Malam itu Elang tidur dengan nyenyak. Setelah dia membantu Bu Sati mencuci piring di dapur, dan menyapu aula panti.
Bu Sati memang terbiasa mencuci piring di malam hari, saat anak panti rata-rata sudah tertidur pulas. Elang yang melihatnya saat lewat dapur merasa kasihan. Dia lalu menyuruh Bu Sati untuk istirahat saja lebih awal, dan membiarkan Elang yang mencuci piring. Akhirnya Bu Sati beranjak ke kamarnya untuk tidur lebih awal. ‘Kasihan Bu Sati. Usianya sudah 57 tahun, namun masih harus bekerja keras di panti’, ujar bathin Elang, sambil menatap sosok bu Sati, yang sedang melangkah ke arah kamarnya. Elang mulai mencuci piring, benaknya teringat pembicaraannya dulu dengan Bu Sati, “Bekerja di sini adalah panggilan hati ibu, Elang. Ibu hanyalah janda tanpa anak, saat mulai bekerja di sini. Dan ibu merasa disinilah tempat ibu, bersama anak-anak yang tak tahu harus berlindung ke mana. Melihat anak-anak tersenyum merasakan kebahagiaan dan kehangatan di panti ini. Adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, di hati ibu, Elang,” ucap Bu Sati saat itu. “Terimakasih Bu Sati, maafkan Elang belum bisa membalas membahagiakan Ibu,” jawab Elang saat itu. “Jangan jadikan itu beban di hati Elang. Ibu sudah bahagia melihatmu tumbuh jadi pemuda yang gagah, pintar, dan ganteng seperti sekarang,” jawab bu Sati, seraya mengusap pundak Elang. Elang tersenyum getir mengingat percakapan itu. Tak terasa semua piring telah di cuci olehnya. Elang beranjak dan menata piring-piring yang telah dicucinya ke rak piring. ‘Selesai, sekarang saatnya tidur’, bathinnya. Elang masuk ke kamar dan merebahkan diri di ranjangnya. 'Jam 11 malam lewat’, ujar bathinnya, setelah melihat jam dinding di kamarnya. Tak lama Elang pun terlelap dalam tidur yang pulas. Setelah beberapa jam terlelap, Elang pun bermimpi. Samar-samar Elang seperti mendengar namanya di panggil-panggil oleh seseorang. Panggilan itu lirih dan bergema, namun terdengar sangat jelas di telinga Elang. “Elang. Wahai putra Sukanta dan cucu dari Balawan. Bangunlah.. kemarilah. Temui buyutmu Ki Sandaka ini cicitku,” ucap suara itu, seolah menembus dari jarak yang sangat jauh dan bergema. Dalam mimpinya itu, Elang seolah melihat dirinya sendiri bangun dari tidurnya. Dia pun mencari arah dari mana suara itu datang. Elang melihat dirinya berjalan di suatu tempat yang sangat asing baginya. Di depannya kini terlihat sebuah rumah gubuk, dengan atapnya terbuat dari jerami. “Masuklah cicitku Elang. Jangan ragu,” ucap suara yang samar-samar, namun jelas terdengar itu. Kriett..! Pintu rumah gubug yang terbuat dari anyaman bambu itu, tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Elang melihat dirinya masuk dengan perlahan ke dalam gubug itu. Dan setibanya di dalam gubug itu, Elang pun terhenyak. Dia melihat seorang lelaki sepuh, yang tampak telah sangat renta. Lelaki sepuh nampak sedang duduk di tengah balai bambu. “Aki siapakah ini yang memanggil Elang..?” tanya Elang agak takut. Elang masih belum mau percaya, bahwa lelaki tua renta ini adalah aki buyutnya. “Aku Ki Sandaka buyutmu, Elang. Tanda toh berbentuk kembang berdaun tiga, selalu ada dalam tubuh anak keturunanku Elang. Padamu ada di lengan kiri, pada Ayahmu Sukanta ada di betis kaki kanannya. Dan pada kakekmu Balawan, tanda itu ada di punggung kirinya. Masihkah engkau meragukannya, Elang cicitku..?” ucap Ki Sandaka seraya tersenyum tenang. "Hah..!" Elang pun terhenyak kaget. Karena apa yang di ucapkan Ki Sandaka memang benar adanya. Hampir setiap Elang mandi, dia selalu memperhatikan tanda ‘toh’ yang ada di lengan kirinya itu. Dan bentuk toh itu memang seperti kembang berdaun tiga! Melihat cicitnya yang masih berada dalam kebimbangan itu. Ki Sandaka kembali berkata.. “Hmm. Tak menjadi soal, jika kau masih ragu terhadapku cicitku. Maksud buyut memanggilmu ke sini adalah, buyut hendak menawarkan beberapa ilmu keturunan leluhur kita. Agar ilmu itu bisa menjadi bekalmu, dalam menjalani kehidupan yang makin sulit ini, Cicitku,” ucap Ki Sandaka, sambil tersenyum menyejukkan. Elang pun terdiam sejrnak, mencerna ucapan Ki Sandaka itu. “Kalau Elang boleh tahu. Ilmu keturunan macam apakah itu Ki buyut..?” tanya Elang “Ilmu turunan itu berisi beberapa jurus ilmu Kanuragan, Kadigjayan, dan beberapa ajian asmara, cicitku Elang,” sahut Ki Sandaka menjelaskan. Elang bersorak senang dalam hatinya. Namun dia juga masih merasa takut terperosok, dan mempelajari ilmu yang terlarang. “Apakah Ayah saya tidak mempelajarinya Ki Buyut ?” tanya Elang lagi. “Tidak Elang. Kakekmu melarang Ayahmu mempelajarinya. Karena Balawan takut, jika Ayahmu menyalah gunakan ilmu turunan itu, Elang,” jawab Ki Sandaka. “Buyut tidak akan memaksamu mempelajari ilmu turunan itu Elang. Tapi melihat kehidupanmu saat ini, buyut merasa kau memerlukannya cicitku Elang,” ucap Ki Sandaka lagi. “Apakah kau tidak ingin membantu meringankan beban pengelola panti yang telah merawatmu..? Apakah kau tidak ingin mengetahui alamat rumahmu yang sebenarnya..? Dan apakah kau tidak ingin membantu banyak orang yang kesusahan..? Dan apakah kau tak ingin menemukan cinta sejatimu, Elang ? Semuanya akan bisa kau lakukan dan dapatkan, jika kau sudah menguasai ilmu turunan keluarga kita, cicitku Elang,” urai Ki Sandaka menjelaskan. Namun belum lagi Elang menjawab semua pertanyaan Ki Sandaka itu. “Ahh..! Rupanya waktu tak mengijinkan buyut berlama-lama menemuimu dalam mimpi Elang. Buyut kembali dulu. Dan pertimbangkanlah baik-baik pesan buyut. Sampai jumpa esok malam cicitku Elang,” ucap Ki Sandaka. Lalu perlahan tubuhnya memudar dan sirna bagai asap. “Aki Buyutt..!” seru Elang, ia pun tergagap bangun. ‘Ahks..! Rupanya ini hanya mimp!' gerutu bathinnya. Elang melihat ke arah jam dinding kamarnya, yang saat itu menunjukkan pukul 04:15 menjelang subuh. ‘Tapi mimpi barusan seperti nyata adanya’, desah bathin Elang. Akhirnya dia bangun dari tempat tidurnya, dan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. *** “Maaf Bu Nunik. Bukan saya tidak mau mengantar bahan-bahan makanan lagi ke panti ini. Tapi kondisi kami juga sedang sulit. Jadi untuk sementara, kami belum bisa mengirim lagi bahan-bahan makanan ke panti ini,” ucap Pak Baskoro, dengan nada sedih. Selama ini memang panti agak terbantu, dengan kiriman bahan-bahan makanan darinya. Baskoro adalah salah satu orang yang peduli, dengan kondisi panti selama ini. Sudah hampir 7 tahun dia menjadi donatur tetap, di panti ‘Harapan Bangsa’. Namun kali ini, awan gelap tengah menyelimuti keluarganya. Sang istri tercinta tiba-tiba menderita sakit parah dan aneh. Hingga para dokter pun menggelengkan kepala, atas jenis penyakit yang di derita sang istri. Tak terhitung sudah pak Baskoro mengeluarkan dana, untuk kesembuhan istrinya itu. Baik pengobatan medis maupun non medis telah dilqkoninya. Hingga para tabib maupun kyai ternama sudah di jelajahinya. Namun kondisi sang istri tetap tak berubah menjadi lebih baik. Hingga akhirnya pak Baskoro mengambil langkah mundur sementara sebagai donatur panti. Karena mengingat kondisi keuangannya yang tak lagi lancar seperti dulu. “Ahh, tak apa-apa Pak Baskoro. Kami mengerti dasar keputusan Bapak. Kami dan seluruh anak-anak panti hanya bisa mendo’akan. Semoga Bu Baskoro selalu dalam naungan dan lindungan Allah SWT, serta disembuhkan dengan sempurna. Aamiin,” ucap bu Nunik, dengan nada yang juga turut bersedih. Elang yang kebetulan sedang menyapu ruangan tengah, yang berada di belakang ruang tamu. Tak sengaja dia ikut mendengar pembicaraan tersebut, dan dalam hatinya pun jadi ikut bersedih. Bathinnya seolah menyesali diri. Karena dia tak bisa membantu panti dalam situasi sulit itu. Dan Elang juga ingin membantu pak Baskoro, yang telah begitu baik pada panti mereka selama ini. Elang merasa tak berdaya dan juga tak berguna saat itu. ‘Hei Elang ! Apa yang bisa kau lakukan dalam kondisi sulit ini..? Betapa tak berdaya dan bergunanya kau ini. Hanya bisa numpang makan dan di sekolahkan selama ini !’, vonis bathin pada dirinya sendiri. Seolah menyalahkan ketak berdayaan diri Elang saat itu. ‘Ahhh..!‘Ahhh..! Andai mimpi semalam benar-benar bisa jadi nyata. Aku pasti akan menyetujuinya saja. Semoga nanti malam Aki Buyut benar-benar hadir lagi dalam mimpiku’, bathin Elang bertekad. Elang sangat menyesali kebimbangannya, dalam mimpi semalam. Elang bertekad akan menyetujui tawaran mempelajari ilmu turunan keluarganya itu. Jika memang benar mimpi itu bisa jadi kenyataan. “Mas Elang..! Mas..! Dito nakal tuh..!" seorang anak kecil perempuan usia 6 tahunan berlari kecil, dan menubruk Elang sambil mengadu.“Aduh..! Hati-hati Nindi, kamu bisa jatuh nanti,” ujar Elang, sambil memegang tubuh Nindi yang merapat di belakangnya. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki kecil seusia Nindi datang menyusul, “Nah ya..! Kamu di sini Nindi pelit..!” seru bocah itu, sambil berusaha mendekati Nindi, seolah hendak memukulnya. “Hei..hei, Dito..! Nggak boleh begitu ya, sama anak perempuan,” ucap Elang menengahi mereka. “Habis Nindi pelit sih Mas Elang..! Masa suruh gantian main ayunan gak mau..!”
“Nah Elang. Apakah sekarang kamu sudah siap buyut wedar..? Lalu buyut akan isi tenaga dasar ilmu turunan keluarga kita Elang ?” tanya Ki Sandaka tenang. “Siap Ki Buyut,” sahut Elang mantap. “Kalau begitu naiklah ke balai ini, dan duduklah bersila seperti buyut,” perintah Ki Sandaka. Elang pun naik ke atas balai bambu itu, dan duduk bersila seperti posisi Ki Sandaka. Sementara itu Ki Sandaka terlihat berdiri. Namun Elang spontan bergidik ngeri. Karena dia melihat kaki Ki Buyutnya itu mengambang di udara, tak menapak di atas balai. “Hehehee. Jangan takut cicitku. Ini karena buyut sudah berbeda alam denganmu, Elang,” Ki Sandaka terkekeh, melihat kengerian Elang. “Sekarang bersiaplah Elang. Pejamkan matamu dan bertahanlah, jika ada sesuatu yang dingin dan hangat mengalir di dalam tubuhmu,” ucap Ki Sandaka. “Baik Ki Buyut,” ucap Elang tanpa ragu lagi. Elang langsung memejamkan matanya, seperti yang di arahkan oleh Ki Buyut. Nafasnya pun mulai teratur tenang, dalam posisi bersila.
“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang. “Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri.“Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun i
“Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses
“Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le
"Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh
"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
'Wah..! Gadis yang masih belum pernah digoyang sepertinya ini', gumam bathin sang pemuda bercodet penuh hasrat. "Kalau begitu silahkan kau mandilah dulu. ! Aku menunggu kau selesai..!" seru Ratih kesal, seraya membalikkan tubuhnya. Ratih beranjak hendak kembali ke gubuk. Dia sebenarnya marah dan risih. Melihat mata jelalatan berminyak si pemuda codet, saat menatap tubuhnya tadi. Namun menyadari keadaan dirinya, yang memang hanya menutupi tubuhnya dengan kain. Maka Ratih memutuskan untuk kembali dulu ke gubuk, dan berganti pakaian di sana. Melihat calon 'kelonannya' beranjak hendak pergi. Tentu saja si codet tak bisa tinggal diam. Hasrat dalam dirinya sudah terlanjur membara di pagi hari itu. "Hei..! Mau kemana kau gadis denok..?!" Srath..! Pemuda codet itu berseru, seraya melesat cepat dari dalam sungai. Taph. ! Sosok si codet mendarat ringan di depan Ratih, yang tengah menuju ke gubuk. Nampak badan si codet masih basah dengan air, begitu juga celana kain yang dipakainya basah
"Ahh..! Terimakasih Elang," ucap Ratih lirih. Kini wajah pucatnya telah kembali memerah segar. Setelah racun asap hitam yang terhirup olehnya, berhasil dimusnahkan oleh Nyi Naga Biru tadi. "Bukan apa-apa Tuan Putri. Sekarang tunggulah sebentar di sini ya. Biar kuambil dulu perbekalan kita yang tertinggal di rumah itu," ucap Elang tersenyum lembut. Ratih hanya menganggukkan kepalanya, hatinya mulai luluh dengan sikap lembut Elang terhadapnya. Slaph..! Elang langsung melesat lenyap dari hadapan Ratih. 'Ahh..! Kenapa aku tak bisa lagi membenci dirinya sekarang? Ternyata dia sungguh dewasa dan lembut dalam usianya. Namun aku takut dan malu, jika dia membaca isi hatiku', bathin Ratih. Kini dia menyesal, karena telah meremehkan peringatan Elang soal pasukan Panglima Api. Ternyata apa yang diduga dan dikatakan Elang benar. Bahwa pasukan Panglima Api telah menguasai istana Kademangan. *** Keesokkan harinya terjadi kegegeran di tlatah Kalpataru dan sekitarnya. Seluruh perguruan sila
"Sungguh biadab gerombolan Panglima Api itu..! Baiklah Bapak, ada sesuatu yang harus saya lakukan. Biarlah mayat kedua orang brengsek itu saya bawa, dan memvuangnya keluar batas wilayah ini," maki Elang geram, seraya beranjak pamit pada sang bapak. Elang melangkah kembali ke dalam ruangan tengah, yang nampak sudah dibersihkan oleh ibu dan anak perempuannya itu. Dilihatnya dua sosok tubuh tanpa kepala, dari dua orang berpakaian hitam itu. Kini kedua mayat itu telah dijajarkan di lantai, oleh ibu dan anak perempuannya. "Ibu, Adik. Biar saya bawa kedua mayat ini." Seth..! Slaph! Elang berkata seraya melesat meraih dua sosok mayat itu, dan langsung melesat lenyap melalui pintu rumah yang memang saat itu terbuka lebar. "Tuan Pendekar..! ... Ahh! Sungguh bodoh aku tak menanyakan namanya sejak tadi Bu..!" seru si bapak menyesali dirinya. "Aduh..! Ibu juga lupa bertanya padanya Kangmas," seru si ibu, dengan rasa sesal yang sama. Taph..! Brugh..!! Elang hinggap di atas pagaran kayu-ka
"Aduhhs..!" Braghk..! Teriak sang Ibu mengaduh, sosoknya terhuyung menabrak dinding kamar. Akibat tendangan pria kasar itu. Namun dia tetap keukeuh tak mau keluar dari kamarnya. "Hei perempuan keras kepala! Keluar dari kamar, atau kugorok batang leher suamimu ini..!" ucap lelaki berpakaian hitam yang satu lagi dari luar kamar. Rupanya suami wanita itu telah ditelikung, dengan leher berkalungkan golok tajam yang berkeredepan. Golok itu siap ditarik, untuk menggorok leher sang suami. Sementara sang suami sendiri terlihat pasrah tak berdaya, dalam telikungan orang berpakaian hitam tersebut. "Kangmas..! Aduhh..! Ja-jangan bunuh suamiku Paman..! Aduh..! Bagaimana ini..?! Huhuhuu..!" seru panik sang wanita, dirinya menjadi bingung memilih, di antara pilihan yang sama beratnya. "Ibu..! Cepat Ibu keluar saja, biarkan Paman jahat itu memperkosaku. Selamatkan Bopo, Ibu..! Tsk, tsk..!" seru putrinya yang masih berusia 14 tahun itu, seraya terisak pedih. Ya, dia merasa sudah tak ada harap
'Baik Elang! Aku percaya padamu! Aku akan tetap setia pada kerajaan Kalpataru, hingga tetes darah terakhirku..!' tegas bathin Suralaga. Dia merasa yakin, jika pemuda utusan dari Maharaja Kalpataru benama Elang itu, pasti bukanlah orang sembarangan. "Tuan Putri, aku ingin bicara denganmu sebentar," ucap Elang, saat dia melihat Ratih langsung saja ingin memasuki kamarnya. "Katakan saja yang ingin kau bicarakan Elang," sahut Ratih seraya menahan langkahnya, dia pun berbalik menuju ke ruang tengah rumah. Nampak satu set meja kursi ukir dari kayu jati telah tersedia di sana. Lalu Ratih pun duduk, diikuti oleh Elang yang juga ikut duduk di seberang Ratih. "Tuan Putri, sebaiknya kita tidak bermalam di sini. Aku merasa Kademangan ini sudah dikuasai oleh pasukan Panglima Api," ujar Elang membuka percakapannya. "Elang..! Aku peringatkan kau..! Jangan menduga sembarangan tanpa bukti..! Apa buktinya, kalau kademangan ini sudah dikuasai oleh Panglima Api?!" seru Ratih, yang langsung emosi m
"Paman Suralaga. Aku ditugaskan Ayahanda Prabu Mahendra Wijaya, untuk mengawasi adanya gerakan pemberontakkan. Pemberontakkan yang dihembuskan oleh 5 Panglima Petaka, murid dari Resi Mahapala. Kelima Panglima Petaka itu diduga telah menyusup ke wilayah 5 kerajaan bawahan Kalpataru. Sekarang harap Paman Suralaga berkata jujur. Apakah memang ada salah satu pasukan pemberontak, dari kelima Panglima Petaka itu di kerajaan Dhaka ini..?" Ratih menjelaskan, sekaligus bertanya penuh selidik pada Suralaga. "Ampun Gusti Putri, hamba sama sekali tidak mengerti mengenai masalah itu. Kiranya hanya Prabu Samaradewa di istana, yang punya pengetahuan soal itu. Karena sang Prabu pasti memiliki para telik sandi, yang tersebar di seluruh wilayah kerajaan Dhaka ini," sahut Suralaga, seraya menundukkan wajahnya. 'Degh!' "Hmm. Ada yang tak jujur dalam perkataan Suralaga ini', bathin Elang berdesir seketika. Dia mengetahui dan bisa menangkap sinyal 'kedustaan', dalam ucapan Suralaga itu. Namun Elang
"Hhhh..!" Elang hanya menghela nafas kesal menyaksikan kejadian itu. Dia tak menyalahkan Ratih, jika gadis itu sampai menghabisi nyawa prajurit sial, dan kurang ajar itu. Dia hanya menyesalkan kejadian itu terjadi, di hari pertama pengembaraannya di tanah masa silam ini. "Wanita keji..! Sebutkan namamu dan apa tujuanmu masuk ke wilayah kadipaten Kalimaja ini..?!" seru seorang prajurit, dengan hati bergetar ciut. Kini dia menyadari, bahwa wanita yang mereka hadapi ini bukanlah wanita sembarangan. Seth..! Plukh..! Ratih melemparkan plakat emas kerajaan pusatnya, yang jatuh tepat di hadapan para prajurit itu. "Hahh..?! P-plakat utusan dari kerajaan Kalpataru..!" seru gugup seorang prajurit, yang mengenali benda itu. Seketika bulu kuduknya meremang ngeri, tubuhnya pun langsung lemas bagai tak bertulang. Rekan prajurit lainnya yang tiga orang itu, juga terlihat gemetar dengan wajah pucat pasi. Kini mereka semua sadar, bukan tidak mungkin wanita jelita yang tampak sederhana itu adal
"Hati-hati Gusti Putri..! Hati-hati Elang..! Semoga restu para Dewa selalu bersama kalian," seru Ki Jagadnata, pada mereka berdua. "Hati-hati Gusti Putri! Mas Elang! Kembalilah dengan selamat!" seru Cendani serak. Ada perasaan kehilangan yang menggigit hatinya, saat melihat Elang mulai menghela kudanya menjauh bersama sang putri. Ya, sebuah rasa yang tak pernah dia pahami, kini mulai meraja di hati Cendni. Pada siapa..?! Tentu saja pada pemuda asing bernama Elang itu! Setelah membetulkan letak buntalan kain perbekalannya, Elang pun memancal si 'Keling', untuk mengejar sang Putri yang telah agak jauh di depannya. "Hsaahh!" si Keling kini menambah kecepatan larinya, mengejar kuda Ratih Kencana. Gadis itu bahkan tak pernah menoleh sekalipun ke arah Elang, yang berada di belakangnya. Hanya terkadang saja sang putri melambatkan lari kudanya. Untuk menunggu Elang sejajar dengannya, lalu memberitahukan arah yang akan mereka lalui. Setelah itu kembali sang Putri mendahului, dengan 'mem
"Hiyaahh..!" Byaarsh..!Seketika muncul cahaya hijau terang menyelimuti sosok Elang, tepat saat dua larik cahaya hitam lontaran Singayudha menghantam. Blaarsh..! Spraath..! Dua larik cahaya hitam ambyar seketika. Tak mampu menembus selubung cahaya hijau terang milik Elang. "Hah..?! Tak mempan..!" seru sekalian orang, yang menyaksikan hal itu. 'Gila si Elang ini..!' seru bathin Ratih. Ratih cukup paham dengan kekuatan aji 'Singa Putih Mencabik Langit' milik Singayudha itu. Ajian yang bahkan mampu menumbangkan seekor gajah liar sekalipun. Namun berhadapan dengan Elang, pukulan itu bagai tak ada 'taji'nya sama sekali. Hanya Ki Jagadnata saja, yang tak nampak terkejut dengan kejadian itu. Karena dia memang sudah sangat yakin dengan kemampuan Elang. Ya, Senopati Singayudha sepertinya masih harus belajar 100 tahun lagi, jika ingin setara dengan Elang. Ki Jagadnata hanya tersinyum simpul, melihat hal itu. 'Hmm. Baiklah, akan kuterapkan kekuatan baruku padanya sebagai uji coba', bath