Apartemen Axel terbilang lumayan besar. Tetapi, bagi seseorang yang memiliki harta berlimpah, apartemennya bukanlah apa-apa. Namun, Bianca tak pernah mempermasalahkan hal itu. Gadis itu memilih duduk di sofa. Bibirnya tersenyum manis. "Kenapa? Kecil ya apartemenku?" tanya Axel.
"Aku gak berpikir begitu."
"Lalu apa yang kamu pikirkan?" Axel duduk disebelah Bianca. Pria itu menyentuh kepala Bianca, lalu disandarkan pada bahunya.
"Apartemenmu rapi dan bersih."
"Itu karena aku yang rajin membersihkannya," ungkap Axel agak sedikit gugup. "Untung saja, aku selalu membersihkan Apartemenku setiap hari," batinnya.
"Lalu, sebenarnya apa pekerjaanmu?"
"Kamu ingin tahu?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala. Pria itu membelai rambut panjangnya dengan lembut. Sesekali, ia mengecup lembut kening Bianca. Perasaan Bianca semakin kuat karena sikap manis pria itu.
"Kalau kamu belum memiliki pekerjaan yang tetap, aku bisa memberimu jabatan di kantor," ucapnya dengan bersungguh-sungguh.
"Kamu serius, Dear?"
"Iya, aku serius. Bagaimana? Mau?"
"Boleh juga nih. Kalau aku bisa bekerja di kantornya dan memiliki berpenghasilan yang baik, aku akan menghasilkan uang yang banyak. Aku tidak lagi bingung mengurusi uang karena hidupku sudah berkelimpahan harta," batin Axel. Tatapan matanya penuh ambisi.
Dia hanya mempermainkan perasaan Bianca yang tulus. Gadis yang malang. Dia salah telah bertemu pria seperti Axel yang tidak pernah serius dengannya. Namun, Bianca yang terjebak oleh rencananya yang licik, hanya menunggu waktu hingga gadis itu menyadari perbuatan Axel.
"Gak mau ya?" terka Bianca.
"Kalau aku langsung bekerja dikantormu, banyak orang yang akan merendahkanmu. Reputasimu akan memburuk. Dan aku tidak mau hal itu terjadi, Dear." Axel kembali membelai rambut Bianca.
"Lalu, kamu mau bagaimana?"
"Aku akan mengikuti prosedur sebagai karyawan baru," ucap Axel. Ia hanya berkilah dan dianggap sebagai pria yang baik. Cara itu dapat membuktikan dirinya layak.
"Hmm...Baiklah." Axel mengecup lembut bibir gadis itu. Tak ingin sekadar kecupan. Pria itu kembali menciumnya. Ciuman mereka begitu panas dengan lidah mereka yang saling bermain.
Axel semakin bergairah. Bibirnya ingin menggapai leher Bianca dalam sekejap. Tanpa membiarkan bibirnya menganggur, bibirnya berselancar dengan indah hingga ke leher Bianca. Gadis itu merasakan sensasi yang menggelitik saat bibir Axel menyentuh lehernya.
Setelah cukup lama bermain, Axel mengecup kening Bianca. Pria itu tersenyum. Walau gairahnya tinggi, ia tidak mau merusak rencana yang ia susun dengan sempurna. "Ayo, kita memasak bersama, Dear!" Axel menarik Bianca, lalu menggenggam tangan gadis itu.
"Kalau kamu menggenggam tanganku, gimana caranya kita memasak, Axel?"
"Biar lebih romantis saja. Ubah dong, panggilanmu ke aku."
"Namamu kan, Axel. Aku harus memanggilmu apa?" ucapnya polos.
"Sayang atau honey atau mungkin darling. Ya seperti itulah," jawab Axel seraya mengambil satu ekor ayam yang masih mentah di kulkas.
"A┄Aku gak terbiasa panggil seseorang seperti itu." Wajahnya merona.
"Kamu harus terbiasa, Dear. Kita kan pasangan atau..."
"Atau ap┄" Axel membungkam Bianca dengan mencium bibirnya. Gadis itu membalas ciumannya. Nafas mereka saling beradu.
"Seperti ini. Anggap saja ini hukumanmu karena tidak memanggil namaku dengan sebutan mesra," bisik Axel. Pria itu menyeringai.
"A┄Aku akan melakukannya."
"Panggil aku apa, Dear?"
"Sa┄Sayang."
"Terdengar indah." Axel mengecup pipi Bianca. Namun, gadis itu malah mendorongnya karena gugup.
"Ki┄Kita harus fokus memasak."
"Memangnya kamu tahu apa yang kita masak?" tanya Axel.
"Ayam panggang?"
"No, Dear. Itu terlalu umum. Aku ingin yang sedikit berbeda dari biasanya."
"Kalau begitu... Apa mungkin ayam bumbu kecap?"
"Itu juga bukan."
"Ayam saos inggris?"
"Bukan masakan indonesia, Dear."
"Lalu kalau bukan masakan indonesia, apa mungkin masakan Jepang? Atau chinese food?"
"No, no, no. Kali ini kita akan memasak masakan Eropa."
"Eropa terkenal dengan bumbunya yang khas. Ayam sebagai bahan utama. Lalu, untuk bumbunya?"
"Jangan khawatir, Dear! Di Apartemenku sangat lengkap." Axel mengambil bumbu-bumbu seperti merica, bawang putih, bawang merah, dan jenis bumbu lainnya.
"Kamu menyimpannya dilemari. Tentu saja, aku gak tahu."
"Itu supaya lebih rapi saja, Dear," Axel mengecup bibir Bianca. Gadis itu tegang seketika.
"Oh ya, ada yang kurang lengkap. Kurang satu lagi."
"Apa itu?"
"Wine red."
"Kenapa anggur merah?"
"Karena masakan yang akan kita buat ini namanya coq au vin."
"Masakan perancis?"
"That's right!" Axel mengecup pipi Bianca sebagai hadiah karena apa yang dikatakannya benar. "Tunggu sebentar ya, dear!" Axel mengambil salah satu anggur merah terbaik diantara ratusan. Sebenarnya, semua anggur merah itu bukan miliknya. Itu semua Angel yang punya. Wanita itu selalu menitipkan anggur-anggurnya di Apartemen Axel karena suaminya tak suka ada alkohol di rumah mereka.
Axel sendiri takkan mampu membeli anggur dari luar negeri dalam jumlah banyak. "Angel, aku pinjam anggurmu ya. Suatu saat nanti kalau aku dapat uang banyak, aku akan mengembalikan anggurmu," batin Axel, seolah-olah Angel ada disana. Pria itu tahu sebotol anggur milik Angel seharga puluhan juta.
Merasa agak sedikit bosan, Bianca duduk disofa. Ketika ia menoleh untuk melihat sekitarnya, rasa ketertarikannya muncul pada sebuah foto yang berada agak jauh darinya. Bianca memberanikan diri untuk melihat foto itu. Axel yang tengah tersenyum. Dia tampak sendirian disana, tetapi ada bayangan seseorang yang agak buram.
Bianca meyakini bayangan itu seperti sosok wanita. Segala pikiran buruk mengenai Axel menusuk jantungnya. Perasaan itu kian memburuk. Perlahan, ia menutup kedua matanya. Tanpa terasa, air matanya menetes. Akankah keburukan Axel terungkap hanya dari sebuah foto?
Axel melihat Bianca yang menatap fotonya tiada henti. Pria itu tersenyum, seraya meletakkan anggur merah di meja. Dia melangkahkan kakinya, memeluk Bianca dari arah belakang. Secara spontan, gadis itu langsung melepaskan pelukan Axel.
"Ada apa, Dear?" Axel menaikkan salah satu alisnya karena bingung.
"Katakan padaku, apa kamu sungguh mencintaiku? Kamu tidak mempermainkan perasaanku?"
"Ada apa ini? Apa mungkin Bianca tahu tentang rencanaku? Tidak mungkin. Hanya aku dan Angel yang tahu. Tampaknya, Angel tak mengenal Bianca, mana mungkin dia tahu," batin Axel.
"Ternyata benar, kamu hanya..." sebelum Bianca selesai bicara, Axel terlebih dahulu mencium bibirnya. Bianca mendorong Axel namun kedua tangannya ditangkap oleh pria itu. Semarah apapun Bianca, dia tetaplah seorang perempuan, tidak akan bisa menang melawan pria.
Air mata Bianca terus berdatangan. Axel melepaskan ciumannya, lalu mengusap air mata Bianca. "Dengarkan aku dulu, Dear! Aku tidak pernah mempermainkan perasaanmu," ucap Axel.
"Pembohong!"
"Aku serius. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa melihat tatapan mataku," ujar Axel. Kedua matanya menatap Bianca begitu dalam. Axel menahan kebohongannya dengan deretan gigi atas dan deretan gigi bawah saling bersentuhan. Hal itu tidak akan membuat Bianca curiga. Hanya Angel yang tahu trik lamanya.
"La┄Lalu siapa wanita itu?" ucap Bianca sambil menunjuk pada foto Axel.
"Foto wanita? Siapa?" tanya Axel. Ia mengerutkan kening.
"Ini apa?"
"Oh, itu. Dia adalah sepupu aku," elak Axel. Sebenarnya, ia baru menyadari ada bayangan Angel disana.
"Sepupumu? Sepertinya tidak mirip."
"Itu karena dia ikut dari gen ayahnya. Tak heran, warna kulitnya berbeda denganku," ucapnya berbohong.
"Jadi begitu."
"Kalau kamu gak percaya, aku bisa menghubunginya sekarang. Tetapi, jam segini biasanya dia sibuk mengurusi suaminya."
"Dia sudah menikah?"
"Iya. Dia menikah muda. Mereka tampak bahagia," Axel menghela nafas. Rasa gugupnya berkurang. "Bagaimana? Mau kutelepon dia sekarang, agar kamu percaya denganku?"
"Eh, jangan deh. Kamu bilang dia sibuk. Aku juga tidak ingin mengganggu pasangan yang berbahagia."
"Aku hanya ingin kamu mempercayaiku. Hanya itu satu-satunya cara agar kamu tidak meragukan perasaanku," ujar Axel. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan Bianca.
"Aku tidak akan lagi meragukanmu," Bianca menampakkan senyuman indahnya.
"Aku senang, akhirnya kamu mempercayaiku." Axel memeluk Bianca. Gadis itu merasa paling bahagia dicintai Axel. Namun, ia tak pernah ada dihati pria itu.
Axel mendesah. Gairahnya memuncak. Sentuhan Vivian memang tak bisa ia tolak. Axel memperdalam ciumannya. Mereka saling melirik pada film yang mereka tonton, hingga durasi adegan panas pada film itu habis. Mereka saling melepaskan diri. "Kamu sungguh cepat. Aku kira kamu akan kalah dariku," kata Axel. "Aku adalah roh iblis. Sulit bagiku untuk kalah dari pria sepertimu." "Baiklah. Mari kita tunggu adegan selanjutnya. Kali ini, aku akan menang." "Oh ya? Kamu tidak akan menang dariku." Vivian mendekati Axel hingga wajah mereka begitu dekat. Wanita itu tersenyum miring. "Honey, kamu melanggar salah satu aturan." "Aku tidak melanggar apapun." "Tetapi, kamu baru saja menggodaku, Honey." "Aku tidak menggodamu." "Caramu mendekatimu itu seperti menggodaku." Jari telunjuk Axel menyentuh hidung wanita itu lembut. "Kamu saja yang berpikiran aneh. Selama aku tidak menciummu atau menyentuhmu, itu tidak masalah." Vivian melipat kedua tangan. "Kamu lupa ya apa aturan tadi, Honey? Aku mengat
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,