Home / Romansa / Sang Mempelai Pengganti / Janji di Bawah Kelip Bintang

Share

Janji di Bawah Kelip Bintang

Author: Ummu_Fikri
last update Last Updated: 2025-11-27 22:47:37

​Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.

​Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.

​“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”

​Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”

​“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, menyesap kopi, lalu menambahkan, “Terutama saat kamu mencoba pura-pura marah, tapi pipimu sudah lebih merah dari cabai rawit Ibu.”

​Aku memukul meja dapur dengan sendok kayu. Bayu hanya tertawa, tawa yang membuat jantungku terlonjak, membuat seluruh sistem saraf simpatikku bekerja terlalu keras.

​Namun, di tengah semua kemesraan palsu di mata orang tua dan godaan-godaan manis yang membuatku kewalahan, dunia nyata Bayu terus menuntutnya.

​Siang itu, saat Bayu sedang memperbaiki atap kandang ayam Ayah yang bocor, ponselnya berdering tanpa henti.

​“Halo, Bima? Kenapa nada bicaramu seperti dikejar debt collector begitu?” Bayu menjawab panggilan dengan nada geli, masih memegang palu di tangan.

​Di seberang sana, suara sekretaris pribadinya, Bima, yang seorang pria lajang berwajah tampan dan super efisien, terdengar seperti suara seseorang yang baru saja kehilangan akal sehatnya.

​“Mas Bayu, tolong! Tolonglah! Sudah seminggu Anda hilang dari peradaban! Saya sudah ganti oli mobil kantor tiga kali hanya untuk mengecek apakah Anda masih bernapas di desa itu atau tidak!” suara Bima melengking, penuh frustrasi yang dibesar-besarkan.

​Bayu tertawa kecil. “Berlebihan, Bima. Saya sedang cuti.”

​“Cuti? Cuti untuk mencangkul?!” Bima mendesis. “Mas, ini bukan waktu yang tepat. Proyek Skyline Tower terhambat. Tuan Lee dari Singapura menuntut rapat mendadak. Ada tiga tawaran investasi yang butuh tanda tangan Anda sebelum Senin! Saya sudah tidak bisa lagi berpura-pura bahwa Anda sedang flu parah atau pergi meditasi ke Tibet!”

​Bayu menghela napas, nadanya berubah profesional, tetapi masih tenang. “Tenang, Bima. Saya tahu apa yang saya lakukan. Atur ulang jadwal bersama Tuan Lee untuk hari Selasa. Soal investasi, kirimkan draftnya ke email saya, saya akan meninjaunya malam ini. Saya akan kembali ke Jakarta, tapi tidak hari ini.”

​Bima menjerit kecil. “Kalau begitu, kapan, Mas? Kapan? Saya tidak tahan lagi harus menjelaskan kepada dewan bahwa CEO mereka sedang bermain lumpur di pedalaman!”

​Bayu melirik ke arahku, aku pura-pura sibuk memetik daun kemangi di kebun, tapi telingaku jelas menyimak. Ia tersenyum jahil, seolah tahu aku mendengarkan.

​“Saya akan kembali hari Senin pagi. Dan saya tidak akan kembali sendirian, Bima. Siapkan mobil kantor yang paling nyaman. Saya akan membawa Nyonya pulang,” jawab Bayu, nadanya tegas, final, dan mengandung kebanggaan yang membuat jantungku berdesir.

​“Nyonya? Nyonya Andarsono? Astaga, syukur alhamdulillah, Mas! Saya pikir Anda sudah berganti profesi menjadi petani organik!” Bima terdengar lega luar biasa.

​Bayu mengakhiri panggilan itu, menyeka keringat di dahinya, dan berjalan menghampiriku.

​“Dengar itu?” tanyanya, melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kemenangan. “Seluruh perusahaan menungguku, Andin. Tapi aku lebih memilih menunggumu memetik kemangi.”

​“Berlebihan,” komentarku, mencoba tetap cuek. “Aku rasa Bima lebih penting daripada daun kemangi.”

​Bayu mendekat, jarak kami hanya sejengkal, dan ia membungkuk hingga matanya sejajar dengan mataku. “Salah. Daun kemangi ini akan dimasak olehmu untuk Ayah dan Ibu. Itu penting. Dan kamu, Andin, kamu adalah yang paling penting. Tidak ada rapat dewan yang lebih penting daripada memastikan kamu tersenyum.”

​Ketulusan di matanya begitu nyata. Itu bukan lagi janji, melainkan sebuah pernyataan fakta. Aku membuang muka, pipiku menghangat lagi. “Hentikan godaanmu, Mas. Aku tahu kamu harus kembali.”

​“Tentu saja saya harus kembali. Tapi kita akan kembali bersama. Itu janji. Dan sebelum itu, malam ini kita harus merayakan kembalinya istriku pada kesadaran bahwa dia memiliki suami yang tulus.”

​“Merayakan apa?”

​Bayu menyeringai lebar, ekspresi yang sangat berbeda dengan eksekutif dingin yang kukenal. “Pasar malam, Sayang. Malam Minggu di pasar malam desa. Ini waktunya kita membuat kenangan indah yang sesungguhnya. Kenangan yang akan membuatmu ingin ikut kembali ke Jakarta.”

​Malam Minggu pun tiba.

​Ibu dan Ayah bersemangat sekali. Ibu membantu memilihkan pakaian terbaik untukku. Gaun katun sederhana berwarna biru laut. Ayah menepuk bahu Bayu dengan bangga.

​“Tampaknya kamu benar-benar berhasil, Nak,” bisik Ayah pada Bayu, senyumnya bijaksana.

​Bayu tersenyum penuh hormat. “Saya hanya mencoba memperbaiki kesalahan, Yah.”

​Saat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pusat desa, aku merasakan kegugupan yang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya kami menghabiskan waktu berdua di tempat publik, selayaknya pasangan normal.

​Pasar malam desa itu adalah sebuah lautan cahaya dan suara. Kelap-kelip lampu hias yang murahan tapi ceria menghiasi setiap stan. Aroma jagung bakar, gula arum manis, dan minyak goreng dari pedagang sate memenuhi udara. Musik dangdut yang menghentak dari panggung kecil berbaur dengan teriakan kegembiraan anak-anak yang menaiki komedi putar mini. Suasananya ramai, hidup, dan bahagia. Semua yang tidak akan pernah kurasakan di apartemen mewah kami.

​“Wah, sudah lama sekali aku tidak ke sini,” gumamku, mataku berbinar melihat keramaian itu.

​Bayu meraih tanganku, jari-jarinya yang panjang dan hangat menggenggam tanganku erat. Aku refleks menariknya, tetapi dia menahannya.

​“Tahan, Andin. Di sini ramai sekali. Saya tidak mau kehilangan calon dokter kesayangan saya,” katanya, nadanya tegas tetapi matanya tersenyum penuh makna. “Anggap saja ini protokol keselamatan baru.”

​Aku pasrah. Genggamannya terasa begitu alami, begitu protektif, hingga aku membiarkannya.

​Kami berjalan beriringan, menikmati hiruk pikuk. Bayu yang biasanya tegang dan kaku di hadapan keramaian, kini tampak santai.

​“Kamu mau apa? Arum manis? Atau kincir angin warna-warni?” tanyanya, menunjuk jajanan yang berderet.

​“Aku sudah dewasa, Mas. Aku mau jagung bakar.”

​Bayu tertawa renyah. “Jagung bakar. Tentu saja. Makanan yang jujur, seperti dirimu.”

​Kami membeli jagung bakar. Saat Bayu menyerahkannya, jari-jari kami bersentuhan, memicu sensasi listrik kecil yang selalu kurasakan akhir-akhir ini.

​“Mas Bayu,” panggilku, suaraku pelan. “Aku harus jujur. Aku terkejut melihatmu begitu santai di sini. Di Jakarta, kamu selalu… seperti tembok.”

​Bayu mengunyah jagungnya perlahan, matanya menatap keramaian. “Tembok itu kuas. Kuas yang kubangun untuk melindungi hatiku yang hancur karena Annisa, dan untuk melindungi dirimu dari kegelisahanku. Di sini, tidak ada tembok. Di sini, di hadapan orang yang tulus, tembok itu harus runtuh.”

​“Berarti kamu tidak akan membangunnya lagi di Jakarta?” tanyaku hati-hati.

​Bayu menoleh, tatapannya tajam. “Tentu saja tidak. Aku berjanji. Tapi kamu harus membantuku.”

​Kami berjalan menuju bianglala kecil yang berputar pelan dengan lampu-lampu yang berkelip.

​“Mas, aku harus tahu,” kataku, memberanikan diri. “Surat cerai itu… kenapa kamu tidak meresponnya?”

​Bayu menghela napas. Ekspresinya menjadi serius. Ia mengajakku duduk di bangku kayu yang terletak agak jauh dari keramaian, di bawah pohon beringin yang rindang.

​“Surat itu ada di saku jas saya, Andin. Setiap hari saya membawanya. Saya membacanya berulang kali. Awalnya, saya sangat marah,” Bayu memulai, suaranya rendah dan serak.

​Aku mendengarkan dengan tegang.

​“Saya marah pada diri sendiri. Karena surat itu adalah cerminan kegagalan saya sebagai suami. Tapi saya juga marah padamu, karena kamu mengambil keputusan sepihak. Kamu tidak berdiskusi.”

​“Apa yang perlu didiskusikan?” Aku menyela, sedikit kesal. “Bukankah kamu sudah cukup jelas menunjukkan bahwa aku tidak penting?”

​Bayu menggeleng pelan. “Justru itu. Saat saya membaca kata-kata itu, saya menyadari, kamu sangat penting. Saya tidak bisa membayangkan hidup di apartemen itu sendirian lagi. Bukan karena kamu menggantikan Annisa, tidak. Tapi karena kamu telah menjadi bagian dari rutinitas, meskipun rutinitas yang dingin. Tanpa kamu, apartemen itu bukan lagi dingin, tapi mati.”

​Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya memohon.

​“Saya tidak merespons karena saya ingin kamu yang melihat saya berjuang. Saya tidak mau memberikanmu kemudahan untuk pergi, karena saya tahu, jika kamu pergi, saya tidak akan punya alasan untuk memperbaiki diri.”

​Bayu meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Jari-jarinya terasa kuat dan hangat.

​“Andin, aku tahu kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Tapi tolong, berikan aku kesempatan untuk menjadi yang lebih baik itu. Berikan aku kesempatan untuk menjadi suami yang kamu banggakan, bukan hanya di depan orang tuamu, tapi di depan semua orang.”

​“Aku tahu kamu tidak mau kembali ke Jakarta,” Bayu melanjutkan, suaranya penuh ketulusan yang menusuk. “Tapi saya butuh kamu di sana. Bukan hanya sebagai ‘Nyonya Andarsono’ sebagai formalitas. Tapi karena saya butuh kamu untuk sebagai pengingat betapa egoisnya saya selama ini. Saya butuh kamu untuk mengawasi janji-janji saya. Saya butuh kamu untuk mengisi rumah yang selama ini mati karena keheningan.”

​“Aku tidak memintamu mencintaiku sekarang,” katanya lagi, air mataku mulai menggenang. “Aku hanya memintamu untuk kembali dan melihat usahaku. Jika setelah enam bulan, kamu tetap ingin bercerai, saya berjanji, saya akan menandatanganinya, dan saya akan pergi.”

​Permohonannya begitu tulus, begitu jujur, hingga aku tidak bisa lagi melihatnya sebagai CEO licik yang sedang mencoba memanipulasi bisnis. Dia adalah pria yang patah hati yang sedang mencoba membangun kembali hidupnya, dan ia memintaku untuk menjadi fondasinya.

​Aku menatap matanya yang memohon. Aku melihat Bayu, bukan bayangan Annisa. Aku melihat pria yang lelah dengan kepura-puraan dan kesepiannya sendiri.

​“Aku… aku takut, Mas,” bisikku, air mataku menetes. “Aku takut kembali ke kesunyian itu.”

​“Tidak akan ada kesunyian lagi,” Bayu berjanji. “Kita akan memulai dari awal. Aturan baru. Kamar tetap terpisah, sampai kamu benar-benar siap dan percaya padaku. Tapi kita akan makan bersama. Kita akan bicara. Kita akan pergi kencan. Kita akan membangun kenangan, Andin.”

​Bayu tersenyum tipis, mencoba menyisipkan humor di tengah keseriusan. “Lagipula, bagaimana aku bisa menggoda istriku di kantor kalau aku tidak melihatnya setiap pagi? Nanti skill buaya daratku hilang. Siapa yang akan membuat pipimu memerah kalau bukan aku?”

​Aku tertawa kecil di tengah tangis. Air mata luruh bersama tawa, perasaan lega yang tak terlukiskan. Godaan konyolnya itu berhasil meredakan ketegangan.

​“Baiklah,” kataku, mengangguk pasrah. “Aku akan kembali. Tapi jika kamu melanggar janji-janji itu, aku tidak akan hanya mengirim surat cerai, Mas. Aku akan lari ke Tibet seperti yang Bima katakan, dan kamu harus mencariku di sana.”

​Bayu tersenyum lebar, senyum penuh kemenangan yang tulus. Ia mengangkat tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut, sebuah sentuhan hormat yang menghangatkan jiwaku.

​“Aku berjanji, Sayang. Akan membuatmu lupa caranya lari,” bisiknya.

​Kami menghabiskan sisa malam itu di pasar malam, membeli segala macam jajanan murahan seperti kue cubit, sosis bakar, dan aku bahkan memaksanya naik bianglala kecil yang bergoyang menakutkan. Bayu, si eksekutif kelas atas, berteriak kecil ketakutan, dan aku tertawa lepas, tawa yang sudah lama tidak kudengar.

​“Kamu harus mengakui, ini jauh lebih menyenangkan daripada rapat dewan direksi, Mas,” kataku, saat bianglala itu mencapai puncak.

​Bayu menatapku di bawah kelap-kelip lampu, wajahnya tercetak jelas. “Jauh lebih menyenangkan. Melihatmu tertawa itu adalah kesepakatan bisnis terbaik yang pernah kucapai.”

​Kami pulang berjalan kaki. Genggaman tangan Bayu kini terasa lebih mantap, lebih alami. Kami tidak lagi canggung.

​“Senin pagi, kita kembali,” Bayu mengonfirmasi, saat kami tiba di depan rumah.

​Aku mengangguk. “Ya. Tapi janji, Mas. Jangan panggil aku ‘Sayang’ di depan orang lain dulu. Itu masih terlalu palsu.”

​Bayu mengangguk setuju. “Sepakat. Sampai kamu yang memintanya sendiri. Tapi di antara kita, aku akan mengusahakannya. Istriku.”

​Aku tersenyum tulus. Malam itu, janji Bayu, yang diucapkan di bawah kelip lampu pasar malam, adalah janji yang akhirnya memberiku alasan untuk melanjutkan pernikahan ini. Aku tidak kembali karena cinta, tetapi kembali karena harapan dan ketulusan Bayu untuk berjuang. Babak baru, yang lebih menantang dan emosional, akan segera dimulai di Jakarta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Mempelai Pengganti    Momen Manis yang Terganggu

    Bab 11: Momen Manis yang Terganggu ​Satu minggu lagi telah berlalu. Total dua minggu sejak insiden Anita, dan tembok kebekuan yang dipasang Andin masih tegak kokoh. Bayu telah mengintensifkan upayanya, dan ia melakukannya dengan ketekunan yang pantas disandang oleh seorang CEO dengan aset miliaran. ​Setiap pagi, ia masih mencoba memasak sarapan. Tidak lagi hanya telur orak-arik gosong, tetapi kini ia mencoba pancake yang bentuknya aneh, atau oatmeal dengan buah-buahan yang disajikan di mangkuk mewah. Hasilnya? Masih jauh dari sempurna, tetapi usahanya tidak pernah gagal membuat Andin tersentuh, meskipun ia bersikeras untuk tetap dingin. ​“Pancake ini seharusnya berbentuk wa lingkaran sempurna, Andin,” keluh Bayu suatu pagi, menatap karyanya yang lebih mirip peta benua yang baru ditemukan. “Tapi entah kenapa, selalu berakhir seperti peta benua yang baru ditemukan.” ​“Mungkin kamu harus menyewa chef pribadi, Mas,” jawab Andin datar, tanpa menoleh. “Keahlianmu ada pada akuisisi s

  • Sang Mempelai Pengganti    Pengejaran di Tengah Kebekuan

    ​Seminggu telah berlalu sejak insiden kotak kue kering yang jatuh di lantai eksekutif Andarsono Group Tower. Andin masih berada dalam mode pertahanan diri total.Tembok emosional yang ia bangun kembali dan menjadi lebih tinggi, lebih tebal, dan dilapisi baja baja sinisme. Ia kembali menjadi istri yang hanya eksis secara fisik di apartemen mewah itu, tetapi jiwanya terkunci rapat di dalam lab, jauh dari jangkauan Bayu.​Setiap pagi, ia bangun, mandi, dan segera pergi ke kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setiap malam, ia makan malam dalam keheningan yang mencekik dan segera mengunci diri di kamar, tenggelam dalam jurnal medis dan data penelitian. Ia tidak ingin lagi memberikan celah. Ia tidak ingin lagi menjadi lunak. Harapan yang hancur adalah rasa sakit yang jauh lebih buruk daripada kebekuan yang abadi.​Sementara itu, Bayu Andarsono, si CEO berwibawa, bertransformasi menjadi seorang suami yang mati-matian mengejar istrinya. Ia berada di antara dua dunia yang sangat kontras.

  • Sang Mempelai Pengganti    Jaring Laba-Laba di Lantai Eksekutif

    ​Beberapa minggu setelah makan malam romantis di puncak kota, kehidupan kami kembali tersusun dalam ritme yang tergesa-gesa. Aku dan Bayu sama-sama berjuang keras untuk menepati janji kami, janji untuk selalu memiliki ‘Andin and Bayu Time’ minimal satu jam sehari. Praktiknya sulit, hampir mustahil. Kami adalah dua orang profesional yang sangat berdedikasi, dengan tuntutan pekerjaan yang sangat berbeda namun sama-sama kejam.​Bayu, Sang CEO, harus berhadapan dengan pasar saham yang fluktuatif, negosiasi yang keras, dan dewan direksi yang menuntut. Sementara aku, Sang Calon Dokter, harus berkubang di laboratorium, menghadapi kegagalan demi kegagalan data, dan tekanan skripsi yang menanti.​Momen-momen intim kami sering kali hanya berupa Bayu yang menemaniku membaca jurnal medis di ruang tamu sambil ia membalas email dengan headset, atau kami berbagi secangkir cokelat panas setelah ia pulang larut malam. Namun, dalam kelelahan itu, ada ketulusan yang kupegang teguh. Bayu tidak lagi sedin

  • Sang Mempelai Pengganti    Bunga Segar dan Janji Pertama

    ​Pagi di Jakarta kembali menyambut Andin dengan hiruk pikuk khasnya. Namun, kali ini, Andin bangun dengan perasaan yang jauh berbeda. Kesunyian apartemen mewah ini terasa tidak lagi mencekik, tetapi seperti kanvas kosong yang siap dilukis. Bayu sudah berangkat pagi-pagi sekali, kembali ke singgasananya sebagai CEO yang tak tersentuh. Tetapi di meja pantry kamarku, ada catatan kecil dengan tulisan tangan Bayu yang tegas: “Sarapan sudah disiapkan di meja makan utama. Jangan lupakan bekal dari Ibu. Dan… kamu terlihat cantik saat tidur, Andin. M.B.” ​Senyumku tak bisa kuelakkan. Sebuah catatan yang begitu cheesy, begitu jauh dari citra Bayu yang berwibawa. ​Aku kembali ke kampus setelah cuti beberapa minggu. Duniaku, dunia kedokteran, sudah menunggu. Skripsiku, penelitianku tentang hepatocellular carcinoma (kanker hati) dan efek obat baru, menuntut perhatian penuh. ​Sesampainya di fakultas, aku disambut dengan kehebohan yang luar biasa. ​“Andin! Ya ampun! Kenapa kamu lama sekali meng

  • Sang Mempelai Pengganti    Dua Wajah Bayu Andarsono

    ​Senin pagi tiba dengan segala kesibukannya yang tenang. Matahari belum sepenuhnya meninggi, tetapi aroma masakan dan kesibukan Ibu di dapur sudah terasa. Pagi ini, ada sedikit melankoli yang menyelimuti rumah desa kami. Kami akan kembali ke Jakarta, ke dunia nyata yang kejam, meninggalkan perlindungan dan kehangatan yang telah kami temukan selama seminggu terakhir.​Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mereka menyiapkan bekal dan oleh-oleh seolah kami akan bepergian ke luar negeri selama setahun. Beragam makanan khas desa seperti abon ikan, keripik singkong pedas, beberapa bungkus nasi kuning, dan berkarung-karung hasil kebun yang dibungkus rapi, ditata dengan penuh cinta ke dalam beberapa tas besar.​“Ini untuk bekal di jalan, Nak. Biar Mas Bayu tidak kelaparan saat menyetir,” kata Ibu, menyodorkan sekotak rendang jengkol kesukaanku. “Dan ini, untuk teman-teman kampusmu, Andin. Bilang saja ini oleh-oleh dari desa. Dan kamu, Mas Bayu, jangan lupa bagikan beberapa pada rekan kerjamu, biar merek

  • Sang Mempelai Pengganti    Janji di Bawah Kelip Bintang

    ​Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.​Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.​“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”​Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”​“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status