Share

2. Keputusan Sulit

Bagian depan rumah Aslan rusak akibat ledakan. Pusat ledakan berada di mobil Alice dan anak buahnya. Beruntung rumah warga jaraknya berjauhan, sehingga tidak memakan banyak korban.

Keadaan di dalam rumah Aslan masih terdapat beberapa orang yang tertelungkup. Orang yang pertama kali bangun adalah Alice. Tubuh Alice terlindung oleh pria berjas hitam yang merupakan anak buahnya.

Anak buah Alice yang melindungi Alice telah tewas. Hal itu bisa dipastikan dari tubuhnya yang tidak bergerak. Alice menyingkirkan tubuh anak buahnya.

"Aslan!" Alice langsung teringat pada Aslan. Matanya menatap sekeliling mencari keberadaan Aslan.

"Di sini, Nona!" panggil anak buah Alice yang selamat.

Alice langsung mendekat ke arah anak buahnya ketika melihat Aslan tengah dibawa oleh anak buahnya. "Tuhan ... tolong jangan biarkan dia mati sekarang. Tunda dulu, Tuhan." Alice merapalkan permohonan dengan nada lirih.

"Kita harus segera pergi, Nona. Sebentar lagi rumah ini akan segera hangus oleh api."

"Baiklah."

Alice dan anak buahnya pergi dengan membawa Aslan. Baru saja berjalan beberapa langkah, api langsung menyebar ke seluruh rumah Aslan. Alice dan anak buahnya mempercepat langkah menuju ke tempat aman.

Di sinilah Alice berada sekarang, yaitu di tengah pematang sawah. Tepat di belakang rumah Aslan hanya ada pematang sawah yang paling aman. Aslan dibaringkan di jalan pematang sawah.

"Dia masih hidup kan?" Alice memastikan.

"Iya, Nona. Dia hanya pingsan."

"Carilah air untuk membangunkannya."

"Baik, Nona." Anak buah Alice kemudian pergi mencari air terdekat. Kebetulan pengairan sawah sedang dalam keadaan air yang terbatas, sehingga perlu mencari ke bagian lain.

Alice menelepon anak buahnya yang lain untuk datang menjemputnya. Ia harus segera membawa Aslan untuk menjalankan misi yang telah disusun. Walaupun dalam benak Alice tidak mempercayai Aslan bisa menjalankan misi.

"Apa yang bisa diperbuat dengan orang seperti ini?" Alice memandang rendah seorang Aslan.

"Saya sudah menemukannya, Nona." Anak buah Alice membawa air dengan sebuah botol air minum bekas.

"Siram!"

Byuurr!

Anak buah Alice menyiram tepat di wajah Aslan. Hasilnya Aslan terbatuk-batuk akibat kemasukan air di hidung. Ditambah air yang berbau membuat Aslan cepat bangun.

"Akhirnya bangun juga. Tidak merepotkan lagi," ucap Alice.

Aslan mendudukkan dirinya. Kepalanya terasa pening dan basah. Tangan Aslan meraba kepalanya. Ternyata kepalanya berdarah.

"Santai saja. Luka itu tidak akan membuatmu mati. Sebentar lagi bantuan datang." Alice seakan mengerti apa yang dikhawatirkan Aslan.

"Apa yang terjadi?"

"Tentu saja tanda belasungkawa yang sebenarnya tadi dikirim."

"Jangan berbelit-belit."

"Baiklah. Sepertinya kau tidak cepat mengerti. Jadi, serangan bom tadi adalah untuk membunuhmu dan saudaramu yang tersisa. Termasuk juga membunuhku."

"Jadi, tadi dia ada di sini?"

"Tidak. Hanya anak buahnya saja yang bertindak. Boss mafia tidak mungkin turun tangan langsung."

Aslan kemudian teringat dengan Gavin. Sejak tadi Gavin ada bersamanya. Namun sekarang Gavin tidak ada.

"Di mana Gavin?"

"Siapa Gavin? Bukannya adikmu bernama David?"

"Pria yang bersamaku. Dia sahabatku."

Alice menggidikkan bahu. Begitu pula dengan anak buah Alice.

Jawaban Alice membuat Aslan bangkit dari posisinya dan berniat mencari Gavin. Namun tangan Alice dengan cepat menarik Aslan.

"Jangan membahayakan dirimu! Aku sudah bersusah payah menyelamatkanmu."

Aslan melepaskan tangan Alice dengan kasar. Ia tidak bisa meninggalkan Gavin yang telah dianggap sebagai saudara sendiri. Berlari mendekati rumahnya, Aslan ternyata tidak cukup memiliki tenaga. Perlahan sakit kepala yang ditahannya semakin terasa menyakitkan hingga Aslan tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.

Bruuukk!

Tubuh Aslan terjatuh, lalu pingsan kembali. Alice yang menatap dari jauh hanya menghela napas. Ia berdiri bersama anak buahnya mendekati Aslan.

"Hah ... cukup merepotkan," keluh Alice.

"Iya, Nona. Sebenarnya buat apa kita mencari dia sampai kemari?"

"Cuma dia yang bisa membantu kita membalas dendam pada mafia brengsek itu! Kau akan tau fungsi pria itu nanti." Alice mempercepat langkahnya untuk mencapai Aslan.

Anak buah Alice membawa Aslan seperti membawa karung beras dengan cara dipanggul. Alice tidak peduli bagaimana anak buahnya membawa Aslan, yang terpenting dirinya tidak repot membantu. Mereka kemudian berjalan bersama keluar dari daerah rumah Aslan.

Di ujung jalan pematang sawah dapat dilihat banyak orang sedang bahu-membahu memadamkan api di rumah Aslan. Alice menghentikan langkahnya saat melihat Gavin ada di sana. Gavin sedang menenangkan adik Aslan yang meronta ingin menerobos masuk mencari Aslan.

"Rupanya teman Aslan masih hidup. Baguslah! Aslan tidak perlu dramatis lagi mencari temannya saat bangun nanti," gumam Alice.

"Nona, mobil untuk Anda sudah siap. Ada di ujung sana." Anak buah Alice mengingatkan.

"Oke, mari kita percepat langkah." Alice tidak peduli berat tidaknya tubuh Aslan dibawa oleh anak buahnya.

Alice tiba di depan mobilnya. Aslan diletakkan di kursi belakang dengan hati-hati oleh anak buah Alice. Akibat tidak ada kursi lain yang bisa ditempati Alice, maka terpaksa Alice harus duduk di sebelah Aslan.

Mobil berjalan meninggalkan lokasi. Rumah sakit terdekat yang menjadi tujuan Alice dan anak buahnya. Selama perjalanan Aslan sempat mengigau. Pikir Alice cukup merepotkan Aslan sekarang.

"Percepat!" Alice tidak tahan mendengar rintihan Aslan dari dalam bawah sadar.

Perjalanan menuju ke rumah sakit memakan waktu tiga puluh menit. Aslan dibawa masuk ke dalam ruang tindakan. Urusan administrasi tidak perlu repot diurus oleh Alice, karena rumah sakit yang sekarang merupakan jaringan kerja samanya dalam dunia gelap.

Selama satu jam Alice menunggu Aslan sadar, usai diberi tindakan. Perlahan mata Aslan terbuka. Wajah bingung pertama kali yang ditunjukkan oleh Aslan pada Alice.

"Kau jangan akting amnesia seperti di televisi. Kalau sampai akting, akan kubunuh kau sekarang!" Bukan sambutan hangat atau sekadar basa-basi menanyakan keadaan, Alice justru memberi ancaman.

Aslan mendudukkan dirinya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Kau memang tidak pernah memiliki sopan santun. Aku ingat semua."

"Baiklah. Langsung saja kita pergi dari sini. Jangan buang-buang waktu!"

"Kau saja belum menceritakan dengan jelas apa tujuanmu. Bagaimana mungkin aku ikut denganmu?"

Alice memberi kode pada anak buahnya untuk mengambilkan sesuatu di dalam tas. Anak buah Alice langsung menjalankan perintah tanpa protes.

Sebuah tablet dikeluarkan dari tas Alice. Anak buah Alice menyerahkan pada Aslan. Selanjutnya Alice memberitahu apa saja yang harus dilihat oleh Aslan.

"Cepat buka video itu!" perintah Alice yang tidak sabar melihat Aslan hanya termenung memandangi tab yang diberikan Alice.

Aslan tak menuruti perintah Alice. Ia masih curiga dengan tujuan Alice yang sebenarnya. “Apa hubungannya video di dalam sini denganku?”

Alice tampak murka. Berbicara dengan Aslan tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Ia kemudian menatap ke arah anak buahnya. Anak buah Alice tampak mengerti harus melakukan apa sesuai dengan kode dari Alice.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Taksonomi Tumbuhan
pasti keren kalau aslan sama alice bekerja sama
goodnovel comment avatar
Taksonomi Tumbuhan
ngeri ya! bisa di bom gitu
goodnovel comment avatar
Haryulinda
Readers, bab ini ada revisi yang sedang ditinjau. jadi, harap bersabar untuk revisi bab barunya. sementara bacanya bab 1-3 yang ini. lalu ke bab 5 ya nantinya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status