Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut.
Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah. Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil. “Raksa Dahana!” Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan. Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.” Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika runtuh dalam cahaya. Arjuna berteriak, namun suaranya tidak keluar. Bersamaan dengan itu, sebuah cahaya kujang merah muncul di langit, membelah pandangan dan sebuah suara muncul bergema seperti ribuan gong dipukul bersamaan. “Waktu téh ngan ukur pangeling...” (Waktu hanyalah pengingat...) Arjuna terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Napasnya tersengal, kemudian dia menyadari bahwa dirinya ternyata masih duduk di depan tenda, dan bahkan pagi pun belum datang menjelang. Sementara Ki Sembada sudah berjongkok di sebelahnya, saat itu ia bahkan menatap Arjuna dengan sorot mata yang tajam. “Apa yang sudah kau lihat?” tanya Ki Sembada. Arjuna terdiam cukup lama. “Seseorang... Dia menyebut nama dirinya Raksa Dahana. Dan dia memanggilku... Wisangjati.” Ki Sembada menarik napas dalam, raut wajahnya tampak berubah. “Raksa Dahana...” gumam Ki sembada, “Nama itu bukanlah nama sembarangan.” Kemudian Ki Sembada menyalakan dupa baru dan menorehkan simbol kecil di tanah dengan ujung tongkatnya. “Raksa Dahana adalah penjaga pintu menuju kehidupan lain,” katanya seraya menatap Arjuna. “Jika dia memanggil namamu, berarti darah leluhurmu telah terbangun.” Arjuna menggenggam lututnya, berusaha menata napas. “Apa maksudnya? Aku hanya arkeolog, Ki. Aku bukan bagian dari ini.” Ki Sembada menatapnya dalam, lalu menjawab dengan nada datar namun menembus. “Arkeologi adalah cara berpikir. Tapi rasa tak bisa diukur oleh ilmu.” Hening, keduanya terdiam tapi tentu benak mereka dipenuhi pikiran masing-masing. *** Pagi akhirnya datang menjelang. Kabut menghilang perlahan, menyisakan embun di daun-daun. Suryo bangun dan melihat Arjuna masih terdiam di dekat api yang padam. “Tidurmu aneh malam ini, Juna” kata Suryo sambil meregangkan tubuh. “Kau bicara sendiri. Aku dengar kau menyebut sebuah nama... Dahana?” Arjuna menatap sahabatnya itu. “Aku tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan, tapi... ada sesuatu yang ingin aku pahami lebih dalam di balik batu itu.” Suryo menepuk pundaknya. “Tentu saja! Kalau menurutmu itu penting, kita gali. Tapi jangan terlalu larut, Juna. Aku rasa gunung ini sudah cukup misterius meski tanpa tambahan hal mistik.” Arjuna hanya tersenyum tipis, namun matanya masih menyimpan bayangan dari mimpi tadi malam. Ia tahu, nama “Raksa Dahana” bukan sekadar gema dan bunga mimpi dalam tidurnya. Ada sesuatu yang hidup di baliknya, sesuatu yang sepertinya menunggu untuk diingat kembali. Sebelum mereka berangkat ke lokasi penggalian, Ki Sembada menatap Arjuna lama dan berkata pelan. “Ingat, Arjuna. Hutan bukan hanya daun dan tanah. Ada roh yang mendengarkan rasa.” Arjuna mengangguk pelan. Di dalam dadanya, kata-kata itu bergema bersamaan dengan nama yang kini tak bisa ia lupakan: Raksa Dahana! Dan di saat cahaya matahari pertama menembus lembah, dari arah hutan Arjuna mendengar suara dengung halus, seperti suara seruling tua, melodi yang ia pernah dengar entah di mana, dalam hidup yang mungkin bukan miliknya. *** Kabut pagi di kaki Gunung Salak selalu memiliki aroma yang berbeda setiap hari, terkadang wangi tanah basah, terkadang getir getah pinus, dan kali ini… samar-samar Arjuna mencium aroma seperti logam hangus terbakar. Arjuna Wisangjati berjalan menuruni lereng bersama Suryo dan Ki Sembada. Mereka kembali ke lokasi batu segitiga itu, tempat di mana semalam Arjuna merasa bahwa dunia terasa terbuka sesaat. Tanah di sekelilingnya kini kering, seolah longsor berhenti di sepertiga jalan. Namun di tengah-tengah, tampak celah baru di bawah batu besar, cukup lebar untuk satu orang merangkak masuk. Suryo menyorotkan senter ke arah celah itu. “Tidak terlalu dalam. Hanya seperti rongga.” Ki Sembada menatapnya lama. “Celah bisa jadi pintu, bisa juga jadi kubur.” Namun Arjuna tidak menanggapi keduanya. Matanya terpaku pada goresan samar di dinding batu, garis melingkar yang membentuk simbol seperti matahari dengan tujuh sinar. Ia meraba ukiran itu dengan hati-hati. Seketika, jari-jarinya bergetar halus. Batu itu terasa hangat “Masih aktif,” gumamnya. “Apa?” tanya Suryo seraya menatap penasaran. “Mineralnya. Seperti mengandung energi...” jelas Arjuna. Suryo pun mengangguk, tapi Arjuna sebenarnya menyadari bahwa itu bukan sekadar gejala fisika. Ia berjongkok, menyorotkan lampu ke dalam celah dan melihat sesuatu di ujung lorong kecil itu, seberkas kilau logam keemasan. “Ki,” katanya lirih, “ Aku rasa ada sesuatu di dalam.” Ki Sembada menatapnya tajam. “Kalau kau masuk, jangan pakai kepala, pakai rasa.” Arjuna pun memutuskan untuk merangkak masuk, mengikuti lorong batu yang lembab. Nafasnya terpantul di dinding sempit. Cahaya senter menari di atas ukiran-ukiran yang memanjang berbentuk tulisan kuno, namun tak semuanya bisa ia baca. Tapi di salah satu sisi, jelas terukir kalimat dalam aksara Sunda: “Anaking, Sang Penjaga rasa teu paeh ku waktu, ngan tilem dina cahya.” (Anakku, sang penjaga rasa tidak mati oleh waktu, hanya tertidur dalam cahaya. Arjuna seketika menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti diarahkan padanya. Di ujung lorong, akhirnya ia menemukan benda itu. Sebuah kujang yang separuhnya tertanam pada batu, bilahnya berwarna keemasan dengan guratan merah di pangkalnya, seolah darah beku telah menjadi bagian dari logamnya. Meski sedikit ragu, Arjuna pun akhirnya mengulurkan tangan meraih kujang tersebut. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang kujang itu, seluruh lorong bergetar pelan, dan udara di sekitarnya terasa berat seperti diselimuti air. Cahaya merah samar muncul dari bilah kujang, berdenyut seirama dengan detak jantungnya. “Layung... geus hudang.” (Layung... telah terbangun.) Suara itu bergema di dalam benaknya, tidak menakutkan, tapi dalam! Seperti suara dirinya sendiri di masa yang lain. Sementara itu, dari luar Suryo dan Ki Sembada melihat tanah di sekitar celah itu memancarkan cahaya merah. Suryo spontan mundur beberapa langkah. “Juna! Apa kau baik-baik saja?” teriak Suryo.Udara tiba-tiba bergemuruh, kemudian dari tengah ruangan, sebuah arca batu besar mulai retak dan cahaya biru tampak keluar dari sela-selanya.Bersamaan dengan itu, dari dalamnya muncul sosok pria berpakaian perang, bermahkota sederhana, membawa tombak berhulu kepala harimau. Kedua matanya menatap lurus pada Arjuna. “Anjeun nu nyekel Layung…” katanya dalam suara berat. “Getih karuhun geus nyambung deui. Tapi Pajajaran tacan rahayu.”(Kau yang memegang Layung… darah leluhur telah bersatu kembali. Tapi Pajajaran belum damai.)Arjuna hampir tidak bisa berbicara. “Anda… siapa?”Pria itu menancapkan tombaknya ke tanah. “Aku Raksa Dahana, panglima Pajajaran. Gugur di antara waktu, tapi tidak hilang dalam rasa.”Cahaya di sekeliling mereka semakin kuat.Raksa Dahana mendekat, menatap Arjuna dari dekat.“Kujang Layung itu bukan sekadar senjata. Ia adalah jembatan antara dunia dan rasa.Tapi bila hatimu tak jujur, kujang itu akan berbalik melawanmu,” ucap Raksa DahanaArjuna menunduk. “Bagaima
Ratu Rahayu pun menatap Arjuna penuh makna. “Apa yang baru saja terjadi itu baru permulaan. Sang Kala Niskala yang sebenarnya belum datang. Bila waktu sudah retak, duniamu akan menyaksikan Pajajaran bukan lagi hanya dalam cerita, tapi dalam kenyataan.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu mendekat, lalu menyentuh pundak Arjuna. Sentuhannya terasa dingin tapi menenangkan.“Kau harus pergi ke tempat asal Layung. Sebuah hutan yang disebut Lemah Niskala. Di sanalah para leluhur menunggu, dan jawaban tentang mengapa Pajajaran runtuh.”Tidak lama setelah itu, cahaya di sekitarnya mulai meredup. Ratu Rahayu menatap Arjuna sekali lagi, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas. “Jika kau tak datang kesana, Sang Kala Niskala akan menghapus rasa manusia.”Setelah berkata demikian, Ratu Rahayu menghilang perlahan bersama kabut, meninggalkan harum bunga kantil dan wangi tanah hujan.Arjuna berdiri kaku, sementara di tangannya Kujang Layung kembali bersinar lembut. Sekarang bukan hanya memend
Nyi Pwah Aci melangkah mendekat dan menyentuh bilah Kujang Layung di tangan Arjuna. Dalam sekejap, cahaya merah yang dipendarkan kujang itu berganti menjadi cahaya putih keemasan.“Ini adalah tandanya Layung telah menerima darah baru. Tapi ingat, bila Layung telah mengenal pemiliknya, sang waktu takkan lagi melindungimu.”Tidak lama setelah itu, kabut mulai berputar di sekeliling mereka. Bayangan pasukan berseragam putih muncul samar. Mereka adalah prajurit Pajajaran, namun wajah mereka semua menunduk.Di antara mereka, Arjuna melihat sosok Raksa Dahana lagi. Namun kali ini, matanya menyala seperti bara.“Kau terlambat, Wisangjati!” Ucap Raksa Dahana, suaranya bergema dari segala arah. “Gerbang sudah terbuka. Sang Kala Niskala telah melangkah ke dunia kalian.”Arjuna ingin bertanya, tapi tiba-tiba semuanya memudar. Ia tersadar di tempat semula, lututnya tertekuk di tanah lembab.Suryo berlari menghampiri. “Juna! Apa yang terjadi? Mengapa kau pingsan?!”Ki Sembada hanya menatapnya deng
Raksa Dahana yang berdiri di samping Arjuna berkata, “Ini bukan mimpi, Arjuna. Ini adalah nyawa dari batu. Setiap batu di tanah Pajajaran ini menyimpan ingatan, setiap tanah yang kau pijak adalah saksi akan sesuatu yang belum usai.”Arjuna mengedarkan tatapannya, ia terpana. Ia melihat wajah-wajah rakyat yang hidup damai, suara gamelan lembut mengalun di kejauhan. Tapi seketika, langit jingga itu retak. Angin bertiup kencang, dan bayangan gelap mulai turun dari langit, seperti kabut hitam yang membawa bau besi dan darahRaksa Dahana menghunus kujang merah yang mirip dengan kujang di tangan Arjuna.“Apa yang kau lihat ini adalah saat ketika Pajajaran mulai runtuh,” Raksa Dahana lirih.Bersamaan dengan itu, Arjuna melihat pasukan berkerudung hitam menyerbu gerbang. Jeritan, benturan besi, dan doa-doa bersahutan dalam kekacauan.Ia berusaha berlari, tapi kakinya tak bergerak.Raksa Dahana berbalik kepada Arjuna. “Layung tak memilih, tapi membangunkan. Kau harus ingat, Arjuna Wisangjati —
Suryo tampak panik, karena lorong tempat Arjuna masuk terdengar cukup hening.Bahkan setelah beberapa kali berteriak tetap tak ada jawaban. Hanya saja beberapa kilatan cahaya yang semakin terang telihat memancar dari lorong tersebut.Sementara itu, Ki Sembada justeru terlihat menunduk dan bahkan terdengar berbisik. “Siksa Kandang Karesian, jaga rahayu bumi Sunda.”(Siksa Kandang Karesian, jagalah keseimbangan bumi Sunda.Kembali ke dalam lorong, saat itu Arjuna justeru sedang melihat kilasan gambar cepat di matanya.Langit tampak memerah, pasukan berpakaian putih berbaris di bawah gerbang batu dan seorang lelaki bertopeng berdiri di hadapan mereka, membawa kujang yang sama. “Raksa Dahana...” gumam Arjuna tanpa sadar.Dalam penglihatannya itu, lelaki bertopeng tersebut juga sedang menatapnya dengan mata menyala dan berkata. “Kujang Layung bukan senjata, tapi perjanjian. Jika kau sudah memegangnya, berarti kau menerima sumpah yang belum selesai ditebus.”Arjuna berteriak berusaha men
Ki Sembada kembali berteriak beberapa kali, namun Arjuna tetap berdiri dan tak bergeming, kedua sorot matanya kosong menatap ke arah kabut. Yang tidak diketahui orang lain, saat itu dalam pandangan Arjuna, dunia yang dia lihat berubah. Saat itu dia tidak berada di Gunung Salak, tapi sedang berdiri di halaman istana besar, tembok putih, air kolam yang memantulkan sinar matahari. Orang-orang berbusana kerajaan berjalan cepat, membawa tombak dan panji. Ia bahkan mendengar suara tabuhan gamelan, lalu suara keras dari seseorang yang memanggil. “Raksa Dahana!” Arjuna menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana ia melihat seseorang berdir,i seorang pria bertubuh tinggi, berwajah tegas dan memakai baju zirah ringan. Sorot matanya seperti bara, hidup dan menakutkan. Pria itu menatap Arjuna dan berkata, “Wisangjati, waktumu sudah tiba. Pajajaran runtuh bukan karena musuh, tapi karena lupa. Dan kita... adalah penjaga terakhir dari rasa itu.” Tiba-tiba, semuanya bergetar. Istana itu seketika