Share

Sang Pelindung Mafia Cantik
Sang Pelindung Mafia Cantik
Author: Haryulinda

1. Harga Diri Terinjak-Injak

Brak!

Seorang pria memukul meja dengan keras hingga terbelah menjadi dua. Tidak hanya sampai di situ, benda yang ada di sekitarnya pun dilempar ke sana kemari. Ia pikir selama ini dengan mengasingkan diri bisa melupakan keluarga menjijikkannya dulu. Namun ternyata tidak.

Hati pria yang marah itu, teriris dengan kabar duka yang datang disampaikan oleh sahabatnya. Kedua orang tuanya meninggal di tangan mafia terkejam. Berita kematian orang tuanya membuat perasaanya bercampur aduk. Ada rasa marah, sedih, dan menyesal menjadi satu.

Duak! Duak! Duak!

"Arrrrrghhhhhhh! Kenapa kalian tidak mendengarkanku! Kenapa?" teriak pria itu dengan nada frustrasi sembari terus memukul dan menendang pintu.

"Tenangkan dirimu, Aslan!" bentak pria lain yang merupakan sahabat Aslan.

"Kenapa mereka masih saja berhubungan dengan mafia itu? Kenapa? Aku telah banting tulang di sini untuk menyelamatkan mereka! Tapi, apa? Tuhan tidak adil! Tuhan tidak memberiku kesempatan!" Aslan berbalik membentak pada sahabatnya.

"Mungkin ini adalah hukuman Tuhan, karena kau pergi begitu saja dari orang tuamu."

Bugh!

"Diam kau! Mereka yang mengusirku!" Aslan meluapkan amarahnya dengan pukulan keras di wajah sahabatnya. Masih jelas terekam di benak Aslan bagaimana orang tuanya dulu mengusirnya dengan alasan lebih memilih setia pada mafia kejam.

"Tidak menyerangku juga bodoh!" Sahabat Aslan memberi balasan pukulan.

Cih!

Aslan meludah sembarangan. Pukulan dari sahabatnya membuat bibirnya berdarah. Namun tidak meninggalkan rasa sakit yang berarti melebihi rasa sakitnya mendengar kabar duka.

Emosi akan ketidakberdayaan diri terus dikeluarkan oleh Aslan hingga semua barang di kamarnya hancur. Aslan menghentikan tindakannya ketika tangannya terasa perih akibat luka dari pecahan kaca. Air mata yang tidak pernah menetes dari mata Aslan, saat ini keluar tanpa perintah. Tangisan dalam diam membuat relung jiwa Aslan meronta.

Jika saja waktu itu Aslan bersedia meneruskan sang ayah yang menjadi mafia, mungkin mafia terkejam yang berada di atas level ayahnya tidak akan berbuat seperti sekarang. Apalah daya, semua telah terjadi. Hanya ada penyesalan di dalam benak Aslan.

Klek!

Pintu kamar Aslan terbuka kembali. Sahabat Aslan yang sempat pergi datang ke kamar lagi. Kali ini sahabat Aslan menyodorkan ponsel.

Aslan menatap kebingungan dengan tindakan sahabatnya. "Siapa yang meneleponku?"

"Dengar saja sendiri." Sahabat Aslan memperbesar volume suara.

Aslan terkejut dengan suara anak kecil menangis yang terdengar pilu. Hatinya ikut terasa sakit. Karena anak kecil yang menangis itu adalah adiknya.

Aslan merebut ponsel sahabatnya. "David ... tenang David. Kak Aslan ada di sini."

"Kakaaaaakkkk ... ayah ... ibu ... m ... me ... ninggal."

"Iya, David. Kakak tahu. Kakak akan segera ke sana. Jangan menangis lagi, ya."

Klik!

Aslan segera mematikan sambungan telepon. Ia tidak sanggup lagi mendengar suara pilu adiknya. Tidak tinggal diam, Aslan ingin menemui adiknya sekarang.

"Bersihkan dirimu dulu. Jangan bertemu David dalam keadaan kacau seperti ini."

Aslan merasa pendapat sahabatnya benar. Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Persiapan yang dilakukan Aslan telah selesai. Sahabat Aslan yang bernama Gavin telah memarkirkan mobil pick up di depan kontrakan. Gavin akan mengikuti kemanapun Aslan pergi sebagai sahabat sejati.

Perjalanan menuju ke rumah Aslan memakan waktu tiga jam lamanya. Sepanjang perjalanan dihabiskan Aslan berpikir tentang langkah yang akan diambil. Tidak mungkin Aslan tetap menjalankan pekerjaan sebagai pengantar sayuran di kala ada amarah menumpuk di hati. Ingin rasanya Aslan membalaskan dendam kematian orang tuanya.

Tiga jam perjalanan telah dilalui. Mobil berhenti di depan rumah Aslan. Di sana tampak beberapa orang yang datang. Tidak seramai kebanyakan orang meninggal di kampung Aslan. Warga di sana pasti takut dengan latar belakang mafia yang disandang ayah Aslan. Walaupun ayah Aslan masih kelas teri di kalangan mafia, warga sekitar takut pada ayah Aslan.

"Ayo turun!" ajak Gavin pada Aslan.

Aslan merasa kakinya menjadi kaku. Ingatan akan dirinya dulu yang diusir terputar di dalam pikirannya. Walaupun pengusiran orang tuanya tidak dramatis dengan adegan melempar semua barang-barang Aslan, tetap saja membuat kenangan buruk.

Gavin tidak sabar melihat sikap pengecut Aslan. Ia membuka pintu mobil, lalu menarik lengan Aslan agar bisa turun.

Beberapa tetangga yang masih dikenal Aslan tampak menatap iba pada Aslan. Hal itu tidak membuat Aslan berinteraksi dengan mereka. Aslan tetap berjalan masuk ke dalam rumah dengan ditemani Gavin.

Tergeletak dua jenazah yang tertutupi kain putih. Sebelum Aslan mendekati jenazah kedua orang tuanya, pandangannya mencari keberadaan sang adik. David yang merupakan adik Aslan sedang ditenangkan oleh tetangga. Ada perasaan lega melihat sang adik masih hidup.

Perlahan Aslan mendekati jenazah kedua orang tuanya. Tangan Aslan menyingkap kain putih yang menutupi jenazah orang tuanya. Wajah Aslan terkejut melihat kondisi kedua orang tuanya.

Jenazah kedua orang tuanya tampak mengenaskan. Bagian atas tubuh mereka terlihat ada sayatan dan darah yang tertinggal. Tangan mereka pun terlihat tidak lengkap bagian telapak tangannya tidak ada.

"Organ kedua orang tuamu telah diambil." Tetangga memberitahu Aslan.

Aslan mengepalkan tangan, lalu pergi keluar rumah. Amarahnya yang menumpuk akan meledak. Ia tidak bisa membuat orang yang ada di sana terkena imbas amarahnya.

"Arrrrrrrrrgghhh!" teriak Aslan.

Duak! Duak! Duak!

Pukulan bertubi-tubi dihantamkan Aslan pada pohon mangga di samping rumah. Tak berhenti sampai di situ, Aslan mencakar-cakar batang pohon hingga jari-jarinya berdarah. Rasa tak terima akan perlakuan mafia kejam pada orang tuanya begitu besar.

Teriakan terdengar dari dalam rumah. Aslan menghentikan tindakannya, lalu masuk ke dalam rumah. Entah apa yang membuat kegaduhan, Aslan harus memastikan.

Sebuah rangkaian bunga telah menghebohkan tetangga Aslan. Tidak hanya itu, ada kotak yang terbuka memperlihatkan sebuah telapak tangan milik kedua orang tuanya. Ada tulisan dengan ucapan 'selamat meninggal pengecut kesayanganku' dengan tertanda dari mafia kejam.

Aslan segera keluar dari rumah untuk mencari orang yang mengirim. Ketika mata elang Aslan menangkap ada pergerakan orang yang sedang menaiki motor dengan membawa box kurir, dijadikan sasaran.

"Sialan kau!" Aslan menendang motor tersebut hingga pemilik motor terjatuh.

Kemarahan Aslan memuncak dengan mencengkeram jaket kurir tersebut. Kurir membalas dengan mencengkeram tangan Aslan.

"Apa yang kau lakukan!" Kurir langsung marah dengan mendorong tubuh Aslan.

Aslan akan memukul kurir tersebut. Namun dicegah oleh seorang wanita yang memakai pakaian serba hitam dan beberapa orang berjas hitam.

"Cukup memalukan! Hentikan semuanya!" Wanita berbaju hitam memberi kode pada pria berjas hitam untuk mengamankan Aslan.

"Kau siapa? Jangan ikut campur!" Aslan menatap tajam pada wanita yang mencegahnya. Ia juga berusaha melepaskan diri dari kedua pria yang menahan tubuhnya.

"Cepat pergi! Ini ganti rugi kerusakan yang disebabkan dia." Wanita berpakaian hitam memberikan sejumlah uang pada kurir.

Kurir langsung pergi dari hadapan Aslan dan wanita tak dikenal itu. Kini giliran wanita berpakaian hitam menatap Aslan.

"Kita harus bicara."

"Lepaskan aku! Aku harus mengejar kurir tadi."

"Kau sungguh berpikir dia yang mengirim ucapan belasungkawa padamu?"

"Tentu saja. Dia kan kurir. Lagi pula kau siapa? Kenapa kau ikut campur?"

"Aku akan segera menjadi rekanmu."

"Cih! Rekan seperti apa yang semena-mena padaku?"

"Lepaskan dia!"

Dua orang yang menahan Aslan melepaskan lengan Aslan.

"Jangan berlari! Jika kau berlari, maka mereka akan menembak kakimu." Wanita berpakaian hitam memberi peringatan pada Aslan yang terlihat ancang-ancang untuk berlari.

Wanita berpakaian hitam tersebut berjalan masuk ke dalam rumah Aslan. Hal itu membuat Aslan memiliki firasat jika wanita itu mengenal kedua orang tuanya.

Di dalam rumah, tampak wanita berpakaian hitam dan kedua pria berjas hitam memberi hormat pada jenazah orang tua Aslan. Pikiran Aslan harus jernih sekarang, karena masih ada tetangga di sana.

Proses pemakaman dilanjutkan dengan tenang. Walaupun sebelumnya terdapat huru-hara yang mengerikan. Wanita berpakaian hitam berbincang pada tetangga Aslan dengan lembut. Berbeda sekali saat bersama Aslan tadi. Entah apa yang dibicarakan, Aslan hanya memandang dari jauh gerak-gerik wanita itu.

Tetangga pulang ke rumah masing-masing setelah proses pemakaman selesai. Adik Aslan dibiarkan pergi ke rumah tetangga agar bisa beristirahat. Sementara Aslan dan Gavin berada di rumah bersama dengan wanita berpakaian hitam.

"Apa tujuanmu datang kemari?" ucap Aslan yang tidak bisa basa-basi.

"Selain mudah emosi, kau juga tidak sabaran. Aku Alice."

"Tidak penting memberitahu namamu. Cepat katakan urusanmu kemari!" Aslan tidak bisa ramah pada Alice. Pikirannya tertuju pada kesimpulan jika Alice adalah bawahan dari mafia kejam.

"Aku—" ucapan Alice terpotong.

Dor!

Suara tembakan terdengar keras. Semua orang yang ada di rumah Aslan terkejut hingga menatap ke arah sumber suara bersamaan.

"Ayo cepat lari!" Alice menarik tangan Aslan.

"Aku tidak akan lari! Dia pasti musuh orang tuaku! Aku harus menghabisi mereka!" Aslan berdiri dari kursi, lalu pergi menuju ke pintu.

"Nona! Serangan vital telah dilepaskan!" ucap pria berjas hitam pada Alice.

"Buka akses! Kita harus keluar secepat mungkin!"

"Siap, Nona!"

Alice mencari Aslan.

"Hitungan ketiga akan meledak" seru pria berjas hitam yang memberi peringatan.

Boom!

Duar!

Ledakan secara tiba-tiba terjadi.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Taksonomi Tumbuhan
Kasihan adik Aslan
goodnovel comment avatar
Thru14
seru anjir! mati nggak ya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status