Pagi itu, udara desa terasa lebih dingin dari biasanya, seolah embun telah membawa sisa-sisa air mata dan luapan emosi kami semalam. Aku terbangun dengan rasa pusing yang samar, sisa-sisa pertarungan batin dan ledakan amarah yang telah kurencanakan selama berbulan-bulan, tetapi yang akhirnya terjadi secara spontan.
Aku mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadaran. Aku terkejut menemukan diriku masih terbalut pakaian lengkap dan hijab. Semalam, setelah semua pengakuan dan janji Bayu, aku terlalu lelah, terlalu kosong, hingga jatuh tertidur di atas kasur kamarku sendiri, membiarkan tubuhku menyerah pada kelelahan emosional. Aku bahkan tidak sempat menghapus riasan mata yang pasti sudah luntur dan membuat kantung mataku terlihat seperti panda.
Telingaku menangkap suara yang familier, yang telah menjadi penanda bagi umat Islam di seluruh dunia, suara yang begitu akrab dan menenangkan di desa: adzan Subuh.
Allahu Akbar.
Aku refleks terbangun, mencoba mengatur napas. Jantungku berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena kaget dan rasa malu yang tiba-tiba menyeruak.
Aku ingat. Bayu. Dia ada di sini. Di kamarku.
Mataku langsung menyapu ruangan. Dan kemudian, aku terkesiap. Pemandangan itu menusuk hati nuraniku sebagai seorang istri yang baru saja bersumpah untuk berbakti.
Di lantai kayu kamarku, tepat di samping meja belajar dan jauh dari kasur, Bayu meringkuk. Dia tidur tanpa alas, hanya beralaskan lantai dingin. Kepala Bayu bersandar pada satu bantal kecil yang sangat kekecilan untuk ukuran tubuhnya yang tinggi dan tegap. Posisi tidurnya yang miring terasa begitu rapuh, begitu tidak nyaman, kontras sekali dengan gambaran Bayu Andarsono, eksekutif yang selalu tidur di atas kasur memory foam termahal di apartemen mewah.
Aku merasakan gelombang rasa bersalah yang menusuk. Kalau Ibu melihat pemandangan ini, aku pasti dicap sebagai istri durhaka.
Ya Tuhan, kenapa dia tidak naik ke kasur saja?
Ah, tentu saja. Dia menghormati batasan yang kubuat, batasan yang sudah ada selama lima tahun. Dia bilang dia akan berjuang, dan tidur di lantai dingin adalah salah satu bentuk perjuangan fisiknya, sebuah hukuman atas keegoisannya.
Aku menatap jam dinding, masih pukul 04:15. Waktunya sholat Subuh. Aku harus membangunkannya.
Perasaan canggung kembali merayap, menjeratku. Bagaimana cara membangunkan suamiku sendiri? Aku tidak bisa menyentuhnya. Selama hampir enam tahun, kami menjaga jarak fisik begitu ketat hingga sentuhan kini terasa seperti sebuah ledakan atom.
Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan. Aku harus menggunakan perantara.
Mataku jatuh pada sebuah guling, bantal panjang khas Indonesia yang tergeletak di antara tumpukan selimut di kasur. Guling inilah yang akan menjadi juru damai dan alat komunikasiku.
Aku turun dari kasur, langkah kakiku hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Aku mendekati Bayu yang masih terlelap. Wajahnya terlihat jauh lebih muda saat tidur, garis-garis ketegasan yang biasanya menghiasi rahangnya melunak. Rambutnya sedikit acak-acakan, jatuh menutupi dahi.
Jantungku berdebar lebih kencang lagi. Aku mengambil guling itu. Dengan jarak yang aman, aku menggoyangkan tubuh Bayu dengan guling tersebut, selembut mungkin.
“Mas Bayu,” bisikku, suaraku sedikit parau. “Sudah Subuh. Bangun, Mas. Waktunya sholat.”
Guling itu bergerak di bahunya, sedikit mendorongnya. Bayu tidak bereaksi.
Aku mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Mas! Bangun!”
Bayu menggeliat. Ia mengeluarkan erangan pelan yang serak, suara khas orang baru bangun tidur. Ia membuka matanya perlahan, menguceknya dengan tangan kanannya.
Dan saat itulah, senyum itu muncul.
Senyum hangat, damai, dan tulus. Senyum yang belum pernah kulihat selama ini, yang tidak pernah ia tunjukkan di hadapan para kolega atau orang tua kami. Itu adalah senyum pagi hari.
Bayu menatapku, matanya yang setengah terbuka masih memancarkan kelelahan, tetapi juga kehangatan yang membuat pipiku langsung terasa panas.
“Andin?” suaranya rendah, serak, serak-serak bangun tidur. Suara yang sangat menggoda iman, sangat sensual, dan sangat pribadi. “Kamu yang bangunin saya?”
Aku kehilangan kata-kata. Aku hanya mengangguk, masih memegang erat guling itu sebagai benteng terakhirku.
“Terima kasih,” katanya, suaranya mengandung rasa syukur yang tulus. Ia duduk, menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia menatap ke bawah, ke lantai tempat ia tidur, lalu beralih menatapku. “Kamu baik-baik saja? Saya harap tidurmu nyenyak.”
“Aku… aku baik-baik saja, Mas. Itu,” kataku, menunjuk lantai dengan guling. “Kenapa tidur di bawah? Nanti masuk angin.”
Bayu tertawa kecil. Tawa yang terdengar jujur, renyah. “Saya menghargai batasanmu, Andin. Lagipula, lantai ini jauh lebih hangat daripada marmer di apartemen. Saya hanya sedang… merenung. Dan memastikan kamu tidak kabur lagi.”
“Aku tidak akan kabur,” jawabku, nadaku sedikit defensif. “Aku hanya ingin kamu segera sholat. Ayah sudah siap-siap di Mushola.”
“Baiklah, calon dokter,” katanya, lalu ia berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang, dan matanya bertemu dengan mataku. Ia tersenyum lagi. Senyum yang sama manisnya. “Sekali lagi, terima kasih, istriku.”
Kata istriku itu diucapkan dengan penekanan yang lembut, membuat debaran jantungku makin kencang. Ia segera berbalik, meraih handuknya, dan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang ada di luar.
Begitu pintu tertutup, aku tersadar. Aku melempar guling itu ke kasur dan segera berlari ke cermin.
“Dasar buaya darat!” umpatku pelan, wajahku merah padam hingga ke telinga.
Aku memukul-mukul pipiku yang terasa hangat dengan kedua telapak tangan. Aku kesal pada diriku sendiri. Bagaimana bisa lima tahun penolakan dan kebekuan hilang hanya karena satu senyum bangun tidur dan suara serak yang menggoda?
Pasti dia sering menggoda wanita lain di kantornya dengan senyum itu. Senyum tulus dan suara rendah itu pasti senjata utamanya untuk meluluhkan klien wanita, atau bahkan sekretarisnya! Hatiku bergejolak, mencoba mencari pembenaran atas pesona Bayu yang mematikan itu, agar aku tidak jatuh ke dalam perangkapnya sendiri.
Aku segera menepis pikiran konyol itu. Aku harus fokus. Ini semua adalah sandiwara baru. Aku tidak boleh terbuai.
Setelah sholat Subuh dan sarapan bersama Ayah dan Ibu, sandiwara itu kembali berjalan, tetapi dengan dimensi yang sangat berbeda.
Bayu tidak lagi dingin, tidak lagi kaku. Dia berubah menjadi suami paling ideal di mata Ayah dan Ibu. Dan yang paling mengejutkan, dia berubah menjadi menantu desa yang sangat adaptif.
“Ayah, mari saya bantu potong kayu bakarnya. Saya perlu menggerakkan otot setelah lama duduk di kantor,” ujar Bayu pada Ayah, padahal ia adalah seorang CEO yang pekerjaannya hanya di balik meja kaca dan laptop.
Ayah, seorang pria sederhana yang bangga akan kebunnya, senang sekali. “Wah, Mas Bayu ini benar-benar tidak pandang bulu ya. Ayo, Nak, hati-hati nanti kotor.”
Bayu hanya tertawa. “Kotoran itu wangi, Yah. Wangi kerja keras.”
Ia menghabiskan sisa hari itu membantu Ayah di kebun, mencangkul, memotong ranting, dan bahkan menyapa para tetangga Andin. Ia bercerita tentang pekerjaannya, tentang Jakarta, dengan bahasa yang sopan dan merendah, membuat semua tetangga terpesona dan memuji: “Andin beruntung sekali punya suami seperti Mas Bayu. Tampan, kaya, tapi rendah hati.”
Aku hanya bisa mengawasi dari teras, diam-diam terkesan. Ia benar-benar berusaha. Itu adalah pengakuan yang tidak bisa kuelak. Bayu Andarsono, si konglomerat properti, kini berada di lumpur kebun, berkeringat, dan tersenyum tulus kepada Ayah.
Namun, di tengah semua kehangatan dan ketulusan yang ia tunjukkan pada orang lain, Bayu menemukan cara baru untuk menggangguku. Cara yang membuatku terus menerus salah tingkah.
Kebiasaan Barunya itu adalah Menggoda untuk Melihat Reaksi Malu-malu dariku.
Sore itu, saat aku sedang menyiapkan teh hangat di dapur sederhana Ibu, Bayu masuk, wajahnya masih memerah karena panas matahari.
“Andin,” panggilnya lembut.
“Ya, Mas?” jawabku, jantungku sudah berdebar. Aku tidak berani menoleh.
Bayu berdiri di belakangku, mengambil gelas kosong. Jarak kami begitu dekat.
“Tadi di kebun, Ayah cerita kalau kamu dulu sering jatuh dari pohon jambu karena terlalu fokus membaca buku,” bisiknya, suaranya sangat dekat di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menoleh cepat, berusaha menjauhkan diri, tetapi Bayu tidak mundur.
“Ayah itu suka melebih-lebihkan,” elakku, berusaha menyembunyikan wajahku yang mulai memerah.
Bayu tersenyum jahil. “Masa? Tapi Ayah bilang, bahkan saat SMA, kamu sudah membuat guru-gurumu terkesan dengan kecerdasanmu, tapi kamu paling benci dipuji.”
Ia mendekatkan wajahnya sedikit, matanya yang hangat menatapku intens. “Kamu tahu kenapa kamu benci dipuji, Andin?”
Aku menggeleng, menahan napas.
“Karena kamu sudah tahu seberapa luar biasanya kamu,” ia memotong jarak, suaranya sangat rendah dan menghipnotis. “Kamu hanya tidak terbiasa orang lain melihat keindahan itu. Bukan hanya keindahan otakmu. Tapi, Andin…”
Ia menjeda, matanya menyapu wajahku yang kini sudah merah padam.
“Cantik.”
Satu kata lagi. Kali ini bukan maaf. Kali ini adalah pujian yang jujur, diucapkan dengan mata yang tulus, tanpa ada sedikit pun kepalsuan sandiwara.
Aku tersentak mundur, tanganku refleks memegang teko teh yang panas. “Mas! Tehnya!”
Bayu tertawa kecil, mundur selangkah. “Hati-hati, Sayang. Jangan sampai kecerobohanmu melukai diri sendiri.”
Ia memanggilku Sayang. Kata itu membuatku ingin lari dan bersembunyi di balik kasur.
“Jangan panggil aku begitu!” protesku, suaraku bergetar. “Itu palsu. Kita tidak begitu.”
Bayu bersandar di pintu dapur, melipat tangan di dadanya, tatapan matanya menantang. “Palsu? Itu adalah panggilan untuk istriku, Andin. Kalau kamu tidak suka, kita harus mencari panggilan yang lebih tulus. Atau, mungkin kita harus membuat panggilan itu menjadi terdengar lebih tulus. Bagaimana?”
Ia tidak meminta persetujuan. Ia menantangku. Pria ini, Bayu yang baru, adalah seorang manipulator emosi yang ulung, menggunakan kelemahanku (kebencian pada kepalsuan) untuk memaksaku menciptakan keintiman yang nyata.
Beberapa hari selanjutnya di desa, Bayu terus-menerus menggodaku.
Saat kami makan malam dengan Ayah dan Ibu, Bayu akan secara halus menyentuh punggung tanganku di bawah meja. Ibu yang melihatnya akan tersenyum bahagia. Aku akan segera menarik tanganku, lalu Bayu akan menatapku, matanya berkelip nakal, seolah berkata, “Tertangkap basah.”
Suatu pagi, saat aku duduk di teras membaca buku anatomi, Bayu datang, membawa dua cangkir kopi hitam buatan sendiri, bukan pesanan koki.
“Pintar,” katanya, meletakkan kopi di sampingku. “Bahkan di tengah desa, kamu masih menghafal arteri dan vena. Kamu benar-benar calon dokter yang hebat.”
Aku tersenyum bangga. “Aku harus cepat lulus.”
Bayu duduk di sebelahku. “Tapi kamu terlalu serius. Dunia kedokteran itu keras. Kamu butuh pelembut di rumah.”
“Aku tidak butuh pelembut. Aku butuh ketenangan,” timpalku.
Bayu menatap lurus ke mataku. “Ketenangan itu dimulai dari hati yang jujur. Aku sudah jujur, Andin. Aku sudah mengatakan maaf, dan aku sudah mengatakan bahwa aku akan berjuang. Sekarang giliranmu. Jujur pada dirimu sendiri.”
“Jujur apa?” tanyaku sinis.
Bayu tersenyum tipis. “Jujur bahwa kamu juga terkejut melihatku tidur di lantai. Jujur bahwa kamu juga merasa buaya darat ini cukup tampan saat bangun tidur. Jujur bahwa kamu tidak membenciku sepenuhnya. Kamu hanya membenci situasi kita.”
Wajahku kembali memanas. Aku memukul pahanya pelan dengan buku yang kupegang. “Dasar menyebalkan!”
Bayu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang tulus, lepas, yang membuat suasana desa pagi itu terasa lebih cerah.
Aku menatapnya. Ya, dia buaya darat. Dia manipulator. Dia menggunakan semua pesonanya yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng dinginnya di Jakarta, tujuannya untuk menyerang benteng hatiku. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan tujuan yang jelas: untuk menebus kesalahannya.
Di satu sisi, aku kesal. Di sisi lain, aku merasakan debaran aneh. Itu adalah debaran kegembiraan yang sudah lama hilang. Perasaan dicari, perasaan dilihat, perasaan diakui. Bahkan jika itu dimulai dari sebuah sandiwara, Bayu melakukannya dengan sangat tulus.
Aku tidak tahu apakah aku akan memaafkannya. Aku tidak tahu apakah aku akan mencintainya. Tapi yang pasti, di hari-hari di mana ia menjadi menantu desa yang cemerlang dan suami penggodaku yang gigih, aku tidak lagi merasa kesepian.
Bayu berhasil. Surat cerai itu kini hanya menjadi tumpukan kertas tak berharga, dan kami terikat dalam janji baru. Dia berjuang untuk mendapatkan hatiku, dan aku berjuang untuk tidak memberikannya.
Aku memejamkan mata. “Buaya darat,” gumamku lagi, tetapi kali ini, gumaman itu terdengar seperti pengakuan yang malu-malu.