LOGINSuryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.
Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut. Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik. “Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.” (Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda. Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya. Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama. “Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar. Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.” Arjuna berteriak berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, cahaya itu meredup. Arjuna terjatuh ke lantai batu, napasnya terengah. Kujang itu kini sudah di tangannya, dingin, tapi terasa hidup. Setelah berusaha menenangkan diri, Arjuna pun memutuskan untuk keluar. Saat ia keluar dari celah, Suryo menatapnya dengan campuran kagum dan takut. “Juna... Sebaiknya nanti kau lihat wajahmu di cermin. Matamu….” Arjuna menatap pantulan di bilah kujang itu. Saat itu dia pun melihat bahwa matanya memang berbeda, irisnya berkilau samar kemerahan, namun tidak lama, perlahan semuanya kembali normal. Ki Sembada menatapnya dalam-dalam. “Pusaka itu tak bisa dipegang sembarang orang,” katanya pelan. “Kujang Itu adalah Kujang Layung — pusaka leluhur Pajajaran, yang tertidur lima abad. Sekarang sudah bangun karena ada yang menggerakkan rasanya kembali,” timpal Ki Sembada. Tanpa sadar, Arjuna menggenggam kujang itu erat. Bilahnya berdenyut halus, seperti jantung. “Kenapa harus aku, Ki?” tanya Arjuna heran. Ki Sembada menjawab dengan tenang, “Karena kau bukan datang, tapi pulang.” *** Malam pun kembali datang menjelang, Arjuna mencoba menaruh kujang itu di atas meja dokumentasi. Tapi setiap kali ia menjauh, kujang itu mengeluarkan dengungan lembut, seolah berusaha memanggil namanya. Arjuna pun memandangi benda itu cukup lama, lalu menulis di catatannya: ‘Hari ke-5 ekspedisi. Ditemukan artefak logam berbentuk kujang, kandungan tidak diketahui. Respon energi: tak terukur. Efek psikologis: resonansi batin terhadap subjek utama (saya sendiri).’ Tapi di bawah baris itu, tanpa sadar, tangannya menulis kalimat lain, bukan dengan kesadarannya, melainkan seolah dipandu sesuatu: “Layung moal hurung lamun rasa can jembar.” (Layung takkan menyala bila rasa belum terbuka.) Arjuna seketika tertegun. Sementara Kujang di atas meja pun bergetar pelan, mengeluarkan cahaya merah yang lembut. Dan dari ujung tenda, suara Ki Sembada terdengar lirih. “Hidup takkan damai bila leluhur belum berdamai.” Arjuna menatap bilah kujang itu, ia sadar bahwa benda itu bukan sekedar artefak. Ia mulai menyadari bahwa kujang ini adalah kunci antara masa dan rasa. Dan jauh di lembah, kabut malam menutup hutan seperti tangan yang menyembunyikan sesuatu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Angin dini hari di kaki Gunung Salak terasa dingin menusuk, tapi tenda tempat Arjuna tidur justru terasa lembab dan berat, seperti ada kabut yang sengaja menyelinap masuk. Arjuna akhirnya terbangun karena mendengar suara samar dari arah meja dokumentasi. Suara itu lirih, bergema dalam irama yang ganjil. “Kawula teh lain carang, tapi sukma nu dipundut ku mangsa.” (Aku bukan benda, tapi jiwa yang terikat oleh waktu.) Arjuna mendongak. Di atas meja, Kujang Layung bergetar pelan, mengeluarkan cahaya merah yang kali ini lebih lembut, tidak menyilaukan dan justeru terasa menenangkan. Nafas Arjuna memburu. Ia merasa seolah ada arus hangat yang merambat dari dalam dadanya menuju ujung jari. Seketika, dunia di sekitarnya berubah. Setelah beberapa saat, tanah tiba-tiba bergetar dan udara menjadi berat. Lampu senter, meja, bahkan tenda dan semuanya perlahan memudar seperti kabut yang disapu cahaya. Semuanya menghilang, yang tersisa hanyalah hamparan batu dan hutan yang tak lagi ia kenali. Arjuna berdiri di tengah lapangan luas, diapit oleh pohon-pohon aren tinggi. Langitnya berwarna jingga, seperti senja abadi. Di kejauhan, tampak gerbang batu raksasa dengan ukiran lambang matahari bersinar tujuh. Sebuah simbol yang sama persis dengan yang ia temukan di lorong batu. Arjuna menatap sekeliling dan melihat orang-orang berpakaian putih gading berjalan dengan langkah tenang. Wajah mereka damai, tapi matanya... kosong, seperti tak memiliki waktu. Seorang di antara mereka mendekat, ia adalah lelaki tua dengan jubah abu-abu dan kalung batu giok di lehernya. “Sampurasun, anak tanah Salaka,” katanya dalam suara berat namun lembut. (Salam sejahtera, anak dari tanah Salaka.) “Di mana... saya?” tanya Arjuna, hampir tanpa suara. Lelaki itu tersenyum. “Di antara waktu, tapi bukan waktu. Di antara nafas, tapi bukan hidup.” Arjuna menatap tangannya sendiri. Tubuhnya nyata, tapi cahaya lembut terlihat mengelilingi kulitnya, berdenyut seirama dengan Kujang Layung yang kini sudah ia genggam tanpa sadar. “Kujang Layung téh sanes pakarang,” kata lelaki tua itu, “Kujang Layung bukan senjata, tapi jembatan antara rasa dan waktu.” Arjuna menatapnya penuh tanda tanya. “Siapa Anda?” “Aku Raksa Dahana,” jawab lelaki tua itu pelan.“Penjaga Pajajaran setelah para leluhur pergi.” Nama itu menghantam pikirannya seperti petir. Itu nama yang ia dengar dalam penglihatannya saat di dalam gua batu. Raksa Dahana menatapnya lama. “Kau yang memanggilku lewat Layung. Dan kini, kau harus mendengar isi napasnya.” Ia menunjuk ke arah tanah. Di bawah mereka, muncul retakan cahaya membentuk pola rumit seperti naskah kuno, aksara Sunda Buhun yang bersinar keemasan. “Baca!” Perintah pria itu. “Saya tidak bisa membacanya,” sahut Arjuna seraya menggelengkan pelan. Raksa Dahana tampak tersenyum samar. “Tak perlu belajar bila rasa telah terbuka.” Bersamaan dengan itu, cahaya dari Kujang Layung merambat ke arah aksara di tanah, dan seketika Arjuna mengerti artinya bahkan tanpa harus membaca hurufnya satu per satu. “Ratu anu ragrag henteu sirna. Pajajaran henteu leungit, ngan nyumput dina waktu, ngambang dina rasa.” (Raja yang gugur tidak lenyap. Pajajaran tidak hilang, hanya bersembunyi dalam waktu, melayang dalam rasa.) Gema kalimat itu menggetarkan udara. Batu-batu di sekitar mereka tiba-tiba bergetar dan dari dalam tanah, muncul lukisan hidup, sebuah kilasan masa lalu yang terbentuk dari debu dan cahaya. Arjuna melihatnya. Sebuah gerbang megah dengan bendera putih bertulis “Rahayu Pajajaran” berkibar tertiup angin. Di dalamnya, ratusan prajurit berbaris di bawah cahaya matahari. Dan di ujung tangga batu, seorang raja bermahkota perak duduk dengan mata teduh, beliau adalah Sri Baduga Maharaja.Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke
Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L
Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe
Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman
Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s
Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La







