แชร์

4 Konfrontasi dan Kebenaran

ผู้เขียน: Ummu_Fikri
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-27 17:51:23

​Sandiwara di teras rumah kampung itu berakhir dengan tepuk tangan internal Ayah dan Ibu. Mereka lega luar biasa. Putra menantu idaman mereka yang seorang eksekutif sukses di Jakarta ternyata begitu mencintai putri bungsunya hingga rela menempuh perjalanan darat yang melelahkan hanya untuk menjemputnya.

​“Ya ampun, Mas Bayu, kamu pasti capek sekali. Ayo, masuk, istirahat di kamar Andin,” suara Ibu penuh kehangatan, kelegaan, dan kasih sayang yang membuat hatiku mencelos karena kepalsuan.

​Bayu hanya tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya ketika ia berinteraksi denganku di Jakarta. “Terima kasih, Bu. Saya hanya perlu melihat Andin baik-baik saja.”

​Sikapnya yang pura-pura romantis itu membuatku mual. Suami macam apa dia? Setelah lima tahun menghapus eksistensiku, mengabaikan surat cerai, kini ia datang ke kampung, berakting sebagai suami sempurna.

​Aku, Andin, menarik napas panjang, menekan gejolak kemarahan agar tidak meledak di depan orang tua. Aku meraih tas ransel Bayu yang elegan itu kontras sekali dengan suasana desa yang sederhana. Aku berjalan mendahuluinya menuju kamarku.

​“Ayo, Kak Bayu,” panggilku dingin, menggunakan sebutan yang ia paksakan, tetapi yang kali ini terasa seperti sindiran yang hanya kami berdua yang mengerti.

​Langkahku terpaksa, lambat, dan penuh keengganan. Aku menuntutnya, tidak mengiringinya. Jarak dari ruang tamu ke kamar tidurku tidak lebih dari lima meter, tetapi terasa seperti berjalan menyeberangi lautan es.

​Di belakangku, aku bisa merasakan tatapan Ayah dan Ibu yang penuh kelegaan dan kebahagiaan. Mereka mengira mereka melihat pasangan yang rukun kembali setelah diterpa badai kecil. Mereka tidak tahu bahwa kami sedang berjalan menuju medan pertempuran.

​Saat aku membuka pintu kayu sederhana kamarku yang ukurannya tak sebanding dengan kamar Bayu di apartemen Jakarta, kemudian melangkah masuk, aku tidak menoleh ke belakang. Aku tahu Bayu mengikuti.

​Kami berdua masuk ke ruangan itu. Aku segera menutup pintu dengan sedikit hentakan yang nyaris tak terdengar, lantas menguncinya.

​Klik.

​Suara kunci itu adalah suara pengesahan bahwa sandiwara telah berakhir.

​Begitu pintu tertutup rapat, kami berdua menarik napas dalam-dalam, hampir bersamaan. Napas Bayu terdengar seperti desahan lelah seorang prajurit. Napasku adalah napas lega bercampur frustrasi.

​Kini, kami hanya berdua. Di dalam satu ruangan.

​Ini adalah hal yang paling ironis dan canggung dalam sejarah pernikahan kami. Selama lima tahun enam bulan, kami tidak pernah berada dalam satu ruangan tertutup, apalagi kamar tidur, selama lebih dari lima menit. Kamar kami terpisah. Kehidupan kami terpisah. Kami bahkan menjaga jarak saat berdiri di lift.

​Kamar ini adalah kamar masa remajaku. Dindingnya berwarna krem pucat, dengan poster-poster anatomi tubuh manusia yang kutempel selama masa-masa awal kuliah kedokteran, dan sebuah rak buku kecil penuh novel dan diktat kuliah. Sederhana, hangat, tetapi terasa sangat sempit di bawah kehadiran Bayu yang jangkung dan berwibawa.

​Aku berdiri kaku, membelakangi pintu. Bayu berdiri di dekat jendela, meletakkan ranselnya perlahan di lantai. Keheningan yang menyelimuti kami terasa begitu berat, begitu pekat, hampir-hampir memadat menjadi zat yang bisa disentuh.

​Aku merasakan pipiku panas. Meskipun kami sudah sah sebagai suami istri, rasa malu yang aneh melingkupiku. Aku mengenakan kaus rumahan longgar berlengan panjang dan celana panjang yang longgar, pakaian yang kuanggap paling nyaman di desa. Aku tidak pernah, bahkan barang seujung kuku, pernah memperlihatkan auratku pada Bayu selain wajah dan telapak tangan. Aku selalu menutupi diri saat berada di apartemen, bahkan saat kami hanya berjarak lima meter.

​Aku segera membalikkan badan, berdiri kaku di sudut ruangan, di samping meja belajarku, menundukkan pandangan. Aku enggan menatapnya. Enggan melihat mata itu, yang mungkin sebentar lagi akan dipenuhi lagi oleh kekecewaan dan keengganan.

​Beberapa menit berlalu. Keheningan itu semakin mendesak, memaksa salah satu dari kami untuk menyerah.

​Bayu mengambil satu langkah. Kemudian yang kedua. Langkah kakinya yang berat dan mantap di lantai kayu kamarku terasa seperti gema ancaman. Ia berjalan mendekatiku, mendekatiku yang berdiri kaku, seolah aku adalah patung es yang siap mencair di bawah panasnya tatapan.

​“Andin…” panggilnya.

​Suara itu. Bukan suara dingin ‘Kak Bayu’ di Jakarta. Bukan suara lelah yang ia tunjukkan pada malam di makam Annisa. Suara itu serak, rendah, dan penuh emosi yang tidak pernah kudengar darinya. Aku tersentak kaget. Panggilan itu, seolah ia benar-benar memanggilku sebagai istrinya, sebagai seseorang yang penting.

​Aku tetap menunduk, fokus menatap ujung kakiku, berusaha menyamarkan getaran kecil di tubuhku. Aku menunggu dia berteriak, menunggu dia menanyakan surat cerai, menunggu dia menuntut apa yang salah.

​Detik berikutnya, Bayu mengucapkan hal paling tak terduga yang menghancurkan semua pertahananku.

​“Maaf.”

​Satu kata. Hanya satu kata, tetapi mengandung beban semesta.

​Bayu mengatakannya dengan suara yang hampir pecah, sarat dengan emosi yang begitu tulus hingga aku nyaris limbung. Aku mengangkat wajahku sedikit, tidak berani menatap matanya, tetapi cukup untuk melihat ekspresi di rahangnya yang keras.

​“Saya bersalah, Andin,” lanjutnya, kini suaranya lebih jelas, tetapi tetap bergetar. “Selama ini saya sudah egois. Saya jahat padamu. Saya akui saya bukan imam yang sempurna untukmu, bahkan saya bukan suami yang baik.”

​Kata-katanya membanjir, seperti air bah yang merobohkan tanggul pertahanan yang telah kubangun selama lima tahun. Kalimat-kalimat itu mengandung rasa bersalah yang dalam, penyesalan yang tampak nyata, dan kejujuran yang menelanjangiku.

​Permintaan maaf. Kata yang kutunggu-tunggu, kata yang kurindukan dalam diam, kata yang tak pernah berani kuucapkan, kini diucapkan olehnya.

​Tanpa kusadari, air mataku sudah luruh. Bukan air mata sedih, melainkan air mata kelegaan yang campur aduk dengan kemarahan yang tertahan. Air mata yang keluar karena akhirnya, setelah semua kepura-puraan, dia mengakui kesalahannya.

​Bayu mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu, mencoba menyentuh bahuku. Sentuhan pertama yang ia berikan dalam enam tahun pernikahan.

​Aku terkesiap, dan dengan refleks yang kuat, aku menepis tangannya.

​“Jangan sentuh aku!” suaraku parau, bergetar hebat. Aku tidak berteriak, tetapi luapan emosi itu terdengar seperti jeritan kepedihan yang paling dalam.

​Tepisan itu membuat Bayu terdiam, tangannya menggantung di udara. Ekspresi sakit sekilas melintasi wajahnya, tetapi ia tidak mundur. Ia memilih untuk membiarkan tangannya tetap di sana, menunjukkan kerentanan dan penerimaannya atas penolakanku.

​“Aku capek, Mas,” ujarku, kata ‘Mas’ itu keluar begitu saja, jujur, tanpa sandiwara. Aku akhirnya membiarkan semua yang kutahan selama ini keluar. Aku tidak lagi peduli dengan aurat, dengan kesopanan, atau dengan posisinya sebagai suamiku. Aku hanya seorang wanita yang kelelahan.

​“Lelah sekali,” lanjutku, air mataku membasahi pipi, memaksaku untuk akhirnya menatap matanya. Mata Bayu yang indah itu yang biasanya dingin kini dipenuhi penyesalan. “Lelah dengan sikap kamu. Lelah dengan kamar yang terpisah. Lelah dengan sandiwara makan malam dua mingguan itu. Lelah dengan semua orang mengira aku single padahal aku adalah istri dari pria sempurna seperti kamu.”

​Aku meluapkan semuanya. Lima tahun. Lima tahun aku menjaga martabatnya, menjaga perasaannya, menjaga rahasia pernikahan kami. Lima tahun aku hidup seperti seorang yatim piatu di rumah mewah.

​“Aku selalu berusaha, Mas Bayu. Aku selalu berharap! Berharap kamu melihatku, bukan sebagai bayangan Annisa, tapi sebagai Andin. Istrimu yang sah! Tapi kamu tidak pernah melihatku!” Suaraku meninggi, sarat dengan rasa marah terpendam. “Kamu bahkan tidak sudi memanggilku dengan sebutan yang pantas. Kamu membuatku menjadi ‘adik’ di depan semua orang, padahal aku adalah wanita yang berjanji di depan Tuhan untuk berbakti kepadamu!”

​Aku terisak hebat, dadaku naik turun karena luapan emosi. “Aku muak! Aku muak dengan keheningan, dengan kebekuan, dengan penolakanmu yang konstan! Ketika aku memberimu surat cerai, aku berpikir, ‘Akhirnya. Dia akan lega. Aku akan bebas.’ Tapi apa yang kamu lakukan, Mas? Kamu mengabaikannya! Kamu menghilang seolah aku tidak berarti sama sekali!”

​“Kamu tahu betapa sakitnya itu? Kamu bahkan tidak sudi memberiku kehormatan untuk sebuah penolakan atau persetujuan! Kamu memperlakukanku seolah-olah aku hanyalah selembar kertas yang bisa diabaikan! Itu adalah penghinaan terbesar, Mas Bayu! Itu membuatku merasa tidak berharga, tidak ada!”

​Napas Bayu terlihat berat. Ia mendengarkan. Ia tidak memotong. Ia membiarkan luapan emosiku menghantamnya, menenggelamkannya dalam rasa bersalah. Ekspresinya menunjukkan bahwa setiap kata yang kuucapkan adalah cambukan yang ia terima dengan lapang dada.

​“Aku hanya ingin menyerah, Mas,” kataku, suaraku kini melemah, hanya tersisa isakan yang menyedihkan. “Aku ingin menyerah pada pernikahan ini. Aku ingin kamu melepasku. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan dengan kenangan Annisa, dan aku pantas mendapatkan kebahagiaan dengan cinta yang tulus. Kita berdua hanya menyakiti diri sendiri di dalam kebohongan ini. Jadi, tolong, biarkan aku pergi.”

​Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, air mata membasahi telapak tanganku. Aku sudah meluapkan semuanya. Tidak ada lagi yang tersisa. Aku siap menerima penolakannya yang dingin dan mengakhiri semuanya.

​Keheningan kembali datang. Kali ini, keheningan yang berbeda. Keheningan penuh penyesalan.

​Bayu bergerak lagi. Kali ini, ia tidak mencoba menyentuh. Ia berjalan perlahan ke meja belajarku, meraih sehelai tisu, dan menyodorkannya padaku.

​Aku mengambil tisu itu, mengelap air mataku yang tak henti.

​Bayu berbicara, suaranya kini lebih terkontrol, tetapi masih sarat emosi.

​“Andin, saya mengerti,” katanya. “Saya mengerti semua yang kamu rasakan. Kamu benar. Saya egois. Saya pengecut. Setelah Annisa pergi, saya bersembunyi di balik janji dan rasa bersalah saya. Saya menggunakan pernikahan ini sebagai benteng untuk menjaga kenangan Annisa, dan saya menggunakan kesibukan sebagai perisai agar tidak perlu menghadapi kenyataan bahwa di balik pintu kamar itu, ada wanita lain yang saya sakiti setiap hari.”

​Ia berhenti sejenak, menatapku lurus. Kali ini, tatapannya tidak kosong. Tatapannya tegas, dan untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat olehnya.

​“Malam kamu meletakkan surat itu,” lanjutnya, “saya membacanya. Saya tidak menghilangkannya. Saya membawanya. Saya tidak merespons, bukan karena kamu tidak berarti. Tapi justru karena, saat itu, saya menyadari kamu sangat berarti.”

​Alisku terangkat. Aku bingung.

​“Saya menyadari betapa parahnya kejahatan yang sudah saya lakukan,” kata Bayu, suaranya sedikit meninggi karena tekad. “Melihat surat itu, melihat kamu benar-benar menyerah, menyadarkan saya bahwa saya tidak hanya menyakiti dirimu, tetapi juga merusak dirimu. Saya membiarkan wanita secemerlang dan sebaik kamu hidup dalam kesunyian selama lima tahun.”

​Dia melangkah mendekatiku, kali ini tanpa mencoba menyentuh. Jarak di antara kami kini hanya sejengkal. Aku bisa mencium aroma khas parfumnya yang mahal, aroma yang selalu kubaui dari kejauhan di apartemen.

​“Saya tidak akan menandatangani surat itu, Andin.”

​Jantungku berdebar kencang. Penolakan. Tentu saja, aku sudah tahu.

​“Kenapa, Mas?!” Aku menuntut jawaban, frustrasiku kembali membakar. “Kenapa kamu tidak mau melepasku?! Kamu tidak mencintaiku! Kamu masih mencintai Annisa!”

​Bayu menghela napas panjang, kemudian dia membuat pernyataan yang mengejutkan.

​“Saya tidak akan membiarkanmu pergi, Andin,” katanya tegas, membalas tatapanku dengan intens. “Kamu benar, saya sangat mencintai Annisa. Dia adalah masa lalu saya. Tetapi kamu… kamu adalah tanggung jawab saya. Kamu adalah kewajiban saya di mata Tuhan. Dan saya tidak mau lagi lari dari kewajiban itu.”

​“Ini bukan lagi tentang Annisa. Ini tentang janji pernikahan yang saya ucapkan kepada ayahmu. Saya mungkin tidak bisa memberikan cinta romantis yang kamu dambakan saat ini. Tapi, saya bisa memberikan penghormatan, perlindungan, dan kesetiaan sebagai suami sahmu.”

​Aku menggeleng, air mataku kembali mengalir. “Penghormatan apa? Kamu membuatku seperti adikmu sendiri!”

​“Itu akan berubah,” tukasnya cepat. “Saya datang ke sini, ke kampungmu, bukan untuk memenangkan hati orang tua kita dengan sandiwara. Saya datang ke sini untuk memenangkanmu kembali, Andin. Saya datang ke sini untuk mengatakan bahwa saya tidak akan menyerah pada pernikahan ini.”

​Bayu menjeda, matanya menyiratkan tekad yang kuat, membuatku terkejut.

​“Saya akui saya terlambat. Saya lima tahun terlambat. Tapi saya akan menebusnya. Saya akan berjuang. Mulai detik ini, saya akan berhenti menjadi pengecut. Saya akan berhenti menjadikanku sebagai kakak. Saya akan mulai bertindak sebagai suamimu, Andin. Saya akan berjuang untuk cinta Andin, dimulai dari nol. Saya akan buktikan bahwa pernikahan ini, meskipun dimulai karena keterpaksaan, bisa berakhir karena pilihan. Pilihan untuk tetap bersama.”

​Aku terdiam, memproses setiap kata yang ia ucapkan. Bayu berjanji akan berjuang. Untuk cinta Andin. Ini bukan lagi tentang Annisa. Ini adalah pertarungan baru, pertarungan yang diawali oleh surat cerai yang terabaikan, dan kini berbalik menjadi janji untuk memulai dari awal.

​Rasa marahku mereda, tergantikan oleh kebingungan yang luar biasa. Pria yang dingin, yang tak tersentuh, kini berdiri di depanku, menawarkan sebuah perjuangan. Apakah ini hanya sandiwara baru? Atau apakah lima tahun kesunyian ini benar-benar telah melukai dirinya, sama seperti melukaiku?

​“Aku tidak tahu, Mas,” bisikku pelan, suaraku kelelahan. “Aku sudah tidak punya sisa tenaga untuk berharap lagi.”

​Bayu tersenyum tipis, kali ini senyum yang lebih tulus, meskipun tetap sedih. “Tidak apa-apa. Kamu hanya perlu beristirahat. Biarkan saya yang berjuang. Biarkan saya yang mengejar. Saya akan membawa kamu kembali ke Jakarta, tapi kita akan kembali dengan aturan baru. Aturan yang jujur. Dan kita akan memulai semuanya dari kamar ini. Karena ini adalah tempat di mana kamu akhirnya berani untuk melawan. Dan saya menghargai keberanianmu itu.”

​Bayu mengambil langkah mundur, memberiku ruang, menghormati batas yang kubuat. Ia kembali ke dekat jendela, mengambil ranselnya.

​“Mulai sekarang, kita tidur di satu atap, tetapi di kamar yang berbeda. Tapi jangan pernah sebut saya ‘Kak Bayu’ lagi di antara kita,” katanya. “Panggil saya ‘Mas’. Saya adalah suamimu, dan saya akan berusaha untuk menjadi suami yang kamu banggakan.”

​Ia menatapku, tatapannya memohon pemahaman. Aku hanya bisa mengangguk, terlalu lelah dan terlalu terkejut untuk membantah.

​Malam itu, di kamar masa remajaku, aku seharusnya merasa bebas karena telah meluapkan semua kemarahan. Namun, aku justru merasa terikat oleh janji baru yang jauh lebih berat: janji Bayu untuk berjuang, untuk memenangkan cinta yang seharusnya ia berikan sejak awal. Sandiwara belum berakhir, tetapi babaknya sudah berganti menjadi genre yang tidak pernah kuduga: sebuah kisah perjuangan, yang dimulai dengan kata ‘Maaf.’

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Mempelai Pengganti    Momen Manis yang Terganggu

    Bab 11: Momen Manis yang Terganggu ​Satu minggu lagi telah berlalu. Total dua minggu sejak insiden Anita, dan tembok kebekuan yang dipasang Andin masih tegak kokoh. Bayu telah mengintensifkan upayanya, dan ia melakukannya dengan ketekunan yang pantas disandang oleh seorang CEO dengan aset miliaran. ​Setiap pagi, ia masih mencoba memasak sarapan. Tidak lagi hanya telur orak-arik gosong, tetapi kini ia mencoba pancake yang bentuknya aneh, atau oatmeal dengan buah-buahan yang disajikan di mangkuk mewah. Hasilnya? Masih jauh dari sempurna, tetapi usahanya tidak pernah gagal membuat Andin tersentuh, meskipun ia bersikeras untuk tetap dingin. ​“Pancake ini seharusnya berbentuk wa lingkaran sempurna, Andin,” keluh Bayu suatu pagi, menatap karyanya yang lebih mirip peta benua yang baru ditemukan. “Tapi entah kenapa, selalu berakhir seperti peta benua yang baru ditemukan.” ​“Mungkin kamu harus menyewa chef pribadi, Mas,” jawab Andin datar, tanpa menoleh. “Keahlianmu ada pada akuisisi s

  • Sang Mempelai Pengganti    Pengejaran di Tengah Kebekuan

    ​Seminggu telah berlalu sejak insiden kotak kue kering yang jatuh di lantai eksekutif Andarsono Group Tower. Andin masih berada dalam mode pertahanan diri total.Tembok emosional yang ia bangun kembali dan menjadi lebih tinggi, lebih tebal, dan dilapisi baja baja sinisme. Ia kembali menjadi istri yang hanya eksis secara fisik di apartemen mewah itu, tetapi jiwanya terkunci rapat di dalam lab, jauh dari jangkauan Bayu.​Setiap pagi, ia bangun, mandi, dan segera pergi ke kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setiap malam, ia makan malam dalam keheningan yang mencekik dan segera mengunci diri di kamar, tenggelam dalam jurnal medis dan data penelitian. Ia tidak ingin lagi memberikan celah. Ia tidak ingin lagi menjadi lunak. Harapan yang hancur adalah rasa sakit yang jauh lebih buruk daripada kebekuan yang abadi.​Sementara itu, Bayu Andarsono, si CEO berwibawa, bertransformasi menjadi seorang suami yang mati-matian mengejar istrinya. Ia berada di antara dua dunia yang sangat kontras.

  • Sang Mempelai Pengganti    Jaring Laba-Laba di Lantai Eksekutif

    ​Beberapa minggu setelah makan malam romantis di puncak kota, kehidupan kami kembali tersusun dalam ritme yang tergesa-gesa. Aku dan Bayu sama-sama berjuang keras untuk menepati janji kami, janji untuk selalu memiliki ‘Andin and Bayu Time’ minimal satu jam sehari. Praktiknya sulit, hampir mustahil. Kami adalah dua orang profesional yang sangat berdedikasi, dengan tuntutan pekerjaan yang sangat berbeda namun sama-sama kejam.​Bayu, Sang CEO, harus berhadapan dengan pasar saham yang fluktuatif, negosiasi yang keras, dan dewan direksi yang menuntut. Sementara aku, Sang Calon Dokter, harus berkubang di laboratorium, menghadapi kegagalan demi kegagalan data, dan tekanan skripsi yang menanti.​Momen-momen intim kami sering kali hanya berupa Bayu yang menemaniku membaca jurnal medis di ruang tamu sambil ia membalas email dengan headset, atau kami berbagi secangkir cokelat panas setelah ia pulang larut malam. Namun, dalam kelelahan itu, ada ketulusan yang kupegang teguh. Bayu tidak lagi sedin

  • Sang Mempelai Pengganti    Bunga Segar dan Janji Pertama

    ​Pagi di Jakarta kembali menyambut Andin dengan hiruk pikuk khasnya. Namun, kali ini, Andin bangun dengan perasaan yang jauh berbeda. Kesunyian apartemen mewah ini terasa tidak lagi mencekik, tetapi seperti kanvas kosong yang siap dilukis. Bayu sudah berangkat pagi-pagi sekali, kembali ke singgasananya sebagai CEO yang tak tersentuh. Tetapi di meja pantry kamarku, ada catatan kecil dengan tulisan tangan Bayu yang tegas: “Sarapan sudah disiapkan di meja makan utama. Jangan lupakan bekal dari Ibu. Dan… kamu terlihat cantik saat tidur, Andin. M.B.” ​Senyumku tak bisa kuelakkan. Sebuah catatan yang begitu cheesy, begitu jauh dari citra Bayu yang berwibawa. ​Aku kembali ke kampus setelah cuti beberapa minggu. Duniaku, dunia kedokteran, sudah menunggu. Skripsiku, penelitianku tentang hepatocellular carcinoma (kanker hati) dan efek obat baru, menuntut perhatian penuh. ​Sesampainya di fakultas, aku disambut dengan kehebohan yang luar biasa. ​“Andin! Ya ampun! Kenapa kamu lama sekali meng

  • Sang Mempelai Pengganti    Dua Wajah Bayu Andarsono

    ​Senin pagi tiba dengan segala kesibukannya yang tenang. Matahari belum sepenuhnya meninggi, tetapi aroma masakan dan kesibukan Ibu di dapur sudah terasa. Pagi ini, ada sedikit melankoli yang menyelimuti rumah desa kami. Kami akan kembali ke Jakarta, ke dunia nyata yang kejam, meninggalkan perlindungan dan kehangatan yang telah kami temukan selama seminggu terakhir.​Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mereka menyiapkan bekal dan oleh-oleh seolah kami akan bepergian ke luar negeri selama setahun. Beragam makanan khas desa seperti abon ikan, keripik singkong pedas, beberapa bungkus nasi kuning, dan berkarung-karung hasil kebun yang dibungkus rapi, ditata dengan penuh cinta ke dalam beberapa tas besar.​“Ini untuk bekal di jalan, Nak. Biar Mas Bayu tidak kelaparan saat menyetir,” kata Ibu, menyodorkan sekotak rendang jengkol kesukaanku. “Dan ini, untuk teman-teman kampusmu, Andin. Bilang saja ini oleh-oleh dari desa. Dan kamu, Mas Bayu, jangan lupa bagikan beberapa pada rekan kerjamu, biar merek

  • Sang Mempelai Pengganti    Janji di Bawah Kelip Bintang

    ​Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.​Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.​“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”​Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”​“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, men

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status