Share

Bab 4

Author: Benjamin
Sementara itu, setelah Dilan dan Sarah pergi, Daffa diserahkan ke polisi oleh para satpam. Mereka memborgolnya dan menaruhnya di mobil mereka sebelum membawanya ke kantor polisi.

Di perjalanan menuju kantor polisi, Daffa terus terdiam. Benaknya masih dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai hubungannya dengan Sarah yang baru saja berakhir. Sudah tidak ada lagi keraguan di dalam dirinya. Sarah telah mengakhiri hubungan mereka. Semuanya sudah selesai.

Ketika mereka tiba di kantor polisi, Daffa turun dari mobil dengan tatapan kosong di wajahnya. Mereka menuntunnya ke sebuah ruangan di kantor polisi dan menyuruhnya untuk duduk. Setelah lima menit, seorang polisi datang ke dalam ruangan.

“Daffa Halim. Apakah aku benar?”

Daffa menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin berbicara.

“Anda dituduh dengan tiga pelanggaran atas perilaku Anda malam ini. Anda dituduh atas penyerangan dan penganiayaan, membuat kegaduhan, dan kekerasan.”

Mata Darius terbelalak. Dia tidak menyangka akan dituduh sebanyak itu!

“Untuk membayar pelanggaranmu, Anda harus membayar sejumlah 75 juta rupiah atau Anda akan dipenjara selama tiga hari. Itu akan bukan hal yang bagus bagimu, ‘kan? Lagi pula, Anda adalah mahasiswa di Universitas Praharsa. Mereka tidak menerima mahasiswa dengan catatan kriminal. Catatan seperti itu pasti akan membuatmu dikeluarkan.”

Daffa merasakan kepalanya seperti berputar-putar dengan hebat. Tujuh puluh lima juta rupiah? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?

Seolah petugas polisi tersebut menyadari kekhawatirannya, dia berbicara kembali.

“Jika kamu tidak memiliki uang sebanyak itu sekarang, aku akan memberikan ponselmu untuk menelepon seseorang sekarang. Namun, kamu hanya memiliki satu jam untuk membayarnya. Kalau tidak, aku tidak bisa membantumu.”

“Terima kasih banyak!” kata Daffa sembari merogohkan tangannya, meraih ponsel lamanya dari petugas tersebut yang sedang menyodorkannya.

Petugas tersebut menghela nafas. Sekali lihat saja dia bisa tahu kalau orang itu sangat miskin dan tidak mungkin dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu atas kemauannya sendiri. Dia benar-benar berharap bahwa orang itu memiliki kenalan yang bisa membayarkan dendanya, kalau tidak dia harus menghabiskan tiga hari di dalam jeruji besi.

Daffa merasakan jantungnya berdegup dengan kencang seraya dia memeriksa satu per satu daftar kontak di ponselnya. Ponsel itu sudah agak hancur karena perkelahiannya dengan Dilan. Layarnya retak di beberapa tempat sehingga cukup sulit untuk dilihat.

Seraya Daffa melihat-lihat kontak yang bisa dia hubungi di ponselnya, dia tertawa pahit. Dia bahkan tidak memiliki 30 kontak yang terdaftar di ponselnya. Memang tidak mengejutkan karena Daffa selalu bekerja paruh waktu. Maka dari itu, dia tidak memiliki waktu untuk pertemuan sekolah, berbagai macam acara, penggalangan dana, dan semacamnya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk menelepon teman asramanya. Walaupun mereka tidak sekaya Dilan, Daffa yakin mereka bisa membayarkan dendanya.

Dia menelepon mereka dan meletakkan ponsel di telinganya. Pada deringan ketiga, orang tersebut mengangkat teleponnya.

“Halo, Daffa! Daffa, apakah itu kamu?!”

“Iya, Raka. Ini aku,” jawab Daffa.

Raka terdengar menghela nafas lega. Mereka telah menonton keseluruhan siaran langsung dan mengetahui kebenarannya. Sarah dan Daffa memang benar menjalin hubungan sebelumnya.

Mereka sudah siap untuk membawa Daffa kembali ke asrama ketika mereka mengetahui kenyataannya, tapi siarannya terhenti ketika para satpam menarik Daffa dari Dilan. Setelah itu, mereka tidak tahu ke mana perginya Daffa, yang membuat mereka kebingungan.

Mereka sangat lega mendengar Daffa, sampai mereka mendengar bahwa dia sekarang sedang berada di kantor polisi dan tidak akan dibebaskan jika dia tidak membayar denda sebanyak 75 juta rupiah.

Mereka semua tahu kalau tidak mungkin Daffa bisa membayarnya. Raka berjanji dia akan tiba di sana dalam 20 menit sebelum memutuskan telepon.

Raka mengecek saldo rekeningnya dan melihat bahwa dia hanya memiliki sekitar 31,5 juta rupiah. Itu adalah uang yang tersisa dari uang saku bulanannya. Dia menghela nafas dan meminta tolong teman-teman yang lain. Setelah mengumpulkan semua uang yang mereka miliki, mereka akhirnya mengumpulkan cukup uang untuk membayar denda.

Mereka segera meninggalkan asrama dan memanggil taksi untuk pergi ke kantor polisi. Setelah menyapa petugas yang sedang berjaga di pintu masuk, mereka memasuki ruangan tempat Daffa ditahan.

Mereka membayarkan denda yang diminta dan berterima kasih pada petugas tersebut atas kebaikannya sebelum menuntun Daffa keluar dari kantor polisi.

Ketika mereka sudah di luar, Raka-lah yang pertama memecah keheningan.

“Apa yang kamu pikirkan, Daffa?! Bisa-bisanya kamu pergi dan berkelahi dengan mahasiswa terkaya di kampus? Apakah kamu cari mati?!” teriak Raka, benar-benar marah.

“Iya, Daffa. Jika kamu ingin berkelahi dengannya, kamu seharusnya memberi tahu kami apa yang terjadi. Kami pasti akan membantumu.” Salah satu teman asramanya, Miko menambahi.

Daffa menatap teman-teman asramanya dan merasa hatinya menghangat. Dia sangat berterima kasih karena walaupun dia miskin, dia bisa mendapatkan teman-teman yang baik dan bisa diandalkan seperti mereka. Dia sangat bersyukur, karena jika bukan karena mereka, mungkin dia sedang ditahan di dalam jeruji, dan kemungkinan besar dikeluarkan dari universitas.

Daffa menghadap ke arah mereka dan membungkuk dengan dalam, menunjukkan ketulusannya.

“Aku sangat berterima kasih atas bantuan yang kalian berikan untukku. Aku tahu aku tidak bisa membayarnya sekarang, tapi di masa depan, aku akan membayarnya kembali sepuluh kali lipat.”

“Tidak usah dipikirkan, Daffa!” kata Raka. Dia senang Daffa merasa bersyukur pada mereka, tapi dia tidak ingin Daffa merasa terbebani pada hal yang tidak perlu. Untung saja mereka bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk mengeluarkannya. Ketulusannya saja sudah cukup bagi mereka.

Daffa bangkit setelah dibujuk oleh ketiga teman asramanya. Dia berjalan bersama mereka beberapa langkah sebelum kembali berbicara.

“Maafkan aku, teman-teman, tapi aku ingin sendirian dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari mereka, Daffa mulai berjalan menjauh dari mereka. Raka baru saja ingin mengatakan sesuatu tapi Gilang, teman asramanya yang ketiga menahannya.

“Biarkan dia, Raka. Kita tidak bisa membantunya dalam segala hal. Dia harus melalui ini sendirian,” kata Gilang.

Raka terlihat seperti ingin membantah, tapi tidak jadi. Dia juga sebenarnya tahu kalau Gilang benar. Dia menghela nafas. Dia berharap Daffa bisa melalui hal ini sendirian.

Ketiga orang tersebut memandangi Daffa sampai dia tidak terlihat di penglihatan mereka, tapi ke mana Daffa akan pergi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
sunaryo binongko
mantap alurnya
goodnovel comment avatar
Sukri Jhy
lanjut mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Suherman Syah
gaaas trus critanya...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 665

    Wanita itu menjelaskan, “Aku kehabisan uang dan mereka bilang mereka akan membayarku dengan bayaran yang tinggi untuk melakukan ini. Yang perlu kulakukan hanyalah membawa kamera ketika datang kemari.”Daffa mengernyit. “Bagaimana caranya kamu masuk kemari?” Nada bicaranya dingin. Penjelasan wanita itu tidak berarti apa-apa baginya.Wanita itu menelan ludah. “Aku tidak tahu. Mereka menyuruhku untuk meminum ramuan, setelah itu aku kehilangan kesadaranku. Ketika aku terbangun, aku sudah ada di sini.”Daffa mengernyit mendengarnya. Wanita itu berseru, “Tunggu! Aku bersumpah aku mengatakan yang sebenarnya!”Dia tahu Daffa tidak puas dengan jawabannya, tapi hanya itu yang dia ketahui. Dia menatap Daffa sambil menangis saat Daffa berkata, “Apakah kamu perlu berteriak padaku seperti itu?”Dia berkata dengan gemetar, “Maaf, a … aku tidak bermaksud.”Mata Daffa masih dingin, tapi dia melepaskan wanita itu. Akan tetapi, ini tidak membuat wanita itu tenang. Sebaliknya, wanita itu menegang da

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 664

    Bram menatap dia dengan tenang. “Mungkin kamu akan mempertimbangkan untuk memberitahuku kenapa kamu ada di sini jika kamu tidak ingin mati.”Pria itu tertawa terbahak-bahak. Daffa mengernyit dan berkata, “Bram, bawa dia pergi supaya kamu bisa menginterogasinya nanti.”Bram langsung mengulurkan tangannya untuk memegang pria itu—kecepatannya membuat mata Daffa berbinar. Seperti yang dia duga, Bram adalah ahli bela diri yang tampaknya lebih cakap dibandingkan semua orang yang ada di sana, termasuk Daffa. Ini membuat Daffa ingin bertarung dengannya, tapi ini tentunya bukan waktu yang tepat untuk itu. Dia berusaha sekeras mungkin untuk menahan keinginannya untuk menerkam Bram.Pada saat ini, Edward dan Briana muncul. Dari langkah kaki dan napas mereka, Daffa tahu mereka telah berlari sampai ke sini, membuatnya mengangkat sebelah alisnya. Dia menoleh untuk melihat ke arah pintu dan berkata, “Bram, tunggu sebentar.”Bram tidak tahu kenapa Daffa tiba-tiba menghentikannya, tapi dia melakuka

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 663

    Daffa menunjuk ke arah kamar mandi saat dia berbicara. “Kamu bisa periksa kamar mandinya jika kamu mau. Itu sama saja seperti kamar mandi lainnya. Tidak ada apa pun yang memungkinkan aku untuk mengunggah apa pun di internet.” Dia menatap Bram yang masih terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Sebagai ahli bela diri terbangkit, Daffa langsung tahu apa yang Bram pikirkan dan bibirnya pun berkedut. Daffa menatap Bram dengan tatapan tidak berdaya dan berkata, “Dengar, kamera-kamera itu tidak ada hubungannya denganku.”Bram langsung menghela napas lega. Daffa menahan keinginannya untuk memutar bola matanya dan berbalik untuk melihat wanita tadi sambil mengetukkan jari-jarinya di sandaran tangan sofa. Suasananya menjadi sangat tegang hingga Bram menundukkan kepalanya lagi, memandang lantai.Setelah beberapa detik, Daffa berujar, “Bram.” Itu membuat Bram merinding dan menundukkan kepalanya makin dalam. Bram tidak dapat membayangkan apa yang hendak Daffa katakan dan keringat membasahi ken

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 662

    Daffa mengangkat sebelah alisnya. Dia memegang leher wanita itu dan melemparkannya ke dalam bak mandi, membuatnya megap-megap karena dia berusaha bernapas. Daffa mengabaikannya, memakai celananya, dan meletakkan tangannya di kenop pintu. Di dalam benaknya, vila Keluarga Halim adalah tempat baginya untuk bersantai dan menjalani waktu yang damai, tapi tampaknya dia keliru. Dia membuka pintu untuk melihat Erin berdiri di sana dan bibirnya berkedut. “Kukira kamu akan menunggu di luar.” Dia tidak memakai atasan karena lemari pakaiannya ada di luar.Tentunya, Erin tidak menduga akan melihat Daffa seperti ini. Dia merona dan memalingkan diri dari Daffa, tapi tidak dapat berjalan pergi—rasanya seakan-akan kakinya dilem ke lantai. Namun, mungkin otaknya berhenti berfungsi dan tidak dapat menyuruh kakinya untuk bergerak. Bagaimanapun, Erin tidak pergi.Daffa tampak terkejut oleh itu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia berjalan melewati Erin dan memasuki ruang gantinya, muncul ke

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 661

    Wanita itu tetap terdiam di tempatnya, terlihat terkejut. Daffa berniat untuk ikut berpura-pura seolah dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia sangat ingin menertawai akting wanita itu yang sangat buruk. Lagi pula, tidak ada pelayan Keluarga Halim yang akan mengenakan stoking setinggi paha saat bekerja. Namun, Daffa tahu dia harus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dia memasang ekspresi marah dan menggeram, “Aku jijik oleh keberadaanmu, jadi sebaiknya kamu menjauh dariku!”Mendengarnya, wajah wanita itu menjadi pucat. Daffa mengetukkan jemarinya ke tepi bak mandi, bertanya-tanya apakah dia terlalu kasar. Apakah wanita itu akan bisa melanjutkan aktingnya? Bibir Daffa berkedut saat dia memejamkan matanya dan berkata, “Ingat, jangan pakai apa pun selain seragam yang benar lain kali kamu bekerja … tidak peduli sebagus apa itu terlihat padamu.”Daffa merasakan kekejutan dan kesenangan wanita itu mendengar perkataan Daffa dan mendengar langkah kaki menghampirinya. Daffa m

  • Sang Pewaris Konsorsium   Bab 660

    Teivel membutuhkan tempat yang sunyi supaya tidak akan ada yang mengganggunya. Daffa menunggu hingga dia tidak dapat mendeteksi Teivel sebelum mendarat di tanah. Ketika dia melakukannya, orang-orang berjubah hitam itu perlahan membuka mata mereka dan tersadar kembali. Beberapa dari mereka mulai muntah-muntah ketika mereka melihat darah tikus dan potongan-potongan yang tersebar di sekitar mereka, tapi ini tidak memengaruhi Daffa.Dia bilang, “Maaf tidak sengaja mengetahui rahasia kalian seperti ini.” Orang-orang itu kembali tenang dan menatap Daffa. Daffa tersenyum dan berkata, “Kurasa ini adalah permasalahan yang perlu diselesaikan.”Pemimpin dari mereka melangkah maju untuk menghalangi yang lain dari pandangan Daffa dan berkata dengan pelan, “Semuanya bisa didiskusikan selama kamu tidak membiarkan Pak Teivel tahu tentang ini.”Daffa mengangkat sebelah alisnya. “Sayangnya, dia sudah tahu.”Si pemimpin menjadi pucat mendengarnya, tapi amarah mulai menggelora di matanya. Namun, beber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status