Share

BAB 7 - SAKIT

Sinar matahari menembus tenda, aku dapat merasakan kehangatannya. Serta merta aku merasa aneh mengapa ada sesuatu yang berat menindih pahaku. Aku menghela nafas dan akhirnya mencoba membuka mataku. Aku berusaha menoleh ke kanan, tapi silau sekali. Akhirnya kuputuskan untuk meraba hal berat yang menindih pahaku.

“Hah? Kok ada paha? Gumamku binggung.

Aku membuka lebar mataku sekali lagi. Kali ini aku mengambil posisi setengah duduk. Oh tidak! Aku ketiduran lagi dan Geraldy menumpang paha kanannya di atas pahaku. Dengan perlahan, aku berusaha menyingkirkan pahanya yang sedaritadi menindihku.

Aku mengecek ponsel, sudah jam 8 pagi. Tak bisa kupercaya semalam aku benar-benar ketiduran. Lebih tepatnya menjelma menjadi mayat yang masih bernafas.

“Ah, kepalaku sakit sekali.”

Aku berusaha mengingat kejadian tadi malam.  Padahal aku merasa tidak mencoba untuk tertidur. Dan anehnya, Mas Rudi sama sekali tidak membangunkan aku.

“Mas Rudi, aku benar-benar minta maaf udah ketiduran semalam.” Aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada Mas Rudi.

“Gapapa Jaeryn. Kamu udah merasa baikan? Semalam kamu pingsan di depan tenda.” Mas Rudi membalas cepat pesanku.

“Hah? Aku pingsan?” seketika aku binggung.

Ingatan tadi malam pun perlahan-lahan mulai terpulihkan. Suara pria yang memanggil namaku itu kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Ah, menyebalkan sekali. Semalam itu benar-benar kejadian buruk paling mencekam dalam sejarah hidupku. Buktinya aku sampai pingsan. Apakah itu semua dikarenakan aku bekerja dengan Geraldy yang merupakan seorang indigo? Ah! Yang benar saja.

Maaf, ya, Mas. Jadi ngerepotin. Semalam kerjaanku jadi terbengkalai, dong. Riasan Geraldy gimana?” Seketika aku khawatir atas tugas yang aku lewatkan.

Di saat yang bersamaan, Geraldy mulai bergerak-gerak di sampingku. Ku tebak dia juga mulai kepanasan karena terik matahari pagi langsung menyoroti wajahnya. Sungguh sekali lagi aku tidak dapat percaya bahwa Geraldy adalah manusia. Meskipun dia terlelap dengan bibir setengah terbuka, kharismanya masih saja membuatku tertegun. Kulit polosnya begitu bersih dan cerah.

 “Riasan Geraldy dibantuin sama penata riasnya Victoria. Udah, kamu jangan khawatir. Semalam, selesai shooting Geraldy memutuskan untuk menjaga kamu di dalam tenda. Dia bahkan memilih untuk nggak pulang ke rumah. Kita semua nggak ada yang sempat nganterin kamu ke rumah sakit. Maaf, ya, Jaeryn. Setelah Geraldy bangun, kamu boleh izin ke dia buat pulang. Tapi, usahakan nanti jam 3 sore kamu balik lagi ke sini buat merias Geraldy. Kamu bisa, kan, Jaeryn?” Pesan dari Mas Rudi kembali menderingkan ponselku.

“Aku dijagain sama Geraldy? Argh! Yang benar saja! Mana mungkin? Jangan-jangan aku diapa-apain lagi sama dia,” batinku sambil mengacak kasar rambutku.

“Baik, Mas Rudi. Saya akan kembali bekerja jam 3 nanti,” balasku.

Karena tak percaya atas situasi yang ada, aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Kejadian semalam seakan menjadi mimpi buruk, tetapi kenyataan yang harus kuhadapi nyatanya lebih buruk lagi. Tak kusangka aku bermalam dengan seorang pria yang tidak kusukai. Parahnya lagi aku pingsan. Duh! Ada-ada saja.

“Lo gapapa?”

Aku menoleh cepat ke arah Geraldy dan membisu sejenak.

“Lo bisu? Gue tanya lo gapapa?” Geraldy mulai kesal.

“Oh … iya. Aku baik-baik aja,” jawabku kikuk.

“Yaudah pulang sana.” Usir Geraldy.

Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu harus mengucapkan maaf atau terima kasih. Ada kata-kata yang ingin kuluncurkan, tapi entah mengapa bibirku segan mengutarakannya. Untungnya Geraldy tidak berkata apa-apa lagi dan memilih untuk keluar dari tenda. Seketika otot-otot tegangku mulai mengendur.

“Sial!” Celetukku.

Tak berapa lama, kudengar suara mobil sport Geraldy yang menggelegar mulai menjauh dari lokasi shooting. Aku pun bergegas merapikan barang-barangku dan pulang.

***

“Tapi kenapa harus Geraldy yang jagain aku?”

Pertanyaan itu masih terus mengangguku, padahal aku harus istirahat karena nanti sore akan kembali bekerja. Dipikir berapa ribu kali pun, aku tidak menemukan alasan mengapa Geraldy memutuskan untuk menjagaku. Padahal dia bisa saja membiarkan aku seorang diri berada di tenda. Apalagi dia sudah kelelahan karena shooting.

“Argh …” aku memukul kepalaku sendiri.

Di saat yang bersamaan, ponselku berdering. Pesan itu berasal dari seseorang yang sedang mengganggu pikiranku saat ini.

“Kalau lo semalam baca pesan di hape gue, sebaiknya lo tutup mulut. Jangan coba-coba berani untuk nyebarin atau bikin gosip!”

“Ya ampun, dia kira aku kurang kerjaan!” bantinku kesal.

“Aku nggak akan melakukan kecerobohan,” balasku.

“Awas aja, ya. Jangan sampai lo jual apapun informasi yang lo dapat selama kerja sama gue ke media. Atau karir lo akan berakhir.” Geraldy kembali mengancam.

Kalau dipikir-pikir, Geraldy baru saja memberikan ide yang bagus. Menjual informasi yang aku dapatkan ke media? Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ternyata aku ini terlalu polos.

BRAKKK ....

Tiba-tiba kursi kayu di depanku jatuh begitu saja. Aku jantungan setengah mati. Jangan-jangan aku masih diikuti hantu dari lokasi shooting? Atau ini adalah ancaman nyata dari Geraldy? Seketika aku mematung.

Dengan tangan gemetaran, aku mengetik pesan kepada Geraldy,

“Baik, aku nggak akan macam-macam, kok.”

Setelah pesan itu terkirim, kursi yang jatuh tadi kembali berdiri ke tempat semula. Sungguh aneh, tapi itulah yang terjadi. Aku mulai meragukan kewarasanku sendiri.

Tok ... tok ... tok ....

Uji nyali  kembali dimulai. Seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Apalagi ini!” pikirku.

Aku masih terduduk karena takut akan sosok yang berada dibalik pintu. Geraldy, apa-apaan dia itu. Apa perlu menghantuiku sampai rumah?

“Jaeryn, buka pintunya.” Ternyata Bunda yang mengetuk pintu kamarku. Aku lega sampai terkulai sejenak.

Bunda membawakan sepotong roti selai kacang dan segelas susu cokelat. Bunda yang biasanya cuek, hari ini tiba-tiba saja khawatir karena melihat wajahku pucat saat pulang kerja tadi.

“Kalau pekerjaannya berat, kamu resign saja. Karena jika kamu sakit, Bunda juga yang repot!” Bunda mengomel seperti biasanya sebelum ia beranjak pergi dari kamarku yang baru saja terjadi hal mistis.

Meskipun begitu, aku masih bersyukur bahwa faktanya Bundaku tidak sekejam Mamanya Geraldy yang sampai mengancam mencoret nama anaknya dari kartu keluarga. Geraldy, hidupnya benar-benar tidak sesempurna bayanganku. Seketika aku kembali penasaran, apa reaksi yang Geraldy berikan terhadap Mamanya, ya?

“Argh! Kenapa aku mikirin Geraldy lagi?” Aku memukul kepalaku keras.

Disela-sela lamunan, Geraldy kembali menderingkan ponselku dengan sebuah pesan. Kali ini ia mengirimkan sebuah foto. Aku ragu untuk mendownload foto tersebut, karena jangan-jangan ia berencana untuk mengerjaiku lagi. Geraldy itu, kan, ganteng tapi norak.

Namun, setelah kuperhatikan lebih seksama ... entah mengapa corak dan warna baju perempuan yang tampak dalam foto samar itu mirip seperti baju yang kukenakan tadi malam. Gawat! Jangan-jangan Geraldy ...

“Jackpot!” Tulis Geraldy.

Wah, Geraldy benar-benar brengsek. Aku tidak tahu dia masih masuk dalam kategori norak atau justru brengsek. Dia mengambil potretku yang sedang tertidur pulas dengan bibir terbuka dalam tenda tadi malam. Dia bahkan dengan bangga mengirimkan foto itu kepadaku. Geraldy benar-benar pria gila!

Aku bahkan tidak pernah mengambil fotonya saat tertidur walaupun dia adalah artis papan atas. Terpikir pun tidak pernah. Tetapi, dia malah melakukan hal itu kepadaku!

Pikiranku mulai overthinking. Aku takut Geraldy melakukan hal yang lebih buruk daripada sekadar memotretku sedang tertidur. Lagipula, mau dia apakan foto itu? Ternyata Geraldy menjagaku semalam bukan karena dia baik hati, melainkan karena punya rencana lain!

Seketika kepalaku kembali berdenyut. Geraldy ... dia tidak hanya membuatku sakit hati tadi malam. Tetapi, kini ia juga membuat fisikku sakit. Pria itu benar-benar!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status