Share

4. Lima Menit

Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.

Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.

“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.

“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.

“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.

“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”

“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai dirinya memiliki sedikit saja keberanian seperti Bening, Fika pasti sudah mendamprat Abi sejak awal. “Seperti kata Mas Abi, saya di sini cuma dua bulan, setelah itu selesai. Tapi, kalau Mas Abi memang nggak bisa memperlakukan saya dengan profesional, lebih baik saya berhenti dari sini.”

“Begini Fika.” Bukan seperti ini respons yang diharapkan oleh Abi. Perkataan Fika barusan, justru menempatkan Abi sebagai pihak yang bersalah dan tidak profesional. “Sejak awal, kamu tahu sendiri, saya sudah punya sekretaris yang mengurus semua hal terkait pekerjaan. Dan saya juga sudah bilang, kalau saya nggak butuh asisten pribadi. Jadi, saya bingung harus ngasih kerjaan apa sama kamu.”

“Mas Abi … cuma alasan, kan?” Fika berusaha menatap wajah tampan, yang selalu membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

Jual mahal! Taklukkan mas Abi! Tiba-tiba saja, kalimat yang dilontarkan Bening tempo hari terngiang di telinga. Apa bisa Fika menaklukkan Abi, yang sama sekali tidak tertarik padanya. Sementara, Abi sungguh-sungguh terlihat jatuh cinta sepenuh hidup dengan Vira. Sampai-sampai, pria itu tidak ingin menikah lagi, jika bukan dengan Vira.

“Saya … sudah dengar semuanya, kok,” lanjut Fika sembari menahan kegugupannya. “Maaf kalau nggak sopan, tapi waktu itu saya nguping pembicaraan Mas Abi dengan Babe. Jadi, saya sudah tahu semuanya.”

Apalagi sama perempuan … seperti Fika. Satu kalimat itu mendadak hinggap di kepala Abi. Berharap, Fika tidak akan mengungkit hal tersebut sama sekali, atau mengingatnya.

“Tapi, ada yang saya nggak ngerti.” Sebaiknya, Fika keluarkan saja unek-unek yang ada di kepalanya. “Saya nggak ngerti, kenapa waktu itu Mas Abi bilang nggak akan nikah lagi, apalagi dengan perempuan seperti … saya?” tembak Fika dengan hati-hati dan mengucapkannya dengan perlahan. “Memangnya, saya kenapa? Terus, di mata Mas Abi … saya itu perempuan seperti apa?”

Habislah sudah. Abi tidak menyangka Fika telah menguping pembicaraannya dengan Rasyid kala itu. Abi tidak pernah bermaksud merendahkan Fika. Namun, bila ingin membandingkan gadis itu dengan Vira, jelas saja Fika tidak ada apa-apanya.

“Saya minta maaf kalau ada kata-kata yang nggak berkenan waktu itu.” Jurus terakhir yang bisa dilemparkan Abi, hanyalah meminta maaf. Abi tahu, ia salah, dan tidak akan memungkirinya. Ia tidak akan berkelit ataupun menyanggah, karena hal tersebut hanya akan menambah masalah saja. Jangan sampai, hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama, akan berakhir renggang karena masalah seperti ini. “Tapi, saya nggak ada maksud apa pun di balik itu.”

Fika tahu Abi hanya beralasan. Namun, karena Fika tidak suka berdebat, jadi sudahlah. Ia hanya mengangguk, dan menerima pernyataan Abi. Yang terpenting sekarang ialah, Fika bisa mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya selama ini.  

“Kalau gitu, lupain aja semuanya,” kata Fika akan mulai mengubur perasaannya pada Abi sejak saat ini. “Masalah Babe yang mau kita saling mengenal, terus minta Mas Abi nikahin saya setelah lulus kuliah … semua itu lupain aja. Anggap aja pembicaraan itu nggak pernah ada, karena saya juga nggak punya rencana untuk nikah muda. Apalagi sama duda yang umurnya jauh di atas saya, kayak Mas Abi.”

Fika terkekeh pelan untuk mengusir rasa gundahnya. Menyimpan pilunya sendiri, dan berusaha tetap terlihat bahagia di depan Abi.

“Maaf, saya cuma becanda.” Fika buru-buru meralat kalimat terakhirnya, agar Abi tidak tersinggung. “Semoga, Mas Abi nanti bisa nikah sama ibu Vira.”

“Fika.” Abi semakin tidak enak hati dan serba salah. Ternyata, Fika sungguh mengingat semua hal yang dibicarakannya dengan Rasyid dengan detail. Untuk itu, Abi berinisiatif mendekati Fika dan berdiri berhadapan. Ada yang harus ia jelaskan, dan Fika harus memberi perhatian lebih agar tidak ada lagi kesimpangsiuran ke depannya. “Jangan salah pah—”

“Saya nggak suka sama Mas Abi, kok,” putus Fika kembali menunjukkan wajah cerianya. Ia mundur satu langkah, karena debaran jantungnya semakin tidak karuan ketika Abi menghampiri. Jangan sampai, Fika menunjukkan ketertarikannya kepada pria itu.

“Jadi, jangan terlalu dipikirin,” sambung Fika. “Tadinya, saya itu mau magang di perusahaannya mas Aga, tapi nggak dibolehin sama mbak Bening.” Untung saja Fika bisa memberi banyak alasan, meskipun harus berbohong demi menutupi alibinya. “Kalau di perusahaan papa, saya nggak mau nantinya diistimewain sama karyawan lain. Makanya, pilihannya magang di sini sambil ngisi waktu luang. Jadi, saya minta maaf kalau sudah ngerepotin Mas Abi.”

“Fika.” Abi terpaku, dan tidak berani melangkah lagi ketika Fika menghindarinya. Sedikitnya, Abi bisa melihat luka yang terpancar dari raut wajah yang penuh dengan senyum palsu itu. “Sekali lagi saya minta maaf. Kalau kamu memang mau magang di sini, dan memang niat cari pengalaman, kamu bisa bantu kerjaan bu Ina di depan. Kamu bisa tanya-tanya tentang semuanya sama beliau.”

“Makasih, Mas.” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum di wajah. Dari perkataan Abi, ia bisa menilai pria itu tidak ingin dekat dengan Fika. “Tapi … sepertinya saya udahan aja. Habis makan siang sama bu Ina, saya pamit dari sini biar nggak jadi beban buat Mas Abi.”

“Fika, kamu bukan beban,” sanggah Abi kembali ingin menghabiskan jaraknya, tetapi Fika kembali menjauhinya. Karena itu juga, Abi akhirnya berhenti melangkah. “Tapi, saya memang nggak ada kerjaan buat kamu.”

Fika mengangguk. “Saya tahu, makanya saya mau pamit dari sini. Makasih karena sudah mau nampung saya selama seminggu di sini.”

“Fika.” Abi jadi semakin merasa bersalah. Opsi yang ditawarkannya pun, langsung ditolak oleh Fika. “Tolong, jangan seperti ini. Selesaikan dulu tanggung jawabmu selama dua bulan di sini. Karena saya nggak mau hubungan keluarga kita renggang, cuma karena masalah magang. Saya nggak mau mama kamu salah paham, dan ngira anaknya kenapa-kenapa selama di sini.”

“Nanti …” Fika menggigit sudut bibirnya sebentar untuk berpikir. “Biar saya yang ngomong, kalau … nggak sanggup kerja sama Mas Abi.”

Tidak bisa begitu. Clara pasti akan berpikiran macam-macam pada Abi, dan hubungan mereka ke depannya pasti akan canggung.

“Begini aja.” Dengan terpaksa, Abi akan memberi pekerjaan pada gadis itu agar Fika tidak berhenti bekerja. “Ambil tasmu, dan ikut aku ketemu klien makan siang.”

Fika mengerjap dan masih memproses ucapan Abi. Apa dirinya tidak salah dengar? Abi mengajaknya pergi untuk bertemu klien?

“Fika ayo!” kata Abi sambil berlalu melewati Fika. “Kita bisa telat, kalau kamu bengong seperti itu.”

“Tapi, Mas—”

“Nggak ada tapi-tapi! Lima menit kamu nggak muncul di bawah, saya tinggal!”

 

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
mending mundur aja Fika.. udah jelas banget Abi nolak kamu
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
kok nyesek ya dengan semuanya dari fika sendiri bilang begitu ke Abi
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status