Ucapan Gatot yang cukup keras itu terdengar oleh Citra. Kini Citra berpikir jika semua kebaikan Rangga yang tiba-tiba itu ternyata memang ada maksud dibaliknya.
Citra rela dipukuli dan dimaki-maki oleh Rangga. Namun tentu saja ia tidak sudi jika dijual oleh suaminya itu.
Air mata Citra langsung mengalir deras. Ia bergegas ke kamar belakang, masuk dan segera mengunci pintunya. Ia langsung menangis begitu saja.
Otak Rangga berpikir keras dan akhirnya ia ingat juga momen itu; suatu hari di mana untuk pertama kalinya ia membuat Citra sangat hancur. Jantung Rangga berdegub keras. Ia tidak cukup siap untuk menghadapi situasi itu.
Rangga sempat menoleh ke arah istrinya yang saat itu segera ke belakang. Ia mengumpati situasi itu. Padahal, ia sudah mendapatkan sebuah jalan mudah untuk memperbaiki hubungan tersebut. Namun tidak tahunya ia malah harus menghadapi situasi tak terduga tersebut.
“Bagaimana Rangga, apakah kau sudah memasukkan obat perangsang dan memberikannya pada istrimu agar dia jinak melayani kami bertiga malam ini?” kata Teguh.
Sebetulnya, hidup Rangga berubah setelah ia menjual istrinya. Uang yang ia dapatkan ia gunakan untuk modal usaha dan ia tak mau berjudi lagi. Ia pun sangat beruntung dalam banyak hal. Perlahan-lahan ia berubah menjadi orang kaya yang sangat disegani hingga kemudian di usia paruh baya, ia menuai karma. Hidupnya benar-benar hancur dan ia jatuh hingga ke titik paling rendah.
Rangga sadar, jika ia batal menjual istrinya, maka jalan cerita hidupnya akan berbeda lagi. Namun ia sudah bertekad dan ia tidak takut untuk itu.
Ada banyak peluang untuk menjadi kaya; dengan memanfaatkan pengetahuannya atas masa depan.
“Kawan-kawan, maafkan aku. Aku membatalkan kesepakatan kita sebelumnya. Aku akan membayar kekalahanku dengan uang!” kata Rangga.
“Tidak bisa begitu! Kita sudah sepakat dan kami harus mendapatkan tubuh istrimu malam ini!” ujar Teguh yang seketika itu pula memasang wajah marah.
“Ya! Kau tak bisa seenaknya sendiri mengubah kesepakatan. Kami tak mau uang. Kami mau istrimu!” kata Gatot.
“Aku bilang tidak ya tidak! Aku akan membayarnya dengan uang!” kata Rangga mulai menyentak. Di saat seperti itu, emosinya sungguh mudah terpancing.
“Sabar-sabar! Ayo kita bicara dulu!” Parwo mencoba menengahi.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan apabila kalian masih memaksa ingin meniduri istriku!” kata Rangga.
Ketiga teman Rangga itu sungguh heran; apa yang tiba-tiba membuatnya berubah. Padahal sebelumnya mereka tahu betul jika Rangga sungguh jijik kepada istrinya dan ia tak peduli jika istrinya itu diambil orang.
Mereka bertiga tahu apa penyebab Rangga sangat membenci Citra; yakni kematian Nawang sang kekasih Rangga yang bunuh diri karena Rangga tak bisa menolak untuk dinikahkan dengan Citra.
Namun kini sikap Rangga yang aneh itu jelas memunculkan pertanyaan dalam benak Parwo, Gatot dan Teguh.
“Ya, kami paham. Tapi setidaknya coba jelaskan alasannya kepada kami, Rangga!” kata Parwo masih bersikap santai. Berbeda dengan Gatot dan Teguh yang tampak tidak terima sebab mereka berdua lah yang paling bersemangat untuk meniduri Citra.
“Mulai hari ini aku tak akan menyakiti perasaan istriku lagi. Jadi jangan harap kalian bisa memaksaku. Aku akan membayar uang taruhan itu!” kata Rangga.
Ketiga teman Rangga benar-benar terbengong kali ini.
“Kau kesurupan apa sampai tiba-tiba berubah aneh seperti ini!” kata Parwo.
Rangga diam saja tak menjawab.
Lalu Parwo menoleh ke arah Gatot dan Teguh, “Bagaimana menurut kalian? Tidak bisa juga kita memaksa Rangga! Toh dia juga mau membayar taruhannya dengan uang!”
“Bedebah! Aku tidak butuh uang! Aku butuh istrimu, Rangga!” kata Gatot.
“Boleh. Tapi sebelumnya kita akan saling bunuh terlebih dahulu!” kata Rangga dengan otot yang sudah terlihat menegang.
“Sabar-sabar! Kita ini teman. Sungguh tidak patut jika kita berkelahi. Coba aku akan memberi sebuah jalan tengah. Begini Rangga, jika soal uang saja, terus terang kami pun orang kaya. Apa yang menarik sebagai pengganti istrimu? Kau mau menukarnya dengan rumah warisan orang tuamu ini?” kata Parwo.
Rangga sudah menduga jika ketiga temannya itu tak hanya akan meminta uang. Ia sudah paham wataknya. Mereka itu teman, namun juga lawan. Di masa depan, mereka benar-benar akan menunjukkan sikap aslinya.
“Aku masih punya tiga petak sawah. Kalian bisa mendapatkan masing-masing satu petak. Harga tanah saat ini sedang naik tinggi dan kalian untung banyak jika mengambil sawah itu!” kata Rangga yang sudah malas dengan kedatangan ketiga temannya. Ia hanya ingin masalah selesai dan mereka pergi. Ia tak mau Citra semakin ketakutan karena mendengar suara ketiga temannya itu.
“Baiklah. 100 keping emas dan sepetak sawahmu untuk masing-masing dari kami!” kata Gatot sambil menyeringai senang.
Tunggu di sini. Jangan masuk. Aku akan ambil uangnya!” kata Rangga. Ia segera bergegas ke kamarnya dan membuka lemarinya. Di bagian paling bawah terdapat sebuah peti satu-satunya yang berisi uang simpanannya. Tak ada lagi selain itu.
Rangga membuka peti tersebut. Di sana ada sekitar 350 keping emas yang tersisa. Selain itu, ia sudah tak punya apa-apa lagi. Hanya rumah dan lima puluh keping emas yang tersisa dari seluruh warisan orang tuanya yang ia gerogoti dengan bersenang-senang; mabuk, judi dan main perempuan.
‘Uang bisa dicari. Tapi hancurnya harga diri istriku sulit diobati. Lagipula, jika dalam tiga bulan aku tak bisa mengambil hatinya, aku akan mati dan menjadi abu di tungku neraka!’ ucap Rangga dalam hati.
Namun sungguh bukan karena takut dibakar di api neraka tujuan Rangga. Ia tulus ingin berubah dan membahagiakan istrinya. Andai pun istrinya telah bahagia, lalu ia mati dan dipanggang di neraka, ia pun rela.
Rangga segera mengambil uang itu dan membawanya ke depan, lalu menyerahkan masing-masing 100 keping emas untuk tiga teman bangsatnya itu.
“Besok aku akan menemui lurah dan mengatakan jika tiga petak sawahku itu sudah menjadi milik kalian!” kata Rangga.
Begitu ketiga teman bajingan itu pergi, Rangga menutup dan mengunci pintu rumahnya. Kini dengan perasaan lesu, Rangga berjalan ke kamar belakang. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Citra setelah mendengar apa yang baru saja terjadi.
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang