Home / Fantasi / Sang Penjaga Pajajaran / Bab 3. Bisikan malam

Share

Bab 3. Bisikan malam

last update Last Updated: 2025-10-14 18:41:44

Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut.

Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah.

Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil.

“Raksa Dahana!”

Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan.

Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.”

Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika runtuh dalam cahaya. Arjuna berteriak, namun suaranya tidak keluar.

Bersamaan dengan itu, sebuah cahaya kujang merah muncul di langit, membelah pandangan dan sebuah suara muncul bergema seperti ribuan gong dipukul bersamaan.

“Waktu téh ngan ukur pangeling...”

(Waktu hanyalah pengingat...)

Arjuna terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Napasnya tersengal, kemudian dia menyadari bahwa dirinya ternyata masih duduk di depan tenda, dan bahkan pagi pun belum datang menjelang.

Sementara Ki Sembada sudah berjongkok di sebelahnya, saat itu ia bahkan menatap Arjuna dengan sorot mata yang tajam.

“Apa yang sudah kau lihat?” tanya Ki Sembada.

Arjuna terdiam cukup lama. “Seseorang... Dia menyebut nama dirinya Raksa Dahana. Dan dia memanggilku... Wisangjati.”

Ki Sembada menarik napas dalam, raut wajahnya tampak berubah.

“Raksa Dahana...” gumam Ki sembada, “Nama itu bukanlah nama sembarangan.”

Kemudian Ki Sembada menyalakan dupa baru dan menorehkan simbol kecil di tanah dengan ujung tongkatnya.

“Raksa Dahana adalah penjaga pintu menuju kehidupan lain,” katanya seraya menatap Arjuna. “Jika dia memanggil namamu, berarti darah leluhurmu telah terbangun.”

Arjuna menggenggam lututnya, berusaha menata napas. “Apa maksudnya? Aku hanya arkeolog, Ki. Aku bukan bagian dari ini.”

Ki Sembada menatapnya dalam, lalu menjawab dengan nada datar namun menembus.

“Arkeologi adalah cara berpikir. Tapi rasa tak bisa diukur oleh ilmu.”

Hening, keduanya terdiam tapi tentu benak mereka dipenuhi pikiran masing-masing.

***

Pagi akhirnya datang menjelang. Kabut menghilang perlahan, menyisakan embun di daun-daun.

Suryo bangun dan melihat Arjuna masih terdiam di dekat api yang padam. “Tidurmu aneh malam ini, Juna” kata Suryo sambil meregangkan tubuh. “Kau bicara sendiri. Aku dengar kau menyebut sebuah nama... Dahana?”

Arjuna menatap sahabatnya itu. “Aku tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan, tapi... ada sesuatu yang ingin aku pahami lebih dalam di balik batu itu.”

Suryo menepuk pundaknya. “Tentu saja! Kalau menurutmu itu penting, kita gali. Tapi jangan terlalu larut, Juna. Aku rasa gunung ini sudah cukup misterius meski tanpa tambahan hal mistik.”

Arjuna hanya tersenyum tipis, namun matanya masih menyimpan bayangan dari mimpi tadi malam. Ia tahu, nama “Raksa Dahana” bukan sekadar gema dan bunga mimpi dalam tidurnya. Ada sesuatu yang hidup di baliknya, sesuatu yang sepertinya menunggu untuk diingat kembali.

Sebelum mereka berangkat ke lokasi penggalian, Ki Sembada menatap Arjuna lama dan berkata pelan. “Ingat, Arjuna. Hutan bukan hanya daun dan tanah. Ada roh yang mendengarkan rasa.”

Arjuna mengangguk pelan. Di dalam dadanya, kata-kata itu bergema bersamaan dengan nama yang kini tak bisa ia lupakan: Raksa Dahana!

Dan di saat cahaya matahari pertama menembus lembah, dari arah hutan Arjuna mendengar suara dengung halus, seperti suara seruling tua, melodi yang ia pernah dengar entah di mana, dalam hidup yang mungkin bukan miliknya.

***

Kabut pagi di kaki Gunung Salak selalu memiliki aroma yang berbeda setiap hari, terkadang wangi tanah basah, terkadang getir getah pinus, dan kali ini… samar-samar Arjuna mencium aroma seperti logam hangus terbakar.

Arjuna Wisangjati berjalan menuruni lereng bersama Suryo dan Ki Sembada. Mereka kembali ke lokasi batu segitiga itu, tempat di mana semalam Arjuna merasa bahwa dunia terasa terbuka sesaat.

Tanah di sekelilingnya kini kering, seolah longsor berhenti di sepertiga jalan. Namun di tengah-tengah, tampak celah baru di bawah batu besar, cukup lebar untuk satu orang merangkak masuk.

Suryo menyorotkan senter ke arah celah itu. “Tidak terlalu dalam. Hanya seperti rongga.”

Ki Sembada menatapnya lama. “Celah bisa jadi pintu, bisa juga jadi kubur.”

Namun Arjuna tidak menanggapi keduanya. Matanya terpaku pada goresan samar di dinding batu, garis melingkar yang membentuk simbol seperti matahari dengan tujuh sinar. Ia meraba ukiran itu dengan hati-hati. Seketika, jari-jarinya bergetar halus. Batu itu terasa hangat

“Masih aktif,” gumamnya.

“Apa?” tanya Suryo seraya menatap penasaran.

“Mineralnya. Seperti mengandung energi...” jelas Arjuna.

Suryo pun mengangguk, tapi Arjuna sebenarnya menyadari bahwa itu bukan sekadar gejala fisika. Ia berjongkok, menyorotkan lampu ke dalam celah dan melihat sesuatu di ujung lorong kecil itu, seberkas kilau logam keemasan.

“Ki,” katanya lirih, “ Aku rasa ada sesuatu di dalam.”

Ki Sembada menatapnya tajam. “Kalau kau masuk, jangan pakai kepala, pakai rasa.”

Arjuna pun memutuskan untuk merangkak masuk, mengikuti lorong batu yang lembab. Nafasnya terpantul di dinding sempit. Cahaya senter menari di atas ukiran-ukiran yang memanjang berbentuk tulisan kuno, namun tak semuanya bisa ia baca. Tapi di salah satu sisi, jelas terukir kalimat dalam aksara Sunda:

“Anaking, Sang Penjaga rasa teu paeh ku waktu, ngan tilem dina cahya.”

(Anakku, sang penjaga rasa tidak mati oleh waktu, hanya tertidur dalam cahaya.

Arjuna seketika menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti diarahkan padanya.

Di ujung lorong, akhirnya ia menemukan benda itu. Sebuah kujang yang separuhnya tertanam pada batu, bilahnya berwarna keemasan dengan guratan merah di pangkalnya, seolah darah beku telah menjadi bagian dari logamnya.

Meski sedikit ragu, Arjuna pun akhirnya mengulurkan tangan meraih kujang tersebut. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang kujang itu, seluruh lorong bergetar pelan, dan udara di sekitarnya terasa berat seperti diselimuti air.

Cahaya merah samar muncul dari bilah kujang, berdenyut seirama dengan detak jantungnya.

“Layung... geus hudang.”

(Layung... telah terbangun.)

Suara itu bergema di dalam benaknya, tidak menakutkan, tapi dalam! Seperti suara dirinya sendiri di masa yang lain.

Sementara itu, dari luar Suryo dan Ki Sembada melihat tanah di sekitar celah itu memancarkan cahaya merah. Suryo spontan mundur beberapa langkah.

“Juna! Apa kau baik-baik saja?” teriak Suryo.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 93. Sang Ilmuwan Terakhir

    Langit pagi di Leuweung Sukma Niskala tampak seperti lukisan antara mimpi dan kenyataan, dengan kabut yang tampak masih bergelayut di atas pohon, menari lembut diterpa angin.Disaat itu, Larisa terlihat berjalan di belakang Arjuna, langkahnya pelan namun pasti. Raksa dan Ratih berjalan di sisi mereka, membawa lentera rasa, yakni bola kecil yang berpendar lembut, bukan dari api, tapi dari sukma bumi yang kini tenang.Sudah seminggu mereka berdiam di hutan itu. Setelah kejatuhan LuxNet, dunia di luar masih kacau. Media sosial terbakar, algoritma kehilangan kendali, dan manusia, sekali lagi mereka seperti bingung antara kebenaran dan keyakinan.Namun di tempat ini, di jantung Leuweung Sukma, semuanya hening. Hening yang bukan kosong, melainkan penuh kehidupan.Arjuna akhirnya berhenti di depan pohon besar yang berlumut, menatap batangnya yang lebar. Di sana terukir tulisan kuno yang samar terbaca:“Sangkaning hirup kudu nyanghiyang rasa.” (Asal kehidupan harus bersandar pada rasa.)Ia ke

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 92 – Arjuna yang Difitnah

    Kota Bandung, setelah beberapa hari setelah ledakan cahaya itu.Langit tampak tenang, tapi kota tidak lagi sama. Udara masih hangat, namun di bawah permukaannya, dunia digital mendidih.Ratusan layar holografik di jalan-jalan memancarkan berita yang sama, berulang tanpa henti: “GLOBAL ALERT: Arjuna Wisangjati, mantan arkeolog Indonesia, diduga dalang di balik insiden Cahaya Bandung.”#WisangjatiAnomaly #EternalLightIncident #LuxAeternaTruthTidak hanya itu, gambar Arjuna terpampang di setiap sudut kota. Wajahnya dipenuhi efek sinar jingga yang tentu telah dimanipulasi agar tampak seperti sosok dewa yang meledakkan dunia.Di bawahnya, suara lembut dari sistem AI berita global Aurora News Grid mengalun seperti mantra.“Menurut laporan resmi Ordo Lux Aeterna, Dr. Kavin Moritz tewas dalam insiden ledakan spiritual di fasilitas bawah Bandung. Sumber energi misterius yang ditemukan diyakini berasal dari eksperimen Arjuna Wisangjati, yaitu hasil rekayasa genetik energi kesadaran manusia.”L

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 91. Cahaya yang Dicuri

    Saat itu langit di atas Bandung tampak berwarna kelabu keperakan, seperti logam yang dipoles cahaya.Suara halus terdengar bergemuruh di angkasa. Bukan suara petir, bukan pula suara angin, tapi dengung seragam dari mesin-mesin raksasa yang tak terlihat.Udara tampak bergetar lembut dan orang-orang mulai merasa aneh, seperti ada kehangatan di udara yang bukan berasal dari matahari, tapi dari bawah tanah.Sementara itu Ratih tampak berdiri di tepi lembah Lembang seraya menatap arah selatan.Dari sana, seberkas cahaya tampak menembus langit, lurus, tegak dan berdenyut.“Raksa, lihat itu,” katanya pelan.Raksa datang mendekat, menatap dengan rahang mengeras. “Lux Aeterna mulai mengekstraksi energi bumi.”Ratih menelan ludah. “Tapi… itu energi rasa! Kalau mereka paksa, bumi bisa…”Raksa menatapnya tajam. “Hancur. Atau… marah.”Beberapa kilometer di bawah tanah, di fasilitas rahasia Lux Aeterna yang ada di bawah kota Bandung, mesin-mesin bekerja tanpa henti.Ratusan kabel cahaya biru membe

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 90.Suara dari Langit Logam

    Beberapa minggu setelah dunia mencapai ketenangan yang nyaris sempurna, Bandung hidup dalam irama baru. Tidak ada lagi kebisingan kota, yang ada hanya suara lembut alam yang berpadu dengan harmoni aktivitas manusia. Tampaknya manusia sudah mulai berbicara dengan hati, bukan ego.Namun dalam ketenangan itu, sesuatu perlahan berubah. Perubahan itu bukan dari bumi, melainkan dari langit.Di pagi itu, Larisa tampak berdiri di balkon laboratorium pusat riset Pajajaran Sukma Niskala. Hembusan udara yang lembut membawa aroma tanah basah, tapi di kejauhan terdengar dengungan aneh. Terdengar suara halus, namun teratur seperti sebuah nada yang diulang-ulang.Larisa kemudian menatap langit. Awan yang berwarna keperakan tampak berputar perlahan di atas lembah Dago, kemudian membentuk lingkaran simetris, dan dari dalam lingkaran itu terdengar suara seperti logam bergesekan. Ia yakin, itu bukan suara badai, bukan juga petir, namun lebih terdengar seperti suara mesin.Larisa kemudian terdengar meman

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 89. Dunia yang Lengkap

    Pagi itu, Bandung tidak lagi sekadar kota. Ia seakan menjadi sesuatu yang hidup dengan bernapas, berpikir dan bahkan mampu merasakan. Di saat itu, Arjuna tampak berdiri di puncak Gedung Sate seraya menatap cakrawala yang kini berwarna keemasan. Bandung tidak lagi berisik seperti dulu. Tak ada klakson, tak ada hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah desiran angin yang lembut, mengalun seperti irama gamelan yang abadi. Di kota itu manusia berjalan perlahan, tentu bukan karena takut tapi karena mereka merasa setiap langkahnya menimbulkan getaran halus di udara dan kemudian dunia menjawab dengan hembusan hangat, seperti napas seorang ibu yang sedang menimang anaknya. Larisa datang membawa segelas air, menatap Arjuna dengan mata yang masih menyimpan kagum. “Aku merasa kota ini bukan lagi kota yang sama,” katanya pelan. Arjuna tersenyum tipis. “Benar. Ini bukan sekedar kota. Ini adalah tubuh dunia.” Larisa menatap sekeliling. “Aku hampir takut untuk berbicara. Rasanya s

  • Sang Penjaga Pajajaran   Bab 88. Bayangan yang Belajar Mencintai

    Malam itu kota Bandung diselimuti kabut ungu. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah yang basah bercampur sisa dupa yang tak terbakar.Bersamaan dengan itu, langit tampak bergetar lembut, namun di antara getaran itu, Arjuna merasakan sesuatu yang lain, sebuha nada asing di dalam nyanyian dunia yang baru.Ia berdiri di tepi Sungai Cikapundung, menatap air yang tampak tenang. Namun di balik ketenangan itu, permukaan sungai memantulkan dua bayangan. Bayangan dirinya dan satu lagi bayangan yang samar tapi jelas berbeda. Bayangan itu bisa bergerak sendiri meski dirinya diam.Larisa mendekat dari belakang. “Kau merasakannya juga?”Arjuna tidak menjawab. Ia masih menatap permukaan air. “Ada rasa yang tak seharusnya di sini,” katanya perlahan. “Rasa yang tak tahu bagaimana mencintai, tapi juga tak ingin membenci.”Larisa menatapnya bingung. “Apakah Sang Kala Niskala?”Arjuna mengangguk pelan. “Ia mulai terbangun kembali. Tapi kali ini, bukan karena marah. Ia sepertinya sedang bingung.”La

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status