Share

Pengorbanan

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ayu masih terisak di dada bidang milik lelaki yang menyewa jasanya. Sudah lama sekali, Ayu tak merasakan kehangatan dari seorang pria. Semenjak sepuluh tahun yang lalu suaminya pergi bersama wanita lain. Kehangatan itu luruh seketika. Ayu seakan mati rasa. Tak ada warna putih, biru atau pun merah. Di hidupnya hanya ada warna hitam dan abu-abu saja. 

Semenjak itulah, Ayu bertekad untuk membentuk dirinya yang baru. Tak ada lagi Ayu yang penyabar dan lembut. Kini, dia akan menantang kejamnya dunia. Jika dunia bisa menenggelamkannya ke dasar bumi, maka dia akan lebih dulu menggenggamnya. 

Ayu mengangkat wajahnya. Hangat napas lelaki itu menyapu anak rambut milik Ayu. Dia segera menjauhkan wajahnya. Mengusap lembut bulir bening yang membasahi pipinya. 

"Tidurlah lagi! Ini masih jam tiga. Nanti, jam enam pagi aku akan mengantarmu pulang," ujar lelaki itu. 

Ayu menatap netra hitam milik pria yang menurut Ayu aneh. Mengapa Ayu tak menemukan kebohongan dalam mata itu? 

"Apa kau tidak akan bermain lagi? Aku masih sanggup melayanimu," sahutnya lirih. 

Lelaki itu tersenyum tipis. Lantas menarik selimut dan mendorong bahu Ayu agar berbaring. Ayu masih bergeming. Entah apa yang akan pria itu lakukan. Ayu hanya bisa pasrah. Bukankah ini sudah tugasnya? Apalagi lelaki aneh ini sanggup memberikan uang yang begitu fantastis. Padahal, tadi Ayu hanya sekadar mempermainkannya. Lagi pula, siapa yang akan tertarik dengan wanita tua seperti dirinya? 

Meski pun tak dapat dipungkiri, banyak orang yang mengira bahwa dirinya masih berumur di bawah tiga puluh tahun. Paras dan lekuk tubuhnya memang bertolak belakang dengan usia aslinya. 

"Istirahatlah! Aku juga akan tidur kembali," katanya seraya membaringkan tubuhnya di samping Ayu. 

Di tengah keterkejutannya karena sikap aneh pelanggannya, tangan kekar milik pria itu sudah melingkar sempurna di perut Ayu. Wanita itu membulatkan matanya. Ada desiran aneh saat tangan itu memeluknya erat. Jantungnya bertalu-talu. Ayu seakan-akan susah untuk menghirup banyak oksigen. 

"Sepertinya aku sudah gila!" bisik hati Ayu. 

Tak ingin berpikir lebih jauh lagi tentang perasaan aneh yang menyelinap ke relung hatinya, wanita itu segera memejamkan matanya. Lelaki itu memang benar. Dia butuh istirahat yang cukup. Lantas segera pulang dan memberikan uang hasil kerja kerasnya kepada Agni--putri semata wayangnya untuk membayar uang sekolah. 

Suara alarm dari ponsel berbunyi nyaring. Ayu dan lelaki itu mengerjapkan matanya. Menyesuaikan bias cahaya yang masuk ke mata mereka. Ada seulas senyum dari wajah lelaki itu. 

"Kau sudah bangun?" tanyanya lembut. 

"Sudah," jawabnya singkat.

"Mandilah terlebih dahulu! Lantas siap-siap. Aku akan mengantarmu pulang," ujarnya seraya bangun. 

Ada perasaan hangat menyelinap diam-diam ke dalam hati Ayu. Wanita itu merasakan getaran yang aneh saat mendengar suara lembut nan penuh perhatian. Ayu segera beranjak dan melangkah menuju kamar mandi. 

***** 

Lelaki itu dan Ayu telah siap untuk pulang. Sebelum mereka meninggalkan hotel, dia memberikan amplop berwarna cokelat tebal. Ayu sudah bisa menebak apa isinya. 

"Ini untukmu." 

Ayu bergeming. Amplop tebal itu masih berada  dalam genggaman. Menggantung di udara. Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Bukankah ini yang diinginkan wanita penghibur? Setumpukkan uang bukan? 

"Sepertinya ini terlalu banyak," tolak Ayu. 

"Kenapa kau menyimpulkan seperti itu? Bisa saja 'kan ini uang jumlahnya sedikit?" tanyanya merasa aneh. 

"Amplop ini begitu tebal. Sudah pasti uangnya sangat banyak," ujar Ayu kukuh pada pendapatnya.  

Lelaki itu tersenyum samar, bahkan nyaris tak terlihat. Lantas, dia melangkah untuk merapatkan tubuhnya dengan Ayu. Wanita itu terpaku di tempat. Dadanya sudah berdebar-debar. 

"Perasaan aneh apa ini?" tanya batin Ayu. 

"Ambilah! Kau sangat membutuhkan ini untuk anakmu. Bahkan aku bisa memberimu lebih dari ini. Asal kan kau ..." bisik lelaki itu.  Senyum menyeringai jelas terlihat di wajah tampannya. Ayu menelan selivanya perlahan. 

"Lelaki ini? Apa dia memang benar baik atau dia sedang berusaha menyeretku ke dalam perangkapnya?" bisik hati Ayu kemudian.

***

Ayu memasuki rumah minimalis milik sahabatnya--Marta. Ya, semenjak sepuluh tahun yang lalu memang Marta mengajak Ayu dan Agni untuk tinggal bersamanya. Rumah itu tampak sepi. Mata Ayu berkeliling mencari sosok yang begitu berarti dalam hidupnya. Namun, Ayu tak menemukan siapa pun. Langkahnya menuju taman belakang yang berada di dekat ruang dapur. 

Ayu tersenyum kala melihat pemandangan di taman. Marta dan Agni tengah menikmati udara pagi dengan segelas teh di tangan mereka. Ayu melangkah menuju taman belakang. Lantas duduk di kursi yang berada di samping Agni. 

"Kamu baru sampai ya, Yu? Tumben pulang jam segini?" tanya Marta seraya menyeruput tehnya. 

"Iya. Tadi aku ketiduran, Mar. Capek sekali rasanya. Sepertinya aku butuh istirahat lebih hari ini," keluhnya seraya memijat tengkuk. 

Wajah Agni menjadi sendu. Inilah yang dia khawatirkan tentang kondisi ibunya. Dia sudah beranjak dewasa. Sudah mengerti apa yang dikerjakan sang ibu tidak benar adanya. Namun, tidak ada keberanian untuk menyuarakan isi hati. Agni ingin ibunya berhenti dari pekerjaan kotor itu. Agni berpamitan untuk kembali ke kamar. 

Ayu dan Marta saling melempar pandang. Raut wajah Agni menjadi berbeda. Kedua wanita itu bisa merasakan kalau ada yang aneh dengan remaja itu. 

"Yu, sudah kubilang, berhentilah bekerja di tempat itu. Jangan mengikuti langkahku yang salah. Kau punya Agni yang harus kau jaga perasaannya. Sedangkan aku? Aku hidup sebatang kara. Tak ada yang peduli apa yang aku lakukan," ujarnya lirih. 

Ayu meraih jemari Marta yang ada dalam pangkuan. Perempuan itu tersenyum hangat ke arah Marta. Ayu tahu betul perjalanan hidup sahabatnya itu. Hidup Marta yang dulu bagai putri raja kini berubah seratus delapun puluh derajat. Dunia telah menjungkir-balikkan kehidupannya. 

"Kau salah, Mar. Aku dan Agni begitu peduli padamu. Bukankah aku sering memintamu untuk berhenti dari profesimu? Kau tidak menurut 'kan? Jadi biarlah aku seperti ini juga, Mar. Aku butuh uang yang banyak untuk biaya sekolah Agni," papar Ayu. 

Mata Marta berkaca-kaca. Wanita itu merasa tersentuh setiap kali berbicara dengan Ayu. Mereka seperti saudara kandung  yang selalu menjaga dan menyayangi. 

"Aku ke dalam dulu, ya. Aku akan bicara dengan Agni. Cepatlah sarapan, Mar! Kulihat tubuhmu semakin kurus saja. Jangan diet-dietan segala! Tubuhmu seperti hanya tulang saja," gurau Ayu seraya melangkah meninggalkan Marta. 

Marta hanya tersenyum mendengar celetukkan sahabatnya. Ya, memang akhir-akhir ini dia sedang berdiet. Dia harus pintar menjaga berat tubuhnya. Sebab, persaingan di dunianya begitu ketat. Banyak anak remaja yang rela menukar selaput daranya hanya demi sebuah ponsel pintar keluaran terbaru. Begitu miris bukan? Berbeda dengan dirinya dan juga Ayu, mereka rela menjual tubuhnya hanya untuk mebiayai kebutuhan hidup mereka. 

****** 

Ayu memutar kenop pintu pelan. Dilihatnya putri kesayangannya sedang membaca buku di atas ranjang. Kaca mata tebal menghiasi wajahnya. Gadis itu menoleh sekejap. Lantas meneruskan lagi membaca. Ayu melangkah ke dekat ranjang lalu duduk di tepinya. 

"Agni ... Ibu sudah ada uang untuk biaya sekolah kamu. Besok kamu bayarkan ya? Ini uangnya," ucap Ayu seraya memberikan amplop cokelat yang tadi diterimanya. 

Agni melihat amplop itu. Lantas matanya beralih menatap ibunya. Ada rasa nyeri yang teramat dalam di dadanya. Gadis itu merasa tak berguna menjadi seorang anak. Dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan ibunya dari kubangan dosa. 

Beberapa menit kemudian Agni meraih amplop itu lantas diremasnya pelan. Sesak menyelimuti hati gadis itu. Dia menundukkan kepalanya. Sebab wajahnya sudah terasa panas. Embun sudah bergelayut di pelupuk matanya.  

"Bu ... berhentilah bekerja di sana. Aku ...." Gadis itu tak kuasa melanjutkan ucapannya. Tenggorokannya terasa tercekik. Bulir bening sudah deras mengalir.

Ayu bergeming. Wanita itu bisa menebak apa yang akan diucapkan anaknya. Sebab ini bukan pertama kalinya Agni meminta dia untuk berhenti bekerja. Gadis itu bahkan mengatakan akan berhenti sekolah saja dan mulai mencari pekerjaan. Keinginan Agni cukup sederhana, yaitu ingin ibunya menjadi ibu rumah tangga saja. Hanya diam di rumah menikmati masa tuanya. Biarkan dia yang akan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka. 

"Sayang, jangan pedulikan Ibu! Kamu harus sekolah yang tinggi. Jadilah seseorang yang berguna dan sukses. Ibu tak mau kamu mengalami nasib buruk seperti Ibu. Berjanjilah untuk belajar sungguh-sungguh. Demi Ibu dan demi Tante Marta," sahut Ayu seraya mengusap lembut kepala Agni. 

Gadis itu terisak dipelukan ibunya, pun dengan Ayu. Wanita itu tersedu, betapa menyedihkan dan melelahkannya hidup yang dia jalani saat ini. Demi Agni dia harus kuat dan tak lagi peduli tentang perasaannya yang hancur lebur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status