Share

Cemburu

Mereka memasuki mobil dan Bram segera melajukan kendaraannya. Memecah jalanan yang sudah cukup lenggang. Mungkin sebagian orang sedang mengatur posisi untuk tidur. Namun, pada jam menuju tengah malam, Ayu harus bergegas keluar untuk mencari rezeki. Ya, meskipun cara yang dia pakai salah adanya. Ayu tak peduli! Dia seorang ibu yang harus bekerja keras untuk masa depan putrinya. Kalau tidak begini, dia bisa apa? Menjadi buruh cuci, tidak bisa menutupi semua kebutuhan hidupnya. Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Biarlah orang menganggap dia sebagai wanita murahan, karena memang itu benar adanya. Meskipun ada rasa sakit saat mendengar kata itu. Dia pun ingin hidup normal layaknya seorang perempuan. Berdiam diri di rumah menunggu suami dan anak pulang. Namun, mimpi itu terlalu sulit untuk dia gapai. 

Baginya tak ada yang lebih penting selain masa depan Agni. Dia tak ingin Agni menjadi wanita bodoh sepertinya. Dulu, pada usia tujuhbelas tahun, orang tua Ayu menikahkannya pada lelaki berengsek itu. Lelaki yang mampu memporak-porandakan hati dan hidupnya. Sejak orang tua Ayu meninggal dunia, ayah Agni menjadi berubah sikap. Tak jarang sebuah tamparan mendarat di pipi Ayu. Wanita itu hanya bisa terisak, tak ada tempatnya untuk berlindung. Dia akan berpura-pura di depan Agni. Perih dan panasnya bekas tamparan sang suami, tidak dia hiraukan. Dia harus selalu tersenyum di depan putrinya. Sungguh, luka itu kembali menyesakkan dada Ayunda. 

"Kenapa kau melamun saja, Mudah?" Tangan Bram menyentuh lengan Ayu. 

Wanita itu terhenyak dari lamunanya. Sesuatu mengusik hatinya saat mendengar nama Mudah keluar dari bibir Bram. Tak banyak orang yang tahu tentang nama aslinya. Lelaki ini benar-benar misteri bagi Ayu. Dari pertama mereka bertemu, Bram memperlihatkan sikapnya yang berbeda. 

"Siapa kau?" sentak Ayu. 

"Aku Bram. Kau sudah tahu bukan?" jawabnya ringan. 

"Jangan pura-pura bodoh! Kau pasti tahu maksudku," sindir Ayu. 

Lelaki itu terkekeh, sampai sebelah telapak tangannya menutupi mulutnya. Ayu mengernyitkan dahi. 

"Ada apa dengan dia? Apa dia sudah gila?" tanya batin Ayu. 

"Aku adalah ...," ucap Bram menggantung. Dada Ayu semakin berdebar. Menunggu kata selanjutnya dari lelaki yang aneh itu. 

Bram masih bungkam. Ayu menatapnya lamat-lamat. Bram sungguh tampan. Alis tebal, rahang yang kuat dan cambang tipis yang menghiasi wajahnya, membuat bulu kuduk Ayu meremang seketika. Wajah Ayu menjadi merona. Aneh sekali bukan? Ini bukan kali pertama dia dekat dengan seorang pria. Bahkan, Ayunda sering tidur bersama lelaki yang jauh lebih tampan dan gagah daripada Bram. Akan tetapi, didekat Bramasta, Ayunda merasakan perasaan lain. 

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Bram santai. 

"Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" Ayu balik bertanya. 

"Sudahlah, jangan membahas itu, Yu! Aku ingin kau menemaniku malam ini," pintanya lirih. 

Ayu memalingkan wajah. Ada sesak yang tak mampu Ayu jelaskan. Bram hanya menganggapnya wanita penghibur. Lantas Ayu berharap apa? Bukankah itu memang profesinya? Mengapa dia merasa tersakiti oleh ucapan Bram yang meminta menemaninya malam ini. Seharusnya, Ayunda bersyukur karena malam ini dia akan mendapatkan uang banyak. Sebab, Bramasta tidak pernah perhitungan saat membayarnya. 

Sepanjang perjalanan mereka terdiam. Beribu pertanyaan muncul di benak Ayu. Tentang siapa Bram sebenarnya? Ayu meyakini kalau Bram seseorang yang mengenal dirinya. Tak dapat Ayu pungkiri, kelembutan dan perhatian lelaki itu menumbuhkan sesuatu dalam hatinya. Sesuatu yang telah Ayu bunuh dan dikubur dalam-dalam. Tidak! Dia tidak boleh mengenal cinta lagi. Sejak sepuluh tahun lalu, baginya cinta itu sudah lama mati dan takkan tumbuh lagi. Sepertinya Ayu harus menghilang dari pandangan Bram. Dia tidak boleh kecolongan. Jatuh cinta bisa membuat dia kembali menjadi Ayunda yang rapuh. Dia tidak ingin itu terjadi. 

"Sudah sampai, Yu. Ayok kita turun!" ajak Bram membuyarkan lamunan Ayunda. 

Ayu segera membuka seltbelt, lantas membuka pintu dan segera turun. Wanita itu melenggang sendiri tanpa menunggu Bram. Setiap mata lelaki yang memandang, begitu terpesona. Bahkan, mereka mulai untuk medekat. Serupa semut bertemu gula. Namun, bagi yang tahu tarifnya berapa, mereka akan mundur teratur. 

Lelaki penebar birahi itu saling dorong untuk dapat menggapai lengan putih nan mulus milik Ayu. Di kelab itu, Ayunda dan Marta adalah primadona. Aroma parfum yang semakin membangkitkan gairah mereka menyeruak ke indera penciuman. Ayu tak acuh saja. Sebab, siapa yang tak berani membayar mahal, jangan harap bisa tidur dengannya malam ini. 

Ayu duduk di salah satu kursi. Menyalakan sebatang rokok. Bram duduk di sampingnya seraya menekuk wajah. Lelaki itu terlihat kesal. Matanya tidak terlepas memandang Ayunda. 

"Mulai detik ini, kau tak boleh melayani laki-laki mana pun!" ucapnya tegas. Kedua tangannya menangkup wajah Ayu. 

Mata wanita itu membulat sempurna, menatap Bram. Mencoba mencari keseriusan di sana. Sungguh lelaki ini tak dapat ditebak apa maunya. 

"Lepaskan tanganmu!" sentak Ayu, lantas menurunkan tangan Bram. 

"Kau dengar aku, 'kan? Aku tidak suka penolakan, Mudah!" pekiknya seraya memalingkan wajah. 

"Aku tidak suka paksaan!" 

Bram tak lagi menjawab perkataan Ayu. Lelaki itu memanggil waiters dan meminta sebotol wine. Diteguknya kasar minuman itu. Tanpa henti Bram terus saja meminum. Netra coklatnya menatap tajam ke arah Ayunda yang sedang berjoged ria dengan para lelaki. Bram sudah naik pitam, ditambah dengan kesadarannya yang mulai hilang. Lelaki itu beranjak dari duduk. Dengan langkah sempoyongan Bram menghampiri Ayu.  

Memeluk tubuh seksi itu, mendaratkan bibirnya ke bibir Ayu. Ayunda tak dapat mengimbangi permainan Bram. Lelaki itu menjamah tubuh Ayu dengan penuh gelora. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh membasahi baju Ayu. 

"Mengapa sakit sekali rasanya diperlakukan seperti ini oleh Bram?" jerit batin Ayu. 

Setelah mengetahui Ayu kehabisan napas, Bram melepaskan bibirnya. Lelaki itu merasa terenyuh sekaligus merasa bersalah, kala melihat embun yang sudah menggenang di pelupuk mata Ayunda. 

"Ikut aku sekarang!" ajak Bram seraya menyeret Ayunda menjauhi kerumunan. 

Bagaikan terhipnotis, dia pasrah saja. Bagi Ayunda, ke mana pun Bram mengajaknya pergi di sanalah dia merasa nyaman dan terlindungi. Biar saja untuk malam ini, Ayunda merasakan apa itu 'bucin' seperti yang sering dia dengar dari anak gadisnya. Biarkan dia egois untuk malam ini saja. 

Bram berjalan cepat menuju kamar yang sering dia sewa. Ruangan yang memiliki fasilitas VIP itu menjadi tempat untuk Bram dan Ayu menumpahkan  segala rasa. Ayu masih mematung di dekat ranjang. Menatap Bram yang ada di hadapannya tanpa berkedip. Langkah kaki Bram mendekat ke arahnya. Mengikis jarak di antara mereka. Rasa yang telah susah payah Ayu kubur, kini bangkit kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status