“Harusnya, kamu jangan mengambil keputusan waktu lagi emosi seperti tadi.” Malam itu, Aga dan Bening sepakat membatalkan acara nonton mereka, karena permasalahan yang menimpa pernikahan Fika dan Abi. Bening tetap berada di kediaman Nugraha, sementara Aga mengantar Abi pulang ke rumahnya. Setelah ini, Abi pasti akan berhadapan langsung dengan Rasyid. “Harusnya, kamu pikirkan berulang kali waktu mau ngucap talak buat Fika,” tambah Aga tetap berusaha fokus dengan kemudinya. “Jadi, aku lagi dapat nasehat dari orang yang juga sudah menceraikan istrinya.” Abi mendengkus, dan hanya menatap keluar jendela. “Masalahku dengan Vira, itu sudah terjadi bertahun-tahun,” terang Aga, tetapi tidak akan menceritakan duduk permasalahan mereka pada Abi. Semua itu, biarlah menjadi rahasia antara Aga, Vira, dan kedua keluarga mereka. Aga sudah menutup buku, dan merajut masa depan yang lebih baik lagi bersama Bening. “Aku sudah berulang kali ngasih teguran, dan kesempatan tapi … akhirnya aku angkat tang
“Vir, aku keluar dari kasus Darius Iskak.”Begitu Abi diusir dari ruang kerja yang kembali diduduki Rasyid, ia berjalan keluar sembari menelepon Vira. Mengabarkan, dirinya sudah tidak lagi menangani semua kasus yang terkait dengan Darius Iskak.“Oh, aku tahu.” Vira menjawab dengan santai. “Babe sudah nelpon aku tadi malam, and it’s oke. Nggak ada masalah.”Abi berhenti ketika hendak menaiki tangga. Nada bicara Vira tidak terdengar prihatin, atau bersimpati sama sekali. Vira sungguh terdengar biasa-biasa saja. Tegas, dan tanpa keraguan seperti yang sudah-sudah. Bahkan, wanita itu tidak bertanya mengapa, dan ada apa, sehingga Abi tidak lagi menangani kasus yang berawal dari tindakan asusila tersebut.“Jadi, papaku sudah nelpon kamu … tadi malam?” Abi ingin memastikannya lagi.“Ya,” jawab Vira begitu meyakinkan. “Aku juga kaget pas beliau telpon, dan bilang nggak perlu lagi hubungi kamu terkait masalah money laundering. Babe bilang, langsung konsultasikan ke beliau. And it’s fine.”“Kamu
Lagi-lagi, Fika berdecak karena mobil Abi masih saja berada tidak jauh di belakangnya. Sampai kapan pria itu mau mengikuti Fika seperti sekarang? Apa pria itu tidak memiliki pekerjaan?Apa mau Abi sebenarnya?Kesal karena terus diikuti, Fika lantas menyalakan lampu sein untuk menepi. Benar saja. Mobil Abi juga menepi dan ikut berhenti saat Fika lebih dulu menghentikan roda empatnya. Dengan menahan kesal, Fika keluar dan segera menghampiri mobil mantan suaminya.Melihat Fika berjalan ke arahnya, Abi bergegas keluar lalu duduk di depan kap mobilnya. “Aku bakal ikutin kamu terus, kalau kamu nggak mau bicara.”“Mas, ini jam kerja.” Fika tahu benar betapa padatnya pekerjaan Abi sebagai pengacara. Namun, mengapa pria itu bisa memiliki waktu luang, untuk mengejar Fika seperti sekarang. “Nggak ada sidang apa? Atau—”“Aku sekarang kerjanya suka-suka,” potong Abi hendak meraih jemari Fika, tetapi gadis itu sigap menarik tangannya lalu bersedekap. “Datang ke kantor syukur, nggak datang juga ngga
“Terima! Terima! Terima!”Seketika suasana kafe menjadi riuh dengan teriakan pengunjung. Belum lagi, ada beberapa di antara pengunjung, yang mengarahkan ponsel ke arah Abi dan Fika, untuk merekam momen yang jarang terjadi tersebut.“Mas, jangan bikin malu,” desis Fika berusaha tidak menghentakan kakinya di depan orang-orang. “Ada yang rekam, jadi berdiri.”“Kamu tinggal jawab iya, dan masalah selesai,” balas Abi penuh harap dan masih berlutut dengan satu kaki, dan kedua tangan memegang kotak cincin ke arah Fika. Yang Abi tahu, semenjak tidak ada Fika hatinya selalu saja gelisah. Merana, dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun.Karena itulah, untuk menenangkan hati dan pikirannya yang selalu diliputi rasa sesal, Abi sudah bertekad untuk mengejar Fika sampai dapat.“Mana bisa begitu, Mas.”Jika diterima, Fika khawatir akan mengalami sebuah pola yang sama seperti sebelumnya. Abi hanya akan berusaha bersikap manis, ketika tidak ada nama Vira terselip di antara mereka. Namun,
Lagi-lagi Abi.Apa pria itu tidak bosan mendatangi kampus Fika setiap harinya? Abi selalu datang dengan membawa sesuatu, seperti cokelat, bunga, aksesoris, dan berbagai benda lainnya, yang membuat Fika tidak sampai hati bila menolak.Namun, meskipun begitu Fika tetap belum mau diajak rujuk dengan Abi. Walaupun, hampir seluruh kampus sudah mengetahui, bahwa Abi adalah suami Fika.Ya, suami. Karena pria itu selalu memperkenalkan diri sebagai suami Fika, bila ada seseorang yang bertanya tentang hubungan mereka.Sungguh mengesalkan, sekaligus membuat Fika sedikit berbangga diri, karena beberapa temannya juga mengetahui siapa Abi.“Mas Abi, tuh, kayak nggak punya kerjaan, tahu nggak?” Fika menghentak kaki, saat Abi sudah berdiri di depannya. “Hampir tiap hari datang ke kampusku itu, mau ngapain?”“Kamu, kan, sudah tahu jawabannya.” Abi meraih tangan Fika, lalu memberikan sebuah paper bag di tangan gadis itu. “Aku mau rujuk, sebelum masa iddahmu habis, Fik. Ayolah, jangan keras hati.”“Aku
“Ehm!”Fika segera mendorong tubuh Abi, setelah mendengar deheman sang papa dari arah pintu. Romi pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak, karena sempat melihat Fika berada dalam pelukan Abi.“Papa, aku—”“Pagi, Pa,” sapa Abi segera memotong perkataan Fika. Dengan wajah tanpa dosa, Abi segera menghampiri Romi dan meraih tangan pria itu lalu menciumnya sebagai rasa hormat. “Saya, mau ngajak Fika sarapan di luar.”Romi menghela. “Tadi malam, kamu sudah bawa makanan dan sisanya masih banyak. Nasi goreng aja belum disentuh sama sekali. Terus … apa lagi yang Abi bawa tadi malam, Fik?” Romi kemudian beranjak dari ambang pintu, untuk duduk di kursi di sebelahnya.“Banyak, Pa,” jawab Fika. “Daripada mubazir, nanti mau dipanasi aja kata bibik.”“Dengar itu, Bi.” Romi dapat melihat jelas, Abi sedikit tidak mengurus penampilannya. Kedua matanya juga tampak cekung, seperti kurang istirahat. Sebenarnya, Romi kasihan melihat Abi seperti sekarang. Namun, ia juga belum bisa melepas Fika sepenuhnya p
“Papa … di sini?”Abi bersikap tenang, saat memasuki kamar Rasyid. Melihat Romi dan Clara yang sudah duduk berdampingan di sofa, dan melempar tatapan penuh tanya padanya. Tadinya. Abi mengira kedua orang tua Fika itu masih berada di ruang tamu. Akan tetapi, Imah mengatakan, Romi dan Clara langsung diminta Rasyid untuk masuk ke kamarnya.Romi mengangguk kecil. “Tadinya mau nunggu kabar dari kamu, tapi mamanya Fika minta langsung nyusul ke sini.”Abi duduk perlahan di sudut tempat tidur, tepat di samping ujung kaki Rasyid. Pantas saja Romi dan Clara sampai dengan cepat, sebab keduanya segera menyusul Abi setelah ia dan Fika meninggalkan kediaman Nugraha.Karena itu, dengan terpaksa Abi harus menghentikan kegiatan panasnya dengan Fika dan kembali ke kamar Rasyid dengan dengan segera.“Fika ke mana, Bi?” tanya Clara tidak melihat putrinya menyusul di belakang Abi.“Oh …” Abi menatap pintu kamar yang terbuka lebar. “Lagi bikin teh hangat.”“Dan kamu dari mana?” Romi pun ikut memberi pertan
“Mas.” Fika bersandar pada bingkai pintu ruang kerja yang tidak tertutup. Memandang Abi yang tengah sibuk di depan laptop, dan terlihat sangat serius. “Papa baru istirahat. Jadi aku mau pulang, tadi sudah pamit juga.”“Tidur?” Wajah kusut Abi yang tengah membaca perkembangan salah satu kasus, semringah seketika. Bila Rasyid tengah beristirahat, itu artinya Fika sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menghindarinya.Tanpa mematikan laptop milik Rasyid terlebih dahulu, Abi langsung beranjak menghampiri Fika dan meraih pinggang ramping gadis yang kembali sah menjadi istrinya. “Mau pulang?”Fika meletakkan kedua tangan di dada Abi. Mengangkat wajah, dan memandang wajah yang selalu saja terlihat tampan tanpa cela di matanya. Rasanya sungguh seperti mimpi. Pria pujaan hati yang selama ini dicintai Fika, akhirnya benar-benar jatuh ke pelukannya. Andai benar mimpi, Fika sepertinya tidak ingin bangun dan ingin terus tertidur dengan bahagia seperti saat ini. “Pulang ke rumahku maksudnya, buka k