MasukMatahari senja mulai mewarnai langit lembah dengan gradasi jingga dan ungu yang begitu indah. Wo Long, yang sedang bersantai di dahan teratas pohon beringin, menatap ke depan dengan banyak pikiran. Ini adalah hal baru baginya, tetapi sebuah keputusan telah diambil, ia tidak bisa lagi bersembunyi dari takdir yang telah memilihnya.
“Sebaiknya aku membereskan barang, karena besok aku harus pergi dari lembah ini. Aku harus mencari tahu langkah apa yang harus aku ambil untuk memulai semuanya dan mengubah dunia yang mengerikan ini.” Wo Long membayangkan hal itu dan bergidik ngeri. Mengubah dunia yang mengerikan ini bagaikan sebuah mimpi, tetapi ia percaya Sang Pencipta pasti akan membantunya dalam menjalankan misi yang menurutnya sangat mustahil ini. Meskipun rasa malas masih menggoda untuk menariknya kembali ke dalam dekapan ketenangan, bayangan penderitaan yang ia lihat dalam kilasan memori Sang Pencipta terlalu kuat untuk diabaikan. “Baiklah,” gumamnya pelan, suaranya berbaur dengan desiran angin sore. “Mari kita lihat, Sang Pencipta Seluruh Alam mempercayakannya kepadaku. Entah apa yang bisa dilakukan oleh seorang pemalas sepertiku.” Langkah pertama yang terlintas di pikirannya adalah meninggalkan lembah yang selama ini menjadi dunianya. Ini bukan tugas yang mudah. Setiap sudut lembah menyimpan kenangan tentang ketenangan dan kedamaian. Namun, ia tahu, ia tidak bisa lagi berlama-lama di sini. Dunia luar menantinya, dengan segala kekacauan dan ketidakadilannya. Hap! Wo Long melompat dari atas pohon dan mendarat di tanah dengan selamat. Ia mengamati sekelilingnya untuk menyimpan memori tentang tempat favoritnya ini, yang entah kapan lagi bisa ia kunjungi. “Selamat tinggal, kedamaian. Semoga suatu hari kita bisa bertemu kembali,” gumamnya, lalu mulai melangkah menuju rumah kayunya yang sederhana. Dalam perjalanan, ia memerhatikan sekelilingnya yang terlihat indah, di mana sungai ditumbuhi bunga teratai pelangi yang memiliki khasiat luar biasa. Bahkan air sungainya bisa menjadi obat, karena sebulan sekali embun dari bunga tersebut akan menetes ke dalam sungai, sehingga kandungan obatnya menyebar. Wo Long sering meminum air sungai ini. Rasanya sangat menyejukkan, membuat pikiran terasa lebih tenang dan ringan. Bahkan tubuhnya yang jarang bergerak terbentuk dengan sendirinya dan memiliki kekuatan yang setara dengan orang yang bekerja keras, semua itu berkat air sungai tersebut. Mengingat itu, ia pun mengambil wadah air yang tergantung di pinggangnya, lalu pergi ke tepi sungai sebentar dan mengisi wadah itu sampai penuh. “Air sehebat ini jangan sampai dilupakan. Hei, sungai teratai pelangi, aku minta airmu, ya. Aku akan pergi dari sini,” ucapnya sambil menatap sungai setelah mengambil air. Entah mengapa, ia memang suka berbicara pada sesuatu yang disukainya, meskipun itu adalah benda mati. Dari sebuah bunga teratai pelangi yang tiba-tiba mekar, muncul sebutir bola kecil yang bersinar warna-warni, sepertinya biji teratai. Biji itu terbang dan masuk ke dalam saku baju Wo Long tanpa ia sadari. Selama perjalanan, Wo Long berpamitan pada tempat-tempat yang sering ia singgahi, seperti sebuah batu besar di tepi tebing yang menyuguhkan pemandangan indah, dan padang rumput tempat banyak hewan berkeliaran. Dan akhirnya, ia sampai di depan pagar sebuah rumah kayu yang cukup besar dan bagus. Di depan rumah tersebut ada dua pasang suami istri, sepasang suami istri tua dan empat orang anak remaja laki-laki serta perempuan yang sedang asyik dengan kegiatan masing-masing. “Paman Rio,” panggilnya. Semua orang di sana langsung menatap Wo Long dengan heran. Baru kali ini mereka melihat Wo Long datang ke rumah mereka tanpa diundang. Pria yang sedang memotong kayu pun tersadar dari keheranannya dan segera mengenakan bajunya. Ia berjalan menghampiri Wo Long. “Wo Long, ayo masuk. Tumben sekali kamu mau mampir. Aku senang sekali kamu datang tanpa harus diajak terlebih dahulu,” ucapnya dengan bahagia. Wo Long yang mendengar itu hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya karena merasa malu. “Eh, Nak Wo Long, ayo ke sini, duduk,” ajak sepasang suami istri yang sedang duduk di bawah gazebo. Sepertinya mereka sedang memilah tanaman yang baru saja diambil dari dalam hutan. Wo Long dan Paman Rio pun menghampiri dan ikut duduk di sana. “Halo, Paman Ker, Bibi Si,” sapa Wo Long, yang disahuti oleh kedua orang tersebut. Semua orang yang tadinya sedang asyik dengan kegiatan masing-masing langsung pergi ke gazebo dan mengobrol dengan Wo Long. “Bang Wo Long, apakah kamu membawa apel lagi untukku seperti minggu kemarin?” tanya anak laki-laki yang kira-kira berumur sembilan tahun. Sontak, wanita yang merupakan ibu dari anak tersebut (istri Paman Rio,) menatapnya tajam. “Kamu ini…” Anaknya hanya tersenyum melihat itu, sedangkan Wo Long yang tidak lupa segera mengeluarkan beberapa buah apel hijau yang ia petik dari pohon dekat sungai dan memberikannya kepada anak itu. “Paman, Bibi, sebenarnya aku ingin berpamitan dengan kalian,” ucapnya tiba-tiba. Para anak-anak yang sedang asyik memakan buah apel, dua pasang suami istri, dan sepasang suami istri tua yang menatapnya langsung terdiam. “Maksudmu, kamu ingin pergi dari sini dan memulai kehidupan baru?” tanya Kakek Fu, yang diangguki oleh Wo Long. Mendengar itu, semua orang saling berpandangan. Mereka mulai mengobrol lebih serius. Di satu sisi, mereka bahagia karena Wo Long akhirnya bisa hidup seperti orang pada umumnya, tetapi mereka juga sedikit sedih karena akan kehilangan sosok Wo Long yang sering mereka perhatikan setiap hari. “Kalau begitu, semuanya saya pamit, ya. Dan semoga saja suatu hari kita bisa bertemu kembali,” Wo Long bangkit dari duduknya dan diantar pergi sampai depan pagar oleh semua orang. “Hati-hati, ya, Bang, nanti di perjalanan!” ucap para anak-anak itu kompak, yang diangguki oleh Wo Long. “Sepertinya dia sudah mendapatkan jalan yang seharusnya ia jalani. Karena kalau dirinya terus di sini, dunia ini akan semakin kacau,” ucap Kakek Fu, yang diangguki oleh yang lainnya. “Tetapi semoga Wo Long bisa menghadapi semuanya dengan lancar,” ucap istri Paman Rio. Keesokan harinya, saat kabut pagi masih menyelimuti lembah, Wo Long mulai berjalan. “Selamat tinggal semuanya,” ucapnya pada dunianya. Ia tidak membawa apa pun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya dan tekad yang baru saja tumbuh di dalam hatinya. Ternyata, ia tidak memiliki barang penting yang bisa dibawanya. Yang ada hanyalah cincin penyimpanan di jarinya yang berisi beberapa tanaman yang diberikan oleh Paman Ker dan istrinya, sebotol air dari sungai, dan sebutir biji warna-warni yang tiba-tiba saja ada di saku bajunya. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya keluar dari lembah terpencil itu. “Huh… entah ke mana jalan ini akan membawaku,” gumamnya sambil terus berjalan, karena dirinya memang tidak mengenali jalan untuk keluar dari dalam lembah. Selama beberapa hari berjalan kaki, ia bertemu dengan beberapa hewan seperti kelinci tanah dan ayam api. Ia menangkapnya dan memanggang mereka dengan bumbu dari alam seadanya. Setelah kelinci dan ayamnya matang, Wo Long celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Ketika melihat sesuatu yang dicarinya, ia berlari dan kembali membawa sebuah batu merah muda yang kotor. Krakkk! Ia membelah batu tersebut, lalu mulai mengikis sedikit bagian dalamnya yang terlihat indah dan menaburkannya di atas kelinci dan ayam bakar. “Sempurna,” katanya, kemudian melempar batu tersebut ke sembarang arah dan mulai memakan makanannya dengan lahap. Setelah selesai, ia mulai berjalan kembali dan akhirnya tiba di kaki pegunungan yang menjulang tinggi. Di kejauhan, ia bisa melihat samar-samar atap bangunan yang menandakan keberadaan permukiman manusia. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dunia luar setelah bertahun-tahun mengasingkan diri. “Sepertinya itu tempat orang-orang tinggal, seperti yang dibilang Paman Rio,” gumamnya. Saat ia mendekati sebuah desa kecil di kaki gunung, suara riuh rendah terdengar. Para penduduk desa tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Beberapa petani sedang menggarap sawah, sementara yang lain berjualan di pasar kecil. Pemandangan ini terasa asing bagi Wo Long yang terbiasa dengan kesunyian lembahnya. “Semua ini sangat asing dan memiliki suasana tersendiri, karena biasanya aku hidup dalam kesunyian dan kedamaian.” Namun di tengah keramaian itu, Wo Long menangkap aura yang tidak menyenangkan. Beberapa orang tampak berjalan dengan angkuh, mengenakan pakaian mewah dan membawa senjata berkilauan. Mereka menatap rendah para penduduk desa, dan aura kekerasan terpancar dari mereka. “Apa-apaan orang-orang itu?” gumamnya.Semua murid bersama Tetua Zee dan Tetua Bao Li beristirahat sejenak di tengah gersangnya reruntuhan. Bau kematian dan asap masih menusuk. Setelah mereka menetapkan tujuan untuk pergi Akademi Daun Semanggi, dan mereka harus segera bergerak. “Kita tidak bisa pergi dengan melewati jalur utama,” tegas Tetua Bao Li, matanya menyapu cakrawala yang dipenuhi bayangan kultivator yang bertarung. “Jalur utama pasti dipenuhi pos pemeriksaan dan perangkap. Kita akan mengambil jalan kecil yang jarang digunakan dan diketahui oleh para pelintas.” Wo Long mengangguk. Dia mengingat jalur itu; jalan memutar yang berbahaya, sering kali tertutup oleh pepohonan rimbun dan tanaman merambat yang berfungsi sebagai kamuflase alami. “Jalur itu melewati Jurang Tidur,” bisik Wo Long. “Sangat curam, tapi tersembunyi.” “Tepat,” jawab Tetua Bao Li. “Dulu aman karena tertutup pepohonan dan tanaman merambat. Sekarang, entah… mungkin saja telah menjadi seperti pisau cukur. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Seolah alam itu sendiri tahu bahwa waktu telah tiba bagi para penghuninya untuk pergi. Setelah semuanya kembali dari pegunungan, kini suasana di halaman rumput rumah Kakek Fu terasa berat, dipenuhi campuran kehangatan yang mendalam dan kesedihan yang tak terhindarkan. Semua murid Kelas B, para Tetua, dan keluarga Paman Rio berkumpul untuk terakhir kalinya, mereka duduk lesehan di atas tanah yang di selimuti rumput hijau. Sambil mendongakkan kepala untuk melihat Kakek Fu, yang sedang berdiri di depan mereka, memegang tongkatnya erat-erat, matanya yang tua menatap setiap wajah muda di sana dengan cinta yang tak terhingga. “Anak-anakku,” suaranya berat, namun mengandung kekuatan yang menenangkan. “Waktu kalian di Lembah ini telah usai. Kalian telah menempa fondasi yang kuat, dan rahasia yang kalian bawa, kekuatan batin, elemen, serta ilmu-ilmu kuno, kini adalah bekal kalian untuk menjalani takdir. Lembah ini telah menjadi rumah yang aman. Tetapi dunia di luar sana… sedang menanti,
Angin pagi menyapu puncak gunung, membawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kabut lembut masih melingkupi lembah, menari-nari di antara pepohonan tua yang telah menjadi saksi perjalanan waktu. para murid kelas B berdiri berjejer di hadapan sesosok yang baru saja menjelma dari seekor naga putih menjadi seorang pria tinggi berwibawa, dia berpakaian jubah putih berbordir perak. Sorot matanya tajam, namun menenangkan, seolah menyimpan samudra dalam kedalaman pandangannya.Lin Xuan maju dan berdiri paling depan. Aura petir berdesir di sekeliling tubuhnya, rambutnya sedikit bergetar akibat energi spiritual yang mulai ia pancarkan. Di sampingnya, Si Wuya yang juga ikut maju menatap tenang, tetapi cahaya lembut dari telapak tangannya mulai menyala, energi Cahaya yang siap melindungi siapa pun yang terluka.“Siapa pun kau,” suara Lin Xuan berat dan waspada. “jangan bergerak selangkah pun. Kami tidak akan membiarkanmu menyentuh siapapun di antara kami.”Sosok pria naga itu tersenyum tipi
"Di puncak gunung tertinggi, keheningan adalah tirai penutup bagi kekuatan yang siap meledak. Hanya mereka yang bersembunyi dalam bayangan yang dapat melihat celahnya."SEPULUH TAHUN KEMUDIANKabut lembut Lembah Mistis adalah saksi bisu. Selama sepuluh tahun, kabut itu telah menelan dan melindungi para remaja yang tumbuh untuk menjadi pilar kekuatan yang tak terduga. Waktu di sini tidak berjalan dengan mulus, karena ia terus berputar dalam siklus pelatihan keras, kultivasi tanpa henti, dan ilmu kuno yang diwariskan oleh para Tetua.Murid-murid Kelas B kini bukan lagi anak-anak. Mereka adalah pemuda-pemudi yang memancarkan aura Chi murni, kulit mereka bersih, dan mata mereka tajam seperti pedang yang baru ditempa. Fisik mereka telah ditempa hingga Ranah Ranah Bumi, di mana Elemen dan esensi sejati mulai terwujud.Dinding Lembah Mistis bergetar dengan gemuruh. Di seluruh lembah, api Hanzo dan Roou siap untuk membakar kejahatan dan penindasan, tanah yang Wu Xia kendalikan bergolak, dan
Kakek Fu melangkah pelan mendekati keempat anak muda itu. Cahaya rembulan jatuh lembut di wajah mereka yang masih berkeringat, entah karena latihan atau karena kejadian aneh yang baru saja mereka alami. Tanpa banyak bicara, kakek tua itu memegang pergelangan tangan mereka satu per satu. Matanya yang keriput seolah bisa menembus hingga ke jiwa mereka. Setiap sentuhan diiringi dengan anggukan kecil dan senyum tipis. “Bagus… sangat bagus,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Setelah itu, Kakek Fu berbalik, berjalan menuju tempat para tetua dan kedua menantunya berdiri menunggu. Langkahnya pelan, tapi berwibawa. Saat sampai di hadapan mereka, dia mendongak menatap langit. Tatapannya campur aduk, lega, cemas, bangga, dan sedikit haru. “Kita tak boleh membuang waktu lagi,” katanya akhirnya. “Kedepannya kekuatan anak-anak ini sudah cukup untuk menutupi keberadaan kalian, Rio, Xie. Jadi sebaiknya kita kembali saja, jangan membuang waktu, sebelum malam semakin dalam.” Tanpa bantahan
Kabut di sekitar mulai menipis, ketika Wo Long dan ketiga temannya akhirnya menemukan jalan keluar dari gua bawah tanah itu. Udara di luar terasa lebih hangat, tapi anehnya, semua terasa begitu hening. Tak ada suara burung, tak ada hembusan angin, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya ada keheningan yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. “Apakah ini masih di lembah mistis yang sama?” tanya Thanzi pelan. Lin Xuan menatap sekeliling. “Aku rasa… tidak. Lihat,” ia menunjuk pada tebing di depan. “Lihat itu, langitnya bukan berwarna biru, tapi berwarna keperakan.” Wo Long dan yang lainnya memandang ke atas. Langit di tempat itu berwarna seperti perak cair, berkilau tapi tenang. Di bawah sinar itu, setiap helai rumput tampak seperti kristal kecil. Udara beraroma manis dan menenangkan. Tapi bukan hanya keindahannya aneh yang mereka lihat. Ada sesuatu yang bergetar di dada yang Wo Long rasakan, semacam panggilan. Ia tahu… tempat ini bukan dunia biasa. “Ini…tempat ujian







