"Apa-apaan orang-orang itu?" gumamnya.
"Lihatlah para petani bodoh ini," kata salah seorang dari mereka dengan nada mengejek kepada rekannya. "Kerja keras membanting tulang, tapi tetap saja miskin." "Biarkan saja mereka," jawab yang lain sambil tertawa. "Yang penting kita bisa memungut 'upeti' dari mereka setiap bulan. Kalau tidak, mereka akan tahu akibatnya." Wo Long mengepalkan tangannya tanpa sadar. Pemandangan ini adalah contoh nyata dari hukum rimba yang kejam yang diperlihatkan Sang Pencipta dalam memorinya. Si kuat menindas yang lemah, tanpa belas kasihan. "Bagaimana ada manusia yang bisa mengatakan itu? Apa pula 'mengambil upeti'? Memangnya orang-orang ini budak mereka?" Ia menatap mereka dengan tidak suka. Saat para kultivator arogan itu melewati seorang wanita tua yang sedang menjajakan sayuran, salah seorang dari mereka dengan sengaja menendang keranjang dagangan wanita itu hingga isinya berhamburan di tanah. Wanita tua itu terisak pelan sambil berusaha memunguti sayurannya yang kotor. Amarah Wo Long memuncak. "Huh... ternyata tidak punya perasaan sama sekali orang-orang itu." Meskipun ia bukan orang yang suka berkelahi, pemandangan ketidakadilan di depan matanya terlalu menyakitkan untuk diabaikan. "Sebaiknya aku membantunya." Ia melangkah maju, menghampiri wanita tua itu. "Bibi, biar saya bantu," ucap Wo Long lembut sambil berjongkok dan memunguti sayuran yang berserakan. Para kultivator arogan itu menghentikan langkah mereka dan menoleh ke arah Wo Long dengan tatapan meremehkan. "Hei, bocah ingusan! Apa urusanmu?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada mengancam. Wo Long tidak menjawab. Ia terus membantu wanita tua itu mengumpulkan sayurannya. Setelah selesai, ia berdiri dan menatap para kultivator itu dengan mata yang tenang namun penuh ketegasan. "Kalian tidak punya hak untuk menindas orang lemah," kata Wo Long dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Para kultivator itu tertawa sinis. "Lihatlah, ada seorang pahlawan kesiangan yang ingin membela orang lemah. Kau tahu siapa kami?" "Aku tidak peduli siapa kalian," jawab Wo Long. "Yang aku tahu, perbuatan kalian salah." "Berani sekali kau bicara seperti itu kepada kami!" bentak salah seorang kultivator sambil menghunus pedangnya. "Kau ingin mati?" Wo Long bisa merasakan ketegangan di udara. Ia tahu, ia bukan tandingan para kultivator ini dalam hal kekuatan. Namun, ia tidak bisa mundur. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk membiarkan ketidakadilan terus terjadi. "Memangnya kalian seorang dewa, sehingga mengatakan aku ingin mati atau tidak? Kalian tidak pantas mengatakan itu." Kultivator itu hendak mengayunkan pedangnya mendengar ucapan dari Wo Long, tetapi tiba-tiba, sebelum pertarungan sempat terjadi, suara seorang lelaki tua yang berwibawa terdengar. "Kalian! Apa yang kalian lakukan di sini?" Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki tua berjubah sederhana namun dengan aura yang kuat berjalan mendekat. Para kultivator arogan itu tampak terkejut dan segera menyarungkan kembali pedang mereka. "Salam, Tetua Li," sapa mereka dengan nada hormat yang dibuat-buat. Tetua Li mengabaikan sapaan mereka dan menatap tajam ke arah mereka. "Aku melihat semuanya. Kalian menindas penduduk desa lagi. Sudah berapa kali aku memperingatkan kalian?" "Kami hanya sedikit bersenang-senang, Tetua," jawab salah seorang kultivator dengan gugup. "Bersenang-senang dengan menindas yang lemah?" balas Tetua Li dengan nada dingin. "Pergi kalian dari sini! Jangan sampai aku melihat kalian mengganggu penduduk desa lagi." Para kultivator arogan itu tidak membantah. Mereka segera pergi dengan wajah masam. Setelah mereka pergi, Tetua Li berbalik menghadap Wo Long dan wanita tua itu. "Nak, terima kasih sudah berani membela wanita tua ini," kata Tetua Li dengan senyum ramah. "Siapa namamu?" "Nama saya Wo Long, Tetua," jawab Wo Long dengan sopan. "Wo Long… nama yang bagus," kata Tetua Li sambil mengangguk-angguk. "Kau bukan penduduk desa ini, bukan?" "Saya baru saja tiba, Tetua," jawab Wo Long. "Aku bisa merasakannya," kata Tetua Li sambil menatap Wo Long dengan tatapan menyelidik. "Kau memiliki potensi kultivasi yang lumayan, tapi auramu terasa… berbeda. Seperti naga yang sedang tertidur." Wo Long terkejut. Bagaimana lelaki tua ini bisa tahu tentang julukannya? Apakah bisikan Sang Pencipta ada hubungannya dengan ini? "Tetua…" Wo Long mencoba bertanya, namun Tetua Li mengangkat tangannya. "Mari ikut aku, Nak. Hari sudah mulai gelap. Kau bisa beristirahat di kediamanku malam ini." Wo Long tidak punya alasan untuk menolak. Ia mengikuti Tetua Li menuju sebuah rumah sederhana namun tampak kokoh di pinggir desa. Di dalam rumah, Tetua Li menyuguhkan makanan sederhana kepada Wo Long. Sambil makan, mereka berbincang-bincang. Wo Long menceritakan perjalanannya dari lembah terpencil dan pertemuannya dengan para kultivator arogan. Namun, ia tidak berani menceritakan tentang bisikan Sang Pencipta. "Saya hanya seorang dari lembah terpencil yang agak terisolasi dari dunia luar. Selama ini saya belum pernah menginjakkan kaki di dunia luar karena keinginan kedua orang tua saya sebelum meninggal yang menyuruh saya jangan pernah keluar dari lembah. Mereka bilang, kehidupan di luar sangatlah berbahaya. Tetapi karena ada suatu hal, saya terpaksa harus keluar dan betapa terkejutnya saya ketika pertama kali melihat pemandangan tadi." Tetua Li mendengarkan dengan saksama. Setelah Wo Long selesai bercerita, ia menghela napas. "Dunia kultivasi memang seperti itu, Nak," kata Tetua Li dengan nada sedih. "Hukum rimba merajalela. Yang kuat menindas yang lemah. Banyak sekte dan keluarga besar hanya mementingkan kekuasaan dan kekayaan mereka sendiri." "Apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya, Tetua?" tanya Wo Long dengan nada penuh harap. Tetua Li tersenyum tipis. "Mengubah tatanan yang sudah berakar selama berabad-abad bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan kekuatan dan tekad yang luar biasa." "Saya bersedia mencoba, Tetua," kata Wo Long tiba-tiba. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, namun ia merasakan keyakinan yang kuat di dalamnya. Tetua Li menatap Wo Long dengan tatapan yang lebih dalam. "Kau? Seorang pemuda yang tampak lebih suka tidur daripada bertarung?" "Saya memang bukan orang yang suka berkelahi, Tetua," jawab Wo Long. "Tapi saya tidak bisa membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Jika memang takdir telah membawa saya keluar dari lembah, mungkin ini adalah salah satu alasan-Nya." Tetua Li terdiam sejenak, menimbang kata-kata Wo Long. Kemudian, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Mungkin kau benar, Nak. Mungkin memang ada alasan mengapa kau datang ke sini. Jika kau benar-benar ingin mengubah dunia kultivasi, kau akan membutuhkan kekuatan. Dan untuk mendapatkan kekuatan itu, kau harus berlatih." "Saya bersedia berlatih, Tetua," jawab Wo Long dengan tekad bulat. "Baiklah," kata Tetua Li. "Aku akan membantumu. Aku melihat sesuatu yang istimewa di dalam dirimu, Wo Long. Sesuatu yang lebih dari sekadar potensi kultivasi. Mungkin... mungkin kau memang adalah orang yang ditunggu-tunggu untuk membawa perubahan, dan sering terdengar dalam mimpi saya setiap malam di beberapa tahun ini," lanjutnya pelan sehingga tidak didengar oleh Wo Long. Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang menerangi desa kecil itu, Wo Long memulai babak baru dalam hidupnya.Keesokan paginya, Wo Long sudah melakukan pemanasan sebelum memulai pembelajaran dari tetua Li."Ha... ha... ha..." teriaknya, saat berlari mengelilingi rumah dan pekarangan tetua Li sambil membawa batu besar di punggungnya.Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sinar hangatnya membangunkan tetua Li yang sedang terlelap bersama istrinya.Samar-samar, dia mendengar sesuatu. "Suara apa itu?" gumamnya. Dengan rasa penasaran, ia bangkit dari kasur dan menuju jendela.Saat jendela dibuka, mata tetua Li sedikit menyipit karena silau. Namun, setelah matanya terbiasa, ia melihat Wo Long yang sedang bersemangat berlari sambil menggendong batu besar.Senyum bangga terukir di wajah tetua Li. "Anak itu benar-benar sungguh-sungguh dengan ucapannya," gumamnya, kagum.Ia beranjak dari jendela dan menghampiri istrinya. "Sayang, aku pergi dulu. Sepertinya Wo Long sudah tidak sabar untuk memulai kultivasi," bisiknya.Istri tetua Li membuka mata dengan tatapan sayu. Ia tersenyum. "Iya, sayang. Dan ka
Mentari pagi menyapa Wo Long dengan sinarnya yang hangat, menembus jendela sederhana kediaman Tetua Li. Semalam, setelah percakapan yang mengubah jalan hidupnya, Wo Long tidur nyenyak, sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Beban takdir memang berat, namun kini ia tidak lagi sendiri.Pagi itu, setelah sarapan bubur nasi hangat yang disiapkan oleh istri Tetua Li, mereka berdua pergi ke halaman belakang rumah. Halaman itu cukup luas, dengan beberapa pohon buah dan area terbuka yang ditumbuhi rumput hijau."Wo Long," kata Tetua Li memulai, berdiri menghadap Wo Long dengan tangan di belakang punggung."Untuk mengubah dunia kultivasi, tekad saja tidak cukup. Kau membutuhkan kekuatan. Kekuatan sejati lahir dari latihan yang keras dan pemahaman yang mendalam tentang energi di sekitarmu.""Energi?" tanya Wo Long, sedikit bingung. Selama ini, ia hanya fokus pada kenyamanan dan menghindari segala bentuk usaha keras.Tetua Li tersenyum maklum. "Benar. Di dunia ini, sega
"Apa-apaan orang-orang itu?" gumamnya."Lihatlah para petani bodoh ini," kata salah seorang dari mereka dengan nada mengejek kepada rekannya. "Kerja keras membanting tulang, tapi tetap saja miskin.""Biarkan saja mereka," jawab yang lain sambil tertawa. "Yang penting kita bisa memungut 'upeti' dari mereka setiap bulan. Kalau tidak, mereka akan tahu akibatnya."Wo Long mengepalkan tangannya tanpa sadar. Pemandangan ini adalah contoh nyata dari hukum rimba yang kejam yang diperlihatkan Sang Pencipta dalam memorinya. Si kuat menindas yang lemah, tanpa belas kasihan."Bagaimana ada manusia yang bisa mengatakan itu? Apa pula 'mengambil upeti'? Memangnya orang-orang ini budak mereka?" Ia menatap mereka dengan tidak suka.Saat para kultivator arogan itu melewati seorang wanita tua yang sedang menjajakan sayuran, salah seorang dari mereka dengan sengaja menendang keranjang dagangan wanita itu hingga isinya berhamburan di tanah. Wanita tua itu terisak pelan sambil berusaha memunguti sa
Matahari senja mulai mewarnai langit lembah dengan gradasi jingga dan ungu yang begitu indah. Wo Long, yang sedang bersantai di dahan teratas pohon beringin, menatap ke depan dengan banyak pikiran. Ini adalah hal baru baginya, tetapi sebuah keputusan telah diambil. Ia tidak bisa lagi bersembunyi dari takdir yang telah memilihnya."Sebaiknya aku membereskan barang, karena besok aku harus pergi dari lembah ini. Aku harus mencari tahu langkah apa yang harus aku ambil untuk memulai semuanya dan mengubah dunia yang mengerikan ini."Wo Long membayangkan hal itu dan bergidik ngeri.Mengubah dunia yang mengerikan ini bagaikan sebuah mimpi, tetapi ia percaya Sang Pencipta pasti akan membantunya dalam menjalankan misi yang menurutnya sangat mustahil ini. Meskipun rasa malas masih menggoda untuk menariknya kembali ke dalam dekapan ketenangan, bayangan penderitaan yang ia lihat dalam kilasan memori Sang Pencipta terlalu kuat untuk diabaikan."Baiklah," gumamnya pelan, suaranya berbaur dengan d
Di sebuah lembah terpencil yang diselimuti kabut abadi, tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia kultivasi yang penuh intrik, tinggallah seorang pemuda bernama Wo Long.Sesuai dengan namanya yang berarti "Naga Tertidur," Wo Long lebih memilih kehangatan sinar matahari yang menembus dedaunan rindang dan kelembutan lumut di bawah pohon purba sebagai teman setianya. Baginya, hiruk-pikuk para kultivator yang berlomba-lomba meningkatkan kekuatan, bertarung memperebutkan sumber daya, dan menjunjung tinggi hukum rimba yang kejam hanyalah gangguan yang tak perlu.Rutinitas hariannya nyaris tak berubah. Ia bangun saat matahari sudah cukup tinggi, mencari buah-buahan atau umbi-umbian dengan usaha seminim mungkin, lalu kembali merebahkan diri di tempat favoritnya hingga senja menjelang. Dunia luar, dengan segala ambisi dan pertumpahan darahnya, terasa begitu jauh dan tidak relevan bagi Wo Long. Ia lebih suka menghabiskan waktu dalam lamunan tentang awan yang membentuk berbagai rupa atau suara serang
"Hiksss… Ayah, Ibu, Kakak… bagaimana aku bisa hidup tanpa kalian?" tangis seorang anak laki-laki. Ia berjalan di tengah hutan yang diguyur hujan lebat.Langit hitam dengan kilatan petir dan suara angin kencang seolah menggambarkan isi hati anak laki-laki itu. Ia baru saja kehilangan keluarganya karena sebuah pembantaian. Hatinya merasakan sesuatu yang aneh, yang membuatnya ingin terus menangis tanpa henti. Ia ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak mengerti harus berbuat apa. Dengan segala perasaan yang membendung, ia terus melangkahkan kaki tanpa tahu arah."Hiksss… Ibu…" Anak itu berhenti di bawah sebuah pohon besar. Ia duduk, memeluk kedua lututnya, dan menenggelamkan wajah di sana. Isak tangisnya semakin kencang.Sebuah gelombang energi tercipta dari tubuh anak itu, membuat genangan air dan dedaunan di sekitarnya terlempar menjauh.Hujan kembali turun dan menggenang di sekelilingnya. Selama beberapa menit, ia terus menangis tanpa henti dan terus menciptakan gelombang yang sama