"Ok honey," sahut Keina, sambil menutup pintu kamar mandi. Tepat jam 7:55 Keina checkout dari hotel dan langsung menuju stasiun Tugu Yogyakarta, yang berada di jalan Pasar Kembang yang tak jauh dari Hotel Asri. Tak sampai 10 menit mereka sudah sampai di stasiun Tugu Yogyakarta. Elang tak ikut masuk ke dalam peron, dia hanya memberikan tas dorong Keina pada seorang porter yang agak sepuh. Porter itu pun dengan senang hati menerima order jasanya pagi itu. Keina menatap Elang lama sekali, sebelum masuk ke dalam stasiun. Tiba-tiba saja Keina memeluk Elang erat sekali. Keina membenamkan wajahnya di dada Elang, mata indahnya terlihat beriak basah. “Berjanjilah kau akan datang ke negaraku Mas Elang,” Keina berkata serak. “Iya Keina, saya akan menyempatkan waktu membuat pasport nantinya,” sahut Elang meyakinkan Keina. Di kecupnya kening Keina, yang nampak resah di saat perpisahan mereka ini. “Aku menunggumu Mas Elang, selalu menunggumu..” Keina pun membalikkan badannya, memasuki sta
“Ayah dan Ibu bercerai Om,” sahut Bimo. Sementara suara rintihan kesakitan ketiga pemuda begajulan itu, seakan menjadi ‘sound back’ pembicaraan antara Elang dan Bimo. Sungguh aransemen yang sempurnah! “Baiklah Bimo, kamu ikut Om saja. Sementara kamu bisa tinggal di rumah nenek Om dulu. Sampai nanti kamu bertemu Ibu dan Kk Nina ya,” akhirnya Elang mengambil keputusan yang dirasanya tepat. Dia bisa melihat sifat kejujuran dan ketabahan hati, dari bocah yang satu ini. “Terimakasih Om, nama Om siapa ya?” ucap Bimo terharu, baru kali ini dia menemukan orang sebaik om ini dalam hidupnya. Matanya pun beriak basah. Padahal saat dia di pukuli dan di aniaya oleh ke tiga pemuda tadi, sama sekali tak ada air mata di pipinya. Bocah yang tegar! “Elang, itu nama Om, Bimo.” “Terimakasih Om Elang,” titik air mata bergulir jatuh, saat Bimo mengucapkan rasa terimakasihnya pada Elang. Elang langsung membawa Bimo ke toko pakaian. Disuruhnya Bimo berganti pakaian langsung di toko itu. Lalu Elang m
"Hahahaa..! Keina, saya sudah terbiasa hidup dalam kekurangan sejak kecil.” “Jangan berkata begitu Mas Elang, bukankah Mas yang mengajarkan Keina untuk berbagi kehidupan. Jadi anggap saja Keina titip uang itu untuk di bagikan pada yang membutuhkan, kalau perlu Keina akan mengisi rekening Mas Elang setiap minggu ya.” “Waduh, jangan Keina. Cukup. Terimakasih ya. Baiklah Mas terima pemberian Keina, tapi jangan kirim lagi ya. Jumlah ini sudah terlalu banyak buat saya,” suara Elang terdengar panik, dia paling anti berhutang budi terlalu banyak pada orang. “Hihihi..! Mas Elang lucu. Mau dikirimkan uang malah ketakutan, Mas Elang orang baik. Keina makin sayang sama Mas Elang. O iya Mas Elang, Keina baru saja tiba di hotel. Keina istirahat dulu ya Mas Elang.” “Iya Keina, beristirahatlah. Kamu pasti lelah sekali, selamat tidur Keina.”Klik.! Tak lama Elang pun tertidur pulas, karena tubuhnya memang membutuhkan itu. *** “Nadya, sampai kapan kau akan menyendiri begini Nak?” tanya Sunda
“Wahh! cincin ini bagus sekali Mas Elang. Nadya suka sekali Mas,” seru Nadya dengan mata berbinar gembira. Ya, Nadya merasa bahagia sekali, menerima pemberian teromantis dari seorang pria, sebuah cincin! Elang memandang tercengang ke wajah Nadya, yang auranya kini nampak hijau ke emasan bagai seorang ratu. ‘Jelita sekali kau Nadya, rupanya kharisma cincin Mustika Nagandini itu memang berjodoh denganmu’, bathin Elang. Nagandini adalah nama Ratu dari sekalian ratu para naga di tanah Jawa berabad lampau. “Kamu cantik sekali Nadya. Jaga dirimu baik-baik ya," Elang berkata sambil meremas lembut tangan Nadya. “Terimakasih Mas Elang. Mmfh,” tak disangka oleh Elang, Nadya mengucap terimakasih sambil berjinjit mencium pipinya. Lalu langsung beranjak menuju kamar ibunya. Elang meneruskan langkahnya ke teras rumah. Dilihatnya Bambang sudah duduk di sana seolah menunggunya. “Sudah mau berangkat Elang?” tanya Bambang tersenyum. “Iya Pak, saya hendak menuju ke arah Surabaya Pak Bambang,” s
Tatapan mata Kamal pun sontak “berubah ‘hijau’. Saat dia melihat wajah cantik, serta tubuh ramping padat milik Ayu. Ayu yang saat itu kebetulan menggunakan kaos lengan panjang krem muda ketat, serta celana legging sebatas betis, cukup membuat mata Kamal nanar. Ayu, gadis berusia 19 tahun lebih, dan memasuki semester 4 kuliahnya di UNS. Gadis itu memang terhitung sebagai salah satu ‘primadona’ di kampusnya. Maka tak heran jika mata Kamal menjadi berminyak dan liar, menyusuri lekuk tubuh putri Brian ini. “Siapa namamu cah ayu?” tanya Kamal menyeringai. Nampak mata liarnya bergantian melirik ke arah bokong padat, dan buah kembar mencuat di tubuh Ayu. “Saya Ayu, Pak,” Ayu menyahut singkat. Ya, hati Ayu merasa muak bukan main, melihat pandangan ‘liar’ dari tamu ayahnya itu. Bahkan tamu itu terlihat lebih tua dari ayahnya sendiri. “Hmm. Cah ayu yang Ayu,” gumam Kamal, dengan mata menyeringai penuh hasrat. Ayu bergegas kembali ke belakang. Dia enggan menanggapi gumaman tamu ayahnya
‘Degghh!’ Jantung Brian sontak berdetak kencang. Karena uang yang dikumpulkannya masih kurang separuh, dari angsuran yang harus di bayarnya. Bergegas Brian menuju kamarnya, dan mengambil sejumlah uang yang masih kurang itu, untuk membayar tagihan Kamal. Dia pun melangkah menuju ke ruang tamu, dan menemui Kamal. Nampak saat itu Kamal sudah duduk angker di sana, dengan dikawal oleh 2 penjaga di belakangnya. “Bagaimana Pak Brian, sudah kamu siapkan uang angsurannya?” Kamal bertanya serius. Sesungguhnya dia tak berharap Brian bisa membayar angsurannya. Karena dia mengharapkan ‘sesuatu’ yang lain, sebagai kompensasinya. Dia sudah menenggak satu setengah sloki ‘madu lanang’ sebelum berangkat ke rumah Brian ini. Sungguh ‘niat’ buaya bangkotan berusia 55 tahun ini. “Mohon maaf sebelumnya Pak Kamal. Saya baru bisa membayar separuh dulu, dari angsuran hari ini. Sisanya akan saya bayarkan dua hari lagi Pak,” Brian berkata sambil menyerahkan uang sebesar 1,25 miliar rupiah dalam koper, ya
“Ahks..” lenguh kegelian Meta mulai terdengar. Ini hal yang menggembirakan bagi Kamal. Langsung saja dia menarik lepas bra krem milik Meta dengan lembut, ‘Ahh! Kenapa bajingan tua ini lembut sekali permainannya? Aku takkan tergoda!’ bathin Meta, memaki perlakuan lembut Kamal pada tubuhnya. Kamal mulai mencucupi kedua ‘puncak’ buah kembar Meta bergantian, dengan hisapan lembut dan sapuan-sapuan lidahnya di sana. Sementara tangan kanan Kamal mulai bergerilya, ke arah pusat lembah di pangkal paha Meta. Tangan Kamal lincah menyusup ke dalam celana dalam Meta. Jari Kamal pun mulai beraksi, menelusuri lembut di sekitar ‘belahan surga' milik Meta. Sekuat-kuat pertahanan wanita ‘dipastikan’ akan jebol..! Jika dirinya dijelajahi dan dimainkan dengan lembut dan penuh perasaan. Hal yang kini sedang dilakoni oleh Kamal, ‘si tuyul beruban’ itu. Secara perlahan, tubuh Meta memberikan reaksi yang berlawanan dengan nalarnya. Karena nalarnya memaki, namun tubuhnya menghendaki..! Inilah miste
"Gadis kancil.! Entah bersembunyi di mana dia’, bathinnya bingung. Mereka berdua pun akhirnya kembali ke rumah Brian dengan tangan hampa. “Bagaimana..?! Kenapa gadis itu tak bersamamu..?!" Plakk..! Plakh..! Tamparan Kamal mendarat di pipi kedua pengawalnya itu. “Dia menghilang bos. Saya tak berhasil mengejarnya,” sahut salah satu pengawalnya, sambil mengusap pipinya yang terasa pedih akibat tamparan Kamal. “Bodoh..!...Harusnya aku bisa membawanya ke rumahku, untuk bersenang-senang dengannya malam ini..!" maki Kamal, menyesali kebodohan pengawalnya itu. “Dengar Brian..! Aku cukup puas dengan layanan istrimu. Aku anggap kekurangan satu angsuran sudah tertutup hari ini..!” Kamal berseru, seraya membawa uang yang tadi diserahkan Brian padanya.“Namun ingat Brian, 5 hari lagi adalah jatuh tempo pembayaran bulan ini. Jika kau masih gagal bayar, maka putrimu harus bersedia menjadi istri ke tiga ku.! Dan rumahmu ini akan jadi milikku..!" ancam Kamal. Nama Kamal memang terkenal sebagai
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a
"Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra
Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap