Share

Penderitaan Agni

Agni teringat kembali kejadian kemarin pagi. Saat dia akan memasuki kelas, tetiba ada tiga orang siswi yang menghadangnya. Menyeret, lalu menyudutkan Agni di dinding. Gadis pendiam itu hanya bisa merintih saat tangannya dicekal begitu kencang. 

"Heh! Dasar cewek mur-ah-an! Lo itu ya, harusnya sadar diri. Lo mau rebut Arbani dari gue?" sentaknya seraya melototkan matanya. 

"Kamu salah paham. Aku tak pernah berniat merebut Arbani dari kamu. Kemarin dia--" 

"Halah, mana ada maling ngaku!" potongnya cepat. 

Jemari lembut itu beralih pada pipi Agni. Mencengkeram rahang Agni kuat-kuat. Gadis itu sudah banjir air mata. Perih dan sakit bercampur menjadi satu. 

"Guys, enaknya kita apain bocah ini?" tanyanya pada kedua temannya. Mereka mengetukkan jari ke kening, berpikir keras. 

"Kita kunci dia di toilet pria," usulan pertama datang dari wanita yang berambut ikal. 

"Jangan! Terlalu biasa. Gimana kalau kita ...," ucapnya menggantung. Lantas membisikkan sesuatu ke telinga si gadis yang mengaku pacar Arbani tersebut. 

Agni berdoa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya. Kakinya sudah lemas sebab terlalu lama berdiri. Belum lagi rasa perih dari kuku yang menancap di pipinya. 

"Bagus juga idenya. Kita telanjangi dia! Kau seperti ibumu yang ja-la-ng itu!" hinanya disertai tawa yang menggelegar memenuhi koridor gedung. 

Agni menggeratakkan giginya. Tangannya mengepal. Tak apa jika dirinya yang dihina asal jangan ibunya. Wanita yang dengan rela mengorbankan harga dirinya demi membuat dia menikmati fasilitas seperti sekarang ini. Ponsel pintar keluaran terbaru, bisa makan enak, di sekolahkan di sekolah favorit dan bisa membeli apa pun sesuka hatinya. 

Entah kekuatan dari mana, Agni mendorong keras tubuh gadis yang melukainya hingga tersungkur. Gadis itu menatap tajam ke arah Agni. Tak gentar, Agni pun melayangkan tatapan mem-bu-nuh padanya. 

"Dengar ya, Fay! Aku tak apa jika kau hina, asal jangan ibuku. Kau tak tahu apa-apa tentang hidup kami!" pekik Agni lantas berlalu pergi. 

Sepanjang perjalanan menuju kelas, air mata Agni lolos begitu saja. Dadanya begitu sesak, ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya. Tak sengaja dia bertemu dengan Arbani. Lelaki itu meraih lengan Agni untuk menghentikan langkah gadis itu. Mereka beradu tatap. Mata teduh Arbani, senyuman manisnya, Agni begitu suka. Mungkin bukan hanya Agni atau Fay yang menyukai Arbani. Semua siswi pasti akan jatuh hati melihat makhluk manis seperti Arbani. 

"Kamu kenapa?" tanya Arbani lembut. 

"Aku gak apa-apa!" sahutnya ketus. 

"Kok, kamu nangis? Siapa yang jahatin kamu?" desaknya seraya mengguncang bahu Agni pelan. 

"Aku--" 

"Agni! Kamu dipanggil Ibu Sinta. Cepat ke sana sekarang!" teriak seorang siswa. 

Agni dan Arbani saling pandang. Lelaki itu seakan meminta jawaban dari gadis di depannya. Namun, Agni tak memberikan penjelesan. Gadis itu segera berlari kecil menuju ruang wali kelasnya. 

Di ruangan Ibu Sinta, telah duduk Fay dan kedua temannya. Agni masih sangat kesal melihat gadis bar-bar itu. Setelah duduk di samping Fay, Ibu Sinta mulai menginterogasi mereka. 

"Agni, apa benar kamu telah mendorong Fay sampai jatuh dan terluka?" tanya Ibu Sinta serius. 

"Iya, saya memang melakukan hal itu. Namun, ada alasan kuat, kenapa saya melakukannya." 

Guru itu beralih menatap Fay. Gadis itu berpura-pura merintih dan menangis. Agni begitu geram melihat drama Fay. 

"Apa alasannya?" 

"Saya tidak ingin menjelaskan. Maafkan saya," ucapnya penuh sesal. 

Agni tak ingin orang lain mengetahui pekerjaan ibunya. Bukan dia malu. Namun, dia tak ingin ada orang seperti Fay yang menghina ibunya. Bahkan bagi Agni, Ayunda adalah sosok ibu terbaik di dunia ini. 

Ibu Sinta beralih menatap Fay. Menanyakan beberapa hal kepada gadis itu. Fay juga enggan untuk menjelaskan. Sehingga guru itu menyerah saja. Anak-anak ini benar-benar menguras emosinya. Sesekali matanya menangkap perang dingin antara Fay dan Agni. Keduanya saling menatap tajam. Terkadang, bibir mereka mengucapkan sesuatu yang entah apa. 

"Bersihkan semua toilet yang ada di sekolah ini! Sebelum tugas kalian selesai, kalian tidak boleh pulang!" 

Keempat siswi itu hanya bisa pasrah. Sebab, menerima hukuman memang pantas mereka dapatkan. 

Agni mengkahiri ceritanya, matanya sudah memerah dan sembap. Ingin sekali dia merobek mulut kotor Fay. Meskipun ibunya memang wanita penghibur, tetapi Fay tak berhak menghina ibunya. Ayunda tersedu di samping putrinya. Apa yang dialami Agni ternyata karena dirinya. Dia merasa menjadi ibu paling jahat di dunia ini. Demi menghasilkan uang, dia rela menjual harga dirinya. Tak memikirkan perasaan Agni. 

Seandainya waktu pengambilan rapor waktu itu bukan dia yang datang, mungkin takkan ada orang yang mengenalinya. Ayunda ingat betul salah seorang pelanggannya sedang mengambil rapor anaknya. Sialnya anak mereka ternyata satu kelas. Ayunda memalingkan wajahnya agar tak dikenali. Namun, lelaki itu malah mendekat seraya mengerlingkan sebelah matanya. 

Ayunda meminta lelaki itu untuk mengikutinya ke taman di belakang sekolah. Lelaki itu menurut saja. Sesampainya di sana, Ayunda meminta untuk merahasiakan jati dirinya. Jangan sampai putrinya menanggung malu karena pekerjaannya. Lelaki tua itu mengangguk patuh.

Setelah berbincang empat mata dengan pelanggannya, sayup-sayup Ayunda mendengar dua orang siswa sedang membicarakan dirinya. 

"Eh, tahu gak? Ternyata ya, ibunya si Agni itu wanita panggilan," serunya heboh. 

"Ah yang benar? Kamu salah dengar mungkin," timpal temannya

"Beneran tahu! Aku barusan dengar sendiri, ibu Agni sedang berbicara dengan seorang pria tua," lanjutnya. 

Banyak lagi yang mereka bicarakan. Ayunda segera melangkah menuju kelas Agni. Semenjak saat itulah, beberapa teman Agni tahu perihal pekerjaan Ayunda. 

"Bu, berhentilah bekerja! Biar aku yang akan bekerja," pinta Agni lirih dan membuyarkan lamunan Ayunda. 

"Tidak, Sayang! Kamu harus tetap sekolah, Ibu sudah bilang itu berkali-kali. Jadilah orang sukses dan berpendidikan tinggi. Kelak, kamu takkan mengalami nasib buruk seperti Ibu," sahut Ayunda disela isaknya. 

"Agni ... maaf, Ibu telah membuatmu malu dan menderita. Ibu memang tak pantas menjadi Ibumu. Wanita kotor dan hina seperti Ibu, tak pantas dipanggil Ibu oleh anak mana pun, termasuk--" 

"Tidak, Bu! Jangan berbicara seperti itu. Aku tidak malu. Hanya saja, aku tak ingin Ibu dihina oleh orang lain. Aku tak terima jika mereka memandang Ibu sebelah mata. Ibu jangan salah paham terhadapku," paparnya lirih. 

Ayunda dan Agni sama-sama terdiam. Bulir bening sudah deras mengalir. Betapa menyedihkannya mereka malam itu. Sesekali embusan angin menerbangkan rambut mereka. Sungguh, hidup yang mereka jalani begitu berat. 

"Bu, maafkan aku ...." Agni tersedu di pelukan ibunya. 

Jemari Ayunda mengusap lembut kepala Agni. Malam itu mereka larut dalam perasaan sakit. Jantung Ayunda seperti diremas kuat saat mendengar tangisan putrinya. Dia tak ingin seperti ini terus. Lantas, dia bisa apa? Dia hanya bisa berdoa semoga ada keajaiban untuk nasib hidupnya. 

Setelah tangisan mereka reda, ibu dan anak itu bergegas pulang. Sebab, waktu sudah larut malam. Mereka berjalan beriringan seraya bergandengan tangan. Tampak pelangi di wajah keduanya. Mereka selalu bisa meredam emosi masing-masing. Selalu berusaha saling mengerti dan melindungi. Tanpa seorang ayah pun, Agni sudah bahagia. 

Sesampainya di rumah, Agni berpamitan akan pergi ke kamarnya. Sedangkan Ayunda memilih untuk ke dapur. Dia merasa sangat haus. Ketika sampai di sana, dia melihat Marta sedang duduk dengan tatapan lurus. Ayunda berjalan mendekati Marta. Memanggil nama itu berulang kali. Namun, Marta tidak merespons sama sekali. 

Ayunda mencoba mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Marta. Namun, sahabatnya itu tetap diam. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita cantik itu. Memandang lurus ke taman belakang dengan tatapan kosong. Gelas berisi jus masih utuh belum tersentuh. 

"Marta!" teriak Ayunda seraya menepuk lengan wanita itu. 

Marta tersadar dari lamunannya. Menatap Ayunda dengan terkejut. Wanita itu mengusap dadanya. Seketika jantungnya berpacu cepat. Ayunda tersenyum seraya duduk di samping Marta. 

"Kamu kenapa, sih! Melamun kaya gitu? Aku panggil dari tadi juga," tanya Ayunda. 

"Masa sih? Aku gak dengar, beneran deh," sahut Marta tersenyum kikuk. 

"Melamun tentang apa, sih? Tentang lelaki, ya? Hayo ngaku!" Ayunda menggoda Marta. 

"Aku ...," jawabnya menggantung. 

Ragu-ragu Marta mulai bercerita tentang Santa--lelaki yang sudah sebulan ini mengganggu pikirannya. Pengusaha muda nan sukses itu bersikukuh ingin menjadi pacar Marta. Ini sungguh gila bukan? Bahkan umur mereka terpaut tujuh tahun. Lebih tua Marta. Lama wanita itu terdiam, sibuk dengan membayangkan bocah tengil yang berhasil menerobos ke celah hatinya. 

"Marta! Malah melamun lagi!" gerutu Ayunda kesal. 

"Maaf, Yu, bayangan dia selalu muncul. Aku jadi selalu tak fokus dibuatnya," sahutnya ringan. 

"Jadi gimana, apa kamu suka sama Santa? Dia ganteng gak? Baik orangnya? Kamu beruntung banget dapet berondong. Pasti keren deh, secara masih berumur 28 tahun," goda Ayunda seraya menyenggol lengan Marta. 

Wanita itu tersipu malu. Apa dia sedang jatuh cinta sekarang? Entahlah. Marta masih belum ingin menyimpulkan perasaannya. Dia merasa dirinya tak pantas untuk siapa pun. Di usianya yang sudah 35 tahun, Marta belum menikah. Kepahitan hidupnya membuat dia terjerumus ke dalam dunia malam hingga saat ini. 

Siapa yang akan sudi bermenantukan wanita kotor macam dirinya. Maka dari itu, Marta selalu abai pada lelaki yang ingin mengajak dirinya ke pelaminan. Namun, terhadap Santa, dia merasakan ada yang berbeda. Seperti ada magnet dalam diri pria itu. Marta selau ingin dekat dengannya. 

"Ah ... sudah lah, Yu. Kita bersiap saja sekarang. Kapan-kapan aku cerita lagi ya!" ujarnya tanpa beban. 

Ayunda mengerucutkan bibirnya. Dia sudah penasaran setengah mati. Namun, Marta malah meninggalkannya seorang diri. 

"Hei! Kau bahkan belum cerita apa-apa tentang dia, Mar. Kau jahat sekali! Membiarkan aku penasaran begini," teriak Ayunda kesal. 

Wanita itu terus melangkah tanpa memedulikan teriakan sahabatnya. Dia belum sepenuhnya siap untuk bercerita semuanya tentang Santa. Kini, dia harus bersiap pergi ke kelab untuk bertemu dengan pemuda itu. Marta akan menggunakan mini dress yang anggun. Serta polesan make up yang tipis. Sebab, Santa tak menyukai kalau dia berdandan berlebihan. 

Ayunda memasuki kamarnya dengan tergesa. Malam ini dia sudah memutuskan untuk bersitirahat di rumah. Mengobrol dengan putrinya tadi, sedikit membuat Ayunda tersadar, kalau jalan yang dia pilih begitu menyakiti perasaan anaknya. 

Ayunda baru ingat, sejak tadi dia tidak melihat ponselnya. Dicarinya benda itu ke berbagai tempat. Di laci, meja rias, bawah bantal, nakas, tetapi benda itu tidak ditemukan. Entah ada di mana. Ayu merebahkan dirinya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Bayangan Bram muncul begitu saja. Mata lelaki itu, tak asing bagi Ayunda. Namun, Ayunda benar-benar tak bisa mengingatnya. 

Suara dering ponsel mengejutkannya. Ayunda segera beranjak lantas mencari keberadaan benda tersebut. Ternyata, benda pintar itu berada dalam tas kecil yang selalu dia bawa. Ayunda segera merogohnya. Terlihat nama Bram tertera di sana. Wanita itu segera menggeser tombol hijau. 

"Hallo, Mudah. Kenapa kau belum datang ke kelab?" tanyanya di seberang sana. 

"Malam ini aku takkan ke sana," jawabnya cepat. 

"Kenapa? Apa kau sakit? Yasudah, aku akan ke rumahmu. Tunggu aku!" 

Sambungan telepon terputus. Baru saja Ayunda akan menjelaskan alasannya. Lelaki itu memang suka semaunya. Ayunda menggerutu kesal. Namun, tak dapat dipungkiri, ada sepotong kebahagiaan dalam hati kecilnya. Mendapatkan perhatian seperti itu dari seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status