Senin pagi tiba dengan segala kesibukannya yang tenang. Matahari belum sepenuhnya meninggi, tetapi aroma masakan dan kesibukan Ibu di dapur sudah terasa. Pagi ini, ada sedikit melankoli yang menyelimuti rumah desa kami. Kami akan kembali ke Jakarta, ke dunia nyata yang kejam, meninggalkan perlindungan dan kehangatan yang telah kami temukan selama seminggu terakhir.
Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mereka menyiapkan bekal dan oleh-oleh seolah kami akan bepergian ke luar negeri selama setahun. Beragam makanan khas desa seperti abon ikan, keripik singkong pedas, beberapa bungkus nasi kuning, dan berkarung-karung hasil kebun yang dibungkus rapi, ditata dengan penuh cinta ke dalam beberapa tas besar.
“Ini untuk bekal di jalan, Nak. Biar Mas Bayu tidak kelaparan saat menyetir,” kata Ibu, menyodorkan sekotak rendang jengkol kesukaanku. “Dan ini, untuk teman-teman kampusmu, Andin. Bilang saja ini oleh-oleh dari desa. Dan kamu, Mas Bayu, jangan lupa bagikan beberapa pada rekan kerjamu, biar mereka tahu menantu Ibu ini makannya enak-enak.”
Bayu menerima semua bingkisan itu dengan senyum tulus dan penuh hormat. “Terima kasih banyak, Bu. Saya janji, saya akan pastikan Andin makan dengan baik, dan saya akan membanggakan oleh-oleh ini di kantor.”
Saat Bayu memasukkan tas dan koper ke dalam bagasi mobil mewahnya, mobil yang tampak begitu asing di jalanan desa, aku memeluk Ibu dan Ayah erat-erat.
“Hati-hati, Nak. Jaga suamimu baik-baik,” bisik Ibu, matanya berkaca-kaca.
“Pasti, Bu,” jawabku, suaraku tercekat.
Pukul delapan lewat sedikit, mobil mewah itu meluncur keluar dari desa. Aku duduk di kursi penumpang, memandang rumah kami yang perlahan menjauh di kaca spion. Rasanya aneh. Aku datang ke sini untuk melarikan diri, tetapi aku pergi dari sini karena sebuah janji.
Awal perjalanan terasa hening. Keheningan yang nyaman, bukan lagi yang mencekik. Aku merasa malu, karena semua drama kami seminggu terakhir ini. Bayu fokus menyetir, sesekali melirikku dengan senyum tipis.
“Kenapa kamu menatapku terus, Mas?” tanyaku, memecah keheningan.
Bayu tertawa kecil. “Tidak boleh? Kamu cantik sekali kalau sedang melamun. Saya hanya memastikan, setelah semua ini, kamu benar-benar Andin-ku, bukan Andin yang marah-marah minta cerai.”
“Aku masih Andin yang itu. Hanya saja, aku sedang memberi Mas kesempatan. Jangan sampai disia-siakan,” ancamku, tetapi nadaku sudah tidak setajam dulu.
Bayu mengangguk. “Siap, Nyonya Andarsono. Saya akan berjuang sekuat tenaga. Demi pipi merahmu itu.”
“Mas Bayu!” Aku memukul bahunya pelan.
Bayu hanya tertawa, tawa yang lepas dan renyah. Ia kemudian menyalakan stereo mobil, memutar lagu-lagu pop yang upbeat dari penyanyi Indonesia terkenal.
“Aku tahu kamu penggemar berat lagu ini, kan?” Bayu bertanya, matanya melirik ke arahku.
Lagu itu adalah lagu favorit Annisa, aku tahu. Tetapi aku tidak ingin merusak suasana. Aku memilih untuk jujur.
“Itu lagu favorit Annisa,” kataku lembut.
Bayu terdiam sejenak. Ia tidak mematikan lagu itu, tetapi ia membiarkannya berjalan.
“Ya, itu lagu favorit Annisa. Tapi itu juga lagu yang sering aku dengarkan saat aku merasa sendirian di apartemen, Andin. Musik adalah memori. Dan memori itu bisa kita ubah menjadi memori baru.”
Bayu tiba-tiba menaikkan volume dan mulai bernyanyi. Suaranya bagus, sedikit bariton, dan penuh semangat.
“Kau terindah ‘kan selalu terindah…” Ia bernyanyi lantang, lalu menoleh padaku. “Ayo, Andin! Jangan diam saja! Kamu harus bernyanyi juga. Atau jangan-jangan kamu tidak tahu liriknya?!”
“Tentu saja aku tahu!” protesku, lalu aku mulai ikut bernyanyi.
Mobil mewah yang melaju di jalan tol itu seketika berubah menjadi arena karaoke pribadi kami. Kami menyanyikan lagu-lagu pop dari era 90-an hingga yang terbaru. Bayu sengaja mengubah beberapa liriknya menjadi godaan untukku.
“Bintang di surga takkan seperti matamu… seindah matamu… dan sehangat pipimu yang memerah saat kugoda!” Bayu bernyanyi sambil menunjuk pipiku.
Aku tertawa terbahak-bahak. Ini adalah Bayu yang berbeda, Bayu yang santai, yang humoris, dan yang sangat menyenangkan. Aku tidak pernah tahu bahwa dia bisa begitu playful.
“Mas, kamu itu bukannya eksekutif, tapi lebih cocok jadi vokalis band kafe. Suaramu bagus lho,” komentarku, masih tertawa.
“Aku sudah pernah mencoba menjadi vokalis kafe, Andin. Tapi setelah aku lihat, aku lebih sukses menjadi suami yang menggodamu,” balasnya, menyeringai.
Kami berbicara tentang banyak hal. Tentang masa kecilnya di Bandung, tentang mimpinya yang pernah ingin menjadi arsitek daripada pebisnis, tentang kebiasaan unik Ayah yang selalu mencatat cuaca di buku harian, bahkan tentang skripsiku. Bayu ternyata pendengar yang baik. Ia mengajukan pertanyaan yang cerdas, menunjukkan ketertarikan yang tulus pada duniaku.
“Jadi, kamu sedang meneliti tentang efek obat baru pada hepatocellular carcinoma? Itu sangat berat, Andin. Kamu benar-benar luar biasa. Aku saja melihat istilah-istilah itu sudah pusing,” katanya tulus.
“Itu duniaku, Mas. Sama seperti angka dan saham itu duniamu. Kamu juga luar biasa. Aku tahu kamu CEO termuda yang paling berwibawa di Jakarta,” kataku.
Bayu tersenyum bangga. “Berwibawa, ya? Kalau di kantorku, aku harus selalu memasang wajah batu, Andin. Kalau aku tersenyum seperti ini…” Ia menoleh, memberiku senyum lebarnya yang paling manis. “…mereka akan mengira aku sedang meminta kenaikan gaji mereka. Jadi, jangan salah. Senyum ini hanya untuk Nyonya Andarsono.”
Aku merasa jantungku meleleh.
Sejam setelah kehebohan karaoke mobil, aku mulai kelelahan. Perutku penuh dengan bekal Ibu, mataku terasa berat.
“Aku mengantuk, Mas,” gumamku.
Bayu melirik jam tangan mewahnya. “Tidurlah. Perjalanannya masih panjang. Setelah ini, kamu akan kembali ke jadwal yang padat. Manfaatkan waktu ini untuk istirahat.”
Sebelum aku sempat memejamkan mata, Bayu sudah mengulurkan tangannya. Ia menekan tombol, dan kursi mobilku perlahan diturunkan ke posisi yang lebih landai. Kemudian, ia membuka laci di tengah, mengambil jaket bomber berwarna gelap miliknya yang biasanya selalu tergantung rapi di mobil.
Bayu melipat jaket itu dan meletakkannya di atas tubuhku, seperti selimut.
“Tidurlah yang nyenyak,” bisiknya lembut.
Aroma jaket itu langsung menyergap indra penciumanku. Itu adalah aroma khas Bayu: campuran parfum mahal, sedikit mint, dan aroma kayu sandalwood yang maskulin. Aroma itu terasa begitu asing sekaligus akrab, begitu dominan, dan entah mengapa, menenangkan.
Aku memejamkan mata. Ditemani suara mesin mobil yang monoton, desiran angin, dan aroma jaku Bayu yang memelukku, aku tertidur pulas. Tidur yang paling nyenyak sejak aku tiba di desa.
Bayu mencuri pandang beberapa kali. Ia melihat wajah Andin yang terlelap, rambutnya sedikit keluar dari hijab, wajahnya tampak damai. Hatinya menghangat. Selama ini, dia terlalu sibuk menjadi dewa kesempurnaan hingga lupa bahwa kebahagiaan itu bisa sesederhana melihat senyum lelah istrinya.
Ia membiarkan tangannya meraih tanganku di bawah jaket. Genggaman yang lembut, penuh janji. Ia tidak akan pernah lagi melepaskan wanita ini. Ia harus memperbaiki semua kesalahannya. Lima tahun yang sia-sia harus ia tebus.
Mereka tiba di Jakarta tepat tengah hari.
Aku terbangun samar-samar, merasakan tubuhku diangkat. Aku terlalu lelap dan lelah untuk membuka mata sepenuhnya.
Aku merasakan lengan Bayu yang kuat menggendongku. Gendongan bridal style, seolah aku adalah pengantin yang baru dinikahinya. Gerakannya sangat hati-hati, memastikan kepalaku tidak terbentur pintu mobil atau lift.
“Tidurlah, Andin. Aku sudah menggendongmu sampai ke kamar,” bisikan lembut Bayu terdengar di telingaku, disusul dengan ciuman ringan di kening.
Aku merasakan tubuhku diletakkan perlahan di atas kasurku yang familiar. Kehangatan jaketnya masih memelukku.
Bayu menurunkanku, memastikan selimut menutupi tubuhku. Aku hanya bisa menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Setelah memastikan aku nyaman, Bayu bergerak cepat. Ia kembali ke mobil, mengambil semua koper dan tas oleh-oleh dari Ibu. Ia menata semuanya di kamarku. Koper diletakkan di sudut, dan tas makanan diletakkan di meja pantry kecil di kamarku. Ia bahkan memasukkan makanan yang harus disimpan di kulkas, lalu mencuci tangannya.
Bayu berdiri sejenak di ambang pintu, menatap Andin yang terlelap. Sebuah senyum muncul di wajahnya.
Ini rumahmu, Andin. Dan aku akan menjagamu.
Waktu menunjukkan pukul 14:00. Bayu harus kembali ke dunianya. Dunia yang penuh angka, persaingan, dan ketegasan yang tak kenal ampun. Ia harus kembali menjadi CEO yang ditakuti.
Bayu melangkah keluar kamar Andin, menutup pintu perlahan. Ia tidak ingin sedikit pun suara mengganggu istirahat Andin.
Lima belas menit kemudian, Bayu Andarsono tiba di Andarsono Group Tower, gedung pencakar langit yang merupakan manifestasi dari ambisi dan ketegasannya.
Begitu mobilnya memasuki basement khusus, aura Bayu langsung berubah 180 derajat. Senyum hangat, tawa renyah, dan playfulness Bayu si suami desa, hilang tak berbekas. Yang muncul adalah Bayu Sang CEO dengan wajah dingin, rahang keras, mata tajam yang memancarkan otoritas, dan langkah kaki yang mantap dan berwibawa.
Bima, sekretaris pribadinya, sudah menunggu di lift private dengan wajah pucat dan setumpuk dokumen.
“Selamat datang kembali, Mas Bayu! Syukurlah Anda kembali! Saya pikir…”
“Jangan bicara bertele-tele, Bima,” potong Bayu tajam, suaranya kini mendalam dan dingin. “Langsung ke intinya. Apa agenda penting yang mendesak?”
Bima langsung tegang. Aura sang Bos membuatnya kaku. “Rapat dengan dewan direksi dimulai dalam sepuluh menit. Mengenai Proyek Skyline Tower yang tertunda. Dan Tuan Lee dari Singapura menelepon empat kali, menuntut kejelasan mengenai investasi offshore.”
“Proyek Skyline?” Bayu mengerutkan dahinya. “Saya sudah kirim instruksi melalui email. Apakah mereka tidak membacanya?”
“Mereka ingin kepastian dari Anda, Mas. Ada beberapa indikasi penolakan dari Kepala Divisi Keuangan,” Bima menjelaskan.
Bayu hanya mendengus. “Penolakan? Baik. Mari kita lihat apakah mereka masih berani menolak setelah saya tiba.”
Saat pintu lift terbuka di lantai eksekutif, puluhan pasang mata langsung tertuju padanya. Atmosfer di lantai itu, yang biasanya ramai, seketika menjadi hening. Kehadiran Bayu adalah perintah.
Bayu berjalan melewati lorong menuju ruang rapat. Setiap langkahnya dipenuhi otoritas yang tidak bisa dibantah.
Di ruang rapat, suasana sudah tegang. Beberapa kepala divisi, termasuk Kepala Divisi Keuangan yang keras kepala, duduk dengan gelisah.
Bayu masuk tanpa sapaan. Ia duduk di kursi utama, meletakkan briefcase kulitnya dengan suara keras yang memecah keheningan.
“Baik,” Bayu memulai, suaranya datar, tetapi setiap kata mengandung beban. “Mari kita bahas Proyek Skyline. Saya dengar ada keraguan mengenai pendanaan dari Divisi Keuangan, Tuan Hartono.”
Tuan Hartono, seorang pria paruh baya yang berpengalaman, menelan ludah. “Dengan segala hormat, Bapak Bayu. Menurut perhitungan kami, jika kita melakukan penarikan dana di kuartal ini, likuiditas kita akan terlalu ketat.”
Bayu hanya menatapnya, tatapan yang membuat Hartono merasa telanjang. “Tuan Hartono, saya membayar Anda untuk melihat peluang, bukan untuk membuat alasan. Saya sudah menganalisisnya. Kerugiannya minimal, dan keuntungannya maximal dalam jangka panjang. Anda mengkhawatirkan likuiditas tiga bulan, sementara saya berbicara tentang dominasi pasar selama tiga puluh tahun.”
“Tetapi…” Hartono mencoba membantah.
Bayu mengangkat tangan, memotongnya dengan cepat dan tegas. “Tidak ada ‘tetapi’, Tuan Hartono. Saya tidak peduli dengan keraguan Anda. Instruksinya jelas: dana dikeluarkan hari ini. Jika Anda tidak mampu mematuhi visi ini, saya yakin ada banyak bankir muda yang haus akan jabatan dan siap menggantikan Anda.”
Ancaman itu diucapkan dengan begitu dingin dan profesional, tanpa emosi, sehingga semua orang di ruangan itu tahu bahwa Bayu tidak main-main. Hartono menunduk, mengakui kekalahan.
“Paham, Bapak Bayu. Saya akan segera memprosesnya.”
“Bagus,” kata Bayu, lalu mengalihkan fokusnya. “Bima, hubungi Tuan Lee. Katakan padanya bahwa saya akan menemuinya besok pagi. Dan pastikan dia tahu bahwa kedatanganku ke Jakarta tertunda karena urusan yang jauh lebih penting dari uangnya.”
Bima mengangguk cepat. “Baik, Mas.”
Bayu menutup rapat itu dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Ia menegaskan kekuasaannya, menetapkan arahan, dan membersihkan semua keraguan dengan ketegasan yang mutlak. Inilah Bayu Andarsono, The King of Property, pria berwibawa yang membuat saham perusahaannya terus melonjak.
Sementara itu, di apartemen mewah yang kini terasa sedikit lebih hangat, aku terbangun.
Aku menyentuh jaket bomber yang masih menutupi tubuhku. Aromanya, aroma khas Bayu yang kuat, masih melekat. Aku tersenyum kecil. Aku masih mengingat semua candaan dan tawa kami di dalam mobil.
Aku bangkit dari tempat tidur. Melihat koperku yang sudah tertata rapi, bekal Ibu yang sudah diletakkan di pantry kamar, dan tas yang sudah kosong di sudut. Bayu benar-benar mengurus semuanya. Ia bahkan menggendongku.
Aku berjalan ke kamar mandi, mencuci muka. Di cermin, aku melihat pantulan Andin yang berbeda. Andin yang lebih bersemangat, Andin yang sedikit lebih berani berharap.
Sore itu, saat aku duduk di ruang tamu, membaca buku, aku berpikir tentang Bayu.
Bayu si suami hangat yang bernyanyi konyol di mobil, menggendongku, dan berjanji untuk berjuang.
Dan Bayu si CEO dingin yang saat ini sedang menghancurkan keegoan para bawahannya di lantai eksekutif.
Dua sisi yang begitu ekstrem. Bayu si pria penuh kasih, dan Bayu si pria berwibawa mutlak.
Aku sadar, pernikahan ini bukan lagi tentang melarikan diri, melainkan tentang mencari tahu, sisi Bayu yang mana yang akan menang. Dan yang paling penting, sisi Bayu yang mana yang akan ia tunjukkan kepadaku.
Aku tersenyum kecil. Perjuangan baru ini, perjuangan untuk melihat sisi manusiawi dari CEO berwajah batu, terasa jauh lebih menarik daripada yang pernah kuduga. Babak baru di Jakarta akan menjadi medan perang yang penuh tantangan, dan aku, Andin, tidak lagi merasa gentar.