“Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”
Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.
“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa kuliah kalau dijodohin sama Abi? Kamu tetap bisa terus kuliah. Mau diterusin sampe S2 atau S3 juga nggak ada yang ngelarang.”
“Bukan.” Fika menggeleng seraya membuka lemari pendingin. “Aku mau fokus kuliah aja, dan nggak mau mikirin mas Abi, atau siapa pun.”
“Bening.” Karena Fika dari rumah gadis itu, Clara pun menyimpulkan semua perubahan Fika adalah karena Bening. “Dia ada ngomong apa sama kamu?”
Fika kembali menggeleng, setelah mengambil sebuah susuk kotak kemasan dari lemari pendingin. “Mbak Bening nggak ada ngomong apa-apa. Dia malah nyuruh aku cepat-cepat pulang, karena nggak enak badan, mau tidur. Masuk angin, mukanya keliatan capeek banget, Ma.”
“Sakit?” Clara mengerjap. Wajahnya berubah sedikit panik, dan tidak lagi memikirkan masalah Fika. Pernah menelantarkan Bening bertahun-tahun, lalu berutang nyawa, Clara pun tidak bisa diam saat mengetahui putrinya sakit seperti sekarang. “Kenapa baru bilang? Ck, Mama ke rumah Bening dulu, nanti kita bicara lagi kalau Mama sudah pulang.”
“Ma!” panggil Fika segera menyusul Clara dengan cepat. “Mbak Bening lagi tidur, nanti dia ngamuk kalau Mama ke sana. Kayak nggak tahu dia aja.”
Benar juga. Clara pun menghentikan langkah, lalu berbalik. Sebenarnya, Bening tidak akan mengamuk seperti yang diucap Fika. Namun, pembawaan putrinya yang cuek, ceplas ceplos, itulah yang membuat Bening terkadang terlihat sangat judes. Padahal, gadis itu hanya tidak bisa menyimpan apa pun yang ada di dalam hatinya.
“Ya, sudah.” Clara menyerah, dan tidak akan mengganggu putrinya. Lebih baik memberi jeda, dan mengirimkan pesan saja lebih dulu pada Bening. “Biar Mama telpon suaminya kalau begitu. Dan, kamu, Fika. Telpon pak Rasyid dan minta maaf karena sudah pergi tanpa pamit. Itu sama sekali nggak sopan!”
“I-iya, Ma.”
~~
“Saya, datang ke sini karena mau minta maaf masalah yang kemarin, Mas.” Fika tertunduk. Saat Rasyid menyuruhnya kembali datang ke firma untuk meminta maaf pada Abi, Fika sungguh tidak bisa menolaknya. Rasa bersalah karena pergi begitu sajalah, yang membuat Fika akhirnya datang pagi-pagi sekali ke kantor Abi, tanpa kehadiran Rasyid.
“Sebenarnya kamu nggak perlu datang ke sini,” ucap Abi memandang penampilan Fika yang masih seperti anak remaja. Tidak seperti Vira, yang sudah benar-benar matang dan tampak elegan. Bukan hanya perbedaan penampilan, tetapi, cara berpikir dan sifat tegas Viralah yang membuat Abi sangat tertarik dengan wanita itu sejak dulu. Vira termasuk wanita independen yang pintar, dan hal tersebut membuat kekaguman Abi semakin bertambah.
Sangat jauh berbeda dengan Fika.
“Babe yang nyuruh,” kata Fika sedikit mengangkat wajah untuk melihat wajah Abi, yang selalu terlihat sangat tampan baginya. Pria matang dengan pembawaan tenang itu, selalu bisa membuat Fika terhipnotis, dengan jantung yang tidak berhenti berdebar-debar.
Namun sayang sekali, Fika bahkan tidak ada dalam daftar wanita yang bisa menarik perhatian pria itu.
“Kamu bisa telpon.” Abi segera mengalihkan pembicaraan segera mungkin, untuk membahas perihal asisten pribadi. “Begini, Fika. Saya sudah punya sekretaris, jadi, saya nggak butuh asisten pribadi lagi. Jadi, mungkin kamu bisa magang di tempat lain. Di tempat … papamu mung—”
“Pagi.”
Abi reflek berdecak, saat melihat Rasyid memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Papanya itu, pasti memiliki sebuah rencana lain, untuk menyatukan Abi dan Fika sesuai dengan keinginannya.
Fika segera berdiri, lalu menyapa, “Pagi, Be.” Untuk apa lagi Rasyid datang ke kantor Abi?
“Pagi, Fika.” Langkah Rasyid langsung tertuju pada kursi kerja milik Abi yang kosong. Ia duduk di sana, dan memandang kedua orang yang duduk saling berhadapan itu. “Kamu sudah bisa magang mulai hari ini. Tugasmu nanti adalah mendampingi Abi, dan mempersiapkan semua keperluannya. Dari mulai pekerjaan, dan juga hal-hal pribadi selama kamu libur kuliah.”
“Papa—”
Rasyid mengangkat tangan, untuk menghentikan Abi berbicara. Namun, tatapannya justru tertuju pada Fika yang tidak terlihat antusias seperti kemarin. “Fika, kamu kenapa?”
Fika menggeleng pelan. Merasa tidak enak pada Abi. “Saya mau magang di tempat papa aja, Be. Mas Abi sudah punya sekretaris, jadi … kayaknya nggak butuh asisten pribadi.”
Bagus. Abi tersenyum tipis, dan merasa terbantu dengan ucapan Fika. Ia memang tidak butuh asisten pribadi, jadi untuk apa mempekerjakan Fika. Tidak akan ada gunanya sama sekali. Lagi pula, Abi pernah mendengar, Fika bukanlah murid yang menonjol di sekolah. Nilainya hanya rata-rata, seperti kebanyakan murid yang lain. Sangat berbeda jauh, jika hendak membandingkan dengan Vira.
“Kamu tahu, Fika.” Rasyid yakin, ini semua adalah ulah Abi. Putranya itu, pasti sudah memengaruhi Fika agar tidak jadi magang bersama Abi. “Orang itu, yang dipegang omongannya. Kamu sudah bilang mau jadi asisten pribadi Abi, kan? Jadi, selesaikan itu!”
Fika menggigit sudut bibir. Merasa kesal dengan dirinya sendiri, karena tidak bisa tegas dalam memberi keputusan. “Tapi, Be. Mas Abi sudah punya sekretaris. Jadi, tenaga saya kayaknya nggak terlalu berguna.”
“Betul,” sambar Abi membenarkan. Sesuai fakta yang akan terjadi nanti, Fika tidak akan berguna banyak untuk Abi. “Fika nanti cuma dapat capek aja, Pa.”
“Fika.” Rasyid mengabaikan perkataan putranya. Jika bukan dengan Fika, Rasyid tidak tahu lagi harus mendekatkan Abi dengan siapa. Usianya sudah terlalu tua, dan ia ingin melihat Abi menikah lagi dengan seorang wanita yang mencintainya. Jika saja Bening belum menikah dengan Aga, pastilah kandidat pertama Rasyid adalah wanita itu. “Ada perbedaan mendasar, antara pekerjaan sekretaris perusahaan dan asisten pribadi. Bu Ina, sekretaris Abi sekarang itu, hanya akan mengurusi semua hal terkait perusahaan. Sementara kamu nanti, akan ada di samping Abi selama jam kantor, dan akan mengurusi semua hal tentang Abi. SEMUA, karena kamu harus bisa ontime dan online 24 jam. Itu perbedaannya.”
Fika mengangguk, dan sudah paham akan hal tersebut. Papanya juga memiliki seorang asisten pribadi yang harus siap sedia, kapan pun dibutuhkan. Karena itulah, Fika tadinya sangat antusias ketika akan bekerja menjadi asisten pribadi Abi. Selain bisa selalu dekat dengan pria itu, Fika juga bisa mengetahui semua hal tentang Abi. “Tapi, Be. Mas Abi—”
“Nggak ada tapi-tapi, Fik,” putus Rasyid lalu menunjuk Abi. “Bi, Fika di sini cuma magang selama dua bulan, paling lama tiga bulan. Jadi, Papa titip dia, dan perlakukan Fika dengan baik dan semestinya. Masalah yang lain, yang sudah kita bicarakan kemarin, biar jadi urusan belakang. Paham kamu, Bi?”
“Dua bulan,” tawar Abi harus bernegosiasi lagi dengan Rasyid setelah ini. Karena Abi sudah menuruti permintaan Rasyid, maka pria itu harus memberi satu imbalan juga. “Fika bisa bekerja mulai besok, dan batas waktunya cuma dua bulan. Nggak lebih, dan setelah itu … selesai.”
Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Cita yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Cita pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari