Share

2. Jual Mahal

“Fika?”

Bening lantas berdecak, ketika melihat wajah muram adik yang berbeda ayah dengannya itu. Meskipun hubungannya dengan keluarga sang mama sudah membaik, tetapi Bening enggan mengakrabkan diri dengan kedua adiknya, yakni Dean, dan Fika.

“Mau ngapain ke sini?” lanjut Bening mempertanyakan kedatangan Fika, yang sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. “Nggak kuliah?”

“Libur.” Fika mencebikkan bibirnya. “Tadinya, aku mau magang di Firmanya mas Abi, tapi dianya nolak.”

Bening memutar bola matanya, tanpa segan di depan Fika. “Cari tempat magang lainlah, jangan kayak orang susah! Papamu punya hotel, kan? Atau, magang di mana gitu, kek! Asal jangan magang di perusahaan suamiku! Langsung aku seret kamu keluar dari sana, kalau berani magang di perusahaan mas Aga.”

Fika menelan ludah. Berhadapan dengan Bening yang ceplas ceplos, terkadang bisa membuatnya bergidik. “Nggaklah, Mbak.” Mana mungkin Fika berani. Bisa-bisa, Bening akan benar-benar menyeretnya keluar dari perusahaan Aga, jika berani menginjakkan kaki di sana. Selain mulutnya yang tajam, Bening ternyata juga bisa berubah jadi preman.

“Atau … kamu mau magang di Firma Sagara Lexius?” tawar Bening, mendadak teringat dengan pria yang saat ini sudah menjadi tetangganya. “Aku punya channel ke sana, bisalah nanti bisik-bisik dibela ...” Mendadak, Bening tidak meneruskan ucapannya. Perutnya kembali terasa sebah, dan terasa ingin muntah. “Aku masuk angin kayaknya.”

“Mbak Ning, sakit? Mau aku antar ke dokter?” tawar Fika penuh perhatian.

Bening menggeleng, lalu bersendawa sembali menepuk-nepuk perutnya. Entah mengapa, belakangan ini kondisi tubuh Bening sangat rentan sekali. Cepat lelah, dan selalu ingin tidur kapan pun dan di mana pun. “Udah berapa hari ini nggak enak badan,” ujarnya lalu bersandar lelah pada punggung sofa. “Kamu pulang aja, gih. Di sini nanti cuma ngerepotin orang aja.”

Setelah “diusir” dari kantor Abi, kini Fika pun disuruh pergi dari rumah sang kakak. “Kamu nggak senang aku ke sini, ya, Mbak?”

“Nggak,” jawab Bening terus terang. “Udah tahu aku nggak enak badan, kan? Makanya, aku mau tidur. Jadi mending kamu pulang. Ngapain, kek, di rumah. Nemenin mama masak, atau apalah.”

“Aku malas pulang.” Fika memerosotkan tubuhnya di sofa. Berselonjor malas, dengan memelas. “Mama sama Babe, sebenarnya mau deketin aku sama mas Abi, tapi … mas Abinya nolak. Dia suka sama orang lain.”

Dengan mencebik, dan mata yang mulai mengembun, Fika menceritakan semua hal yang didengarnya dari balik pintu ruang kerja Abi. Saat Abi memintanya keluar dari ruang kerjanya, Fika tidak langsung menutup erat pintu kerja ruangan tersebut. Fika memberi celah, agar bisa menguping perbincangan yang terjadi di dalam sana. Setelah mendengar penolakan, dan kalimat Abi yang menurutnya kasar, Fika langsung pergi tanpa berpamitan. Mematikan ponselnya, lalu melajukan mobilnya ke rumah Bening.

“Vira?” Tiba-tiba saja, Bening menjadi tertarik dengan cerita Fika. “Kamu tadi bilang, mas Abi cinta sama cewek yang namanya Vira? Cewek yang baru aja meeting sama dia, waktu kamu sama Babe datang? Begitu?”

“Iya, Mbak.” Fika sampai mengedipkan mata berulang kali, agar tidak ada air mata yang menitik di pipinya. “Kayaknya Vira itu, pengacara juga. Orangnya cantik, tapi agak judes kelihatannya.”

“Bukan agak, tapi emang judes.”

“Sama kayak Mbak Ning,” ungkap Fika keceplosan.

Ingin rasanya Bening menghardik. Namun, saat merasa perutnya kembali mulas, Bening pun mengurungkannya. Pada akhirnya, Bening merebahkan diri, dan memiringkan tubuhnya. “Bu Vira itu, mantan istrinya mas Aga. Mamanya Awan. Elvira Danuarja.”

“Ma-mantan istri, suaminya Mbak Bening?” ulang Fika terkejut, tidak percaya. “Mamanya Awan.”

“Ke THT, gih, Fik! Periksa telinga,” decak Bening lalu menghela. “Udahlah, cari cowok lain aja. Aku malas kalau harus kres lagi sama bu Vira. Apalagi gara-gara masalah percintaan begini.”

“Tapi aku sudah terlanjur sayang sama mas Abi, Mbak.”

“Heh!” Akhirnya, Bening mengeluarkan tenaganya untuk menghardik. “Cowok di dunia ini bukan cuma Abi. Terus, Fik, kalau mau menjalin hubungan sama orang, cinta sama sayang aja nggak cukup! Kamu mau tetap dijodohin sama Abi, tapi dia cintanya sama bu Vira? Siap-siap makan hati!”

Mengingat Vira, Bening jadi teringat dengan papanya. Apa kabar Ilham sekarang? Setelah resmi bercerai dengan Riva, Bening sudah tidak pernah mendengar kabar pria itu sama sekali.

“Tapi, Mbak—”

“Nggak usah tapi-tapi.” Dengan malas, Bening bangkit dari tidur dan mengulurkan tangan pada Fika. “Mana hapemu.”

“Aku matiin,” kata Fika sambil mengeluarkan ponsel dari tas.

“Nyalain, biar aku telpon mama,” kata Bening tegas, dan sedikit meninggikan intonasi bicaranya.

Meskipun tidak ingin, tetapi Fika tidak berani menolak Bening. Setelah kembali mengaktifkan ponselnya, Fika menyerahkan benda tersebut pada sang kakak. “Mbak Ning, mau apa?”

“Aku mau bilang …” Bening mencari nomor Clara di ponsel Fika, dengan melihat history panggilannya. “Jangan lagi jodoh-jodohin kamu sama Abi. Urusan Babe, nanti biar aku yang telpon dia. Belum-belum aja sudah dibikin sakit hati, gimana ke depannya, Fik. Kalau aku kesel, nanti aku suruh mama ganti penasihat hukum sekalian. Biar aja si Abi itu kehilangan satu klien besarnya.”

“Mbak Ning, jangan gitu.” Sepertinya Fika sudah salah langkah. Menceritakan keluh kesahnya pada Bening, bukanlah jalan yang terbaik. Untuk itu, Fika segera menghampiri Bening lalu duduk di sebelahnya. “Aku nggak enak sama mas Abi, nggak enak juga sama Babe.”

“Jadi orang, jangan banyak nggak enaknya,” hardik Bening sudah menempelkan ponsel Fika di telinga. “Entar kamu yang dinjak-injak. Mau dijadiin keset? Ihh, aku, sih, ogah!”

Tidak perlu menunggu lama, panggilan Bening langsung diangkat oleh sang mama.

“Fika, ya ampun, Fika! Kamu di mana!” cecar Clara histeris sekaligus terdengar khawatir.

Mendengar hal tersebut, Bening terdiam sebentar. Ia kembali mengingat luka, yang sebenarnya sudah ia tutup rapat-rapat. Perhatian yang diberikan Clara pada Fika, sungguh membuat Bening iri dan kembali mengingat masa lalunya.

Namun, sudahlah. Semua sudah berlalu dan Bening tidak boleh berdiam dan kembali dalam masa lalunya. Ia sudah memiliki Aga, dan keluarga yang sangat mencintainya.

“Mama, ini aku, Bening. Bukan Fika.”

“Ha?” Clara terdiam untuk beberapa detik. “Fika sama kamu? Bukannya dia itu ha—”

“Jangan lagi jodoh-jodohin Fika sama mas Abi,” potong Bening yang memang tidak pernah bisa berbasa-basi. “Mas Abi itu sukanya sama cewek lain. Udah nggak zamannya lagi jodoh-jodohan, Ma.”

“Ning, Mama mau bicara sama Fika.” Bicara dengan Bening dalam keadaan emosi, tidak akan pernah menemukan jalan keluar. “Masalah perjodohan, nanti bisa kita bicarakan lagi.”

“Ya, bicaralah,” ujar Bening setuju-setuju saja. Yang terpenting, ia sudah mengutarakan pendapatnya pada sang mama. “Asal jangan ada pemaksaan di dalamnya. Lagian, Fika juga masih muda, masa’ sudah dijodoh-jodohin segala. Fika itu cantik, jadi pasti banyak suka di luar sana.”

“Iya, Ning, iya.” Karena kesalahan di masa lalu, dan pernah berutang nyawa pada Bening, Clara pun tidak pernah mau berdebat ataupun memiliki masalah lagi dengan putrinya itu. “Mama mau bicara dulu sama Fika, kenapa dia mendadak kabur dari firmanya Babe.”

“Nggak usah bicara di telpon,” ujar Bening. “Fika mau aku suruh pulang habis ini. Orang mau tidur siang, dia malah datang.”

Fika mengerucutkan bibir, mendengar perkataan Bening. Lagi-lagi, kakaknya itu mengusirnya tanpa basa-basi.

“Pulang, gih,” usir Bening sekali lagi, setelah mengakhiri panggilannya dengan Clara. Ia meletakkan ponsel Fika di pangkuan gadis itu, sambil berujar, “mama nunggu di rumah, dan mau bicara masalah mas Abi.”

Fika mengangguk tanpa kata. Sudah berkali-kali diusir, Fika tidak lagi punya alasan untuk tinggal lebih lama di rumah Bening. Fika beranjak mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya dengan perasaan yang tidak menentu.

“Fika! Ada banyak opsi yang bisa kamu lakuin, setelah tahu mas Abi nggak mau dijodohin sama kamu,” kata Bening ingin memberi sedikit nasihat pada sang adik. “Pertama, teruskan kuliahmu sampai lulus dan nggak usah dulu mikirin cowok sama sekali. Kedua, kamu tetap mau dijodohkan tapi siap-siap makan hati dan nggak bahagia. Ketiga …” Bening tersenyum miring seraya beranjak menuju pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi, lalu memegang handlenya. “Jual mahal! Taklukan mas Abi, dan … habis itu terserah, mau kamu tinggal atau …. Semua terserah kamulah, karena kamu yang ngejalani, bukan aku. Jadi, pulang sekarang, dan bicarakan semua dengan mama.”

~~ 0 ~~

Say hiii, dulu sama Bening, Mba Beb :-*

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Liam
Bening hamil kh thor? Bu Arum kesampean nambah cucu
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
ga tau kalau mba beb sdh ada cerita yg baru 1 bulan ini, eh mas pengacara udah nangkring aja di GN udah 17 hari ga baca GN iseng buka2 ternyata udah up banyak sekali... eeeh ada BENING kayaknya lg ISI Awan bentar lg mau punya ade... mba beb sy msh nunggu hutang pelunasan lhoooo ya cerita BENING_AGA
goodnovel comment avatar
Liz Kusnandar
Haaiii Bening,,, yeeeaayy,akhirnya bisa ketemu lg sm Bening dan mas aga...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status