แชร์

Bab 4. Kujang Layung

ผู้เขียน: Uday Mangkulangit
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-14 18:46:41

Suryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.

Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut.

Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik.

“Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.”

(Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda.

Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya.

Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama.

“Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar.

Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.”

Arjuna berteriak berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, cahaya itu meredup. Arjuna terjatuh ke lantai batu, napasnya terengah. Kujang itu kini sudah di tangannya, dingin, tapi terasa hidup.

Setelah berusaha menenangkan diri, Arjuna pun memutuskan untuk keluar. Saat ia keluar dari celah, Suryo menatapnya dengan campuran kagum dan takut.

“Juna... Sebaiknya nanti kau lihat wajahmu di cermin. Matamu….”

Arjuna menatap pantulan di bilah kujang itu. Saat itu dia pun melihat bahwa matanya memang berbeda, irisnya berkilau samar kemerahan, namun tidak lama, perlahan semuanya kembali normal.

Ki Sembada menatapnya dalam-dalam.

“Pusaka itu tak bisa dipegang sembarang orang,” katanya pelan.

“Kujang Itu adalah Kujang Layung — pusaka leluhur Pajajaran, yang tertidur lima abad. Sekarang sudah bangun karena ada yang menggerakkan rasanya kembali,” timpal Ki Sembada.

Tanpa sadar, Arjuna menggenggam kujang itu erat. Bilahnya berdenyut halus, seperti jantung.

“Kenapa harus aku, Ki?” tanya Arjuna heran.

Ki Sembada menjawab dengan tenang, “Karena kau bukan datang, tapi pulang.”

***

Malam pun kembali datang menjelang, Arjuna mencoba menaruh kujang itu di atas meja dokumentasi. Tapi setiap kali ia menjauh, kujang itu mengeluarkan dengungan lembut, seolah berusaha memanggil namanya. Arjuna pun memandangi benda itu cukup lama, lalu menulis di catatannya:

‘Hari ke-5 ekspedisi.

Ditemukan artefak logam berbentuk kujang, kandungan tidak diketahui.

Respon energi: tak terukur.

Efek psikologis: resonansi batin terhadap subjek utama (saya sendiri).’

Tapi di bawah baris itu, tanpa sadar, tangannya menulis kalimat lain, bukan dengan kesadarannya, melainkan seolah dipandu sesuatu:

“Layung moal hurung lamun rasa can jembar.”

(Layung takkan menyala bila rasa belum terbuka.)

Arjuna seketika tertegun. Sementara Kujang di atas meja pun bergetar pelan, mengeluarkan cahaya merah yang lembut.

Dan dari ujung tenda, suara Ki Sembada terdengar lirih.

“Hidup takkan damai bila leluhur belum berdamai.”

Arjuna menatap bilah kujang itu, ia sadar bahwa benda itu bukan sekedar artefak. Ia mulai menyadari bahwa kujang ini adalah kunci antara masa dan rasa.

Dan jauh di lembah, kabut malam menutup hutan seperti tangan yang menyembunyikan sesuatu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Angin dini hari di kaki Gunung Salak terasa dingin menusuk, tapi tenda tempat Arjuna tidur justru terasa lembab dan berat, seperti ada kabut yang sengaja menyelinap masuk.

Arjuna akhirnya terbangun karena mendengar suara samar dari arah meja dokumentasi. Suara itu lirih, bergema dalam irama yang ganjil.

“Kawula teh lain carang, tapi sukma nu dipundut ku mangsa.”

(Aku bukan benda, tapi jiwa yang terikat oleh waktu.)

Arjuna mendongak. Di atas meja, Kujang Layung bergetar pelan, mengeluarkan cahaya merah yang kali ini lebih lembut, tidak menyilaukan dan justeru terasa menenangkan.

Nafas Arjuna memburu. Ia merasa seolah ada arus hangat yang merambat dari dalam dadanya menuju ujung jari.

Seketika, dunia di sekitarnya berubah.

Setelah beberapa saat, tanah tiba-tiba bergetar dan udara menjadi berat. Lampu senter, meja, bahkan tenda dan semuanya perlahan memudar seperti kabut yang disapu cahaya. Semuanya menghilang, yang tersisa hanyalah hamparan batu dan hutan yang tak lagi ia kenali.

Arjuna berdiri di tengah lapangan luas, diapit oleh pohon-pohon aren tinggi.

Langitnya berwarna jingga, seperti senja abadi. Di kejauhan, tampak gerbang batu raksasa dengan ukiran lambang matahari bersinar tujuh. Sebuah simbol yang sama persis dengan yang ia temukan di lorong batu.

Arjuna menatap sekeliling dan melihat orang-orang berpakaian putih gading berjalan dengan langkah tenang.

Wajah mereka damai, tapi matanya... kosong, seperti tak memiliki waktu.

Seorang di antara mereka mendekat, ia adalah lelaki tua dengan jubah abu-abu dan kalung batu giok di lehernya.

“Sampurasun, anak tanah Salaka,” katanya dalam suara berat namun lembut.

(Salam sejahtera, anak dari tanah Salaka.)

“Di mana... saya?” tanya Arjuna, hampir tanpa suara.

Lelaki itu tersenyum. “Di antara waktu, tapi bukan waktu. Di antara nafas, tapi bukan hidup.”

Arjuna menatap tangannya sendiri. Tubuhnya nyata, tapi cahaya lembut terlihat mengelilingi kulitnya, berdenyut seirama dengan Kujang Layung yang kini sudah ia genggam tanpa sadar.

“Kujang Layung téh sanes pakarang,” kata lelaki tua itu, “Kujang Layung bukan senjata, tapi jembatan antara rasa dan waktu.”

Arjuna menatapnya penuh tanda tanya. “Siapa Anda?”

“Aku Raksa Dahana,” jawab lelaki tua itu pelan.“Penjaga Pajajaran setelah para leluhur pergi.”

Nama itu menghantam pikirannya seperti petir. Itu nama yang ia dengar dalam penglihatannya saat di dalam gua batu.

Raksa Dahana menatapnya lama. “Kau yang memanggilku lewat Layung. Dan kini, kau harus mendengar isi napasnya.”

Ia menunjuk ke arah tanah. Di bawah mereka, muncul retakan cahaya membentuk pola rumit seperti naskah kuno, aksara Sunda Buhun yang bersinar keemasan.

“Baca!” Perintah pria itu.

“Saya tidak bisa membacanya,” sahut Arjuna seraya menggelengkan pelan.

Raksa Dahana tampak tersenyum samar. “Tak perlu belajar bila rasa telah terbuka.”

Bersamaan dengan itu, cahaya dari Kujang Layung merambat ke arah aksara di tanah, dan seketika Arjuna mengerti artinya bahkan tanpa harus membaca hurufnya satu per satu.

“Ratu anu ragrag henteu sirna. Pajajaran henteu leungit, ngan nyumput dina waktu, ngambang dina rasa.”

(Raja yang gugur tidak lenyap. Pajajaran tidak hilang, hanya bersembunyi dalam waktu, melayang dalam rasa.)

Gema kalimat itu menggetarkan udara. Batu-batu di sekitar mereka tiba-tiba bergetar dan dari dalam tanah, muncul lukisan hidup, sebuah kilasan masa lalu yang terbentuk dari debu dan cahaya.

Arjuna melihatnya. Sebuah gerbang megah dengan bendera putih bertulis “Rahayu Pajajaran” berkibar tertiup angin.

Di dalamnya, ratusan prajurit berbaris di bawah cahaya matahari. Dan di ujung tangga batu, seorang raja bermahkota perak duduk dengan mata teduh, beliau adalah Sri Baduga Maharaja.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 8. Sang Kala Niskala dari Timur

    Udara tiba-tiba bergemuruh, kemudian dari tengah ruangan, sebuah arca batu besar mulai retak dan cahaya biru tampak keluar dari sela-selanya.Bersamaan dengan itu, dari dalamnya muncul sosok pria berpakaian perang, bermahkota sederhana, membawa tombak berhulu kepala harimau. Kedua matanya menatap lurus pada Arjuna. “Anjeun nu nyekel Layung…” katanya dalam suara berat. “Getih karuhun geus nyambung deui. Tapi Pajajaran tacan rahayu.”(Kau yang memegang Layung… darah leluhur telah bersatu kembali. Tapi Pajajaran belum damai.)Arjuna hampir tidak bisa berbicara. “Anda… siapa?”Pria itu menancapkan tombaknya ke tanah. “Aku Raksa Dahana, panglima Pajajaran. Gugur di antara waktu, tapi tidak hilang dalam rasa.”Cahaya di sekeliling mereka semakin kuat.Raksa Dahana mendekat, menatap Arjuna dari dekat.“Kujang Layung itu bukan sekadar senjata. Ia adalah jembatan antara dunia dan rasa.Tapi bila hatimu tak jujur, kujang itu akan berbalik melawanmu,” ucap Raksa DahanaArjuna menunduk. “Bagaima

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 7. Lemah Niskala

    Ratu Rahayu pun menatap Arjuna penuh makna. “Apa yang baru saja terjadi itu baru permulaan. Sang Kala Niskala yang sebenarnya belum datang. Bila waktu sudah retak, duniamu akan menyaksikan Pajajaran bukan lagi hanya dalam cerita, tapi dalam kenyataan.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu mendekat, lalu menyentuh pundak Arjuna. Sentuhannya terasa dingin tapi menenangkan.“Kau harus pergi ke tempat asal Layung. Sebuah hutan yang disebut Lemah Niskala. Di sanalah para leluhur menunggu, dan jawaban tentang mengapa Pajajaran runtuh.”Tidak lama setelah itu, cahaya di sekitarnya mulai meredup. Ratu Rahayu menatap Arjuna sekali lagi, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas. “Jika kau tak datang kesana, Sang Kala Niskala akan menghapus rasa manusia.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu menghilang perlahan bersama kabut, meninggalkan harum bunga kantil dan wangi tanah hujan.Arjuna berdiri kaku, sementara di tangannya Kujang Layung kembali bersinar lembut. Sekarang bukan hanya memend

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 6. Sang Ratu dalam kabut.

    Nyi Pwah Aci melangkah mendekat dan menyentuh bilah Kujang Layung di tangan Arjuna. Dalam sekejap, cahaya merah yang dipendarkan kujang itu berganti menjadi cahaya putih keemasan.“Ini adalah tandanya Layung telah menerima darah baru. Tapi ingat, bila Layung telah mengenal pemiliknya, sang waktu takkan lagi melindungimu.”Tidak lama setelah itu, kabut mulai berputar di sekeliling mereka. Bayangan pasukan berseragam putih muncul samar. Mereka adalah prajurit Pajajaran, namun wajah mereka semua menunduk.Di antara mereka, Arjuna melihat sosok Raksa Dahana lagi. Namun kali ini, matanya menyala seperti bara.“Kau terlambat, Wisangjati!” Ucap Raksa Dahana, suaranya bergema dari segala arah. “Gerbang sudah terbuka. Sang Kala Niskala telah melangkah ke dunia kalian.”Arjuna ingin bertanya, tapi tiba-tiba semuanya memudar. Ia tersadar di tempat semula, lututnya tertekuk di tanah lembab.Suryo berlari menghampiri. “Juna! Apa yang terjadi? Mengapa kau pingsan?!”Ki Sembada hanya menatapnya deng

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 5. Nyawa dari batu

    Raksa Dahana yang berdiri di samping Arjuna berkata, “Ini bukan mimpi, Arjuna. Ini adalah nyawa dari batu. Setiap batu di tanah Pajajaran ini menyimpan ingatan, setiap tanah yang kau pijak adalah saksi akan sesuatu yang belum usai.”Arjuna mengedarkan tatapannya, ia terpana. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang hidup damai, suara gamelan lembut mengalun di kejauhan. Tapi seketika, langit jingga itu retak. Angin bertiup kencang, dan bayangan gelap mulai turun dari langit, seperti kabut hitam yang membawa bau besi dan darahRaksa Dahana menghunus kujang merah yang mirip dengan kujang di tangan Arjuna.“Apa yang kau lihat ini adalah saat ketika Pajajaran mulai runtuh,” Raksa Dahana lirih.Bersamaan dengan itu, Arjuna melihat pasukan berkerudung hitam menyerbu gerbang. Jeritan, benturan besi, dan doa-doa bersahutan dalam kekacauan.Ia berusaha berlari, tapi kakinya tak bergerak.Raksa Dahana berbalik kepada Arjuna. “Layung tak memilih, tapi membangunkan. Kau harus ingat, Arjuna Wisangjati —

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 4. Kujang Layung

    Suryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut.Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik. “Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.”(Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda.Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya.Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama. “Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar.Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.”Arjuna berteriak berusaha men

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 3. Bisikan malam

    Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut. Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah. Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil. “Raksa Dahana!” Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan. Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.” Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status