Abi berdecak dan memandang rumah sang papa dari pekarangan rumah. Tatapannya memang tertuju pada teras, tetapi pikiran Abi masih terngiang-ngiang akan kejadian pagi tadi. Kenapa Bening dan Aga harus datang di saat yang tidak tepat? Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan utama. Namun, mengapa Abi melakukan hal tersebut pada Fika. Setan mana yang merasukinya, sampai-sampai Abi bisa khilaf seperti itu. Abi pasti sudah gila! Terlalu banyak menangani kasus, membuat pikirannya menjadi kacau. Sepertinya, Abi akan mengambil cuti setelah menyelesaikan kasus terakhirnya. Menenangkan pikiran, sambil bersantai di sebuah pantai. Untuk malam ini, Abi akan melupakan sejenak tentang masalah Fika. Besok pagi, ia akan menyempatkan diri bertamu ke kediaman Aga dan menyelesaikan semua masalah yang belum sempat mereka bahas lagi. Setelah menarik napas dalam-dalam, Abi memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Melihat ada mobil asing yang juga terparkir di pekarangan rumah, sepertinya R
“Ayo keluar!” Pintu yang berada di sebelah Rasyid, sudah lebih dulu dibuka oleh Martin. Namun, Rasyid belum kunjung keluar, karena mendengar Abi masih saja mengeluarkan desahan frustrasi dan hal tersebut sudah berlangsung sejak mereka masuk mobil. “Harus berapa kali Papa bilang, pertanggungjawabkan semua kelakuanmu sama Fika. Jangan jadi pengecut seperti ini. Berani berbuat, berani juga bertanggung jawab.” Abi mengucap kasar wajahnya dengan perlahan. Harusnya Abi bisa menahan diri, dan tidak tergoda dengan wajah Fika yang begitu …. “Papa, sudah berapa kali juga aku bilang, Fika itu sudah punya pacar.” “Cuma pacar,” decih Rasyid. “Janur kuningnya belum juga melengkung, Bi. Lagian, kalau kamu tahu Fika sudah punya pacar, kenapa masih nekat main sosor anak orang?” “Khilaf, Pa, khilaf!” Harus berapa kali Abi bilang, semua itu hanya kecelakaan yang tidak disengaja. “Itu cuma sekali.” “Kalau Aga sama Bening waktu itu nggak datang, kita nggak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya,” bal
“Afika Sutomo Nugraha binti Romi Nugraha.”Abi reflek mengumpat, saat melihat Aga terkekeh menghampirinya. Kenapa semua orang seolah bersuka cita, dan sangat bersemangat untuk menikahkan Abi dengan Fika? Mereka benar-benar kompak, dan Abi tidak menemukan satu celah pun untuk membatalkan semuanya. Andaipun ada, itu semua akan mengorbankan reputasinya sebagai seorang pria. Terlebih, dengan profesinya sebagai pengacara yang penuh integritas.“Jangan sampai lupa,” tambah Aga lalu menepuk bahu Abi, saat sudah berhenti di samping kawan lamanya itu. “Salah sedikit—““Berengsek.”Bukannya membalas, tetapi Aga justru tertawa puas.“Kalian semua, pasti sudah buat rencana ini sama Fika, kan?” tuduh Abi berspekulasi sendiri. Sejak tadi, Abi ingin sekali bertemu Fika agar bisa bicara empat mata. Namun, gadis itu tidak kunjung muncul dan entah berada di mana.“Jangan asal nuduh,” ucap Aga sudah menurunkan tangannya dari bahu Abi. “Semua ini nggak akan terjadi, kalau kamu bisa mengontrol dirimu send
“Jadi, bagaimana?” Rasyid berceletuk ketika malam semakin larut. Di ruang yang masih terhampar karpet tersebut, tinggal menyisakan keluarga saja. “Abi yang tinggal di sini dulu, atau Fika langsung ikut pulang ke rumah.” “Ke rumah?” Fika yang sedari tadi menempel pada Clara, sontak terbelalak. “Ke rumah Babe maks—“ “Papa, Fik.” Clara buru-buru meralat panggilan Fika pada Rasyid, sembari menyikut pelan lengan putrinya. “Iya, maksudnya, saya tinggal di rumah Papa Babe?” lanjut Fika langsung meralat ucapannya. Satu hal yang terlewat di benak Fika, ia harus tinggal bersama sang suami bila sudah menikah. Itu berarti, Fika akan tinggal satu atap bersama Abi. “Langsung? Malam ini juga?” Oh, tidak! Harusnya, Fika membicarakan hal tersebut dengan sang mama terlebih dahulu. Fika belum siap, jika harus meninggalkan rumah dalam keadaan mendadak seperti sekarang. “Kenapa? Belum siap?” sambar Romi melihat kebingungan di wajah putrinya. Jika berbicara siap, Fika pasti tidak siap. Sebenarnya, Romi
“Aku …” Fika menelan ludah. Buru-buru mengalihkan tatapannya dari Abi. Semakin lama menatap, debaran jantung Fika semakin jumpalitan tidak karuan. “Aku nggak mau hamil, jadi … jadi, nggak usah ngasih nafkah batin. Nggak papa, aku ikhlas. Aku, aku mau lulus kuliah dulu, jadi, Mas Abi nggak usah repot-repot mikirin nafkah batin buat aku.”Saking gugupnya, Fika sudah melupakan bahasa formalnya pada Abi. Andai ia bisa kabur, maka Fika akan keluar dan tidur di kamar tamu.“Lihat saya kalau bicara, Fika.” Tarikan napas Abi semakin dalam. Gadis di hadapannya saat ini, pasti tidak berpikir dahulu sebelum berucap. Bisa-bisanya Abi diminta tidak usah memikirkan nafkah batin? Fika memang bisa ikhlas, tetapi bagaimana dengan Abi.Lagi, Fika menelan ludah. Menoleh perlahan, dan kembali mempertemukan tatapannya dengan Abi. Dengan Hilmi, jantung Fika tidak pernah berdebar kencang seperti sekarang. Untuk itulah Fika selalu merasa lebih nyaman dan tidak harus merasakan kegugupan, juga ketegangan seper
“Viraaa …”Fika tersentak. Menahan napas, seraya menatap Abi yang masih bergerak di atasnya. Puncak pelepasan yang baru saja Fika rasakan, menguap seketika saat mendengar Abi mendesahkan nama wanita lain. Musnahlah sudah secuil harapan yang baru saja ia pupuk dengan banyak mimpi. Namun, ternyata nama seorang Fika, memang sungguh-sungguh tidak ada di dalam hati, juga pikiran Abi.Salah ….Pernikahannya dengan Abi, memang sudah salah sedari awal. Harusnya, Fika bisa menyadari dan tidak terjatuh dalam jebakan Abi, perihal tugas seorang istri. Abi … hanya butuh Fika untuk melepas kebutuhan biologisnya. Sementara hati pria itu, masih dipenuhi oleh nama Vira.“I love you …”Fika hanya bisa diam. Andai tidak ada nama Vira, rangkaian kalimat manis barusan pasti akan membuat Fika berbunga-bunga. Namun, tubuh yang baru saja terjatuh puas itu, tidak mengungkap rasa cintanya untuk Fika, melainkan … Vira.Malam pertama yang seharusnya penuh bahagia, kini harus berakhir duka, dan menyisakan luka.~
Fika menitikkan air mata saat memeluk Clara dengan erat. Masih merasa berat, bila harus pindah dan tinggal di kediaman Pamungkas karena telah menikah dengan Abi. Terlebih-lebih, pengalaman malam pertamanya dengan Abi sungguh menoreh luka yang begitu besar, dan Fika tidak mungkin melupakannya seumur hidup.“Sudah, nggak usah nangis.” Clara melepas pelukannya, lalu mengusap tiap titik air mata yang jatuh di pipi putrinya. “Mulai sekarang ini rumah kamu juga. Anggap, Babe itu papa kamu sendiri. Bukan orang lain.”Fika mengangguk-angguk, walaupun masih setengah hati. Andai malam pertamanya dengan Abi berjalan lancar, Fika tidak akan merasa sesak sendiri seperti sekarang.“Tapi aku mau sama Mama.” Fika kembali memeluk Clara dan menitikkan air mata. Padahal, jarak antara kediaman Pamungkas dan Nugraha tidak sampai memakan waktu hingga satu jam. Bahkan, bisa lebih cepat bila pergi menggunakan kendaraan roda dua.“Kan, tiap hari masih bisa ketemu, Mama.” Meskipun berat, tetapi Clara juga haru
Abi menghempas berkas di tangan untuk yang kesekian kalinya. Pikirannya bercabang. Sama sekali tidak bisa mengumpulkan konsentrasi, seperti biasa. Semua ucapan Fika selalu terngiang di ingatan, dan Abi masih saja tidak bisa mempercayainya. Apa benar Abi menyebut nama Vira ketika sedang bersama Fika? Rasa-rasanya, sungguh tidak masuk di akal. Namun, jika memang seperti itu, Abi jelas keterlaluan. Vira … Fika … Kenapa juga kekhilafan itu harus terjadi? Andai saja Abi bisa mengontrol diri, hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Tidak kunjung bisa fokus dengan kasus yang harus dipelajarinya, Abi akhirnya menutup laptop, lalu beranjak dari ruang kerjanya. Sembari melangkah pelan menuju kamar, Abi mengecek satu per satu pesan yang masuk ke ponselnya. Kemudian, ia membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu menghela saat melihat siluet Fika di tempat tidurnya. "Suami yang nyebut nama perempuan lain, waktu lagi berhubungan sama istrinya." "Kalau masih mau ngejar-ngejar dia, kejar