Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.
Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.
“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”
Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”
“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, menyesap kopi, lalu menambahkan, “Terutama saat kamu mencoba pura-pura marah, tapi pipimu sudah lebih merah dari cabai rawit Ibu.”
Aku memukul meja dapur dengan sendok kayu. Bayu hanya tertawa, tawa yang membuat jantungku terlonjak, membuat seluruh sistem saraf simpatikku bekerja terlalu keras.
Namun, di tengah semua kemesraan palsu di mata orang tua dan godaan-godaan manis yang membuatku kewalahan, dunia nyata Bayu terus menuntutnya.
Siang itu, saat Bayu sedang memperbaiki atap kandang ayam Ayah yang bocor, ponselnya berdering tanpa henti.
“Halo, Bima? Kenapa nada bicaramu seperti dikejar debt collector begitu?” Bayu menjawab panggilan dengan nada geli, masih memegang palu di tangan.
Di seberang sana, suara sekretaris pribadinya, Bima, yang seorang pria lajang berwajah tampan dan super efisien, terdengar seperti suara seseorang yang baru saja kehilangan akal sehatnya.
“Mas Bayu, tolong! Tolonglah! Sudah seminggu Anda hilang dari peradaban! Saya sudah ganti oli mobil kantor tiga kali hanya untuk mengecek apakah Anda masih bernapas di desa itu atau tidak!” suara Bima melengking, penuh frustrasi yang dibesar-besarkan.
Bayu tertawa kecil. “Berlebihan, Bima. Saya sedang cuti.”
“Cuti? Cuti untuk mencangkul?!” Bima mendesis. “Mas, ini bukan waktu yang tepat. Proyek Skyline Tower terhambat. Tuan Lee dari Singapura menuntut rapat mendadak. Ada tiga tawaran investasi yang butuh tanda tangan Anda sebelum Senin! Saya sudah tidak bisa lagi berpura-pura bahwa Anda sedang flu parah atau pergi meditasi ke Tibet!”
Bayu menghela napas, nadanya berubah profesional, tetapi masih tenang. “Tenang, Bima. Saya tahu apa yang saya lakukan. Atur ulang jadwal bersama Tuan Lee untuk hari Selasa. Soal investasi, kirimkan draftnya ke email saya, saya akan meninjaunya malam ini. Saya akan kembali ke Jakarta, tapi tidak hari ini.”
Bima menjerit kecil. “Kalau begitu, kapan, Mas? Kapan? Saya tidak tahan lagi harus menjelaskan kepada dewan bahwa CEO mereka sedang bermain lumpur di pedalaman!”
Bayu melirik ke arahku, aku pura-pura sibuk memetik daun kemangi di kebun, tapi telingaku jelas menyimak. Ia tersenyum jahil, seolah tahu aku mendengarkan.
“Saya akan kembali hari Senin pagi. Dan saya tidak akan kembali sendirian, Bima. Siapkan mobil kantor yang paling nyaman. Saya akan membawa Nyonya pulang,” jawab Bayu, nadanya tegas, final, dan mengandung kebanggaan yang membuat jantungku berdesir.
“Nyonya? Nyonya Andarsono? Astaga, syukur alhamdulillah, Mas! Saya pikir Anda sudah berganti profesi menjadi petani organik!” Bima terdengar lega luar biasa.
Bayu mengakhiri panggilan itu, menyeka keringat di dahinya, dan berjalan menghampiriku.
“Dengar itu?” tanyanya, melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kemenangan. “Seluruh perusahaan menungguku, Andin. Tapi aku lebih memilih menunggumu memetik kemangi.”
“Berlebihan,” komentarku, mencoba tetap cuek. “Aku rasa Bima lebih penting daripada daun kemangi.”
Bayu mendekat, jarak kami hanya sejengkal, dan ia membungkuk hingga matanya sejajar dengan mataku. “Salah. Daun kemangi ini akan dimasak olehmu untuk Ayah dan Ibu. Itu penting. Dan kamu, Andin, kamu adalah yang paling penting. Tidak ada rapat dewan yang lebih penting daripada memastikan kamu tersenyum.”
Ketulusan di matanya begitu nyata. Itu bukan lagi janji, melainkan sebuah pernyataan fakta. Aku membuang muka, pipiku menghangat lagi. “Hentikan godaanmu, Mas. Aku tahu kamu harus kembali.”
“Tentu saja saya harus kembali. Tapi kita akan kembali bersama. Itu janji. Dan sebelum itu, malam ini kita harus merayakan kembalinya istriku pada kesadaran bahwa dia memiliki suami yang tulus.”
“Merayakan apa?”
Bayu menyeringai lebar, ekspresi yang sangat berbeda dengan eksekutif dingin yang kukenal. “Pasar malam, Sayang. Malam Minggu di pasar malam desa. Ini waktunya kita membuat kenangan indah yang sesungguhnya. Kenangan yang akan membuatmu ingin ikut kembali ke Jakarta.”
Malam Minggu pun tiba.
Ibu dan Ayah bersemangat sekali. Ibu membantu memilihkan pakaian terbaik untukku. Gaun katun sederhana berwarna biru laut. Ayah menepuk bahu Bayu dengan bangga.
“Tampaknya kamu benar-benar berhasil, Nak,” bisik Ayah pada Bayu, senyumnya bijaksana.
Bayu tersenyum penuh hormat. “Saya hanya mencoba memperbaiki kesalahan, Yah.”
Saat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pusat desa, aku merasakan kegugupan yang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya kami menghabiskan waktu berdua di tempat publik, selayaknya pasangan normal.
Pasar malam desa itu adalah sebuah lautan cahaya dan suara. Kelap-kelip lampu hias yang murahan tapi ceria menghiasi setiap stan. Aroma jagung bakar, gula arum manis, dan minyak goreng dari pedagang sate memenuhi udara. Musik dangdut yang menghentak dari panggung kecil berbaur dengan teriakan kegembiraan anak-anak yang menaiki komedi putar mini. Suasananya ramai, hidup, dan bahagia. Semua yang tidak akan pernah kurasakan di apartemen mewah kami.
“Wah, sudah lama sekali aku tidak ke sini,” gumamku, mataku berbinar melihat keramaian itu.
Bayu meraih tanganku, jari-jarinya yang panjang dan hangat menggenggam tanganku erat. Aku refleks menariknya, tetapi dia menahannya.
“Tahan, Andin. Di sini ramai sekali. Saya tidak mau kehilangan calon dokter kesayangan saya,” katanya, nadanya tegas tetapi matanya tersenyum penuh makna. “Anggap saja ini protokol keselamatan baru.”
Aku pasrah. Genggamannya terasa begitu alami, begitu protektif, hingga aku membiarkannya.
Kami berjalan beriringan, menikmati hiruk pikuk. Bayu yang biasanya tegang dan kaku di hadapan keramaian, kini tampak santai.
“Kamu mau apa? Arum manis? Atau kincir angin warna-warni?” tanyanya, menunjuk jajanan yang berderet.
“Aku sudah dewasa, Mas. Aku mau jagung bakar.”
Bayu tertawa renyah. “Jagung bakar. Tentu saja. Makanan yang jujur, seperti dirimu.”
Kami membeli jagung bakar. Saat Bayu menyerahkannya, jari-jari kami bersentuhan, memicu sensasi listrik kecil yang selalu kurasakan akhir-akhir ini.
“Mas Bayu,” panggilku, suaraku pelan. “Aku harus jujur. Aku terkejut melihatmu begitu santai di sini. Di Jakarta, kamu selalu… seperti tembok.”
Bayu mengunyah jagungnya perlahan, matanya menatap keramaian. “Tembok itu kuas. Kuas yang kubangun untuk melindungi hatiku yang hancur karena Annisa, dan untuk melindungi dirimu dari kegelisahanku. Di sini, tidak ada tembok. Di sini, di hadapan orang yang tulus, tembok itu harus runtuh.”
“Berarti kamu tidak akan membangunnya lagi di Jakarta?” tanyaku hati-hati.
Bayu menoleh, tatapannya tajam. “Tentu saja tidak. Aku berjanji. Tapi kamu harus membantuku.”
Kami berjalan menuju bianglala kecil yang berputar pelan dengan lampu-lampu yang berkelip.
“Mas, aku harus tahu,” kataku, memberanikan diri. “Surat cerai itu… kenapa kamu tidak meresponnya?”
Bayu menghela napas. Ekspresinya menjadi serius. Ia mengajakku duduk di bangku kayu yang terletak agak jauh dari keramaian, di bawah pohon beringin yang rindang.
“Surat itu ada di saku jas saya, Andin. Setiap hari saya membawanya. Saya membacanya berulang kali. Awalnya, saya sangat marah,” Bayu memulai, suaranya rendah dan serak.
Aku mendengarkan dengan tegang.
“Saya marah pada diri sendiri. Karena surat itu adalah cerminan kegagalan saya sebagai suami. Tapi saya juga marah padamu, karena kamu mengambil keputusan sepihak. Kamu tidak berdiskusi.”
“Apa yang perlu didiskusikan?” Aku menyela, sedikit kesal. “Bukankah kamu sudah cukup jelas menunjukkan bahwa aku tidak penting?”
Bayu menggeleng pelan. “Justru itu. Saat saya membaca kata-kata itu, saya menyadari, kamu sangat penting. Saya tidak bisa membayangkan hidup di apartemen itu sendirian lagi. Bukan karena kamu menggantikan Annisa, tidak. Tapi karena kamu telah menjadi bagian dari rutinitas, meskipun rutinitas yang dingin. Tanpa kamu, apartemen itu bukan lagi dingin, tapi mati.”
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya memohon.
“Saya tidak merespons karena saya ingin kamu yang melihat saya berjuang. Saya tidak mau memberikanmu kemudahan untuk pergi, karena saya tahu, jika kamu pergi, saya tidak akan punya alasan untuk memperbaiki diri.”
Bayu meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Jari-jarinya terasa kuat dan hangat.
“Andin, aku tahu kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Tapi tolong, berikan aku kesempatan untuk menjadi yang lebih baik itu. Berikan aku kesempatan untuk menjadi suami yang kamu banggakan, bukan hanya di depan orang tuamu, tapi di depan semua orang.”
“Aku tahu kamu tidak mau kembali ke Jakarta,” Bayu melanjutkan, suaranya penuh ketulusan yang menusuk. “Tapi saya butuh kamu di sana. Bukan hanya sebagai ‘Nyonya Andarsono’ sebagai formalitas. Tapi karena saya butuh kamu untuk sebagai pengingat betapa egoisnya saya selama ini. Saya butuh kamu untuk mengawasi janji-janji saya. Saya butuh kamu untuk mengisi rumah yang selama ini mati karena keheningan.”
“Aku tidak memintamu mencintaiku sekarang,” katanya lagi, air mataku mulai menggenang. “Aku hanya memintamu untuk kembali dan melihat usahaku. Jika setelah enam bulan, kamu tetap ingin bercerai, saya berjanji, saya akan menandatanganinya, dan saya akan pergi.”
Permohonannya begitu tulus, begitu jujur, hingga aku tidak bisa lagi melihatnya sebagai CEO licik yang sedang mencoba memanipulasi bisnis. Dia adalah pria yang patah hati yang sedang mencoba membangun kembali hidupnya, dan ia memintaku untuk menjadi fondasinya.
Aku menatap matanya yang memohon. Aku melihat Bayu, bukan bayangan Annisa. Aku melihat pria yang lelah dengan kepura-puraan dan kesepiannya sendiri.
“Aku… aku takut, Mas,” bisikku, air mataku menetes. “Aku takut kembali ke kesunyian itu.”
“Tidak akan ada kesunyian lagi,” Bayu berjanji. “Kita akan memulai dari awal. Aturan baru. Kamar tetap terpisah, sampai kamu benar-benar siap dan percaya padaku. Tapi kita akan makan bersama. Kita akan bicara. Kita akan pergi kencan. Kita akan membangun kenangan, Andin.”
Bayu tersenyum tipis, mencoba menyisipkan humor di tengah keseriusan. “Lagipula, bagaimana aku bisa menggoda istriku di kantor kalau aku tidak melihatnya setiap pagi? Nanti skill buaya daratku hilang. Siapa yang akan membuat pipimu memerah kalau bukan aku?”
Aku tertawa kecil di tengah tangis. Air mata luruh bersama tawa, perasaan lega yang tak terlukiskan. Godaan konyolnya itu berhasil meredakan ketegangan.
“Baiklah,” kataku, mengangguk pasrah. “Aku akan kembali. Tapi jika kamu melanggar janji-janji itu, aku tidak akan hanya mengirim surat cerai, Mas. Aku akan lari ke Tibet seperti yang Bima katakan, dan kamu harus mencariku di sana.”
Bayu tersenyum lebar, senyum penuh kemenangan yang tulus. Ia mengangkat tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut, sebuah sentuhan hormat yang menghangatkan jiwaku.
“Aku berjanji, Sayang. Akan membuatmu lupa caranya lari,” bisiknya.
Kami menghabiskan sisa malam itu di pasar malam, membeli segala macam jajanan murahan seperti kue cubit, sosis bakar, dan aku bahkan memaksanya naik bianglala kecil yang bergoyang menakutkan. Bayu, si eksekutif kelas atas, berteriak kecil ketakutan, dan aku tertawa lepas, tawa yang sudah lama tidak kudengar.
“Kamu harus mengakui, ini jauh lebih menyenangkan daripada rapat dewan direksi, Mas,” kataku, saat bianglala itu mencapai puncak.
Bayu menatapku di bawah kelap-kelip lampu, wajahnya tercetak jelas. “Jauh lebih menyenangkan. Melihatmu tertawa itu adalah kesepakatan bisnis terbaik yang pernah kucapai.”
Kami pulang berjalan kaki. Genggaman tangan Bayu kini terasa lebih mantap, lebih alami. Kami tidak lagi canggung.
“Senin pagi, kita kembali,” Bayu mengonfirmasi, saat kami tiba di depan rumah.
Aku mengangguk. “Ya. Tapi janji, Mas. Jangan panggil aku ‘Sayang’ di depan orang lain dulu. Itu masih terlalu palsu.”
Bayu mengangguk setuju. “Sepakat. Sampai kamu yang memintanya sendiri. Tapi di antara kita, aku akan mengusahakannya. Istriku.”
Aku tersenyum tulus. Malam itu, janji Bayu, yang diucapkan di bawah kelip lampu pasar malam, adalah janji yang akhirnya memberiku alasan untuk melanjutkan pernikahan ini. Aku tidak kembali karena cinta, tetapi kembali karena harapan dan ketulusan Bayu untuk berjuang. Babak baru, yang lebih menantang dan emosional, akan segera dimulai di Jakarta.