Sebuah mobil sedan yang membawa sepasang suami istri, dan seorang anak lelaki berusia 3 tahun nampak meluncur tak terkendali.
Di depan mobil itu, terpampang sebuah kelokkan tajam lembah Cipanas yang curam dan dalam. Ya, akibat menghindari pengemudi motor yang ugal-ugalan di jalan. Rupanya Sukanta tak bisa melihat, bahwa di depannya terdapat tikungan tajam, “Awas Pahhh..!!” teriak panik dan ketakutan Wulandari sang istri. Sang suami berusaha mengendalikan mobilnya yang oleng. Dan tak sengaja dalam kepanikkannya melihat lembah curam di depannya, Sukanta malah menginjak gas dan rem bersamaan. Brrrmm...!! Ciitttt..!! “Huhuhuuu..! Elang takut Mahh, Pahh,” tangis sang anak, yang menyadari sesuatu yang buruk akan terjadi. “Pahh..! Innalillahi ...!!” teriak sang istri, wajahnya pucat pasi. “Astaghfirullahaladzim ....!!” seru sang suami keras. Dan tak ayal mobilnya menabrak pagar besi di bibir lembah. Braagghhh !! Pagar besi pun roboh. Sadar akan jatuh ke lembah curam yang tinggi, Wulandari membuka lebar-lebar jendela mobilnya dengan tangan gemetar. Lembah curam setinggi 30 meter dengan sungai berbatu-batu besar. Seolah menjadi pemandangan terakhir, yang sangat mengerikkan bagi mereka di bawah sana. “Elang Prayoga,..! Jadilah anak yang sholeh dan pintar ya. Maafkan Mamah dan Papah akan pergi terlalu cepat,” ucap Wulandari gemetar dan mata basah, sambil mencium putra satu-satunya yang bernama Elang Prayoga itu. “Mahh.. Pahh..! Takut Mahh..!” hanya itu seruan yang bisa dikatakan Elang. Wulandari melihat celah semak di bawah yang agak landai. Kendati mobil dalam kondisi melayang jatuh. "Maafkan mamah Elang..!" ucap lirih bergetar Wulandari. Lalu dia melemparkan putranya ke arah semak itu melalui jendela mobil yang terbuka lebar Wushh..! “Mamahhhh !! huhuuuu !” teriakkan terakhir Elang disertai tangisannya terdengar memilukan. “La..ilahaillallah Muhammadarrasulullah !” sebut pak Sukanta, sambil memeluk Wulandari. "Lailahaillallah.. muhammadarrasulullah,” seru Wulandari mengikuti, seraya menyusupkan wajahnya di dalam pelukkan sang suami. Ya, keduanya telah pasrah dan berserah, atas segala takdir yang kini sangat buruk mereka rasakan. Mobil pun jatuh tepat di sebuah batu besar, yang terhampar di sungai kecil itu, Braagghhhhh !! Gedubraakhh !! Bemper mobil langsung hancur seketika, saat menghantam batu besar itu. Lalu mobil ringsek itu pun terpental kembali, dan menghantam batu lain di sebelah kirinya. Dan.. Blaarrrrkhs..!! Mobil pun meledak dahsyat dan berkobar terlalap api..! *** Raungan sirene ambulan terdengar bersahutan nyaring. Rombongan ambulan itu mendatangi lokasi kecelakaan di lembah Cipanas, yang hendak membawa dua jenazah korban kecelakaan. Tampak tim evakuasi telah berhasil mengangkat jenazah Sukanta dan Wulandari, yang dalam kondisi hangus total tak bisa dikenali lagi. Posisi kedua jenazah tersebut membuat siapapun yang melihatnya akan trenyuh, karena masih dalam posisi saling berpelukkan erat. Seolah memperlihatkan, jika janji sehidup semati telah tunai mereka buktikan. Tim evakuasi juga berhasil menyelamatkan seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 3 tahunan, yang dalam kondisi pingsan saat ia ditemukan. Sepertinya anak itu pingsan karena menangis terus menerus, dan tak kuat menahan rasa penat yang dideritanya. Karena terhitung selama 5 jam lebih, anak itu berada di semak-semak di tengah lembah. Sebelum tim evakuasi akhirnya datang menyelamatkannya. Ya, anak kecil itu adalah Elang Prayoga adanya..! Tim evakuasi sama sekali tidak menemukan kartu identitas apapun. Karena semua badan dan isi mobil terbakar total. Elang tersadar, setelah dirinya berada di sebuah rumah sakit. Dan saat itu Elang sama sekali tak bisa bicara. Karena rasa trauma dan shock yang di alaminya. Akibat kecelakaan tragis kedua orangtuanya, yang terpampang langsung di depan matanya. Setelah empat hari berada di rumah sakit, dan tak ada seorang pun sanak family yang menjemputnya. Akhirnya pihak rumah sakit menyerahkan Elang ke yayasan panti asuhan, yang berada satu wilayah dengan rumah sakit tersebut di wilayah Ciawi. *** Telah hampir dua minggu Elang tinggal di panti asuhan ‘Harapan Bangsa’. Sebuah panti yang dikelola oleh seorang ibu yang baik dan penyabar, ibu Nunik namanya. Ibu Nunik dibantu oleh bu Herlin dan bu Sati. Sudah belasan tahun Bu Nunik mengelola panti asuhan itu. Tercatat ada 47 anak yatim piatu, yang tinggal di panti asuhan yang dikelolanya. Dengan Elang termasuk di dalamnya. Pagi itu Elang sudah bangun, seperti halnya anak-anak lain di panti asuhan tersebut. Mereka terbiasa melakukan kegiatan beberes kamar dan lingkungan panti asuhan. Lalu dilanjut dengan berolahraga bersama. Selesai berolahraga maka semuanya berkumpul di aula panti asuhan. Untuk acara sarapan bersama, yang disiapkan oleh bu Herlin dan bu Sati. Menu yang sederhana sekalipun akan terasa nikmat, jika kedua ibu itu yang memasaknya. Elang bisa dikatakan adalah anak terkecil dan termuda, di antara anak-anak yang berada di panti asuhan ‘Harapan Bangsa’. Dengan usianya yang masih 3 tahun, dan masih belum bisa bicara, akibat trauma yang dialaminya. Maka Elang mendapat perhatian khusus dari Bu Nunik. Bu Nunik terlihat sangat telaten merawat Elang. Hal mana sedikit menimbulkan rasa iri, dari beberapa anak yang telah lebih dulu berada di sana. Kali ini Bu Nunik berniat mengajarkan tentang nama anggota keluarga sederhana pada Elang. “Nak, kamu bisa katakan ini siapa ?” tanya bu Nunik. Dia menunjukkan foto sebuah keluarga, yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak. “Ibu,” ucap bu Nunik, sambil menunjuk foto wanita dewasa dalam foto itu. “Ayah,” ucap bu Nunik lagi, sambil menunjuk foto pria dewasa. “Elang,” ucap Elang pelan, sambil menunjuk foto anak laki kecil di foto itu. “A..apa anak ! U-ulangi sekali lagi.!" seru bu Nunik kaget dan gembira sekali hatinya, mendengar sepatah kata yang di ucapkan Elang. “Mamah, Papahh, Elang,” ucap Elang mulai tenang dan jelas, dalam mengucap kata. Ya, Elang menunjuk foto wanita dewasa sebagai Mamah, pria dewasa sebagai Papah, dan anak laki kecil dalam foto itu sebagai dirinya. Bu Nunik langsung menggendong Elang dan mendekapnya erat, hatinya terasa amat bahagia. Sungguh pantas memang Bu Nunik ini menyandang nama sebagai pengelola panti asuhan. Karena memang hatinya begitu penuh kasih dan sayang, bagi semua anak-anak di dalam panti asuhan yang dikelolanya. “Akhirnya kamu bisa bicara anakku, Elang,” ucap bu Nunik serak. Mendengar bu Nunik berkata demikian, bu Herlin dan bu Sati yang berada tak jauh darinya pun mendekat. "Benarkah dia sudah bisa bicara Mbak..?!" seru senang bu Sati. Bu Nunik hanya bisa mengangguk, dengan mata yang masih beriak basah. Ya, sejak pertama kali dia melihat Elang. Entah kenapa hati Bu Nunik langsung merasa suka dan sayang sekali pada anak itu. “Aih aih, anak yang ganteng ini namanya siapa ya ?” tanya bu Sati, sambil mencubit pelan pipi Elang. “Elang Prayoga,” sahut Elang, polos dan jelas. “Wahh. Benar dia sudah bisa bicara !” seru bu Herlin. Hari itu pun suasana di panti asuhan ‘Harapan Bangsa’ diliputi oleh nuansa kebahagiaan. Ya, seorang anak lagi identitasnya bisa diketahui, walau hanya sebuah nama. Ada beberapa anak di panti, yang bahkan pihak panti sendiri yang harus memberi mereka nama. Karena mereka masih bayi saat masuk ke panti asuhan. Hari berganti bulan, dan tahun demi tahun pun berganti. Tak mengenal kata mundur. Tak terasa sudah 15 tahun lamanya, Elang berada di panti asuhan ‘Harapan Bangsa’. Itu artinya Elang sudah menginjak usia 18 tahun lebih saat itu. Elang sudah tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan cukup tampan. Tubuhnya sedang namun berisi. Karena Elang memang rajin bangun pagi, berolahraga, dan membersihkan lingkungan panti, sebelum ia berangkat ke sekolah. Rambutnya berombak tebal, matanya bening dan tajam, dengan tinggi badan sekitar 178cm. Elang baru saja lulus SMA sebulan yang lalu. Banyak teman sekolahnya dulu yang suka mampir di panti. Untuk sekedar ngobrol dan bertanya, soal tugas-tugas sekolahnya. Elang memang anak yang cerdas dan rajin di sekolahnya. Pembawaannya juga supel, sehingga baik teman lelaki maupun wanita banyak yang menyukainya. Bahkan para guru pun menyayangkan, saat Elang tidak melanjutkan pendidikkannya ke perguruan tinggi. Akibat keterbatasan keuangan pihak panti asuhan. “Maafkan ibu ya Elang. Semua perhiasan dan barang berharga di panti ini, jika ibu jual juga belum cukup untuk membiayai kuliahmu Nak,” ucap bu Nunik, yang kini sudah agak renta. Namun tetap berkeras mengelola panti asuhan. “Sementara adik-adikmu juga masih harus meneruskan sekolah mereka. Minimal hingga SMA seperti dirimu Elang,” ucap bu Nunik lagi. “Tak apa-apa Ibu. Elang nggak harus kok melanjutkan ke perguruan tinggi. Yang penting adik-adik bisa terus bersekolah. Elang akan mulai mencari pekerjaan apa saja besok ya bu,” ucap Elang dengan hati trenyuh. Sesak hati Elang, mendengar bu Nunik sampai hendak menjual perhiasan dan barang berharga di panti. Agar dia bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. “Maafkan ibu, Elang,” ucap serak bu Nunik. Dia sangat menyayangkan predikat Elang, yang menjadi bintang pelajar di sekolahnya. Namun keadaan memaksanya harus berakhir seperti itu. “Tak apa Ibu sayang,” ucap Elang seraya mendekap bu Nunik. Perempuan yang telah dianggap, sebagai ibu kandungnya sendiri itu. Elang sangat patuh dan sayang pada ibu yang satu ini. Karena ketulusan hati Bu Nunik telah dirasakannya, sejak ia masih kecil. Malam itu...."Nadya, ada yang lupa kuberitahukan padamu. Soal selisih waktu dimensi itu dengan dimensi kita di sini. Karena waktu sehari di sini, sama dengan 1 tahun waktu di sana Nadya. Andaikan Elang berada di sana 50 tahun, itu berarti di sini hanyalah 50 hari saja Nadya. Semoga saja tak sampai 1 bulan, Elang sudah berhasil menyelamatkan tlatah Kalpataru. Dan bisa kembali ke masa kini," ucap Permadi menjelaskan. "Ahh..! Sebegitu jauhkah perbedaan waktu antara dimensi kita, dengan dimensi itu..?!" seru Nadya terkejut bukan main. "Benar Nadya." "Baiklah Mas Permadi. Katakan pada suamiku, aku akan menunggunya sampai kapanpun itu..!" ucap Nadya serak, namun penuh kemantapqn hati. *** Dan malam itu pun terasa hening dan lengang di Kalpataru. Sebagian besar rakyat Kalpataru tidur lebih awal malam itu. Setelah siang tadi mereka berkumpul di alun-alun kerajaan Dhaka, untuk antri mengambil senjata perang mereka. Sementara Elang bersama poro Sepuh, serta para Panglima kerajaan. Dia baru saja usa
Klekh..! Pintu mobil pagero dibukanya, dan Nadya mencari-cari di sekitar area tape mobil di sana. Dan saat dirinya agak menunduk, mata Nadya tak sengaja melirik ke arah bawah belakang mobil dan ... 'Hahh..?! Bukankah itu koper Mas Elang..?!' seru kaget bathinnya. Nadya ingat betul, karena baru kemarin dia yang menyiapkan koper itu, sebelum Elang pamit padanya. Segera diambil dan dibawanya koper itu ke kamarnya, lalu dibukanya koper itu di dalam kamar. 'Ahh..! Ternyata benar, ini koper yang kemarin kusiapkan untuk Mas Elang..!' sentak bathinnya. Karena semua pakaian dan perlengkapan suaminya juga masih utuh, berada di dalam koper itu. 'Pasti ada yang disembunyikan Mas Elang terhadapku', bathin Nadya agak sedih dan kecewa. Dia merasa Elang tak terbuka padanya. Teringat sesuatu, dia segera beranjak meraih ponselnya. Dicarinya kontak seseorang di sana, lalu ... Tuttt..! Tuutt..!Klik..! "Ya halo Nadya," sapa suara seorang pria disana. "Mas Permadi. Bisakah kita bertemu hari in
Pagi hari di alun-alun kerajaan Dhaka telah ramai dan sesak dengan rakyat Kalpataru. Mereka semua tengah antri, untuk mendapatkan perlengkapan senjata perang dari pihak kerajaan. Secara jumlah, kini pasukkan Tlatah Kalpataru memiliki pasukkan prajurit sekitar 13 ribu orang lebih, pasukkan para pendekar sekitar 1700 orang, dan ditambah pasukkan rakyat yang ikut berperang sebanyak 5 ribu orang lebih. Terkumpul sudah sekitar 20 ribuan orang pasukkan di Tlatah Kalpataru. Semuanya telah siap berperang melawan pasukkan gabungan Tlatah Palapa. Sementara total pasukkan Tlatah Palapa berjumlah 47 ribu orang lebih. Sungguh jumlah yang sangat tak seimbang..! Dan lagi ke 47 ribu pasukkan Tlatah Palapa itu, semuanya adalah para prajurit dan pendekar, yang benar-benar siap tempur. Elang masih duduk bersila melakukan hening di puncak bukit Karang Waja. Dia memang sudah melakukan hening sejak fajar belum lagi menyingsing di sana. Nampak Elang tak sendiri di sana. Karena di sekitar bukit Karang
"Siapp..!! Paduka Maharaja Yang Mulia..!!" seru mereka semuanya patuh. Rasa respek dan kebanggaan mereka semua terhadap sang Maharaja Mahendra semakin melambung ke titik tertinggi. 'Kaulah pemimpin terbaik kami sang Maharaja Mahendra..!' seru bathin mereka. "Ayahanda Prabu, ijinkanlah Ratih, Nilam, Arum, Sri, dan Citra, untuk ikut bergabung dengan pasukan para pendekar tlatah Kalpataru," ucap Ratih Kencana. Dia mewakili semua putri-putri Raja wilayah di Tlatah Kalpataru. Para putri Raja yang cantik itu semuanya berdiri menunduk di belakang putri Ratih Kencana, yang sedang menghadap sang Maharaja. "Baiklah Putriku dan kalian semuanya. Mulai saat ini, kalian semua kuijinkan bergabung dengan pasukan para pendekar..!" ucap tegas sang Maharaja mengijinkan. "Terimakasih Ayahanda Prabu." "Terimakasih Paduka Yang Mulia..!" ucap para putri Raja wilayah di belakang Ratih. "Mas Elang..!" seru seorang wanita, yang berjalan cepat mendekati Elang. "Ohh, kau Cendani. Bagaimana kabarmu..?"
Ya, rakyat Kalpataru telah bangkit serentak dan bergerak. Demi pembelaan mereka atas nasib tanah air dan anak cucu mereka nantinya. Mereka tak ingin melihat anak cucu mereka menderita, teraniaya, dan tertindas. Karena kelaliman penguasa seperti Maharaja Tlatah Palapa, yang sudah tersebar kekejamannya terhadap rakyatnya sendiri. 'Terhadap rakyatnya sendiri saja dia kejam. Apalagi nanti pada kami yang cuma rakyat jajahan'. Demikianlah ketakutan dan kecemasan, yang menghantui rakyat Tlatah Kalpataru. Mereka ingin menunjukkan pada anak cucu mereka kelak. Bahwa berhasil atau pun gagal, anak cucu mereka akan melihat sejarah. Bahwa para leluhur mereka tak diam saja, dan pernah 'berjuang'..! Baik untuk tanah air, dan juga nasib keturunan mereka di kemudian hari. Elang tertegun diam menatap itu semua. Tak terasa matanya beriak basah, melihat 'tekat dan pengorbanan' rakyat Kalpataru itu. Bahkan sang Maharaja Mahendra sendiri 'tak pernah' meminta bantuan dari rakyatnya. Namun malah raky
"Gila..!!" tanpa sadar Kebo Sena berseru kaget dan terkesima. Dia benar-benar tak pernah menyangka. Jika ada pendekar dari Tlatah Kalpataru, yang memiliki 'power' dahsyat di luar batas perkiraannya. Sesungguhnya, kemampuan Kebo Sena sendiri adalah sebuah 'keajaiban' di tlatah Dewata. Dialah pendekar tanpa tanding di sana. Hingga sang Maharaja Sadhu Palladewa mengangkatnya, menjadi Panglima Tertinggi di Tlatah Dewata. Namun kini, setelah Kebo Sena menyaksikan 'power' dahsyat yang diledakkan Elang. Maka dirinya langsung menyadari, jika 'power'nya masih berada jauh di bawah pendekar dari Tlatah Kalpataru itu. Slaphs..! Elang langsung melesat lenyap dari hadapan Kebo Sena, yang masih tertegun di tempatnya. Kebo Sena masih tergetar takjub dan ngeri, merasakan dahsyatnya intimidasi hempasan gelombang energi Elang. "Ehh..!!" dan Kebo Sena tersentak sadar, setelah Elang tak lagi berada di hadapannya. 'Luar biasa..! Sepertinya mau tak mau, aku harus berhadapan dengannya nanti di medan