Share

Bab 5

Author: Benjamin
Daffa berjalan tanpa tujuan selama lebih dari satu jam. Setelah berjalan lama, dia mulai merasa lelah. Rasa lelah dari perkelahiannya, kandasnya hubungannya dengan Sarah, dan penahanannya di kantor polisi akhirnya mulai mengambil alih.

Dia melihat ke sekitarnya dan melihat bahwa dia sedang berada di taman yang kosong. Bulan di langit menerangi taman tersebut dengan begitu terang, membuat suasana yang tenang dan tenteram. Daffa memeriksa waktu dan sekarang sudah lebih dari tengah malam. Dia duduk di bangku taman dan menutup matanya.

Kejadian-kejadian di hari itu memenuhi pikirannya dan segudang emosi mengalir dalam hatinya. Daffa tidak pernah menyesali fakta bahwa dia terlahir miskin, tapi dia menyesali menjadi orang miskin hari ini. Bukankah akan keren jika dia memiliki kekayaan yang melimpah? Kalau begitu, tidak akan ada yang bisa meremehkannya lagi. Dia tidak akan kehilangan Sarah oleh seseorang seperti Dilan. Lagi pula, jika dia sangat kaya, wanita cantik tidak akan menjadi masalah terbesarnya.

Dia menghela nafas. Itu hanya harapan-harapannya. Dia tidak spesial dan dia tidak memiliki kekayaan yang melimpah. Dia hanyalah Daffa Halim, mahasiswa yang miskin.

Daffa terduduk di sana dalam diam, memandangi bulan yang berwarna perak dan bintang-bintang yang berhamburan di langit. Dia masih memandangi bintang-bintang ketika ponselnya berdering.

Karena perkelahiannya dengan Dilan, layar ponselnya telah retak di beberapa tempat, jadi dia tidak bisa melihat dengan jelas nama orang yang meneleponnya. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, dia memutuskan untuk mengabaikannya. Mungkin saja itu teman-teman asramanya yang mengkhawatirkannya dan memutuskan untuk meneleponnya.

Setelah beberapa dering, telepon itu berhenti. Daffa baru saja akan kembali memandangi bintang-bintang ketika ponselnya berdering lagi. Dia mengabaikan telepon itu lagi dan kembali melanjutkan apa yang sedang dia lakukan. Namun, orang yang meneleponnya gigih sekali. Setelah telepon yang ke-14, Daffa akhirnya mengangkatnya.

“Halo? Apakah kamu tahu sekarang sudah jam berapa? Tidak bisakah kamu peka sedikit?” kata Daffa dengan marah ke telepon tersebut. Dia tidak peduli siapa yang meneleponnya. Teman-teman asramanya tidak akan segigih itu untuk terus menelepon seseorang yang telah mengabaikan teleponnya sebanyak 14 kali!

“Halo, apakah ini Daffa Halim?” tanya penelepon tersebut dengan nada yang berwibawa, mengabaikan Daffa yang baru saja menunjukkan kekesalannya.

“Benar, ini Daffa Halim dan aku bersumpah jika kamu tidak memiliki alasan kuat untuk terus meneleponku di tengah malam, aku akan menemukanmu dan menghajarmu!” teriak Daffa, melampiaskan kekesalannya yang tertahan selama berjam-jam pada orang tersebut.

“Mohon maaf atas ketidaksopanan saya, Tuan Muda Halim,” jawab penelepon itu. Nada suaranya terdengar penuh hormat yang membuat Daffa kebingungan.

“Tuan Muda Halim?” tanya Daffa, benar-benar kebingungan.

“Benar, Tuan Muda Halim. Mohon maaf atas ketidaksopanan saya. Ada banyak yang perlu saya katakan yang tidak bisa dilakukan melalui telepon. Apakah Anda bisa memberi tahu lokasi Anda sekarang? Saya akan menjemput Anda ke sana sesegera mungkin,” kata orang itu.

Daffa terdiam. Rasa curiga terpampang di wajahnya. Dia tidak tahu siapa orang yang meneleponnya itu, jadi bagaimana bisa dia memberi tahu lokasinya sekarang begitu saja? Bagaimana jika dia adalah penculik yang ingin menculiknya?

Daffa tiba-tiba menertawai dirinya sendiri. Penculik? Tidak mungkin. Dia itu semiskin tikus gereja. Penculik biasanya melakukan riset sebelum menculik seseorang. Mereka tidak mungkin membuang-buang waktu mereka untuk seseorang semiskin dan semengenaskan dia.

Dia menghela nafas sebelum memutuskan untuk memberi lokasinya pada orang itu. Dia juga tidak akan rugi. Jika penelepon tersebut memang benar penculik, maka ketika mereka menyadari bahwa dia adalah orang miskin, mereka akan membebaskannya. Lagi pula, dia tidak memiliki selembar uang pun sekarang.

“Baiklah, Tuan Muda Halim. Saya akan ke sana sesegera mungkin. Tolong jangan pergi ke mana-mana,” kata orang itu sebelum memutus telepon.

Daffa memandangi ponselnya sebelum menghela nafas. Dia mengenyampingkan kemungkinan bahwa orang itu adalah penculik dan sekarang berpikir bahwa itu mungkin orang iseng. Lagi pula, penculik macam apa yang akan memanggil korban mereka ‘Tuan Muda Halim?’

Daffa menutup matanya dan menyenderkan kepalanya di bangku taman, menikmati angin sejuk yang mengelus kulitnya. Dia menghela nafas lagi. Tidak masalah baginya jika itu telepon iseng ataupun bukan. Ketika pikirannya kembali lurus, dia akan meninggalkan taman dan kembali ke asramanya. Dia mungkin miskin, tapi dia bukan tunawisma, dan dia tidak ingin dikira sebagai tunawisma.

Empat puluh menit setelah telepon tersebut berakhir, Daffa mendengar suara mobil mendekat. Dia membuka matanya dan mulutnya menganga terkejut. Wajar saja, dia tidak pernah menyangka akan melihat sesuatu seperti ini.

Sebuah mobil berwarna putih dan emas datang dan berhenti beberapa meter dari bangku taman tempat Daffa duduk. Walaupun Daffa miskin, bukan berarti dia tidak bisa membedakan mobil mewah sekali lihat. Lagi pula, dia adalah mahasiswa Universitas Praharsa, universitas ternama yang terdapat banyak anak-anak kaya.

Pintu mobil tersebut terbuka dan seorang pria turun dari mobil. Pria itu terlihat berusia akhir 40-an dan berpakaian dengan mewah. Setelan tiga potong berwarna putihnya terdapat lapisan permata mahal yang berserakan di sekelilingnya, dan permata itu berkilauan di malam hari. Rambutnya hitam legam, tapi ada beberapa helai yang sudah memutih. Namun, rambutnya ditata dengan rapi.

Daffa menatap pria itu kebingungan. Dia bertanya-tanya apa yang pria hebat sepertinya lakukan di tempat itu. Setiap langkah yang diambil pria itu menandakan kemewahan dan Daffa mendapati dirinya berkeringat dingin.

Bagaimana jika pria ini adalah ayah Dilan Handoko yang mendatanginya untuk membalas dendam anaknya? Masuk akal jika dipikirkan. Lagi pula, tidak ada pria kaya yang akan menyukai jika orang jelata sepertinya menganiaya dan memukuli anaknya sendiri.

Ketika pria itu mendekati Daffa, Daffa dengan buru-buru berlutut dan meletakkan kepalanya di tanah.

“Maafkan aku, Tuan Handoko! Aku yang salah. Semuanya salahku. Kumohon maafkan aku,” pinta Daffa. Jika itu terjadi sebelum dia dibawa ke kantor polisi, Daffa tidak akan memohon-mohon mau bagaimana pun. Namun, seseorang sepertinya yang tidak bisa membayar denda 75 juta rupiah sendiri tidak akan kuasa untuk menyinggung seseorang sekaya Tuan Handoko. Dia benar-benar harus lulus, kalau tidak semua usahanya akan sia-sia.

“Tuan Handoko?” kata pria itu, terdengar kebingungan. Namun, ketika dia melihat Daffa berlutut, dia juga ikut berlutut tanpa memikirkan pakaiannya yang mahal dan bersih dan membantu Daffa bangkit pada kedua kakinya sendiri.

“Tuan Muda Halim, apakah Anda mencoba membunuhku?” tanya pria itu, suaranya terdengar bingung dan takut.

Daffa menatap pria itu terkejut.

“Tuan Muda Halim?”

Pria itu mengangguk dan Daffa meneteskan air mata dari ujung matanya.

“Benar. Saya akhirnya menemukan Anda, Tuan Muda Halim.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 665

    Wanita itu menjelaskan, “Aku kehabisan uang dan mereka bilang mereka akan membayarku dengan bayaran yang tinggi untuk melakukan ini. Yang perlu kulakukan hanyalah membawa kamera ketika datang kemari.”Daffa mengernyit. “Bagaimana caranya kamu masuk kemari?” Nada bicaranya dingin. Penjelasan wanita itu tidak berarti apa-apa baginya.Wanita itu menelan ludah. “Aku tidak tahu. Mereka menyuruhku untuk meminum ramuan, setelah itu aku kehilangan kesadaranku. Ketika aku terbangun, aku sudah ada di sini.”Daffa mengernyit mendengarnya. Wanita itu berseru, “Tunggu! Aku bersumpah aku mengatakan yang sebenarnya!”Dia tahu Daffa tidak puas dengan jawabannya, tapi hanya itu yang dia ketahui. Dia menatap Daffa sambil menangis saat Daffa berkata, “Apakah kamu perlu berteriak padaku seperti itu?”Dia berkata dengan gemetar, “Maaf, a … aku tidak bermaksud.”Mata Daffa masih dingin, tapi dia melepaskan wanita itu. Akan tetapi, ini tidak membuat wanita itu tenang. Sebaliknya, wanita itu menegang da

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 664

    Bram menatap dia dengan tenang. “Mungkin kamu akan mempertimbangkan untuk memberitahuku kenapa kamu ada di sini jika kamu tidak ingin mati.”Pria itu tertawa terbahak-bahak. Daffa mengernyit dan berkata, “Bram, bawa dia pergi supaya kamu bisa menginterogasinya nanti.”Bram langsung mengulurkan tangannya untuk memegang pria itu—kecepatannya membuat mata Daffa berbinar. Seperti yang dia duga, Bram adalah ahli bela diri yang tampaknya lebih cakap dibandingkan semua orang yang ada di sana, termasuk Daffa. Ini membuat Daffa ingin bertarung dengannya, tapi ini tentunya bukan waktu yang tepat untuk itu. Dia berusaha sekeras mungkin untuk menahan keinginannya untuk menerkam Bram.Pada saat ini, Edward dan Briana muncul. Dari langkah kaki dan napas mereka, Daffa tahu mereka telah berlari sampai ke sini, membuatnya mengangkat sebelah alisnya. Dia menoleh untuk melihat ke arah pintu dan berkata, “Bram, tunggu sebentar.”Bram tidak tahu kenapa Daffa tiba-tiba menghentikannya, tapi dia melakuka

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 663

    Daffa menunjuk ke arah kamar mandi saat dia berbicara. “Kamu bisa periksa kamar mandinya jika kamu mau. Itu sama saja seperti kamar mandi lainnya. Tidak ada apa pun yang memungkinkan aku untuk mengunggah apa pun di internet.” Dia menatap Bram yang masih terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Sebagai ahli bela diri terbangkit, Daffa langsung tahu apa yang Bram pikirkan dan bibirnya pun berkedut. Daffa menatap Bram dengan tatapan tidak berdaya dan berkata, “Dengar, kamera-kamera itu tidak ada hubungannya denganku.”Bram langsung menghela napas lega. Daffa menahan keinginannya untuk memutar bola matanya dan berbalik untuk melihat wanita tadi sambil mengetukkan jari-jarinya di sandaran tangan sofa. Suasananya menjadi sangat tegang hingga Bram menundukkan kepalanya lagi, memandang lantai.Setelah beberapa detik, Daffa berujar, “Bram.” Itu membuat Bram merinding dan menundukkan kepalanya makin dalam. Bram tidak dapat membayangkan apa yang hendak Daffa katakan dan keringat membasahi ken

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 662

    Daffa mengangkat sebelah alisnya. Dia memegang leher wanita itu dan melemparkannya ke dalam bak mandi, membuatnya megap-megap karena dia berusaha bernapas. Daffa mengabaikannya, memakai celananya, dan meletakkan tangannya di kenop pintu. Di dalam benaknya, vila Keluarga Halim adalah tempat baginya untuk bersantai dan menjalani waktu yang damai, tapi tampaknya dia keliru. Dia membuka pintu untuk melihat Erin berdiri di sana dan bibirnya berkedut. “Kukira kamu akan menunggu di luar.” Dia tidak memakai atasan karena lemari pakaiannya ada di luar.Tentunya, Erin tidak menduga akan melihat Daffa seperti ini. Dia merona dan memalingkan diri dari Daffa, tapi tidak dapat berjalan pergi—rasanya seakan-akan kakinya dilem ke lantai. Namun, mungkin otaknya berhenti berfungsi dan tidak dapat menyuruh kakinya untuk bergerak. Bagaimanapun, Erin tidak pergi.Daffa tampak terkejut oleh itu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia berjalan melewati Erin dan memasuki ruang gantinya, muncul ke

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 661

    Wanita itu tetap terdiam di tempatnya, terlihat terkejut. Daffa berniat untuk ikut berpura-pura seolah dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia sangat ingin menertawai akting wanita itu yang sangat buruk. Lagi pula, tidak ada pelayan Keluarga Halim yang akan mengenakan stoking setinggi paha saat bekerja. Namun, Daffa tahu dia harus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dia memasang ekspresi marah dan menggeram, “Aku jijik oleh keberadaanmu, jadi sebaiknya kamu menjauh dariku!”Mendengarnya, wajah wanita itu menjadi pucat. Daffa mengetukkan jemarinya ke tepi bak mandi, bertanya-tanya apakah dia terlalu kasar. Apakah wanita itu akan bisa melanjutkan aktingnya? Bibir Daffa berkedut saat dia memejamkan matanya dan berkata, “Ingat, jangan pakai apa pun selain seragam yang benar lain kali kamu bekerja … tidak peduli sebagus apa itu terlihat padamu.”Daffa merasakan kekejutan dan kesenangan wanita itu mendengar perkataan Daffa dan mendengar langkah kaki menghampirinya. Daffa m

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 660

    Teivel membutuhkan tempat yang sunyi supaya tidak akan ada yang mengganggunya. Daffa menunggu hingga dia tidak dapat mendeteksi Teivel sebelum mendarat di tanah. Ketika dia melakukannya, orang-orang berjubah hitam itu perlahan membuka mata mereka dan tersadar kembali. Beberapa dari mereka mulai muntah-muntah ketika mereka melihat darah tikus dan potongan-potongan yang tersebar di sekitar mereka, tapi ini tidak memengaruhi Daffa.Dia bilang, “Maaf tidak sengaja mengetahui rahasia kalian seperti ini.” Orang-orang itu kembali tenang dan menatap Daffa. Daffa tersenyum dan berkata, “Kurasa ini adalah permasalahan yang perlu diselesaikan.”Pemimpin dari mereka melangkah maju untuk menghalangi yang lain dari pandangan Daffa dan berkata dengan pelan, “Semuanya bisa didiskusikan selama kamu tidak membiarkan Pak Teivel tahu tentang ini.”Daffa mengangkat sebelah alisnya. “Sayangnya, dia sudah tahu.”Si pemimpin menjadi pucat mendengarnya, tapi amarah mulai menggelora di matanya. Namun, beber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status