“Kalau punya klien itu, sebaiknya diedukasi lebih dulu.” Vira memutar malas bola matanya, setelah pertemuan alot yang diadakan dengan pihak lawan. Tadinya, ada beberapa hal yang ingin diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi mereka tidak sampai di titik temu. “Semua harta, yang dihasilkan selama menikah, otomatis jadi harta gono gini. Mau semuanya diatasnamakan istri, tetap aja kalau cerai harus dibagi dua. Kecuali mereka ada perjanjian pra nikah sebelumnya.”
“Aku sudah jelasin itu ke klienku,” terang Abi segera bangkit dari tempat duduk, setelah membereskan beberap berkas. Ia mengitari meja rapat yang ada di ruang kerjanya, untuk menghampiri Vira. Menyandarkan bokongnya di sisi meja, lalu meraih pergelangan tangan wanita yang masih membereskan berkasnya. “Bu Yanti lebih percaya sama cerita-cerita di sosmed, daripada pengacaranya sendiri. Susah-susah gampang punya klien yang ngeyelan begitu.”
Vira menghela, dan menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat wajah, lalu memberi Abi gelengan. “Jangan mulai, Bi. Aku sudah tekan—”
“Kita coba dululah, Vir,” putus Abi lalu melirik pada ponsel Vira yang bergetar. Tertulis jelas nama Ilham di layar, dan hal tersebut langsung membuat Abi berdecak. Melepas tangan Vira, lalu menjauhi wanita itu. Kembali ke tempat duduknya semula. “Nggak ada hubungan, tapi orang itu selalu nelpon kamu.”
“Dia klienku,” kata Vira sambil meraih ponselnya. “Jadi wajar kalau pak Ilham sering ngubungin aku.”
Vira mengangkat panggilan tersebut, seraya berdiri. Ia beranjak keluar ruangan, untuk berbicara dengan pria yang menghubunginya.
Sementara Abi, tangannya sontak terkepal dengan menarik napas panjang. Sudah hampir satu tahun ini ia mengejar Vira, tetapi wanita itu tetap saja dingin padanya. Vira selalu menolak dan memberi banyak alasan, bila Abi mengajak wanita itu menjalin hubungan yang lebih serius.
“Ada masalah?” tanya Abi ketika Vira kembali memasuki ruangannya.
Vira menggeleng. Menghampiri kursinya, lalu segera memasukkan beberapa berkasnya ke dalam tas kerja. “Sepertinya, kita tinggal nunggu jadwal persidangan pertama. Jadi, tolong edukasi lagi klienmu itu dengan benar, supaya proses sidang nggak makan waktu lama. Itu, kan, gunanya pengacara?”
“Mulutmu itu, dari dulu nggak pernah berubah,” cibir Abi dengan senyum miringnya. Meskipun begitu, Abi tetap saja tidak bisa melupakan cinta pertamanya itu. Bahkan, sejak Abi tahu Vira telah bercerai dari Aga, ia selalu berusaha mendekati wanita itu tanpa rasa ragu. Namun, Vira tidak pernah memedulikannya sama sekali. Wanita itu hanya menganggap Abi teman, dan musuh bila mereka berhadapan di persidangan. “Tajam, dan bisa menyakitkan.”
“Itu karena aku nggak suka basa-basi.” Vira menarik resleting dan menutup tas kerjanya. “Jadi, sampai jum—”
“Makan malam?” putus Abi tidak pernah lelah mencoba untuk menjadikan wanita itu miliknya. Sejak bertahun-tahun menduda, akhirnya, untuk pertama kali Abi kembali memiliki hasrat pada seorang wanita. Yaitu, Vira.
“Noo, Bi.” Vira menyampirkan tasnya di bahu. “Harus berapa kali aku bilang, aku lebih enjoy seperti sekarang. Aku lebih suka sendiri, karena bebas pergi ke mana pun yang aku mau.”
“Ayolah, Vir,” bujuk Abi kembali beranjak dan menghampiri Vira. “Buka hatimu dan coba kita jalani dulu.”
“Dengar, Bi.” Vira tersenyum dan menepuk pelan pipi pria itu. “Aku sudah punya segalanya. Aku punya uang, anak yang pintar, karir yang luar biasa. Hidupku … sempurna! Dan aku nggak mau ngancurin itu semua, hanya karena kedatangan laki-laki yang nantinya cuma bisa membatasi semua kegiatanku. Big NO!”
“Aku janji nggak akan membatasi semua kegiatanmu di luar,” sahut Abi. “Kamu bisa lakuin hal apapun di luar sana, dan—”
“NO, Bi,” henti Vira sambil menepuk bahu Abi. Vira tahu benar, Abi adalah pria yang baik. Namun, dari lubuk hati yang terdalam, Vira sudah tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi. Lebih baik hidup sendiri, dan menikmati hidup sesuka hati. “Dalam pernikahan, ada yang namanya kewajiban. Belajar dari pernikahanku yang sebelumnya, aku nggak bisa melakukan kewajiban itu dengan baik. Jadi, daripada mengulang kesalahan yang sama, lebih baik aku seperti sekarang. Menikmati hidup.”
“Itu semua bisa kita bicarakan baik-baik, Vir …” Adi mengurungkan niat meraih pinggang Vira, ketika pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Dahinya mengerut, saat melihat Rasyid masuk bersama seorang gadis di sebelahnya.
“Papa?” Abi berdecak kecil, memandang gadis muda yang memberi senyum manis padanya. “Ngapain ke sini bawa Fika?”
“Siang, Be,” sapa Vira segera menghampiri pria yang akrab dengan panggilan “Babe” di kalangan advokat. Pria yang kini sudah pensiun itu, telah menyerahkan kepemilikan sahamnya pada satu-satunya putra yang dimiliki, yaitu Abimanyu.
“Siang, Vir,” balas Rasyid segera menyambut uluran Vira dengan ramah. “Ada meeting?”
“Iya, baru aja selesai.” Vira memberi anggukan kecil pada gadis yang berada di sisi Rasyid. Entah mengapa, sekilas wajah gadis itu mengingatkan Vira akan seseorang. Namun, siapa? “Saya juga mau pergi. Sudah ada janji sama orang. Permisi.”
“Oke, hati-hati,” balas Rasyid lalu mengangguk saat Vira berpamitan padanya, dan keluar dari ruangan Abi. Melihat dari gelagat putranya, pertemuan barusan pasti bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Memangnya, Rasyid tidak tahu putranya itu pernah menyukai Vira bertahun-tahun yang lalu. Namun, kehadiran Aga membuat Abi tersingkir, dan wanita itu akhirnya menikah dengan dengan orang lain.
“Abi!” tegur Rasyid seraya menarik kursi yang berada pada meja rapat, lalu mempersilakan Fika duduk di sana. “Fika lagi libur semester, dan selama itu dia akan magang di sini. Jadi asisten pribadi kamu.”
“Apa?” Abi mengingat-ingat kembali jurusan kuliah yang diambil oleh Fika. Kenapa gadis itu mendadak harus menjadi asisten pribadi Abi? Bukankah, Abi sudah memiliki sekretaris sendiri? Jadi, ia tidak membutuhkan Fika ada di sisinya sama sekali. “Kamu kuliah jurusan apa, Fik?”
“Aku kuliah jur—”
“Bentar,” potong Abi mendadak teringat sesuatu. “Bisa kamu tunggu di luar sebentar? Ada yang mau aku bicarakan dengan Pak Rasyid sebentar.”
Fika mulai tidak nyaman dengan “pengusiran” Abi. Namun, ia tetap tersenyum dan mengangguk. Menuruti perintah pria itu, lalu keluar dari ruangan tersebut dengan membawa sedikit pilu.
“Papa? Aku sudah punya sekretaris,” ujar Abi menerangkan, sambil menunjuk ke arah luar ruangannya. “Ada bu Ina, yang sudah bertahun-tahun kerja di sini. Jadi, aku nggak butuh Fika untuk jadi asisten pribadiku.”
Rasyid terkekeh, sambil berjalan pelan menuju kursi kerja yang biasa digunakan Abi. Ia duduk di sana, lalu bersandar seraya mengingat hari-harinya ketika masih bekerja di ruangan tersebut. “Kamu pasti tahu, tujuan utama Papa menempatkan Fika di sini bukan cuma itu.”
“Maksudnya?” Sedikitnya, Abi bisa menebak itu semua. Namun, ia ingin mendengar hal tersebut langsung dari mulut Rasyid sendiri.
“Papa mau kalian saling mengenal,” kata Rasyid tiba-tiba merubah intonasinya menjadi serius. Karena Abi tidak kunjung menikah dan betah menduda hingga bertahun-tahun, maka Rasyid harus segera mengambil tindakan. “Dan setelah Fika lulus kuliah nanti, Papa mau kamu menikah dengan dia.”
“Nooo.” Abi menggeleng dan segera menghampiri sang papa. Duduk berseberangan dengan pria itu, lalu mencondongkan tubuh. “Aku cinta sama Vira, dan nggak akan menikah dengan siapapun selain dia.”
“Kamu tahu.” Rasyid menyungingkan senyum miring. “Aku sudah bicara sama Vira, dan dia bilang nggak pernah tertarik denganmu. Intinya, dia sudah nggak mau dan nggak berminat untuk menikah dengan siapapun.”
“Kalau begitu aku juga,” sahut Abi dengan percaya diri. Ia berdiri lalu berbalik memunggungi Rasyid. “Aku nggak akan pernah mau menikah lagi, kalau bukan sama Vira. Apalagi sama perempuan … seperti Fika.”
~~ 0 ~~Dari dulu, Vira memang suka memberi edukasi ~-~
“Fika?”Bening lantas berdecak, ketika melihat wajah muram adik yang berbeda ayah dengannya itu. Meskipun hubungannya dengan keluarga sang mama sudah membaik, tetapi Bening enggan mengakrabkan diri dengan kedua adiknya, yakni Dean, dan Fika.“Mau ngapain ke sini?” lanjut Bening mempertanyakan kedatangan Fika, yang sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. “Nggak kuliah?”“Libur.” Fika mencebikkan bibirnya. “Tadinya, aku mau magang di Firmanya mas Abi, tapi dianya nolak.”Bening memutar bola matanya, tanpa segan di depan Fika. “Cari tempat magang lainlah, jangan kayak orang susah! Papamu punya hotel, kan? Atau, magang di mana gitu, kek! Asal jangan magang di perusahaan suamiku! Langsung aku seret kamu keluar dari sana, kalau berani magang di perusahaan mas Aga.”Fika menelan ludah. Berhadapan dengan Bening yang ceplas ceplos, terkadang bisa membuatnya bergidik. “Nggaklah, Mbak.” Mana mungkin Fika berani. Bisa-bisa, Bening akan benar-benar menyeretnya keluar dari perusahaan Aga, jika ber
“Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa ku
Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Cita yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Cita pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se