Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.
Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.
“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.
“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.
“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.
“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”
“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai dirinya memiliki sedikit saja keberanian seperti Bening, Fika pasti sudah mendamprat Abi sejak awal. “Seperti kata Mas Abi, saya di sini cuma dua bulan, setelah itu selesai. Tapi, kalau Mas Abi memang nggak bisa memperlakukan saya dengan profesional, lebih baik saya berhenti dari sini.”
“Begini Fika.” Bukan seperti ini respons yang diharapkan oleh Abi. Perkataan Fika barusan, justru menempatkan Abi sebagai pihak yang bersalah dan tidak profesional. “Sejak awal, kamu tahu sendiri, saya sudah punya sekretaris yang mengurus semua hal terkait pekerjaan. Dan saya juga sudah bilang, kalau saya nggak butuh asisten pribadi. Jadi, saya bingung harus ngasih kerjaan apa sama kamu.”
“Mas Abi … cuma alasan, kan?” Fika berusaha menatap wajah tampan, yang selalu membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Jual mahal! Taklukkan mas Abi! Tiba-tiba saja, kalimat yang dilontarkan Bening tempo hari terngiang di telinga. Apa bisa Fika menaklukkan Abi, yang sama sekali tidak tertarik padanya. Sementara, Abi sungguh-sungguh terlihat jatuh cinta sepenuh hidup dengan Vira. Sampai-sampai, pria itu tidak ingin menikah lagi, jika bukan dengan Vira.
“Saya … sudah dengar semuanya, kok,” lanjut Fika sembari menahan kegugupannya. “Maaf kalau nggak sopan, tapi waktu itu saya nguping pembicaraan Mas Abi dengan Babe. Jadi, saya sudah tahu semuanya.”
Apalagi sama perempuan … seperti Fika. Satu kalimat itu mendadak hinggap di kepala Abi. Berharap, Fika tidak akan mengungkit hal tersebut sama sekali, atau mengingatnya.
“Tapi, ada yang saya nggak ngerti.” Sebaiknya, Fika keluarkan saja unek-unek yang ada di kepalanya. “Saya nggak ngerti, kenapa waktu itu Mas Abi bilang nggak akan nikah lagi, apalagi dengan perempuan seperti … saya?” tembak Fika dengan hati-hati dan mengucapkannya dengan perlahan. “Memangnya, saya kenapa? Terus, di mata Mas Abi … saya itu perempuan seperti apa?”
Habislah sudah. Abi tidak menyangka Fika telah menguping pembicaraannya dengan Rasyid kala itu. Abi tidak pernah bermaksud merendahkan Fika. Namun, bila ingin membandingkan gadis itu dengan Vira, jelas saja Fika tidak ada apa-apanya.
“Saya minta maaf kalau ada kata-kata yang nggak berkenan waktu itu.” Jurus terakhir yang bisa dilemparkan Abi, hanyalah meminta maaf. Abi tahu, ia salah, dan tidak akan memungkirinya. Ia tidak akan berkelit ataupun menyanggah, karena hal tersebut hanya akan menambah masalah saja. Jangan sampai, hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama, akan berakhir renggang karena masalah seperti ini. “Tapi, saya nggak ada maksud apa pun di balik itu.”
Fika tahu Abi hanya beralasan. Namun, karena Fika tidak suka berdebat, jadi sudahlah. Ia hanya mengangguk, dan menerima pernyataan Abi. Yang terpenting sekarang ialah, Fika bisa mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya selama ini.
“Kalau gitu, lupain aja semuanya,” kata Fika akan mulai mengubur perasaannya pada Abi sejak saat ini. “Masalah Babe yang mau kita saling mengenal, terus minta Mas Abi nikahin saya setelah lulus kuliah … semua itu lupain aja. Anggap aja pembicaraan itu nggak pernah ada, karena saya juga nggak punya rencana untuk nikah muda. Apalagi sama duda yang umurnya jauh di atas saya, kayak Mas Abi.”
Fika terkekeh pelan untuk mengusir rasa gundahnya. Menyimpan pilunya sendiri, dan berusaha tetap terlihat bahagia di depan Abi.
“Maaf, saya cuma becanda.” Fika buru-buru meralat kalimat terakhirnya, agar Abi tidak tersinggung. “Semoga, Mas Abi nanti bisa nikah sama ibu Vira.”
“Fika.” Abi semakin tidak enak hati dan serba salah. Ternyata, Fika sungguh mengingat semua hal yang dibicarakannya dengan Rasyid dengan detail. Untuk itu, Abi berinisiatif mendekati Fika dan berdiri berhadapan. Ada yang harus ia jelaskan, dan Fika harus memberi perhatian lebih agar tidak ada lagi kesimpangsiuran ke depannya. “Jangan salah pah—”
“Saya nggak suka sama Mas Abi, kok,” putus Fika kembali menunjukkan wajah cerianya. Ia mundur satu langkah, karena debaran jantungnya semakin tidak karuan ketika Abi menghampiri. Jangan sampai, Fika menunjukkan ketertarikannya kepada pria itu.
“Jadi, jangan terlalu dipikirin,” sambung Fika. “Tadinya, saya itu mau magang di perusahaannya mas Aga, tapi nggak dibolehin sama mbak Bening.” Untung saja Fika bisa memberi banyak alasan, meskipun harus berbohong demi menutupi alibinya. “Kalau di perusahaan papa, saya nggak mau nantinya diistimewain sama karyawan lain. Makanya, pilihannya magang di sini sambil ngisi waktu luang. Jadi, saya minta maaf kalau sudah ngerepotin Mas Abi.”
“Fika.” Abi terpaku, dan tidak berani melangkah lagi ketika Fika menghindarinya. Sedikitnya, Abi bisa melihat luka yang terpancar dari raut wajah yang penuh dengan senyum palsu itu. “Sekali lagi saya minta maaf. Kalau kamu memang mau magang di sini, dan memang niat cari pengalaman, kamu bisa bantu kerjaan bu Ina di depan. Kamu bisa tanya-tanya tentang semuanya sama beliau.”
“Makasih, Mas.” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum di wajah. Dari perkataan Abi, ia bisa menilai pria itu tidak ingin dekat dengan Fika. “Tapi … sepertinya saya udahan aja. Habis makan siang sama bu Ina, saya pamit dari sini biar nggak jadi beban buat Mas Abi.”
“Fika, kamu bukan beban,” sanggah Abi kembali ingin menghabiskan jaraknya, tetapi Fika kembali menjauhinya. Karena itu juga, Abi akhirnya berhenti melangkah. “Tapi, saya memang nggak ada kerjaan buat kamu.”
Fika mengangguk. “Saya tahu, makanya saya mau pamit dari sini. Makasih karena sudah mau nampung saya selama seminggu di sini.”
“Fika.” Abi jadi semakin merasa bersalah. Opsi yang ditawarkannya pun, langsung ditolak oleh Fika. “Tolong, jangan seperti ini. Selesaikan dulu tanggung jawabmu selama dua bulan di sini. Karena saya nggak mau hubungan keluarga kita renggang, cuma karena masalah magang. Saya nggak mau mama kamu salah paham, dan ngira anaknya kenapa-kenapa selama di sini.”
“Nanti …” Fika menggigit sudut bibirnya sebentar untuk berpikir. “Biar saya yang ngomong, kalau … nggak sanggup kerja sama Mas Abi.”
Tidak bisa begitu. Clara pasti akan berpikiran macam-macam pada Abi, dan hubungan mereka ke depannya pasti akan canggung.
“Begini aja.” Dengan terpaksa, Abi akan memberi pekerjaan pada gadis itu agar Fika tidak berhenti bekerja. “Ambil tasmu, dan ikut aku ketemu klien makan siang.”
Fika mengerjap dan masih memproses ucapan Abi. Apa dirinya tidak salah dengar? Abi mengajaknya pergi untuk bertemu klien?
“Fika ayo!” kata Abi sambil berlalu melewati Fika. “Kita bisa telat, kalau kamu bengong seperti itu.”
“Tapi, Mas—”
“Nggak ada tapi-tapi! Lima menit kamu nggak muncul di bawah, saya tinggal!”
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela