh polosnya. Sepertinya akan ada 'permainan' lagi yang mengaharuskan Ayu untuk segera bersiap. Lelaki itu menggeliat. Ayunda menghapus air matanya kasar. 

"Kau kenapa?" tanya lelaki itu. 

Ayu terperanjat, baru kali ini ada seseorang yang menanyakan tentang keadaannya. Biasanya, ketika dia sedang menangis, lelaki yang membayarnya akan meminta untuk berhenti menangis. Tak jarang tangan mereka dengan mudahnya menampar pipi mulus Ayu. 

"Aku tidak apa-apa!" sahutnya datar. 

Pria itu bangun dari posisinya. Menatap mata milik Ayu. Ada luka yang mendalam, dia bisa merasakannya. Lelaki itu merasa kasihan. Dia ingin sekali mengusap kepala wanita Ayunda. Lantas,memeluknya erat dan memberikannya kekuatan. Ini sungguh aneh bukan? 

"Kemarilah! Menangislah agar semua beban yang ada di hatimu berkurang," titahnya seraya merentangkan kedua tangannya. 

Ayu terdiam seketika. Lelaki ini begitu lembut. Bahkan saat mereka bergumul dalam satu selimut pun pria ini memperlakukannya layaknya seorang manusia. Menjamah tubuhnya dengan kehati-hatian. Ayu merasa sedang bercumbu dengan seseorang yang mencintainya. 

"Kenapa kau diam saja? Kemarilah!" ucapnya lagi. Dengan ragu, Ayu pun mendekat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status