Share

Tiga

Di sisi lain, Jono tengah mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan setelah mendapat informasi dari satpam.

Ia harus melihat sendiri bagaimana dan ke mana kedua orang tersebut pergi.

Jono berdiri di dekat area parkir bioskop dan berharap bisa melihat dengan jelas perbuatan mereka.

Pria itu mengikuti ke mana mereka akan pergi sehingga bisa mendengar percakapan mereka berdua.

"Winda, kamu senang bekerja di tempatku?"

Terdengar suara Desta tak jauh dari Jono bersembunyi, karena meskipun terlihat, mereka tidak akan menyadari karena masih menganggap Jono buta dan tidak berdaya.

"Iya dong Mas, inilah hidup yang aku inginkan sebenarnya. Aku bisa bekerja dan juga menikmati hidup dengan uangku sendiri. Selain itu aku bisa mengenal pria hebat sepertimu."

"Lalu, bagaimana dengan Jono?"

Jono terdiam. Dia masih terus mendengar percakapan mereka meskipun batinnya mendidih.

"Mau bagaimana lagi, Mas? Dia buta sekarang. Untuk saat ini, biarkan saja dia berada di rumah. Toh ada Laila yang mengurusi keperluannya."

"Bagaimana kalau dia menjadi buta selamanya? Apakah kau akan bertahan menjadi istrinya?"

Setelah itu, Jono hanya mendengar suara langkah menjauh darinya. Padahal, Jono sangat ingin mendengar ucapan Winda selanjutnya.

Akan tetapi semua ucapan itu sudah cukup untuknya. "Winda, aku akan membalas semua ini dengan pembalasan yang setimpal. Lihat saja nanti!" ujarnya sambil mengeratkan gerahamnya.

Maka, ia pun mencari dimana mereka berada di gedung pertunjukan itu.

Di pertengahan pertunjukan, Jono sudah tak tahan lagi. Melihat bagaimana Winda bersandar di bahu Desta, bergelayut manja seolah sepasang kekasih.

Kali ini Jono menangis dalam gelap, meluapkan perasaan yang tak menentu. Ia lalu berjalan keluar dan menyusuri trotoar dengan air mata yang terkadang masih menitik.

Saat berjalan, Jono tak menyadari seseorang mengikutinya. Jono yang limbung ketika berjalan membuat wanita tersebut kuatir tetapi juga heran. Dimalam seperti ini dan jauh dari rumahnya, bagaimana mungkin Jono majikannya bisa pergi seorang diri?

Tadinya ia tidak yakin, tapi melihat bagaimana pria itu berjalan sedikit payah iapun memastikan bahwa dia benar-benar Jono.

Jono hendak menyeberang, tapi sebuah kendaraan hampir menyerempetnya kalau saja Laila tidak menyeretnya, menarik pakaiannya dengan sigap. Mereka berguling dan saling tindih karena kerasnya Laila menarik Jono dan berakhir Jono menindih Laila tepat di atas.

Bugh!

Mereka saling bertatapan karena terkejut.

"Pak...," Laila mendorong tubuh Jono menjauh. Napasnya tersengal dan berdebar kencang.

"Maaf," ujar Jono lirih.

"Apa Pak Jono bisa melihatku?"

Jono terkejut, ia tak sadar melihat Laila seperti orang normal sehingga otomatis Laila mengetahui bahwa dirinya sudah sembuh dari kebutaan.

Laila mendekati Jono dan menatapnya penasaran. "Benar bukan? Pak Jono sudah bisa melihat sekarang?" ujarnya senang. "Itukah sebabnya Pak Jono berjalan-jalan di keramaian? Itu pasti karena pak Jono sudah bisa melihat sekarang."

Jono menarik tangan Laila untuk menjauh dari tempat tersebut dan sedikit tersembunyi.

"Tolong jangan katakan ini pada siapapun, ini akan menjadi rahasia kita berdua, Laila."

Laila memicingkan matanya. "Kenapa? Kenapa pak Jono harus berpura-pura buta?" tanya Laila heran.

"Karena sebuah alasan yang tak bisa kau mengerti, aku harap bantu aku sampai aku menyelesaikan semua urusan ini," ujarnya.

Laila mengernyit, sepertinya masalah majikannya ini cukup penting sehingga Laila harus merahasiakannya. Akhirnya ia mengangguk pelan.

"Baiklah, saya akan merahasiakannya jika itu memang penting."

Akhirnya mereka berjalan bersama menyusuri trotoar dan sedikit berbincang.

"Di mana rumahmu?" tanya Jono kemudian.

"Satu blok lagi, disana ada jalan setapak ke rumah saya."

"Hmm, baiklah. Mungkin aku harus mampir sebentar, boleh?"

"Silahkan. Ada ibuku. Tapi maaf, beliau mungkin tak akan bisa melihat pak Jono dengan jelas."

"Bukankah aku juga orang yang tak bisa melihat dengan jelas?"

Laila tertawa ringan, ia sungguh masih belum mengerti sejak kapan ia merawat pria yang pura-pura buta. Sehingga andaikan saja kejadian berguling di jalan itu tak terjadi, mungkin saja ia masih tak tahu kalau Jono sebenarnya sudah bisa melihat.

Di sebuah gang yang sempit dan minim penerangan, Laila mengajak untuk berbelok menuju sebuah rumah sangat sederhana.

"Bunda, Laila datang," katanya dengan mendekati wanita yang duduk di sebuah kursi tua.

"Laila dapat pesanan Bunda?" tanya wanita itu.

"Tentu saja, sebentar Laila buka untuk Bunda," ujarnya dengan membuka plastik yang berisi seloyang martabak manis.

Jono hanya melihat bagaimana Laila melayani wanita tua itu dengan telaten. Tiba-tiba hatinya semakin sakit dan terluka. Bagaimana tidak, melihat hubungan mereka, antara Laila dengan wanita tua tersebut yang tak ada hubungan darah samasekali, Laila berjuang mati-matian untuk melayaninya.

Sebutir air mata haru membasahi sudut matanya.

Seharusnya Winda sadar, bagaimana ia berjuang ketika sehat dahulu. Bahkan mereka terikat dengan hubungan pernikahan. Ia juga ingat bagaimana perjuangan ketika akan menikah dahulu tanpa adanya restu orang tuanya.

Desta menjadi orang yang paling ia percaya justru bertindak menjadi pengkhianat.

"Maaf, Pak. Saya mengabaikan bapak," kata Laila mengejutkan Jono, dengan membawa secangkir teh untuknya.

"Laila, kumohon kau mengerti. Aku harus merahasiakan hal ini untuk beberapa waktu lamanya," kata Jono semakin menekankan.

"Baiklah, itu bukan urusan saya, Pak. Saya hanya bekerja karena membutuhkan uang tersebut. Akan tetapi apakah Pak Jono masih mau mempekerjakan saya?"

"Ya, kamu masih harus bekerja seperti biasa agar Winda tak curiga."

"Sebenarnya ini sangat aneh. Tapi baiklah, saya akan bertahan dalam satu bulan saja, Pak. Saya tidak bisa terus menyimpan kebohongan."

Jono mengangguk, lalu menyesap teh di hadapannya dengan perasaan tak menentu. Selain itu ia harus segera pulang sebelum Winda benar-benar sampai di rumah.

Jono menghela napas saat melihat Winda memang belum sampai di rumah. Ia masuk kedalam rumah dan mulai membersihkan dirinya.

Larut malam Winda baru sampai rumah. Jono yang pura-pura tidur mulai membuka matanya saat Winda memasuki kamar mereka.

"Winda, kaukah itu?"

"Hmm, iya Mas. Belum tidur?"

"Belum, aku sedang menunggumu sejak tadi."

"Mas, aku baru selesai bekerja. Lain kali tak usah menungguku seperti ini. Baiklah, aku harus membersihkan tubuhku dulu."

"Benar, mandilah yang bersih agar kotoran dan najis tidak menempel di badanmu. Lagipula, aroma rokok itu sangat menggangguku. Aku ingat aroma rokok ini seperti rokok milik Desta, apa kalian sangat dekat?" sindir Jono.

"Sangat dekat? Apa maksudmu, Mas?" Winda terperangah dengan ucapan Jono.

"Aah, maksudku meja kerja kalian apakah sangat dekat dan dalam satu ruangan? Terus terang, baunya sangat menyengat hidungku sehingga aku merasa mau muntah, Winda."

Kata-kata Jono membuat Winda tampak gugup. "Kami satu ruangan, Mas," ujarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status